Aileen menyeret langkahnya tertatih menyusuri trotoar di sepanjang jalan. Ia tak tahu kemana arah akan membawanya, bahkan dia juga tidak mengukur berapa jarak yang telah ditempuhnya semenjak keluar dari rumah sakit.
Pikiran Aileen kosong, hanya kata-kata dokter yang terus berputar layaknya rollercoaster. Membuatnya mual dan ingin muntah."Aileen Andita, anda mengidap kanker perut stadium dua. Tidak terlalu buruk tapi juga tidak baik. Stadium berapapun akan berbahaya bila anda tidak segera menjalani pengobatan dan terapi," jelas sang dokter.Aileen tak banyak bereaksi. Dia tahu seperti apa hidup seorang penyintas kanker perut. Dia melihat dengan kedua matanya, bagaimana Ayah bertarung melawan ganasnya kanker perut yang menggerogoti tubuhnya. Hari demi hari yang dilalui Ayah penuh dengan rintih kesakitan, hingga pada akhirnya dia harus menyerah dan meninggal di meja operasi.'Ayah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Aileen takut,' lirih Aileen dalam hati.***"Ah, akhirnya kamu pulang juga."Aileen menatap sepasang suami istri yang menyambutnya dengan tatapan kesal."Kemana saja sih? Bapak nyariin kamu ke kantor tapi mereka bilang kamu udah nggak kerja."Aileen melirik tajam pria yang berdiri tidak jauh dari posisinya."Apa lagi?" tanyanya ketus."Oh, Bapak mau mengajak kamu berbisnis."Aileen terkekeh sinis. "Hah, bisnis?""Ya. Jadi teman Bapakmu punya—""Cukup," potong Aileen dengan suara bergetar."Tapi, Ai—""CUKUP!"Nani dan Bono tersentak kaget karena Aileen tiba-tiba berteriak histeris."Aku bilang cukup. Jangan menganggu aku lagi. Sampai kapan kalian akan menganggu hidupku?" Sentak Aileen. Kali ini ia benar-benar tidak sanggup lagi terbebani oleh masalah yang dibawa oleh Ibu dan Ayah tirinya."Sampai kapan? Apa Ibu akan berhenti kalau aku mati?"Nani mundur beberapa langkah. Takut dengan sikap yang ditunjukkan Aileen. Selama ini, semarah apapun gadis itu, dia hanya akan bersikap dingin dan ketus tapi tidak pernah berteriak kasar apalagi sampai bertingkah seperti orang gila."Ka-kamu kenapa?""Ibu mau aku mati 'kan?" Aileen berlari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa pisau dapur ditangannya."Ai-Aileen ..." Nina memeluk lengan Bono. Ia takut pada putrinya yang bertingkah seperti kerasukan setan."Hei, jangan main-main dengan benda tajam," hardik Bono.Aileen tertawa panjang dan melengking. "Main-main?""Kalian mengambil uang kematian dan rumah yang ditinggalkan Ayah untuk ku. Gaji bulanan dan pesangon. Bahkan sekarang kalian mau menghisap darahku juga?" tudingnya."Ai, tenanglah. Buang pisau itu, kita bicara baik-baik," sela Nina terbata."Tidak! Tidak ada yang harus kita bicarakan. Semuanya sudah selesai, kalian berhasil mengambil semuanya."Dengan gerakan cepat Aileen mengiris pergelangan tangannya. Darah memercik keluar dari balik nadi yang terkoyak."Hahaha." Ia tertawa pilu. Menertawakan takdir dan nasib hidupnya yang berakhir dengan cara yang begitu tragis.***"Wow, sudah lama aku tidak melihat gadis ini," seru wanita muda berwajah blasteran, keturunan campuran Indonesia—Belanda. Dia memajukan wajahnya lebih dekat untuk memastikan wanita yang terbaring di ranjang rumah sakit adalah orang yang dikenalnya."Aku lupa. Siapa namanya?""Ai, Aileen. Kita biasa memanggilnya bocah gila," sahut wanita paruh baya yang duduk di sudut ruangan. Tangannya sibuk memutar dua sumpit, memintal gulungan benang menjadi sebuah syal."Ya, ya. Bocah gila." Wanita blasteran yang dipanggil dengan sebutan Rachel itu mengangguk cepat. "Ah, lihat, Bu Mar! Dia sadar."Mardiana segera meletakkan sulamannya dan mendekati ranjang. "Aileen," panggilnya.Aileen mengerang pelan. Ia mencoba mengangkat tangannya, tapi gagal. Rasa sakit yang menyengat segera menyerang lengannya."Jangan mengangkat tanganmu. Itu sudah tak berguna," ejek Rachel."Kamu sangat bodoh, mengapa memotong tangan? Itu menyakitkan! Masih banyak cara mati yang lebih mudah. Kenapa kamu tidak melompat dari gedung tinggi-""Hush!" Mardiana mendelik kesal, meminta Rachel segera menghentikan ocehannya. "Kamu membuatnya kesakitan.""Hmm, akh." erang Aileen lebih keras. "Sakit," rintihnya dengan suara serak."Bagaimana ini? Dia kesakitan. Sepertinya efek obat bius sudah habis. Cepat panggilkan dokter dan suster."Rachel melongo, bingung dengan perintah Mardiana. 'Bagaimana cara ku memanggil mereka?' pikirnya."Eh, itu dokter!" Seru Rachel senang begitu rombongan dokter bersama dua suster menghambur masuk dan langsung menuju ranjang Aileen."Suntikan satu dosis Lidocaine." Perintah sang dokter. Aileen berangsur tenang begitu suster selesai menyuntikan cairan berwarna keruh ke dalam botol infus."Syukurlah," desah Mardiana lega."Pantau terus kondisinya." Perintah sang dokter. "Oh ya, mana keluarganya?"Suster menggelengkan kepala. "Setelah saya meminta mereka ke kasir untuk membayar biaya administrasi, mereka tidak terlihat lagi."Dokter mendesah pelan, menatap wanita yang terbaring di ranjang dengan tatapan kasihan. "Ya sudah, kabari saya saat pasien sadar," pamitnya."Bukan hanya wajahnya yang tampan tapi hatinya juga baik. Calon suami idaman." Puji Rachel. Matanya tak lepas dari pintu meski sang dokter dan suster tak lagi terlihat."Kasihan kamu, Nak. Apa lagi yang dilakukan wanita itu padamu?" Mardiana menepuk pelan punggung tangan Aileen.***"Bu, kenapa?" tanya Denis.Denis memperhatikan gerak gerik Ibunya yang terus bergerak dengan wajah gelisah. Dia menepuk pelan lengan Ibunya."Ibu lagi mikirin apa sih? Dari tadi Denis panggil tapi Ibu kayak nggak fokus."Nani menatap Denis ragu. "Den.""Kenapa, Bu?""I-itu," Nani ragu untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia takut Denis akan membencinya. "Ai-Aileen."Denis mengerutkan keningnya mendengar nama saudara tirinya. "Ada apa dengan, Kak Ai? Ibu kesana lagi?""Ba-bapak mu maksa Ibu kesana," ucap Nani terbata. Dia tahu putranya akan marah bila tahu apa yang terjadi pada Aileen. Denis melarang Nani untuk menemui Aileen untuk alasan apapun."Bu, Kak Ai kenapa?" Buru Denis tak sabar. "Bapak mukul, Kak Ai?" Tanyanya panik tapi tak lama dia kembali berpikir.'Tidak Mungkin, Bapak takut pada Kak Ai. Setelah kejadian mengerikan dimana Kak Ai menghantam kepala Bapak dengan batu bata, lima tahun yang lalu.'"Bu, Kak Ai kenapa?" Buru Denis."Ai, mencoba bunuh diri," cicit Nani takut."Apa?!" Denis terkejut. Dia meraih kedua bahu Ibunya, mengguncangnya cepat. "Ibu, jangan bercanda. Kenapa Kak Ai bunuh diri. Apa lagi yang Ibu lakukan?"Nani menggeleng kuat. "Ibu hanya memintanya untuk berinvestasi pada bisnis Bapak mu, tapi dia mengamuk dan mengiris tangannya," aku-nya.Denis meremas rambutnya geram. "Di mana? Di mana Kak Ai?""Rumah Sakit Setia Budi."Denis segera meraih jaket dan kunci sepeda motornya. Sebelum keluar dari pintu, pemuda itu berbalik menatap Ibunya. "Aku tidak akan memaafkan Ibu bila terjadi sesuatu pada Kak Ai."***Siluet keemasan dari cahaya senja yang mengintip dari balik sela gorden membiaskan tanpa hambatan ke dalam ruangan. Jeruji yang terpasang di jendela membuat cahaya yang masuk membentuk bayangan bergaris, menambah efek dramatis.Wanita cantik duduk membelakangi jendela. Matanya menatap lurus wajah suaminya yang masih terbalut perban dan menggunakan masker yang terhubung pada tabung oksigen dan CPAP—alat berbentuk kotak yang memantau kondisi pasien.Hatinya meringis pilu. "Sampai kapan kamu tidur, Sayang? Aku kangen," lirihnya sambil menggenggam erat tangan pria yang sangat dicintainya.***"Hei, kalian tahu? Ada pasien yang bisa melihat kita."Mardiana melirik Rachel tajam, mengirimkan pertanyaan bernada ancaman, 'pasti kamu yang menyebarkan gosip.'Rachel melempar pandangannya ke arah lain, berusaha menghindari Mardiana."Apa dia mau membantu kita?" tanya salah satu pria yang menyeruak dengan penuh semangat dari balik kerumunan.Rachel menggeleng cepat, menanggapi beberapa pertanyaan dari kaum tak kasat mata. "Tidak akan. Bocah gila itu sangat dingin dan keras kepala.""Ah, padahal aku ingin meminta pertolongannya.""Di mana dia?" tanya suara lainnya, yang kali ini terdengar asing.Mardiana dan Rachel melirik si anak baru."Oh, dia di ruang-""Apa yang kamu inginkan?" Potong Mardiana sebelum Rachel sempat menyebutkan nama ruangan dimana Aileen di rawat."Tidak. Hanya ingin bicara.""Tidak ada yang boleh mendekatinya. Dia harus banyak istirahat untuk memulihkan kesehatannya," tegas Mardiana.Orang-orang yang berkumpul tidak membantah perintah Mardiana, karena wanita tua itu adalah orang yang paling lama berada di rumah sakit ini sekaligus pemimpin diantara mereka."Bubar," seru Mardiana membuat kerumunan itu seketika kocar-kacir menghilang bahkan beberapa dari mereka menembus lapisan dinding."Rachel, jangan menyebarkan berita apapun tentang Aileen. Gadis itu tengah terluka dan sakit, dia butuh istirahat," tegas Mardiana.Rachel mengangguk pasrah dan menyeret langkahnya keluar dari ruangan.*****Aileen membuka matanya perlahan. Cahaya temaram yang masuk dari balik jendela kaca menunjukkan bila hari telah berganti malam. Aileen mengedarkan pandangannya, meneliti ruangan dimana dia berbaring. 'Di mana aku?' batinnya penasaran. 'Apa aku sudah meninggal?'Begitu aroma alkohol menyengat, menyergap hidungnya, Aileen segera tahu, dimana ia saat ini."Ah, aku benci rumah sakit," gumamnya.Aileen berusaha mengangkat tangan kirinya, beberapa detik kemudian dia meringis kesakitan. Aileen melirik perban yang dibebatkan di pergelangan tangan kirinya. Ingatannya kembali mengulang perbuatan nekad yang dilakukannya. Dengan bertumpu pada tangan lainnya, Aileen berhasil duduk. Perlahan dengan hati-hati dia menarik jarum infus di lengannya. "Akh." rintihnya begitu jarum tipis itu tercabut.Darah mulai merembes tapi Aileen segera menekannya untuk menghentikan cairan merah itu terus keluar lebih banyak. Aileen menekuk tangannya yang sakit, mengaitkannya pada tangan lain. Ia turun dari ranjang da
"Sebagian dari kesempurnaan di dunia adalah memiliki keluarga yang bahagia,"— Bianca Lazuardi.***"Aileen Andita! Apa yang kamu lakukan disini?"Daren tiba-tiba muncul di depan Aileen dan Aira. Wajahnya merah dengan napas yang terengah-engah, menatap Aileen tajam."Daren?"Aileen berpaling untuk melihat orang disampingnya yang ternyata mengenal dokter muda itu, Daren Hermawan."Aileen!" panggil Daren.Aileen mengalihkan pandangannya kembali menatap sang dokter. "Oh, aku hanya mencari angin," kilahnya."Ayo masuk." Daren melepas jas dokter yang dikenakan lalu menyampirkannya ke bahu Aileen. "Apa yang dilakukan pasien di tempat sedingin ini," omelnya."Dan lagi, tanganmu belum boleh digerakkan. Kamu mau tanganmu cacat?" Daren menggiring Aileen menuju lift. Meninggalkan Aira yang tersenyum menatap keduanya."Selamat malam, Aileen," ucap Aira sambil melambai pada Aileen yang sempat meliriknya sebelum pintu lift tertutup."Apa yang sebenarnya kamu lakukan disana?" Ulang Daren begitu keduan
Aira menatap wajah Bagas dari kejauhan. Pagi ini dia dikejutkan oleh kabar bahwa suaminya telah sadar. Aira sangat senang, langkahnya cepat menyusuri lorong rumah sakit untuk bisa melihat wajah yang dirindukannya. Namun kebahagiaan hanya sesaat karena wajah itu tak lagi sama. Tatapan hangat yang biasanya terpancar dari binar matanya berubah kosong dan dingin, tidak bersemangat. 'Hidup seolah mati, bagai cangkang tak bertuan.'Selama dua puluh menit berlalu, pria itu hanya menatap pemandangan dari balik jendela lantai dua. Tanpa ada yang tahu, apa dan dimana tatapannya berlabuh. Bagas tidak menyentuh makanan atau minum setetes pun. Bahkan hingga saat ini, dia hanya mengucapkan satu kata dari bibirnya yaitu Aira—nama istrinya."Bagas, apa yang sedang kamu pikirkan?" batin Aira lirih."Bagas." Seorang wanita melewati tubuh Aira, langkahnya mengayun indah menghampiri ranjang dimana Bagas duduk.Bagas meliriknya sekilas lalu kembali melempar pandangan keluar jendela."Bagas, kamu harus ma
Denis mendesah dalam begitu melihat deretan angka di lembar tagihan rumah sakit. 'Lima belas juta? Dari mana dia bisa mendapatkan uang sebesar itu?' lirihnya dalam hati.Bahkan, beberapa hari ini dia dan keluarganya bersembunyi dari para preman yang datang untuk menagih sisa utang Bapak dan Ibu."Apa itu?"Denis segera melipat kertas di tangannya dan menyembunyikan di balik saku jaket."Oh, nggak Kak. Cuma selebaran," kilahnya gugup.Aileen menatap tajam lalu kembali duduk di ranjangnya. "Berikan," ucap Aileen sambil mengulurkan tangannya ke arah Denis. "Tagihan rumah sakit 'kan?"Denis menatap sendu lalu mengangguk. Dia menyerahkan tagihan yang baru diterimanya dari pihak administrasi rumah sakit."Kakak tenang saja. Aku akan segera mencari pinjaman untuk membayar tagihan.""Bagaimana cara mu membayar? Kamu sudah sering melihat para preman itu menagih utang 'kan? Mereka kejam.""Lebih baik kamu pulang dan belajar. Tidak perlu datang malam ini. Aku sudah terbiasa sendiri," usir Aileen
Aileen menyusuri lorong panjang rumah sakit. Karena kejadian siang tadi, ia enggan untuk kembali ke kamar. Pikiran dan hatinya butuh sedikit ruang dari segala pertanyaan orang-orang di sekitarnya. "Kamu mau kemana, Ai?Aileen melirik sosok yang mensejajarkan langkahnya. "Jalan-jalan," sahutnya datar.Mardiana, wanita tua itu selalu datang menemui Aileen setiap kali punya waktu luang. Sebagai ketua perwakilan para penghuni kasat mata di rumah sakit ini, wanita itu tampak sangat sibuk menyusuri setiap sudut rumah sakit untuk mendengar keluhan kaumnya."Kamu baik-baik saja?""Ini bukan hal baru 'kan?" Aileen membalas pertanyaan dengan pernyataan yang menunjukkan bahwa dia sudah terbiasa.Mardiana mengeratkan bibirnya untuk tidak bertanya hal yang sama lagi. Sepanjang perjalanannya mengenal Aileen, bocah itu tidak suka orang-orang mengasihani takdir hidupnya."Apa yang dilakukannya disana?" Tanya Aileen. Dia menunjuk Aira yang berdiri di depan pintu ruang rawat VIP."Oh, itu ruangan suami
"Ba—Bagas mau lompat dari atap," ucap Aira terbata."Apa?""Ai, kumohon. Tolong Bagas." Ulang Aira, jatuh berlutut di depan ranjang Aileen, memohon pertolongannya."Bangunlah." Paksa Aileen."Kak Ai, kenapa? Kakak ngomong sama siapa sih?"Aileen mengabaikan rasa penasaran Denis yang terus mencercanya dengan pertanyaan. Dia turun dari ranjang dan berlari keluar. Melihat itu, Aira dan Denis segera menyusulnya.'Kumohon, kumohon!' batin Aileen. Ia terus merapal doa yang sama di setiap langkah besarnya. "Hei, berhenti!" Teriaknya begitu pintu lift terbuka. "Jangan melakukan hal bodoh!"Semilir angin mengaburkan pandangan Aileen. Samar-samar terlihat tubuh kurus seorang pria berpakaian seragam pasien rumah sakit, merentangkan tangannya, berdiri di balik pagar pembatas gedung. Aileen menyibak rambutnya yang menghalangi pandangan. Sesaat ia dapat melihat refleksi dirinya saat melakukan hal yang sama."Siapa kamu?""A-aku?" Aileen menggaruk kepalanya, bingung. "A-aku, namaku Aileen."Bagas me
"Kenapa kamu tidak hati-hati? Sebelum menolong orang lain, pikirkan dirimu sendiri dulu."Aileen mengerutkan keningnya hingga berlapis-lapis. Telinganya lelah mendengar rentetan omelan Daren yang di mulai sejak satu jam yang lalu. Pria itu terus mengingatkan tentang kondisi tangannya sambil menjahit serta membalut ulang perban."Berhentilah mengomel. Kalau di hitung, omelan mu sama panjangnya dengan perban ini," keluh Aileen. Dia menunjuk tangannya yang di bebat dengan sangat rapat."Lagipula, jika aku sibuk memikirkan diriku sendiri, kapan aku menolong pria bodoh itu?" bantah Aileen tapi dia buru-buru menutup mulutnya karena Daren mendelik tajam."Oke, aku salah." Aku-nya menyerah."Ke depannya kamu harus lebih berhati-hati," ucap Daren lebih tenang. Ia merapikan peralatan yang digunakannya untuk menjahit ulang luka Aileen lalu meletakkannya kembali ke tempat semula."Kamu mengenal, Kak Bagas?""Kak Bagas? Kalian dekat?" Balas Aileen.Daren mengangguk kecil. "Dia sepupuku," jelasny
"Pak?"Bagas membalikkan badannya begitu mendengar suara Gio—asisten pribadinya. "Kamu menemukan wanita itu?"Pria yang mengenakan jas hitam dengan dasi berwarna senada, menyerahkan sebuah amplop kepada Bagas. "Ini semua informasi tentang wanita bernama Aileen Andita."Bagas mengangguk puas. Membuka amplop coklat itu dan mengeluarkan lembaran kertas berisi informasi pribadi Aileen. Perempuan yang tiba-tiba menghilang setelah mengatakan omong kosong."Kanker perut stadium dua?" Bagas melirik asistennya. "Kamu yakin?""Ya, Pak. Saya sudah mengonfirmasikan data ini dengan rekam medis di rumah sakit."Bagas kembali membaca baris demi baris riwayat hidup Aileen. Keningnya mengerut semakin dalam. 'Di sepanjang hidupnya, perempuan ini membawa nasib buruk bersamanya,' pikir Bagas."Siapkan mobil, Gio. Kita harus segera bertemu dengannya," perintah Bagas pada asistennya yang disambut oleh anggukan cepat."Bagas, apa yang akan kamu lakukan?" Tak jauh dari sana, Aira berdiri menatap suaminya d
Aileen bergerak gelisah dalam tidurnya. Napasnya tersengal-sengal hingga beberapa kali terdengar erangan tertahan, lolos dari bibirnya yang bergetar.Perlahan ia membuka mata lalu beranjak ke posisi duduk. Aileen menekuk punggung lalu menyangga kepalanya yang terasa berat dengan kedua tangan—serasa tengah menopang beban ribuan kilo. “Sakit,” lenguhnya pelan sambil menekan perutnya.Aileen menegakkan tubuh lalu menginjak kaki di lantai dingin. Matanya meneliti bungkusan obat di atas nakas. Aileen yakin, sebelum naik ke atas ranjang, ia telah menegak sebungkus obat yang harus rutin di minumnya.Jemarinya meraih bungkusan kecil yang tersusun rapi di dalam box lalu menggenggam erat. Tertatih, Aileen menyeret langkahnya keluar dari kamar. Ia mendekatkan lengan ke wajah untuk menyeka keringat yang mengaburkan pandangan dengan permukaan lengan piyama yang dikenakannya.Aileen memanfaatkan setiap permukaan dinding sebagai tempat menumpukan tubuhnya yang lemah. Begitu melewati ruang tengah, A
“Bagas, bisakah aku pulang ke rumah?” Aileen bersuara setelah menimbang lama, ia merasa ini adalah waktu yang tepat.Ia menatap Bagas yang baru saja memarkirkan mobil dan melepaskan kemudi.“Bukankah kita sekarang di rumah?” tanggap Bagas sambil menjangkau seatbelt di sisi Aileen dan melepaskannya.Aileen menahan napasnya saat wajah Bagas hanya berjarak sebatas pandangan—sangat dekat hingga membuatnya tak bisa berkutik. “Maksudku rumah Ibu,” ralat Aileen setelah Bagas kembali ke kursinya.Buku-buku jari Aileen memerah akibat meremas jemarinya terlalu erat saat gugup. Ia mengatur ritme napasnya, demi menutupi kegelisahan yang tiba-tiba menghampirinya.“Buat apa?” Bagas menarik diri, namun tetap menautkan pandangannya dengan kening berkerut. “Dokter bilang kondisi Ibu sudah membaik. Apa beliau mengeluhkan sakit?”Ia menatap lekat untuk menyelami apa yang tengah dipikirkan oleh Aileen hingga membuat wanita itu gelisah dan terus saja mengalihkan pandangan, seolah tengah menghindar agar k
“Aileen!” Suara nyaring yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, setengah berlari—menghampiri Aileen dan menyentak tubuhnya agar menjauh dari sisi Daren. “Apa yang kalian lakukan?”“Bagas! Soraya?” Seru Aira, terkejut akan kehadiran sosok Bagas yang datang bersama adik tirinya.Daren bergerak risih—menepis tangan Soraya yang memeluk lengannya. “Lepaskan, Soraya.” Wajah Soraya berubah masam namun hal itu tak menyurutkan langkah Daren untuk menarik diri dan beralih untuk menghampiri Aileen yang masih terpaku dengan wajah bingung.Sayangnya, langkah Daren kurang cepat karena Bagas telah lebih dulu menjangkau lengan Aileen dan menarik tubuh ringkih itu ke sisinya. “Bukankah aku menyuruhmu tetap diam di rumah,” desis Bagas. Ia meraih tangan Aileen dan terkejut akan jemari sedingin es. “Apa yang terjadi?” Burunya cemas.Bagas menempelkan punggung tangannya di atas dahi pucat itu. Dua alisnya saling bertaut begitu menyadari suhu tubuh Aileen jauh lebih rendah dari manusia normal.Pandangan
“Dok.”“AAA …”“Eh, kenapa?” Aira segera menghampiri dua orang yang kompak menjerit bersamaan.“Ah, maafkan aku,” desah Daren sembari mengelus dadanya. “Aku belum terbiasa dengan ini,” ujarnya seraya beringsut mundur—menjauhi Rachel dan Aira.“Apa maksudnya?” Rachel mengerjabkan kedua matanya, bingung.Aira mengulum senyum geli. “Dia takut padamu, Rachel. Apa kamu tak mengerti juga?” urainya di balik tawa tertahan.Rachel mengerucutkan bibirnya, sebal. “Aku adalah hantu tercantik diantara semua hantu di abad ini. Tidak sopan berteriak ketakutan di hadapan wajah se cantik ini,” protesnya sambil menyibak rambut sebahu yang menutupi sebagian wajahnya. Aira mencelos malas sedangkan Daren mengurai senyum serba salah.“Abaikan saja dia, Daren. Kamu hanya butuh sedikit waktu agar terbiasa melihat kami.” Aira beralih pada kertas di tangan Daren. “Apa itu?”“Entahlah.” Daren mengedikkan bahunya. “Dukun itu memintaku menyiapkan obat,” jelasnya sambil melambaikan kertas panjang itu.“Obat?” Air
“Wanita itu sangat keras kepala,” desis Bagas gusar. Ia menggenggam erat ponselnya seraya menatap titik merah yang berkedip-kedip di atas peta—aplikasi tracking.“Padahal aku sudah melarangnya keluar rumah,” gerutunya sembari berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman.“Bagas, kamu mau kemana?” Wanita anggun berambut sebahu, menghentikan langkah Bagas yang tengah bersiap memasuki mobilnya.“Soraya?” Bagas menautkan alisnya. Sudah beberapa hari, ia tak melihat adik iparnya pulang ke rumah ini. “Apa renovasi rumahmu sudah selesai?” Soraya terdiam sesaat sebelum menggelengkan kepalanya. “Masih ada beberapa bagian yang membutuhkan perbaikan,” ulasnya ragu-ragu.“Hmm,” gumam Bagas acuh tanpa berniat mencari tahu lebih jauh.“Bagas, boleh aku ikut? Belakangan ini aku tidak nyaman berada di rumah ini sendirian,” pinta Soraya dengan suara lembut, berhias senyum manis di bibirnya.Bagas terdiam lama, ia kurang nyaman akan keberadaan Soraya disekitarnya, karena ia tahu wanit
'Apa yang sekarang dipikirkan Aira? Apa dia tahu kalau mereka pernah bertemu di masa lalu? Harus'kah aku menceritakannya?' Pertanyaan demi pertanyaan saling sambut menyambut dalam benak Aileen. Sesekali ia melirik wanita yang duduk disampingnya. Sejak meninggalkan restoran dan memasuki mobil mewah, tak banyak yang terucap di antara Aileen dan Aira. Keduanya saling berdiam diri, larut dalam pemikiran masing-masing.Mobil memasuki area parkir, mata kedua wanita yang duduk di kursi belakang terpaku pada gedung bergaya artistik dimana puluhan orang tengah mengantri untuk memasuki area dalam."Ini?" Aileen bergumam samar, bertanya pada benaknya."Galeri Mama Viona," balas Aira. Ia menarik pergelangan tangan Aileen agar mereka bisa segera mengikuti langkah cepat sosok dirinya dalam ingatan. "Mau kemana dia?"Tanpa sadar, Aileen terkikik geli akan celetukan yang di lontarkan wanita disampingnya."Kenapa? Apa yang lucu?" Selidik Aira dengan alis yang saling bertaut."Aku hanya merasa aneh k
'Bocah? Wanita? Siapa yang sebenarnya yang mereka maksud?'"Apa kamu kenal? Siapa yang sedang mereka bicarakan?" Usik Aileen."Entahlah," sahut Aira dengan mata meraut bingung. "Kami punya yayasan yang mengasuh banyak anak-anak telantar tapi Papa tidak pernah mengatakan niatnya untuk mengadopsi salah satunya.""Tapi Kak …" Farhan terdiam saat wanita yang dilingkupi keangkuhan itu menatapnya tajam."Farhan, aku merasa kamu terlalu bertele-tele. Apa kamu sudah menemukan wanita itu?" Selidik Viona curiga.Farhan menggeleng cepat seakan hendak melepaskan kepalanya dari pangkal leher. "Ti-tidak, Kak," cicitnya terbata.Viona mendesis jengkel. "Jangan coba-coba untuk membohongi ku, Farhan. Kau tentu tahu apa akibatnya," kecamnya."Ba-baik, Kak." Farhan takut-takut untuk membalas sang Kakak.Aileen terdiam sesaat sambil memicingkan matanya, meneliti dengan lebih seksama sosok Farhan. Wajah itu seolah tak asing baginya namun tak juga spesial hingga meninggalkan jejak khusus dalam ingatannya.
"Berhati-hati 'lah! Jangan sampai terjebak ..."Aileen membuka matanya perlahan, sayup-sayup kalimat terakhir Vincent terngiang-ngiang di benaknya. 'Kenapa nada suaranya terdengar sangat cemas?' pikirnya."Kamu baik-baik saja, Ai?"Suara Aira membuat kesadaran Aileen meningkat sedikit demi sedikit. Ia menggosok pelipisnya yang berdenyut nyeri, rasanya seluruh isi dalam perutnya bergejolak—berlomba untuk keluar.'Kenapa Vincent tidak mengatakan kalau rasanya akan seburuk ini! Paling tidak aku bisa bersiap sebelumnya,' desah Aileen dalam hati."Oke," ucapnya dengan susah payah demi memenangkan wajah panik yang terus menatapnya. "Di mana kita sekarang?"Aira memperhatikan keadaan disekelilingnya. "Ku rasa ini kamar ku," tebaknya."Di rumah?" Aileen mengerutkan keningnya ragu. "Rasanya ini bukan kamar Bagas," gumamnya."Bukan. Ini kamar ku di rumah Papa," jelas Aira. "Oh." Aileen mengangguk paham. "Kenapa kita disini?" Ia mendekati rak bertingkat tiga dimana puluhan buku tertata rapi.
"Terlambat!"Kalimat pertama yang diucapkan Vincent dengan kening berkerut, begitu melihat Aileen dan Aira muncul dari balik pintu masuk kafe."Dan, apa ini?" Vincent menyeringai sinis, sengaja ingin menggoda Aileen. "Kali ini kamu membawa yang mana? Nomor satu atau dua?"Aileen mendesis jengkel. "Buang pikiran buruk mu itu. Daren sedang libur, jadi dia ikut untuk membantu," kilahnya ketus."Oh … membantu? Emangnya dokter tampan ini, bisa merawat hantu?" Ujar Vincent mengolok-olok alasan Aileen."Apa kamu akan terus mengocehkan hal konyol? Berarti aku bisa pulang lebih awal hari ini," kecam Aileen bernada ancaman."Ok … ok. Aku berhenti." Vincent mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Ayo ke lantai atas.""Di mana Rachel? Aku tidak melihatnya dari tadi." Aira mengedarkan pandangannya untuk mencari sosok yang tak pernah ingin ketinggalan dalam setiap kegiatan yang menurutnya menyenangkan."Aku mengutusnya untuk melakukan sesuatu," sahut Vincent singkat sembari melangkahkan kakiny