"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
"Ai, aku tahu kamu orang yang ketus dan dingin, tapi aku nggak nyangka hati kamu sekeras ini.""Padahal kamu tahu, saat ini Bagas rapuh. Dia butuh pertolongan kamu. Paling tidak, kamu bisa menyemangatinya, menghiburnya."Aileen mengalihkan pandangannya dari bayangan samar yang berdiri di balik tubuhnya.[BRUK ...]"Ai!"Aira menyongsong tubuh Aileen yang luruh ke lantai. "Ai, kamu kenapa?" Buru Aira. Ia melihat Aileen menekan perutnya sambil meringis kesakitan. "Sakit banget ya?"Akh." Rintih Aileen. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit ini segera berlalu. "Apa yang harus aku lakukan?"Aileen melambaikan tangannya lalu menepuk lantai. Meminta Aira untuk tenang. Saat ini ia butuh ketenangan untuk dapat meredam gelombang rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya."Aira, ma-maaf," ucap Aileen terbata. "Nggak Ai. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu, ini juga berat untukmu."Airmata Aira tak terbendung. Ia mengguncang tubuh Aileen, berharap dapat menyentuhn
"Kak Ai, darimana kita bisa mendapatkan uang besok untuk membayar mereka?" Cicit Denis.Aileen menatap Denis sesaat sebelum melempar pandangannya ke luar jendela.'Paman Barito, hanya dia satu-satunya harapan terakhir,' batin Aileen."Denis, bisa antar aku ke suatu tempat?""Mau kemana, Kak?""Nanti juga kamu tahu," ucap Aileen datar.***[Tok ... Tok ...]Pintu terbuka, seorang wanita keluar dari rumah tipe sederhana. Wanita itu terkejut begitu melihat Aileen berdiri di depan rumahnya."Ai?"Aileen tersenyum tipis. "Apa kabar, Tante Mira?" Sapa nya sambil mencium tangan wanita paruh baya itu."Baik, Nak. Kamu apa kabar?""Baik Tante."Mira melirik pemuda yang berdiri di belakang keponakannya. "Siapa? Pacar?""Denis," sahut Aileen sambil meringis lucu.Mira terkekeh. "Udah gede ya?""Ayo masuk, Nak Denis," ajak Mira. "Duh, terakhir kali Tante liat kamu masih merangkak."Denis tersipu malu-malu."Denis, ini istri dari Paman Barito. Kakak Ayahku," jelas Aileen."Ayo duduk, Nak. Pamanmu s
Aileen merintih pelan, menyeret langkahnya tertatih, menyusuri lorong rumah sakit. Pandangannya berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya untuk mencari sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini."Ai, apa yang kamu cari?" Mardiana menghampiri Aileen yang sedari tadi mengusik rasa penasarannya."Bu Mar, lihat Aira?""Aira?" Mardiana mengernyitkan keningnya, bingung."Semenjak suaminya diperbolehkan pulang, wanita itu tidak pernah lagi muncul disini."Aileen berdiri, menyandarkan tubuhnya ke dinding. 'Kemana aku harus mencari wanita itu?' Pikir Aileen."Kamu mau ketemu sama Aira?"Aileen mengangguk ringan. "Ya, ada sesuatu yang harus aku katakan padanya.""Kamu ke rumah suaminya saja. Aira pasti ada disana," usul Mardiana.'Ya, Aira pasti ada di sekitar suaminya,' batin Aileen membenarkan."Terima kasih, Bu Mar. Aku pergi dulu."Aileen melanjutkan langkahnya, menuju pintu keluar rumah sakit. Begitu mencapai pintu lobi, sebuah tangan menangkap dan menariknya kembali."Apa yang kamu lakuka
'Bagas?!'Aileen membulatkan matanya kaget, terlebih begitu melihat sosok yang berdiri disamping Daren. "Da—dari atap," balas Aileen singkat lalu beralih pada Bagas—pria yang tengah menatapnya melalui sorot mata tajam.Meski dia telah membulatkan tekad untuk menemui Bagas tapi tetap saja hatinya tidak siap bila harus berpapasan langsung dengan pria itu, secepat ini."Bisa kita bicara?" "Bicara apa? Aku tidak berminat mendengar omong kosong mu lagi," sergah Bagas ketus.Aileen menelan amarah yang meluap naik untuk mengontrol emosinya. "Ada hal penting yang harus aku sampaikan." Ia melirik Aira yang sedari tadi ada disampingnya."Kamu udah makan siang, Ai? Gimana kalau kamu ikut kami makan bareng?" Sela Daren begitu melihat ketegangan diantara kedua pasiennya."Tidak," protes Bagas cepat. Namun Daren tak mengindahkannya."Sudah, dok," sahut Aileen lalu kembali beralih pada Bagas. "Bisakah kita bicara sebentar?" Pintanya setengah memohon.Bagas berdecak pelan lalu beralih pada sepupun
"Bagas? Kamu baru pulang, Nak?"Bagas menghampiri sang Ibu yang telah menyambutnya di pintu depan dengan senyum terkembang."Iya, Ma." Ia memeluk dan mengecup sekilas pipi Cintya."Apa Mama menunggu ku?" Bagas mengiring ibunya untuk masuk ke dalam rumah bersamanya."Iya, Sayang. Gio bilang kamu dari rumah sakit, apa kata Daren?""Kondisi ku sudah lebih baik. Daren juga mengamuk dan segera mengusir ku pulang," canda Bagas.Cintya menepuk pelan lengan putra semata wayangnya. "Pasti kamu menggoda adik sepupu lagi.""Hmm. Mama mulai lagi deh. Selalu saja memihak Daren," goda Bagas. Sengaja memasang wajah sedih yang berlebihan."Habisnya kamu suka sekali mengganggunya," kilah Cintya.Bagas terkekeh pelan. "Dia terlalu polos, Ma. Selalu saja gampang dibodohi.""Oh, ya. Mama masak apa? Aku lapar?""Ayo. Mama sengaja menunggumu pulang untuk makan siang bersama. Mama tahu, kamu pasti belum makan apalagi kamu nggak suka makan sendirian 'kan?""Iya, Ma. Semenjak pacaran dan menikah dengan Aira,
"Apa kamu percaya kalau di dunia ada mahkluk tak kasat mata?" Ungkap Aileen. Ia menelisik ekspresi Daren, memastikan dokter tampan itu tidak menganggapnya gila."Maksud kamu hantu?" Tukas Daren sambil terkekeh geli.Aileen mengangguk ragu. "Ya. Sejenis itu lah.""Tentu saja. Bukankah semua kitab suci menyatakan bahwa mereka ada?""Ah, ya." Kekeh Aileen datar. "Kamu benar.""Lalu?" Daren menatap lekat wajah Aileen. Menunggunya dengan rasa penasaran.Aileen mengaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. "Hmm. I—itu …""Ah, sebentar," tahan Daren. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel."Baiklah. Aku kesana sekarang." Ucapnya pada seseorang di balik sambungan ponsel."Aileen, aku harus ke UGD. Ada pasien mendadak."Aileen mengangguk cepat. "Pergilah.""Disini dingin, lebih baik kamu segera kembali ke kamarmu." Pesan Daren dan berlari pergi dengan terburu-buru."Terima kasih Tuhan. Anda tidak menambah deret orang yang menganggap ku gila." Desah Aileen lega.***"Akh!"Bagas bangkit dari pos
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny