Nafas Aileen tercekat. 'Tuhan, seratus juta?! Ini gila.'
"Aku tidak punya uang," sergah Aileen tegas. "Silahkan pergi. Aku tidak punya utang pada kalian. Jadi aku tidak harus membayar apapun.""APA!""Ai," cicit Nani. Dia takut dengan ekspresi para penagih utang. Kali ini mereka mengancam akan mencincangnya, bila tidak mendapatkan uang."Ai, tolong Ibu.""Pergilah, aku capek." Usir Aileen. Dia tidak peduli meskipun Nani menangis, memohon padanya."Sialan, Ibu dan anak sama saja," sentak pria bertato. Menarik rambut Aileen kasar lalu menghempaskan nya ke dinding."Akh." rintih Aileen kesakitan. Dia merasakan ada cairan hangat, mengalir dari sudut pelipisnya."Ampun, ampuni aku. Ai!" Jerit Nani ketakutan karena pria lainnya mengayunkan pisau ke arahnya.Aileen berlari cepat dan berdiri dihadapan Nani. Menghadang pria yang berencana menusukkan pisau yang di bawanya ke tubuh Nani. Meski Aileen membenci Nani dengan segenap hatinya, tapi dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa wanita itu adalah Ibu yang telah melahirkannya."Hentikan! A-aku tidak punya uang sebanyak itu," ujar Aileen dengan suara bergetar. "Aku cuma punya sepuluh juta. Beri aku tempo beberapa hari untuk mencari sisanya."Pria yang memegang pisau menghentikan langkahnya. "Baiklah. Mana?"Aileen melirik tas nya yang tergeletak di sudut. Menyadari arah pandang Aileen, Nani segera bergerak untuk mengambil tas Aileen dan mengeluarkan amplop putih di dalamnya.Hati Aileen teriris pilu. "Hilang sudah." Rintihnya.Nani memberikan amplop itu kepada pria bertato dan berbalik untuk bersembunyi di balik tubuh Aileen. Menggenggam erat lengan kurus itu.Pria bertato menggeleng, jijik melihat tingkah licik Nani. "Nasib mu sangat buruk karena lahir dari wanita seperti itu," ejeknya pada Aileen.Aileen membenarkan apa yang dikatakan pria bertato tapi ia hanya diam tidak berusaha membantah apapun. Kepalanya mulai berdenyut nyeri, ditambah benturan yang terjadi antara punggungnya dengan dinding cukup keras hingga membuatnya sulit untuk berdiri tegak. Aileen yakin, akan ada ruam biru bila dia menyingkap kemejanya."Kalian sudah mendapatkan uang. Pergi dari sini!" Usir Aileen."Baiklah. Tapi kami kembali dua hari lagi untuk mengambil sisanya," ujar pria lain. Dia melambai pada pria bertato, mengajaknya pergi.Begitu dua pria itu menghilang di balik tangga, tubuh Aileen luruh ke lantai. Ia meringis pelan saat menggeser tubuhnya untuk mencapai dinding terdekat."Ai, kamu baik-baik saja?" Nani mencoba menyentuh luka di pelipis Aileen tapi tangannya segera di tepis menjauh."Pergi," desis Aileen di sela sakit yang dirasakannya. "Pergi dan jangan pernah kembali.""Ai, kenapa kamu kejam sekali pada Ibu kandungmu?" Keluh Nani dengan wajah cemberut. Terkadang dia tersinggung dengan cara Aileen mengusirnya."Ibu? Kamu cuma wanita yang melahirkan anak haram lalu membuangnya begitu saja," tuding Aileen kasar. Kesabarannya mulai mencapai ambang batas."Apa! Kalau aku tidak melahirkan mu, hidupku tidak akan seburuk ini.""A-aku tidak pernah minta dilahirkan," sergah Aileen marah. "Dan, hidupmu hancur karena kamu selalu memilih pria brengsek.""Apa yang kamu tahu tentang hidup ku."Aileen mendesah dalam. "Ya, aku tidak tahu apapun. Seperti kamu yang tidak tahu apapun tentang hidup ku. Jadi ...""Tolong, berhenti menemui ku dengan alasan apapun," mohon Aileen dengan suara teredam. "Aku tidak sanggup lagi." Air mata tidak lagi mampu terbendung. Tumpah bersama sesak yang selama ini memenuhi dadanya."Apa yang Ibu lakukan disini?" Tanya Denis, pemuda yang lebih muda dua tahun dari Aileen, menghampiri Ibunya.Denis terkejut dengan kondisi wajah Ibu dan Kakak tirinya serta barang-barang yang hancur berserakan di lantai."Kak Ai, apa yang terjadi? Kamu terluka?"Aileen menghapus air matanya. "Bawa dia pergi," ucapnya dingin mengabaikan pertanyaan adik tirinya.Denis mengangguk maklum. Dia sudah terbiasa dengan sikap ketus dan dingin Aileen padanya. "Bu, Denis kan sudah bilang. Jangan menganggu Kak Ai lagi.""Menganggu apanya? Kita ini kan keluarganya," sergah Nani.Aileen melengos. Merapatkan diri ke dinding rumah, menyandarkan tubuhnya."Liat, liat. Dia selalu seperti itu. Kakak mu itu selalu meremehkan kita," keluh Nani."Sudah Bu. Kita pulang, ayo." Denis menggiring Ibunya untuk menuruni tangga terlebih dahulu lalu berpaling untuk melihat Aileen. "Kak Ai, lebih baik kita ke rumah sakit. Luka mu harus di obati.""Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri. Pastikan saja wanita itu tidak menemui ku lagi."Denis mendesah pasrah. "Kak, tolong maklumi Ibu. Aku akan segera mencari pekerjaan dan mengembalikan semua uang yang Ibu ambil."Aileen memilih diam. Tidak ingin menjawab ataupun mendengar apapun lagi. Dia berbalik masuk ke dalam kamar. Seluruh bagian tubuhnya sakit dan lelah hingga tidak punya sedikitpun kekuatan bahkan hanya untuk mengeluarkan suara. Sepertinya dia harus segera mencari es batu untuk meredakan rasa sakit di punggung dan pelipisnya.***"Dok, bagaimana keadaan suami saya?"Dokter berjalan keluar dari ruangan steril dan bergegas menghampiri keluarga pasien yang telah lama menunggu kabar baik darinya. "Saat ini pasien sudah melewati masa kritis. Untuk beberapa hari ke depan kami akan memantau kondisinya di ruang ICU dan dipindahkan ke ruang rawat inap begitu kondisinya stabil," jelas dokter."Syukurlah."Helaan nafas lega keluar dari keluarga pasien yang terdiri dari sepasang suami istri berumur lanjut dan seorang wanita muda."Pak, bisa kita bicara sebentar?" tanya dokter.Pria tua mengangguk lalu bersama istrinya mengikuti langkah dokter keluar dari ruang ICU. Sedangkan wanita muda tak bergeming. Matanya berkaca-kaca menatap pria yang terbaring di ranjang dengan berbagai alat bantu medis yang membuatnya tetap bertahan hingga saat ini.Airmata tak lagi mampu terbendung "Kamu harus sembuh, Bagas," lirihnya dengan suara bergetar.Di samping ranjang ada sepasang mata yang menatap sang wanita dengan tatapan penuh amarah. Dia mengepalkan buku-buku jemarinya hingga kuku menancap dalam dan meninggalkan jejak luka.***"Akh." Aileen mengaduh pelan. Ia menekan pinggang kirinya untuk membantu mengurangi rasa sakit.Semalam, sebelum tidur Aileen mengompres pinggangnya yang lebam dan membiru dengan kantong es. Setelah itu ia tidak mengingat apapun lagi. Matanya berat, begitu menyentuh kasur Aileen langsung terlelap dan sadar saat alarm di ponselnya berbunyi.'Jam 4. Aku lupa mematikan alarm. Untuk apa aku bangun sepagi ini? Toh, tidak ada yang harus ku kejar,' pikirnya.Aileen kembali membaringkan tubuhnya tapi rasa nyeri di pinggangnya sangat menganggu dan membuatnya memutuskan untuk bangun."Sepertinya aku harus ke rumah sakit hari ini. Mungkin ada pergeseran atau tulang yang retak," gumamnya.Dia menarik handuk dari balik pintu. Saat melewati cermin, Aileen terkejut dengan wajahnya sendiri. Pelipisnya membiru dengan bercak darah yang mengering di sepanjang pipi hingga sudut bibirnya."Aku terlihat seperti vampir di malam Halloween," kekehnya konyol.***"Apa belakangan ini, perut anda sering kembung lalu timbul perasaan mual dan muntah," tanya dokter tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar komputer.Aileen mengangguk ragu. 'Kenapa dokter bisa tahu?'"Apakah ada bercak merah seperti darah pada feses anda?"'Wah, ini konyol!' Dia tidak punya ketertarikan untuk memeriksa langsung apa warna kotoran yang keluar dari tubuhnya setiap pagi.Aileen tertawa pelan tapi segera memperbaiki sikapnya begitu melihat kerutan di kening dokter dan suster."Maaf, tapi saya tidak memperhatikan sedetil itu," sahutnya sambil berusaha keras menahan tawa."Kapan terakhir kali anda melakukan medical check up?" Lanjut sang dokter mengabaikan lelucon pasiennya.Aileen mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan dokter. Ia mencoba mengingat-ingat kapan tepatnya ia pernah melakukan medical check up.Seingatnya, lima tahun yang lalu. Saat mulai bekerja, perusahaan sialan itu tidak begitu bermurah hati untuk melakukan medical check up karyawan setiap tahun dan Aileen tidak akan pernah melangkahkan kakinya ke rumah sakit kecuali dalam keadaan terpaksa."Lima tahun yang lalu, dok."Dokter muda itu mengernyit. "Selama itu?" Ulangnya lagi tak percaya. Seolah pengakuan Aileen merupakan lelucon teraneh yang didengarnya tahun ini.Aileen mengangguk untuk meyakinkan sang dokter. "Iya. Lima tahun yang lalu, dok.""Hmm, saya sarankan anda melakukan pemeriksaan menyeluruh hari ini."Kerutan di kening Aileen bertambah dua kali lipat. "Kenapa? Apa ada masalah serius?" Buru nya."Dari hasil rontgen, saya melihat adanya benjolan di lambung anda. Saya curiga ini adalah kanker perut." Dokter menarik nafas panjang, matanya menatap pasiennya kasihan. "Untuk lebih lanjutnya harus dipastikan dengan tes darah dan MRI."Aileen terdiam. 'Lelucon apa lagi kali ini? Mengapa dalam dua hari, masalah silih berganti menghampiri ku?'"Sus, tolong bantu pasien mendaftarkan diri di laboratorium."Suster yang sedari tadi hanya terpaku ditempatnya, bergerak cepat menggiring Aileen keluar ruangan."Mba, yang kuat ya," hibur sang suster, memberi semangat.*****Aileen menyeret langkahnya tertatih menyusuri trotoar di sepanjang jalan. Ia tak tahu kemana arah akan membawanya, bahkan dia juga tidak mengukur berapa jarak yang telah ditempuhnya semenjak keluar dari rumah sakit. Pikiran Aileen kosong, hanya kata-kata dokter yang terus berputar layaknya rollercoaster. Membuatnya mual dan ingin muntah."Aileen Andita, anda mengidap kanker perut stadium dua. Tidak terlalu buruk tapi juga tidak baik. Stadium berapapun akan berbahaya bila anda tidak segera menjalani pengobatan dan terapi," jelas sang dokter.Aileen tak banyak bereaksi. Dia tahu seperti apa hidup seorang penyintas kanker perut. Dia melihat dengan kedua matanya, bagaimana Ayah bertarung melawan ganasnya kanker perut yang menggerogoti tubuhnya. Hari demi hari yang dilalui Ayah penuh dengan rintih kesakitan, hingga pada akhirnya dia harus menyerah dan meninggal di meja operasi.'Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aileen takut,' lirih Aileen dalam hati.***"Ah, akhirnya kamu pulang
Aileen membuka matanya perlahan. Cahaya temaram yang masuk dari balik jendela kaca menunjukkan bila hari telah berganti malam. Aileen mengedarkan pandangannya, meneliti ruangan dimana dia berbaring. 'Di mana aku?' batinnya penasaran. 'Apa aku sudah meninggal?'Begitu aroma alkohol menyengat, menyergap hidungnya, Aileen segera tahu, dimana ia saat ini."Ah, aku benci rumah sakit," gumamnya.Aileen berusaha mengangkat tangan kirinya, beberapa detik kemudian dia meringis kesakitan. Aileen melirik perban yang dibebatkan di pergelangan tangan kirinya. Ingatannya kembali mengulang perbuatan nekad yang dilakukannya. Dengan bertumpu pada tangan lainnya, Aileen berhasil duduk. Perlahan dengan hati-hati dia menarik jarum infus di lengannya. "Akh." rintihnya begitu jarum tipis itu tercabut.Darah mulai merembes tapi Aileen segera menekannya untuk menghentikan cairan merah itu terus keluar lebih banyak. Aileen menekuk tangannya yang sakit, mengaitkannya pada tangan lain. Ia turun dari ranjang da
"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduan
Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny