Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, bi Surti segera membuka pintu dan menghentikan aktifitas Tasya yang saat itu sedang mengobrol ringan dengan Zahra. Lalu tiba-tiba datang seorang pria yang tak lain adalah Cahyo, tatapan Zahra pun membulat ke arah mantan suaminya itu. 'Mau apa dia ke sini!' batin Zahra terlihat gelisah. Sementara Cahyo sendiri melempar senyum ketika sampai di hadapan Tasya, saat itu Tasya nampak menyambut dengan baik dan mempersilahkan Cahyo duduk. "Kok kebetulan sekali kalian datang ke sini secara bersamaan ya, sayang banget mas Dika hari ini udah ngantor, beberapa hari mas Dika di rumah, tapi nggak ada tamu yang datang," ucap Tasya melempar senyum. "Iya, aku nggak sengaja tadi lewat, dan mampir ke sini. Oh ya, denger-denger kamu lagi hamil ya? Selamat ya Tasya, andai aja Zahra nggak minta pisah sama aku, mungkin dia juga sudah hamil sekarang," seru Cahyo menatap ke arah Zahra. "Apaan si kamu, nggak lucu tahu! Lagian mending kamu pulang deh, nggak penting tahu
Beberapa bulan kemudian, Dika sudah melihat perubahan dalam perut Tasya yang semakin membesar, kini usia kehamilan Tasya sudah memasuki enam bulan. Perutnya yang tipis terlihat menonjol dibalik daster yang Dika belikan beberapa waktu lalu. Malam ini Dika tak berhenti menatap wajah Tasya di balik cermin, sejak hamil Tasya memang terlihat jauh lebih cantik, apalagi sejak dekat dengan Dika, terlihat Dika memberikan perhatian penuh seperti pakaian bagus, parfum, dan juga body lotion yang wajib Tasya pakai saat hendak tidur di sampingnya. Tasya sedang menyisir rambutnya yang mengurai panjang, karena gemas Dika bangkit dari tempat duduk nya dan mendekati Tasya. CupTasya terkejut saat Dika memberikan sebuah kecupan di tengkuk lehernya dari belakang, ia menatap wajah suaminya itu dari cermin, hatinya berdesir mendapatkan sentuhan hangat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Kehamilan mu sudah menginjak berapa bulan?" tanya Dika pelan. "6 bulan Mas, memangnya kenapa?" Tasya membalas t
"Dika, kapan kamu bawa Tasya main ke rumah Mama?" tanya Riri saat sedang menyantap makanan yang telah dimasak oleh Tasya. "Kalau aku terserah dengan Tasya saja, aku ikut," lirih Dika memberikan keputusan pada istrinya. "Kok aku si Mas, aku yang seharusnya ngomong kayak gitu, aku nurut kapan kamu mau bawa aku main ke rumah Mama." jawab Tasya tidak setuju ketika keputusan diberikan padanya. Mama Riri melempar senyum, saat mendengar perdebatan romantis itu, hingga akhirnya Dika pun memberikan keputusan yang memuaskan bagi mama Riri, Dika mengatakan akan pergi beberapa hari dan mengindap di rumah Mama Riri. "Kamu mau pakai baju mana aja, Tasya? Biar aku masukan ke dalam koper," ucap Dika setelah masuk ke kamar. "Kamu mau bantu aku Mas? Emmm, aku pengen pakai beberapa daster dan baju yang dibelikan oleh mama tadi," seru Tasya melempar senyum bahagia, tidak ada lagi kata suami yang dingin dan tidak perhatian, Dika benar-benar berubah sekarang. "Ya sudah, sini biar aku masukkan. Kamu l
"Kok merajuk si," Dika mencoba untuk menggoda Tasya, namun tatapan matanya masih mengarah pada ponselnya. "Udah lah Mas, kamu nggak usah ngomong lagi, fokus aja sama HP mu itu," sahut Tasya, kini Tasya sudah membelakangi suaminya. "Sayang, kenapa harus marah, aku kan kerja. Lagian kan aku masih ada si samping kamu sekarang ini." jelas Dika, mencoba merayu Tasya. Tiba-tiba kalimat sayang itu meluncur bebas dari bibir manis Dika, Tasya yang sebelumnya marah pun tiba-tiba mengulas senyum, namun dengan cepat Tasya menyembunyikan rasa itu karena tidak mau jika sampai hal itu membuat Dika tersadar. Jika hal itu disadari oleh Dika, tentu saja Dika tidak akan merayunya lagi. Beberapa saat kemudian, Dika pun meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu merubah posisi duduknya menjadi tidur menghadap ke arah Tasya, perlahan pria itu mendekap tubuh istrinya yang saat ini mulai terisi, sejak hamil bukan hanya perut Tasya yang terlihat besar, tetapi berat badan Tasya pun ikut bertambah. "Tasya, a
Ciiitt..... Tiba-tiba mobil Dika terhenti seketika, saat ia menyadari ada seorang wanita yang berdiri menghalangi jalan, saat itu Dika seketika turun dan keluar dari mobil. Tatapan nya tertuju pada seorang wanita yang ternyata itu adalah Zahra. "Zahra, kamu sudah gila, ya! Kenapa kamu nyebrang nggak liat-liat, kalau tadi ketabrak gimana?" Dika menatap nanar, saking takutnya jika sampai ia benar-benar menabrak orang di jalanan. "Tabrak aja aku Mas, tabrak!" pekik Zahra, bulir air mata itu tiba-tiba jatuh begitu saja. "Apa! Kamu sudah benar-benar tidak waras Zahra," Dika melayangkan tangan ke udara, berniat untuk meninggalkan wanita itu di jalanan. "Hiks, sudah tidak ada gunanya aku ada di dunia ini, lebih baik aku mati saja." lirih Zahra, tangisnya semakin kencang. Dika yang sebelumnya marah karena ulah Zahra, tiba-tiba terhenti setelah mendengar keputusasaan itu. Ia memutar kembali tubuhnya mendekatkan Zahra yang menutup wajah dengan kedua tangannya. "Ayo masuk ke mobil," ajak
PlakSebuah tamparan mendarat bebas di pipi Joni hingga menimbulkan rasa kebas di sana, Zahra nampaknya tidak terima dengan perlakuan Joni yang memukul Dika dan mengajaknya bertengkar di tempat umum, tatapan tajam pun didapatkan oleh Joni ketika Zahra tidak mampu menahan lagi emosinya. "Mas, cukup ya, kalau kamu terus saja seperti ini, lebih baik kita putus saja, aku tidak tahan dengan sikap kamu yang seperti ini terus menerus," bentak Zahra, untungnya tempat itu cukup sepi, hinga membuat Joni tidak merasa begitu malu karena mendapatkan tamparan dari Zahra. "Apa, kamu mau putus sama aku? Zahra, kamu jangan bercanda dong, aku nggak mungkin bisa hidup tanpa kamu," ucap Joni, meraih tangan wanita itu hendak memeluknya. "Kamu udah keterlaluan Mas, kamu itu menyebalkan akhir-akhir ini," keluh Zahra, menepis tangan Joni yang hendak menangkapnya. "Aku seperti ini karena aku cemburu, Zahra. Aku cemburu kamu dekat dengan pria lain, bukannya kamu sendiri kan yang ingin aku nikahi, tapi kena
"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanya Zahra ketika duduk santainya sambil menikmati makan siang diganggu oleh Cahyo. "Ya aku ingin mendengar kabar baik dari kamu lah, bagaimana, apa Dika mau menerima ku sebagai karyawannya?" Cahyo duduk dengan mantap, bahkan meminum jus yang sudah dipesan oleh Zahra. "Butuh pekerjaan tapi nggak gitu juga kali Mas, kamu bisa memesan minuman sendiri tanpa harus mengambil minuman yang dipesan sama orang," celetuk Zahra tak menanggapi. "Ayolah Zahra, aku datang jauh-jauh ke sini untuk mendengar kabarnya, jangan mengulur waktu." Cahyo bahkan tidak mau meminta maaf dengan kesalahan yang ia lakukan, ia masih saja menunggu jawaban dari Zahra yang saat itu sangat ia harapkan. Karena Cahyo begitu memaksa, akhirnya wanita itupun menjawab dengan kalimat datar, meskipun ada peluang namun ia begitu malas untuk memberikan semangat, lantaran tingkah Cahyo yang tiba-tiba membuatnya ilfil. "Jadi sekarang aku bisa datang ke kantor Dika untuk meminta pekerjaan, ya?" tan
TringKarena tidak mendapatkan balasan apapun dari Zahra, Cahyo pun memutuskan untuk menghubungi wanita itu, sebenarnya Zahra merasa sangat terganggu lantaran ia harus menyelesaikan semua pekerjaannya yang menumpuk. [Ada apa lagi, Mas?] protes Zahra setelah sambungan telepon mereka terhubung. [Zahra, apa kamu tidak membaca keluhan ku? Aku di sini diperlakukan seenaknya oleh Dika] marah Cahyo kecewa. [Mas, sebagai bawahan harusnya kamu jangan gampang tersinggung dong, kamu itukan sedang merintis, kenapa kamu malah justru mengeluh seperti ini] sahut Zahra kesal. [Ya tapi seharusnya tidak seperti itu Zahra, Dika bisa saja memperlakukan aku lebih baik bukan seperti ini] nada bicara Cahyo pun semakin tak terkendali. [Mas, jika semua tidak sesuai dengan keinginan mu, lalu apa mau mu? Kau mau bilang sama Dika kalau kamu tidak terima diperintah? Atau kau akan memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu di hari pertama mu, ha!] [Sudah lah, nikmati saja dulu prosesnya, harusnya kamu pikirka
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah