Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya.
Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat.'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus makan. Supaya kesehatan mu membaik dan bisa segera keluar dari rumah sakit," bujuk Soraya, adik Aira."Kak Aira pasti sedih bila melihatmu seperti ini," lanjutnya. Mencoba memancing ekspresi di wajah pria tampan itu.Benar saja, begitu mendengar nama Aira disebut, Bagas langsung tertarik untuk menatap lawan bicaranya."Aira." gumam Bagas. "Seandainya aku tidak memaksa Aira ikut bersamaku. Pasti saat ini dia ada disini, menemaniku. Dia akan tetap hidup." Ratapnya pilu.Penyesalan di hati Bagas amat sangat besar. Malam itu harusnya menjadi malam indah bagi keduanya. Seandainya saja, Bagas tidak memaksa istrinya untuk ikut ke pesta perjamuan kolega perusahaan dan seandainya saja rem mobilnya tidak tiba-tiba blong, pasti saat ini Aira masih disini, mendampinginya.Soraya mengelus pundak Bagas. "Jangan terus menyalahkan dirimu. Relakan kepergian Kak Aira, biarkan dia tenang disana."Bagas melipat tubuhnya, menangkupkan wajahnya di balik lengan. Rasa kehilangan ini sangat sulit untuk diabaikan, sama seperti rasa cintanya."Bagas, aku disini. Aku selalu disamping mu. Seandainya kamu bisa melihat atau mendengar suaraku," lirih hati Aira.***"Kenapa kalian selalu berkumpul di tempat ini setiap pagi? Apa tidak ada hal lain yang bisa kalian lakukan?" Omel Mardiana begitu melihat Aira dan Rachel berebut masuk ke ruang rawat Aileen."Bu Mar, bukankah anda melakukan hal yang sama," protes Rachel. "Kami hanya ingin melihat kondisinya.""Berhenti berkelit. Aku tahu apa tujuan kalian yang sebenarnya," sergah Mardiana. "Jangan meminta hal-hal aneh padanya. Kalian bisa lihat sendiri, kondisinya tidak baik.""Tante, apa Ai sangat kesakitan," tanya Aira. Dia bisa melihat kerutan di dahi Aileen setiap kali dia mengerang dalam tidurnya."Dia anak yang malang. Setelah semua kesusahan yang dialaminya, tuhan masih memberinya penyakit mengerikan ini.""Tidak adakah yang menjenguknya?""Mana mungkin! Bocah gila ini selalu kasar dan bermulut pedas yang dia pedulikan hanya uang," serobot Rachel sebelum Mardiana sempat membuka mulutnya.Mardiana menggelengkan kepala melihat tingkah Rachel. Wanita itu memiliki perasaan sentimental karena Aileen selalu menolak permintaannya."Dia hidup sebatang kara. Ayah sudah tiada dan Ibu yang tidak pernah peduli padanya. Pemuda yang kemarin menjaganya adalah saudara tiri," jelas Mardiana."Tapi harus kuakui. Hidup bocah gila ini sangat menyedihkan. Bahkan aku tidak ingin berdebat dengannya tentang hal itu," ujar Rachel. Dia membuat gerakan mengusap kening Aileen, mencoba untuk menyingkirkan anak rambut yang menusuk masuk ke dalam matanya."Kalau hal yang sama terjadi pada ku, bahkan aku tidak ingin hidup selama ini," gumamnya kasihan.***Aira melompat keluar dari dalam lift saat pintu kotak besi itu terbuka perlahan. Ia tersenyum tipis begitu melihat sosok yang sedari tadi dicarinya. Sesaat Aira mengangumi wanita berambut sebahu itu. Cerita hidup Aileen yang didengarnya dari Mardiana dan Rachel membuat Aira terharu sekaligus kagum.Aira telah melihat banyak kemalangan semasa hidupnya tapi sosok tegar seperti Aileen jarang ditemuinya. Aileen lahir tanpa mengenal kasih sayang seorang Ibu. Di usia belia, dia bersekolah sekaligus mencari nafkah dan merawat Ayah yang menderita kanker perut.Setelah Ayahnya meninggal, Aileen hidup terlunta-lunta di jalanan dan dia masih dihadapkan pada seorang Ibu serta Ayah tiri yang mengalihkan utang judi mereka pada wanita malang itu. Bahkan kini, kegigihan Aileen kembali di uji, dia harus melawan penyakit yang sama seperti yang Ayahnya derita, kanker perut."Hai." sapa Aira.Aileen meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangannya, membelah gelapnya malam. Meski diabaikan, Aira masih bersyukur Aileen tidak mengusirnya."Kamu suka sekali dengan tempat ini?"Aileen mendesah pelan. "Tidak juga.""Lalu? Kenapa kamu selalu menghilang untuk ke tempat ini?" Aira berpaling cepat. Sekilas ingatan membuatnya takut. "Jangan bilang kamu mau lompat lagi?"Aileen terkekeh. "Buat apa? Tanpa bunuh diri pun, aku akan segera mati," sahutnya dengan nada riang seolah apa yang dikatakannya sebuah lelucon."Bisakah kamu berhenti tertawa seperti itu?"Aileen berpaling. "Seperti apa?""Seperti tidak ingin hidup." Aira menatap bola mata sehitam pualam, mencari kejujuran disana. "Apakah kamu tahu, Ai? Hidup itu hanya sekali dan kamu harus mensyukurinya.""Bersyukur?" balas Aileen. Ia meluruskan posisi duduknya. "Selama ini, tidak ada sedetik pun dalam hidup ini yang bisa menuntut ku untuk bersyukur," tandasnya.Aira tahu apa yang di maksud Aileen. "Mungkin waktu yang belum memihak pada mu, Ai.""Yah, mungkin." Aileen menghela nafas panjang. "Lalu, apa yang terjadi padamu?""Aku?" Aira membulatkan matanya. Senang karena Aileen mulai menanggapinya."Kenapa kamu mati? Di lihat dari penampilan mu, kamu bukan orang yang kesulitan ekonomi," selidik Aileen.Dia memperhatikan penampilan Aira, baju yang dikenakannya terkesan mewah. Dress berbahan satin halus kualitas tinggi, membentuk siluet ramping ditubuhnya. Di kakinya, melekat flat shoes berukir lambang dari merek impor yang terkenal mahal dan yang paling menyolok adalah kalung berlian biru, yang menambah kesan elit di penampilan Aira."Tidak sulit tapi juga tidak berlebihan," ungkap Aira. Pipinya bersemu merah karena Aileen terus memperhatikan dari kaki hingga ujung rambutnya dengan seksama."Katakan itu setelah kamu melepas kalung berlian di lehermu," sindir Aileen.Aira mendengus pelan. "Apa artinya kekayaan ini kalau aku tidak bisa bersama lagi dengan suamiku," lirihnya kecewa."Suamimu mati juga?" Seru Aileen.Aira mendelik. "Aileen! Tidak bisakah kamu bertanya dengan lebih halus?""Untuk apa? Toh, artinya sama saja."Aira mendesis. "Pantas para hantu lain menyebutmu bocah gila.""Jadi? Dia masih hidup atau sudah mati?" tanya Aileen mengabaikan cercaan hantu cantik itu."Bagas masih hidup dan dia ada di rumah sakit ini."Aileen mengangguk paham. "Jadi ini alasanmu masih ada di rumah sakit ini?""Ya. Aku tidak ingin meninggalkannya." Aira mengusap sudut matanya."Siapa namamu?"Aira mendesis geram. "Dari awal pertemuan, aku sudah mengatakan, namaku A-I-R-A," ejanya."Ya, ya. A-I-R-A," ulang Aileen. Sengaja memancing emosi hantu cantik itu."Aku tidak berniat mengurusi masalah mu tapi kamu harus tahu, dunia manusia dan hantu itu berbeda. Jadi, meskipun kamu memaksakan diri, kalian tidak akan pernah bisa bersatu lagi.""Aku tahu." Aira menghapus airmata yang mengalir di pipinya. "Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya sebelum pergi dari dunia ini.""Dia tidak akan bisa mendengar mu. Jadi tidak usah membuang-buang waktu dan tenaga."Aileen beranjak dari duduknya, menyeret tiang infus bersamanya."Tunggu!""Apa lagi?" Sergah Aileen. Dia berpaling untuk mendengar apa lagi yang ingin dibicarakan hantu itu."Bisakah kamu membantuku?" Aira mengatupkan telapak tangannya, memohon pertolongan.Aileen menatap tubuh samar itu tajam. "Ini alasanku tidak ingin mendengar apapun. Kalian selalu berharap aku mengabulkan permintaan terakhir yang konyol," hardiknya marah."Tidak, tidak!" Aira menggeleng cepat. "Aku tidak akan meminta hal yang aneh atau berbahaya. Aku hanya ingin kamu menyampaikan pesan terakhir ku. Itu saja.""Aira, apa kamu pikir suamimu akan bahagia dan menangis haru begitu mendengar kata-kata terakhir dari mu?" Nada suara Aileen berubah tajam dan menusuk."Tidak Aira! Dia akan menganggap ku gila," lanjutnya."Tapi Ai—""Seharusnya aku tidak terpengaruh," gumam Aileen.Walaupun hanya sesaat, dia mulai merasa nyaman bicara dengan hantu itu, meski kembali harus menelan pil pahit karena para hantu selalu mencari cara untuk memanfaatkannya.Aileen kembali memasang wajah dingin. "Jangan pernah muncul di hadapanku lagi," ucapnya dan berbalik meninggalkan Aira yang masih berlutut dengan wajah berurai airmata.*****Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
"Ai, aku tahu kamu orang yang ketus dan dingin, tapi aku nggak nyangka hati kamu sekeras ini.""Padahal kamu tahu, saat ini Bagas rapuh. Dia butuh pertolongan kamu. Paling tidak, kamu bisa menyemangatinya, menghiburnya."Aileen mengalihkan pandangannya dari bayangan samar yang berdiri di balik tubuhnya.[BRUK ...]"Ai!"Aira menyongsong tubuh Aileen yang luruh ke lantai. "Ai, kamu kenapa?" Buru Aira. Ia melihat Aileen menekan perutnya sambil meringis kesakitan. "Sakit banget ya?"Akh." Rintih Aileen. Ia memejamkan matanya rapat-rapat, berharap rasa sakit ini segera berlalu. "Apa yang harus aku lakukan?"Aileen melambaikan tangannya lalu menepuk lantai. Meminta Aira untuk tenang. Saat ini ia butuh ketenangan untuk dapat meredam gelombang rasa sakit yang tiba-tiba menyerang seluruh tubuhnya."Aira, ma-maaf," ucap Aileen terbata. "Nggak Ai. Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu, ini juga berat untukmu."Airmata Aira tak terbendung. Ia mengguncang tubuh Aileen, berharap dapat menyentuhn
"Kak Ai, darimana kita bisa mendapatkan uang besok untuk membayar mereka?" Cicit Denis.Aileen menatap Denis sesaat sebelum melempar pandangannya ke luar jendela.'Paman Barito, hanya dia satu-satunya harapan terakhir,' batin Aileen."Denis, bisa antar aku ke suatu tempat?""Mau kemana, Kak?""Nanti juga kamu tahu," ucap Aileen datar.***[Tok ... Tok ...]Pintu terbuka, seorang wanita keluar dari rumah tipe sederhana. Wanita itu terkejut begitu melihat Aileen berdiri di depan rumahnya."Ai?"Aileen tersenyum tipis. "Apa kabar, Tante Mira?" Sapa nya sambil mencium tangan wanita paruh baya itu."Baik, Nak. Kamu apa kabar?""Baik Tante."Mira melirik pemuda yang berdiri di belakang keponakannya. "Siapa? Pacar?""Denis," sahut Aileen sambil meringis lucu.Mira terkekeh. "Udah gede ya?""Ayo masuk, Nak Denis," ajak Mira. "Duh, terakhir kali Tante liat kamu masih merangkak."Denis tersipu malu-malu."Denis, ini istri dari Paman Barito. Kakak Ayahku," jelas Aileen."Ayo duduk, Nak. Pamanmu s
Aileen merintih pelan, menyeret langkahnya tertatih, menyusuri lorong rumah sakit. Pandangannya berpindah dari satu sudut ke sudut lainnya untuk mencari sosok yang sangat dibutuhkannya saat ini."Ai, apa yang kamu cari?" Mardiana menghampiri Aileen yang sedari tadi mengusik rasa penasarannya."Bu Mar, lihat Aira?""Aira?" Mardiana mengernyitkan keningnya, bingung."Semenjak suaminya diperbolehkan pulang, wanita itu tidak pernah lagi muncul disini."Aileen berdiri, menyandarkan tubuhnya ke dinding. 'Kemana aku harus mencari wanita itu?' Pikir Aileen."Kamu mau ketemu sama Aira?"Aileen mengangguk ringan. "Ya, ada sesuatu yang harus aku katakan padanya.""Kamu ke rumah suaminya saja. Aira pasti ada disana," usul Mardiana.'Ya, Aira pasti ada di sekitar suaminya,' batin Aileen membenarkan."Terima kasih, Bu Mar. Aku pergi dulu."Aileen melanjutkan langkahnya, menuju pintu keluar rumah sakit. Begitu mencapai pintu lobi, sebuah tangan menangkap dan menariknya kembali."Apa yang kamu lakuka
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny