"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.
***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduanya tiba di ruang rawat."Aku hanya keluar sebentar untuk menghirup udara segar."Aileen naik ke atas ranjang, memijit pelipisnya yang di tempel plaster luka. Kepalanya mendadak pusing karena terus mendengar pertanyaan yang sama."Akh." keluhnya pelan saat jarum infus kembali menusuk lengannya.Daren melirik singkat tanpa berniat menghentikan gerakannya memasang selang infus di lengan Aileen. "Besok pagi, kamu harus ke bagian saraf untuk mengecek luka di tanganmu," ujarnya.Dia menarik naik selimut hingga menutupi tubuh Aileen dan hanya menyisakan kepalanya. "Jangan berpikir untuk kabur lagi," tegas Daren.Aileen memutar bola matanya, jengah. Karena sepanjang perjalanan Daren terus mengomelinya. Tapi, Aileen baru menyadari satu hal setelah akal sehatnya kembali, dokter muda itu sangat tampan."Oh ya, tadi ada seorang pemuda mencari mu.""Siapa?"Daren mengangkat bahu. "Katanya, dia mencari kakaknya.""Denis?" gumam Aileen tidak yakin. "Buat apa dia ke sini?"Aileen menyibak selimut lalu bangkit dari ranjang. Tapi Daren cepat menahan langkahnya."Istirahatlah. Aku akan memberi tahunya kalau kamu sudah ditemukan dan sedang beristirahat," pungkas Daren."Tapi, aku harus menemuinya."Daren melirik arloji di lengan kanannya. "Sudah terlalu malam untuk menerima kunjungan. Kamu bisa membuat pasien lain terganggu.""Besok pagi, adikmu bisa kembali setelah kunjungan dokter," putus Daren. Memaksa Aileen masuk ke balik selimut."Selamat malam."***Daren keluar dari bangsal Melati, menuju ruang operasional dimana pemuda bernama Denis menunggunya, sementara Daren dan para petugas rumah sakit mencari keberadaan Aileen."Dokter Daren," sapa salah satu petugas begitu Daren masuk."Maaf, Pak. Saya mau bertemu pemuda tadi.""Oh, dia disana dok."Daren mengangguk paham dan menghampiri pemuda yang tengah duduk di sudut ruangan, menekuk tubuhnya hingga menyentuh lutut yang dinaikkan ke bibir kursi."Hai," sapa Daren. "Namamu, Denis?"Denis mengangkat kepalanya dan mengangguk kecil."Aileen sudah ditemukan dan dia sekarang sedang beristirahat."Wajah Denis kembali bersemangat. "Apa dia baik-baik saja?" Tanyanya cepat.Daren mengangguk. "Berapa umurmu?""Dua puluh dua tahun.""Baiklah. Bisa kita bicara? Ada yang harus saya diskusikan dengan wali pasien."Denis mengikuti Daren ke ruang prakteknya."Ada apa, dok? Apa yang terjadi pada kakak saya?""Duduklah."Daren duduk dibalik meja kerjanya lalu mempersilahkan pemuda itu duduk dihadapannya."Denis, apa saudari Aileen menceritakan alasannya mencoba bunuh diri?"Denis menggeleng. "Tidak. Kak Ai tidak pernah membicarakan apapun pada kami. Tapi aku tahu alasannya," sesalnya."Berarti anda tahu tentang kanker perut yang diidap pasien Aileen?" Tanya Daren hati-hati."Kanker?"Alis Daren saling bertaut begitu melihat reaksi kaget di wajah Denis. "Anda, tidak tahu?"Denis menggeleng cepat. "Tidak, Dok. Saya pikir Kak Ai mencoba bunuh diri karena Ibu."Daren mendesah dalam. 'Ternyata wanita itu punya banyak alasan untuk bunuh diri,' batinnya."Apa penyakit Kak Ai berbahaya, dok?""Apa dia bisa disembuhkan?" Buru Denis cemas."Ya. Meskipun dari pemeriksaan menunjukkan hasil kanker perut stadium dua, tapi pasien harus segera melakukan pengobatan dan kemoterapi untuk mencegah penyebaran sel kanker lebih cepat," jelas Daren."Apa ini penyebab Kak Ai mencoba bunuh diri?" gumam Denis sedih.Daren menatapnya kasihan. "Denis, sekarang lebih baik kita fokus dengan pengobatan Aileen.""Apa yang harus saya lakukan, dok?""Saran saya, jauhkan pasien dari stres berlebih karena tekanan yang berat bisa membuat mentalnya lemah sehingga mudah melakukan hal-hal berbahaya."Denis mengangguk pelan meskipun hatinya tidak mampu untuk berjanji.***"Hai."Aira tersenyum manis sambil melambaikan tangan begitu melihat Aileen membuka mata. Sesaat ia mengagumi iris berwarna kelabu dengan bulu mata lentik dan panjang yang menutupinya."Jangan mengganggunya," hardik Mardiana."Kenapa kalian para hantu sangat suka mengganggunya." Mardiana mengibaskan tangannya, mencegah Aira mendekati ranjang."Ini semua gara-gara kamu, Rachel." Tudingnya pada gadis yang duduk di pojok ruangan dengan wajah cemberut."Kenapa ada hantu teriak hantu," gumam Rachel bersungut-sungut. Sedari tadi dia terus mendengarkan omelan Mardiana yang menuduhnya sebagai penyebar gosip.Melihat perdebatan Mardiana dan Rachel, Aira mengulum senyum geli di bibirnya lalu beralih pada Aileen yang masih memijat pelipisnya."Apa kamu merasa lebih baik?"Aileen mendesah pelan. "Pergilah, kalian tidak akan mendapatkan apapun dari ku.""Anak ini selalu saja mengusir orang lain. Padahal aku belum mengatakan apapun," keluh Rachel.Aileen meliriknya. "Apa yang kamu inginkan?" tanyanya seolah memancing antusias Rachel."Aku mau kamu memberikanku-""Tidak!" Potong Aileen. "Aku tidak akan membeli atau melakukan apapun untuk kalian," tegasnya.Rachel berdecak kesal. "Lalu kenapa bertanya?!" Lirihnya.Aileen menggosok perutnya, ia menekan turun rasa mual yang tiba-tiba dirasakannya. Namun gerakan aneh dari seseorang yang berdiri di samping ranjang mengusik rasa penasarannya."Apa yang kamu lakukan?" Alihnya pada Aira yang sedari tadi mengayunkan tangan untuk menyentuh kaki Aileen tapi sia-sia karena tangannya hanya menembus ruang kosong."Berhenti melakukan hal bodoh.""Ta-tapi semalam, aku bisa menyentuhmu," ucap Aira sedih.Dia hanya ingin memastikan dengan menyentuh benda apapun disekitarnya tapi setelah insiden semalam tidak ada yang berubah. Aira tetap hanya menyentuh udara hampa."Itu hanya, UKH!" Aileen menarik lepas jarum infus di lengannya hingga darah berceceran di atas seprai putih, dia berlalu cepat ke kamar kecil."UKH!" Cairan asam bergerak naik hingga kerongkongan. Membuat Aileen memuntahkan apapun yang masih tersisa di dalam perutnya."Kamu kenapa?" Tanya Aira panik.Dia dan dua wanita lainnya menatap Aileen kasihan. Ini kedua kalinya mereka melihat Aileen memuntahkan makanannya.Aileen berkumur di wastafel lalu tertatih menunju ranjangnya lagi."Kamu baik-baik saja, Nak? Perlu aku panggilkan suster?" Tanya laki-laki paruh baya yang menjaga istrinya di ranjang sebelah.Aileen menggeleng pelan lalu naik ke ranjang. Merebahkan tubuh dan menutupi wajahnya dengan lengan. Dia tahu apa yang sedang terjadi pada tubuhnya. Apa yang dilihatnya dahulu saat merawat Ayah, seolah terjadi padanya sekarang.Airmata Aileen mengalir dari sela lengan, membasahi bantalnya. Ketiga sosok yang berdiri disamping ranjang hanya dapat menatapnya kasihan.***"Untunglah, sayatan pisaunya tidak sampai melukai urat nadi. Tapi kamu tetap harus berhati-hati. Jangan mengangkat barang berat dan memaksakan diri," pesan dokter."Syukurlah, Kak."Aileen melirik Denis disampingnya. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang membuat adik tirinya itu muncul di ruang rawatnya sepuluh menit yang lalu. Dan sekarang, dia mengikuti bahkan mengantar Aileen untuk melakukan kontrol di ruangan Ortopedi untuk memastikan kondisi tangannya."Anda wali pasien?" tanya dokter.Denis mengangguk cepat. "Iya, dok.""Tolong diperhatikan kondisi pasien, termasuk asupan nutrisinya. Dari rekam medis yang saya terima, pasien mengidap Malagizi atau yang lebih kita kenal dengan kurang gizi. Untuk mempercepat penyembuhan ada baiknya pasien istirahat dengan cukup dan makan makanan bergizi." Pesan dokter dan menyerahkan berkas rekam medis pada wali pasien.Denis melirik Aileen kasihan. Dia ingin menangis bila mengingat apa yang sekarang dialami Kakaknya. Selama ini wanita itu mati-matian mencari uang tapi Bapak dan Ibu selalu datang merampas uangnya setiap bulan."Kak, mulai hari ini kamu lebih baik fokus dengan pengobatan mu. Kamu tidak perlu memikirkan apapun, aku akan bekerja. Jadi kamu tidak perlu memikirkan tentang uang," ujar Denis yakin. Ia mendorong kursi roda dengan keyakinan besar."Jangan bicara yang aneh-aneh. Sebentar lagi kamu harus fokus dengan skripsi. Lebih baik pakai semangat mu itu untuk menyelesaikan kuliah secepat mungkin," tandas Aileen."Aku mungkin tidak akan bertahan selama itu," lirihnya.*****Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
"Ai, aku tahu kamu orang yang ketus dan dingin, tapi aku nggak nyangka hati kamu sekeras ini.""Padahal kamu tahu, saat ini Bagas rapuh. Dia butuh pertolongan kamu. Paling tidak, kamu bisa menyemangatinya, menghiburnya."Aileen mengalihkan pandangannya dari bayangan samar yang berdiri di balik tubuhnya.[BRUK ...]"Ai!"Aira menyongsong tubuh Aileen yang luruh ke lantai. "Ai, kamu kenapa?" Buru Aira. Ia melihat Aileen menekan perutnya sambil meringis kesakitan. "Sakit banget ya?"Akh." Rintih Aileen. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit ini segera berlalu. "Apa yang harus aku lakukan?"Aileen melambaikan tangannya lalu menepuk lantai. Meminta Aira untuk tenang. Saat ini ia butuh ketenangan untuk dapat meredam gelombang rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya."Aira, ma-maaf," ucap Aileen terbata. "Nggak Ai. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu, ini juga berat untukmu."Airmata Aira tak terbendung. Ia mengguncang tubuh Aileen, berharap dapat menyentuhn
"Kak Ai, darimana kita bisa mendapatkan uang besok untuk membayar mereka?" Cicit Denis.Aileen menatap Denis sesaat sebelum melempar pandangannya ke luar jendela.'Paman Barito, hanya dia satu-satunya harapan terakhir,' batin Aileen."Denis, bisa antar aku ke suatu tempat?""Mau kemana, Kak?""Nanti juga kamu tahu," ucap Aileen datar.***[Tok ... Tok ...]Pintu terbuka, seorang wanita keluar dari rumah tipe sederhana. Wanita itu terkejut begitu melihat Aileen berdiri di depan rumahnya."Ai?"Aileen tersenyum tipis. "Apa kabar, Tante Mira?" Sapa nya sambil mencium tangan wanita paruh baya itu."Baik, Nak. Kamu apa kabar?""Baik Tante."Mira melirik pemuda yang berdiri di belakang keponakannya. "Siapa? Pacar?""Denis," sahut Aileen sambil meringis lucu.Mira terkekeh. "Udah gede ya?""Ayo masuk, Nak Denis," ajak Mira. "Duh, terakhir kali Tante liat kamu masih merangkak."Denis tersipu malu-malu."Denis, ini istri dari Paman Barito. Kakak Ayahku," jelas Aileen."Ayo duduk, Nak. Pamanmu s
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny