"Bagas, Sayang."
Tangis Aira tidak lagi mampu terbendung saat melihat tubuh suaminya tergeletak lemah di aspal dingin—bersimbah darah."Kumohon, buka matamu!"Aira mengerakkan tangannya ke sembarang arah untuk menjangkau tubuh suaminya. Namun yang ia dapatkan hanya kehampaan. Ketakutan memenuhi hati dan pikirannya, membuatnya nyaris kehilangan akal sehat."Apa yang terjadi? Kenapa aku?" Tubuh Aira bergetar. Ia menatap tangannya, seolah tak yakin dengan apa yang baru saja terjadi padanya.Raungan sirine ambulan menyadarkan Aira. Ia segera beranjak, memberi ruang bagi para petugas untuk menolong suaminya."Selamatkan suamiku. Kumohon!" pintanya di sela airmata.Belasan personil gabungan antara polisi, pemadam kebakaran dan petugas medis turun dari mobil dan menuju pos kerja mereka masing-masing. Para polisi memasang garis pengaman di sekitar lokasi kecelakaan, menahan orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi, merengsek masuk dan merusak TKP.Di lain sisi, para pemadam kebakaran berjibaku dengan api yang membumbung tinggi. Api yang berasal dari mobil mewah akibat ledakan tangki bensin yang bocor saat mobil menghantam badan jalan. Di sudut lainnya, para petugas medis segera menghampiri sepasang suami istri yang terkapar di aspal keras, tidak sadarkan diri. Darah mengenang di sekitar tubuh keduanya."Kondisinya kritis," ucap petugas medis yang memeriksa denyut nadi korban pria.Tak jauh dari sana, petugas medis lainnya yang tengah memeriksa korban wanita menggelengkan kepala. Mengirimkan tanda bahwa korban telah menghembuskan nafas terakhirnya jauh sebelum mereka tiba.Mendengar hal itu, sang kapten polisi segera bergerak mengamankan jalur evakuasi. "Bawa keduanya ke rumah sakit," serunya pada petugas ambulan yang telah bersiap di samping mobil dengan tandu."Hubungi rumah sakit. Minta mereka menyiapkan kantong jenazah." lanjutnya memberi perintah.***"Aileen, mulai besok kamu tidak perlu datang lagi."Sepenggal kalimat singkat dari Manajer HRD terdengar bagai petir yang menyambar puncak kepala Aileen Andita. Wanita itu tidak pernah menyangka, perusahaan akan mendepaknya keluar setelah apa yang ia korbankan selama ini."Kenapa, Bu? Saya tidak pernah melakukan kesalahan dan selama ini saya bekerja dengan baik bahkan setiap hari saya lembur," debat Aileen. Ia tidak ingin begitu saja menerima perlakuan tidak adil."Aileen, kamu tahu 'kan? Perusahaan ini sedang melakukan pemangkasan karyawan karena kondisi ekonomi yang tidak baik."Aileen menyisir poninya kasar. "Saya tahu. Tapi harus ada alasan yang kongkrit. Kenapa harus saya yang di pecat?"Manager HRD menggeser sebuah amplop ke hadapan Aileen. "Ai, ikan kecil tidak akan menang di sarang hiu," jelasnya dalam bentuk kiasan. "Terima ini dan beristirahatlah beberapa hari sebelum mencari pekerjaan baru."Aileen mendesah dalam. 'Yah, benar. Seorang karyawan kontrak seperti ku tidak akan bisa melawan koneksi orang-orang berduit,' batinnya miris."Saya akan membuatkan surat rekomendasi. Dua hari lagi kamu bisa datang untuk mengambilnya." Manager HRD menepuk pelan tangan Aileen. "Semoga kamu bisa mendapatkan tempat yang lebih baik diluar sana."Air mata mengenang di pelupuk mata Aileen. Butuh kekuatan besar baginya untuk bisa mengangkat kepala dan mengangguk pelan.***Aileen menyeret langkahnya keluar dari pagar utama yang selalu dilewatinya kala matahari terbit dan tenggelam. Selama ini, ia selalu berusaha menjadi karyawan terbaik, datang paling awal dan pulang paling akhir. Memastikan tidak ada satupun pekerjaan yang tertunda.Jika perusahaan membutuhkannya, Aileen selalu siap untuk lembur meski uang yang didapatkannya terkadang tidak sesuai dengan jumlah yang dikeluarkannya untuk sekedar membeli obat pereda nyeri.'Dunia ini memang terlalu kejam bagi ku yang hidup sebatang kara. Meski aku telah berjuang hingga kucuran darah dan keringat, mereka tetap tak mengindahkan ku,' desah Aileen pilu.Bus berhenti tepat di depan halte, dimana Aileen biasanya menunggu. Aileen segera naik dan melempar senyum tipis untuk menyapa supir dan kondektur yang setiap hari dia temui."Tumben cepat, Neng?""Iya, Pak," sahut Aileen singkat. Ia sedang tidak ingin bicara banyak dengan suasana hatinya yang buruk.Aileen mengedarkan pandangan mencari posisi strategis, bangku panjang paling belakang. Ia menggeser kaca jendela disampingnya, menikmati hembusan angin yang sayup-sayup menerpa wajahnya.'Lalu? Apa yang harus ku lakukan sekarang?' Pikir Aileen.'Mencari pekerjaan baru? Ah, tidak semudah itu. Di zaman serba sulit seperti saat ini, lapangan pekerjaan semakin sempit,' dialognya dalam hati.Aileen menepuk tas nya pelan. 'Apa aku buka usaha saja dengan pesangon ini?' Pikirnya.Getaran ponsel dari balik tas menyadarkan Aileen dari lamunannya. Ia melirik nama di layar ponsel.'IBU ...'"Apa lagi yang diinginkan wanita itu?" Desis Aileen."Ada apa?""A-aileen, kamu dimana?"Aileen mendesah pelan. "Ada apa?" Ulangnya dengan pertanyaan yang sama. "Uang? Aku tidak punya uang sekarang." Tebaknya cepat karena wanita itu hanya menghubunginya setiap kali membutuhkan uang."Ta-tapi Aileen, mereka akan membunuh adik mu kalau-"Aileen mematikan sambungan ponselnya dan beralih pada mode shut down, membuat ponsel itu mati total. 'Kali ini dia tidak akan tertipu lagi. Cukup sudah!' batinnya."Pak, halte depan ya." Teriak Aileen."Siap, Neng."Bus berhenti di depan halte terdekat menuju gang dimana Aileen menyewa sepetak ruangan atap di lantai dua. Ruangan yang awalnya digunakan sebagai gudang oleh pemilik rumah. Aileen tidak pernah mengeluh dengan kondisi ruangan yang kumuh dengan cat mengelupas dan lantai kasar tanpa keramik. Dia merasa itu cukup sepadan dengan harga sewa yang murah. Lagipula, Aileen hanya membutuhkan sebuah ruangan untuk sekedar tempatnya pulang beristirahat. Dengan gajinya yang kecil, Aileen tidak akan mampu membeli atau sekedar menyewa rumah layak huni di tengah kota."Mana putri yang kamu banggakan itu? Hah!"Begitu menaiki tangga, perhatian Aileen teralih oleh suara keras dan kasar yang berasal dari arah rumahnya. Aileen mempercepat langkahnya untuk sampai di atas, matanya terpaku pada dua pria yang duduk dengan kaki terangkat diatas bangku panjang dimana Aileen biasanya menjemur kaktus kesayangannya. Kening Aileen mengerut kesal begitu melihat puluhan pot kaktus yang dirawatnya dengan penuh kasih sayang berserakan di lantai, hancur terinjak-injak.Di lantai, Nani duduk dalam posisi memohon. Wajahnya basah oleh air mata, di pipinya tercetak bekas tangan yang meninggalkan ruam merah."Ai, tolong Ibu!" Serbu Nani begitu melihat putrinya.Aileen menepis tangan yang berusaha menyentuh lengannya. Ia menggeser tubuhnya ke samping untuk menghindar. "Apa yang kalian lakukan di rumahku?""Oh, jadi ini anak yang kata mu punya banyak uang?" Desis pria bertato ular, melingkar disepanjang lengannya.Aileen melirik Ibunya marah. Wanita itu selalu saja menjual nama Aileen sebagai jaminan utang judi dia dan suaminya. "Kali ini, apa lagi? Judi?!"Nani menghindari tatapan Aileen. Dia sudah terbiasa dengan sikap kasar putrinya itu. "Hanya sedikit, Ai.""Sedikit?!" Aileen membelalakkan matanya, kali ini ia kehabisan kata-kata hingga tidak bisa lagi mengontrol emosinya yang mencapai puncak. "Sampai kapan kalian akan hidup seperti ini?" Desisnya geram."Hei, cepat! Aku tidak punya waktu untuk mendengar masalah keluarga kalian. Cepat bayar utang Ibu mu," sentak pria yang berdiri disamping pria bertato."Be-berapa?" Tanya Aileen dengan suara bergetar."Seratus juta."Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, seratus juta?! Ini gila.'*****Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, seratus juta?! Ini gila.'"Aku tidak punya uang," sergah Aileen tegas. "Silahkan pergi. Aku tidak punya utang pada kalian. Jadi aku tidak harus membayar apapun.""APA!""Ai," cicit Nani. Dia takut dengan ekspresi para penagih utang. Kali ini mereka mengancam akan mencincangnya, bila tidak mendapatkan uang. "Ai, tolong Ibu.""Pergilah, aku capek." Usir Aileen. Dia tidak peduli meskipun Nani menangis, memohon padanya."Sialan, Ibu dan anak sama saja," sentak pria bertato. Menarik rambut Aileen kasar lalu menghempaskan nya ke dinding."Akh." rintih Aileen kesakitan. Dia merasakan ada cairan hangat, mengalir dari sudut pelipisnya."Ampun, ampuni aku. Ai!" Jerit Nani ketakutan karena pria lainnya mengayunkan pisau ke arahnya.Aileen berlari cepat dan berdiri dihadapan Nani. Menghadang pria yang berencana menusukkan pisau yang di bawanya ke tubuh Nani. Meski Aileen membenci Nani dengan segenap hatinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita itu
Aileen menyeret langkahnya tertatih menyusuri trotoar di sepanjang jalan. Ia tak tahu kemana arah akan membawanya, bahkan dia juga tidak mengukur berapa jarak yang telah ditempuhnya semenjak keluar dari rumah sakit. Pikiran Aileen kosong, hanya kata-kata dokter yang terus berputar layaknya rollercoaster. Membuatnya mual dan ingin muntah."Aileen Andita, anda mengidap kanker perut stadium dua. Tidak terlalu buruk tapi juga tidak baik. Stadium berapapun akan berbahaya bila anda tidak segera menjalani pengobatan dan terapi," jelas sang dokter.Aileen tak banyak bereaksi. Dia tahu seperti apa hidup seorang penyintas kanker perut. Dia melihat dengan kedua matanya, bagaimana Ayah bertarung melawan ganasnya kanker perut yang menggerogoti tubuhnya. Hari demi hari yang dilalui Ayah penuh dengan rintih kesakitan, hingga pada akhirnya dia harus menyerah dan meninggal di meja operasi.'Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aileen takut,' lirih Aileen dalam hati.***"Ah, akhirnya kamu pulang
Aileen membuka matanya perlahan. Cahaya temaram yang masuk dari balik jendela kaca menunjukkan bila hari telah berganti malam. Aileen mengedarkan pandangannya, meneliti ruangan dimana dia berbaring. 'Di mana aku?' batinnya penasaran. 'Apa aku sudah meninggal?'Begitu aroma alkohol menyengat, menyergap hidungnya, Aileen segera tahu, dimana ia saat ini."Ah, aku benci rumah sakit," gumamnya.Aileen berusaha mengangkat tangan kirinya, beberapa detik kemudian dia meringis kesakitan. Aileen melirik perban yang dibebatkan di pergelangan tangan kirinya. Ingatannya kembali mengulang perbuatan nekad yang dilakukannya. Dengan bertumpu pada tangan lainnya, Aileen berhasil duduk. Perlahan dengan hati-hati dia menarik jarum infus di lengannya. "Akh." rintihnya begitu jarum tipis itu tercabut.Darah mulai merembes tapi Aileen segera menekannya untuk menghentikan cairan merah itu terus keluar lebih banyak. Aileen menekuk tangannya yang sakit, mengaitkannya pada tangan lain. Ia turun dari ranjang da
"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduan
Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny