"Maaf, Nona Aileen. Pak Bagas ingin bertemu dengan anda."Aileen mengerutkan keningnya begitu melihat sosok jangkung berdiri tepat didepannya. Ia menengadah untuk melihat wajah dari orang yang menghalangi langkahnya dengan lebih jelas."Kamu? Asisten Bagas?" Tebak Aileen.Gio mengangguk kecil. "Pak Bagas ingin bertemu anda." Ulangnya."Apa lagi yang diinginkan bos mu itu?" Desah Aileen malas."Mari Nona Aileen—""Berhenti memanggilku dengan sebutan itu. Kamu membuat semua bulu ku bergidik ngeri." Protes Aileen. "Cukup Aileen, saja." Tegasnya.Seumur hidup, Aileen berada di ruang lingkup warga pinggiran hingga tak pernah ada orang yang bicara bahkan memanggilnya dengan sebutan yang formal. "Hmm." Gio berdeham canggung. "Baiklah, Aileen.""Itu terdengar lebih baik.""Pak Bagas menunggu mu di cafe." Tunjuk Gio ke arah cafe di seberang jalan.Aileen menghela napas panjang. "Apa yang akan dibicarakannya?" Keluhnya seolah tengah bicara pada dirinya sendiri."Ayo." Ajak Gio. Ia menatap k
"Apa?!"'Surat penagihan utang?'"Apa maksudnya ini? Bukankah kamu bilang aku bisa mencicil utang ini?" Buru Aileen.Bagas mengendikkan bahunya. "Aku berubah pikiran." Ujarnya santai."Kamu!" Erang Aileen marah. Ia meremas kertas sampul yang di bacanya."A, A." Bagas menggoyangkan telunjuknya. "Jangan lakukan itu, kamu harus menyimpan setiap lembaran itu dengan baik karena mereka bernilai 100 juta untuk mu.""Brengsek. Kamu pria terburuk yang pernah ku temui."Bagas mengabaikan setiap makian yang keluar dari mulut wanita itu. Tujuannya jelas, bagaimanapun caranya ia harus membuat Aira tetap disampingnya."Nampaknya kamu tidak berniat untuk membaca isi dokumen itu. Jadi, aku akan menjelaskannya."Aileen bungkam seribu bahasa. Ia menutup mulutnya rapat-rapat agar tidak memuntahkan sederet umpatan yang bersarang di pikirannya."Menikahlah denganku," ucap Bagas dengan ekspresi datar."Hah?" Aileen memusatkan perhatiannya. "Apa?"Baru saja—bersamaan dengan kalimat yang keluar dari mulut Ba
Aileen membuka matanya perlahan disusul oleh rasa perih akibat mata yang bengkak setelah semalaman menangis.Ia meraba sudut nakas, mencari benda yang terus bergetar hingga menganggu tidurnya."Halo." Ucapnya dengan suara serak.[Aileen, mengapa orang-orang ini datang dan menagih utang kesini?]Suara teriakan bernada emosi seketika menarik paksa kesadaran Aileen untuk kembali. Ia memaksa tubuhnya untuk bangkit dari posisi tidur lalu melihat nama di layar ponselnya, Denis."Apa yang terjadi?" Tanyanya yang yakin kalau Ibunya telah mengambil alih ponsel Denis."Ada lima pria mengerikan datang ke rumah dan menagih utang." Jelas Nani.'Orang? Utang?' pikiran di benak Aileen berkecamuk. Memaksanya untuk fokus.Ia menjauhkan layar ponsel demi melihat jam, 10.30. 'Celaka! Aku terlambat bangun.'"Di mana mereka sekarang?" "Di depan rumah. Mereka tidak mau pergi kalau kamu tidak membayar utang mu." Nani terisak pelan. "Mereka memukuli Denis dan Bono.""Apa?" Aileen berdesis geram dan mengaca
"Cintya, apa kamu sudah membicarakannya dengan Bagas?"Cintya tersenyum canggung, ia merasa bersalah karena tidak dapat memberi kabar yang akan memuaskan Viona tapi dia juga tidak bisa memaksa putranya."Aku sudah menyinggung ide mu di depan Bagas tapi, dia belum berniat untuk menikah lagi.""Tampaknya Bagas masih berduka akan kepergian Aira." Viona menyesap pelan teh yang masih mengepulkan uap hangat dari bibir cangkir."Ku harap dengan kehadiran Soraya, perlahan-lahan Bagas bisa bangkit lagi."Cintya mengangguk setuju. "Aku juga berpikir hal yang sama.""Aku harap Soraya mau bersabar dan berusaha keras untuk menaklukkan hati Bagas yang masih beku." Ia beralih pada wanita dengan paras cantik bagai rembulan di malam purnama.Soraya menunduk malu. "Aku akan berusaha sebaik mungkin, Tante." Ucapnya."Haduh, kenapa kamu masih memanggil Tante." Tukas Viona. "Kamu harus mulai memanggil Cintya dengan sebutan Mama.""Ah, Mama. Jangan membuatku semakin malu," ujar Soraya dengan wajah bersemu
Aileen mengerjabkan matanya kagum saat Bagas membawanya masuk ke sebuah ruangan bernuansa minimalis namun terkesan elegan dengan perabotan mewah yang rata-rata berwarna pastel. Ia memperhatikan setiap pigura yang tertata rapi di atas lemari panjangan. Hampir semua foto berisikan potret kemesraan sepasang kekasih, Bagas dan Aira."Pria itu benar-benar mencintaimu," gumam Aileen sambil melirik Aira yang tak lekang dari sisi suaminya.Mata Aileen terpaku pada ranjang berukuran besar di tengah ruangan, seketika langkahnya terhenti dan segera memasang sikap waspada."Ini kamar mu?" tanya Aileen untuk memastikan."Tentu saja. Menurutmu kemana lagi aku akan membawa calon istriku?"Aileen bergidik ngeri setiap kali Bagas menyinggungnya dengan kata 'istriku'.Melihat senyum sinis di wajah Bagas membuat Aileen segera sadar bahwa pria itu hanya menggodanya namun itu tak semerta-merta membuat Aileen tenang dan mengendurkan penjagaannya."Bisakah kamu menyingkirkan kata-kata istriku setiap kali b
"Aileen."Cintya menghampiri Aileen, ia heran karena wanita itu hanya diam di depan dinding kaca yang menampilkan pemandangan taman belakang rumah ini."Ah, malam Tante." Sapa Aileen. Ia mengaruk tekuknya canggung."Malam." Balas Cintya. Ia meneliti penampilan wanita antah berantah yang tiba-tiba di bawa pulang oleh putranya."Apa yang kamu lihat?" "Oh, aku hanya melihat pemandangan di luar. Tamannya sangat indah." "Kenapa kamu tidak berganti dengan pakaian yang lebih nyaman?" Cintya yakin, apa yang dipakai Aileen adalah baju yang sama saat dia tiba."Ah, i—itu," "Apa kamu tidak membawa baju ganti?" Tebak Cintya. Aileen mengangguk malu. "Ya. Aku tidak sempat membereskan barang karena Bagas buru-buru mengajak ku kesini.""Apa? Bagas sangat keterlaluan.""Ah, tidak. Maksudku—" Ralat Aileen panik. Dia tidak ingin Ibunya Bagas berpikir ia tengah mengeluhkan sifat buruk putranya.Cintya terkekeh geli. "Tenanglah, Nak. Aku paham tabiat putra ku. Dia keras kepala dan tak suka dibantah."
"Aileen, apa yang terjadi dengan wajah mu?""Eh, wajah?" Aileen memegangi dadanya, tiba-tiba napasnya sesak seakan ada yang meremas erat paru-parunya."Kamu alergi seafood?" buru Bagas. Ia merengkuh wajah Aileen yang dipenuhi bintik-bintik kemerahan."Mama, panggilkan dokter." Cintya segera berlari ke ruangan lain untuk mencapai telpon ataupun ponselnya."Bodoh. Kenapa kamu nggak bilang?" Ujar Bagas cemas."A—aku, tidak ingin membuat Mama mu kece—" Aileen menutup matanya sebelum kata terakhir. "Hei, Aileen!"***Nani melongokkan kepalanya, mengintip ke dalam rumah yang tampak tak berpenghuni."Tak diangkat?" tanyanya pada sang putra yang telah berulang kali menghubungi nomor ponsel Aileen."Nggak, Ma." Denis menatap ponselnya, cemas memikirkan kondisi Kakaknya. "Kira-kira Kak Ai, kemana ya?" "Kalau kamu saja tidak tahu, apalagi Ibu. Kamu kan tahu, Aileen tidak pernah menceritakan apapun pada Ibu dan Bapakmu."Denis melirik ibunya. "Itu karena ibu dan bapak selalu datang untuk memint
"Katakan, apa yang membuatmu menahan Aileen disini?" Serang Daren langsung.Bagas mengiringnya ke taman belakang untuk menjauh dari Cintya. Pastinya ada hal yang disembunyikan oleh sepupunya itu, mengingat mereka harus turun sejauh ini hanya untuk menghindar dari orang lain."Aku membutuhkan Aileen."Daren menautkan alisnya. "Membutuhkan?" Ulangnya tak percaya."Seingat ku, dua hari yang lalu kamu masih mencemooh dan mengatainya wanita gila."Bagas membanting tubuhnya di atas kursi santai panjang yang mengarah ke kolam renang."Aku punya alasan." Daren mengikuti langkah Bagas, duduk disampingnya. "Katakan. Apa alasannya?""Sebelum mengatakan alasan ku, bisakah kamu menjawab pertanyaan ku dahulu?" Bagas menatap Daren dengan tatapan menyelidik."Apa kamu menyukai wanita itu?"Daren terdiam lama sebelum akhirnya menggelengkan kepalanya pelan."Aku hanya kagum dan prihatin atas apa yang menimpanya," ucapnya."Kalau begitu kamu tidak perlu semarah ini 'kan?" pancing Bagas.Daren melempar
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny