PlakSebuah tamparan mendarat bebas di pipi Joni hingga menimbulkan rasa kebas di sana, Zahra nampaknya tidak terima dengan perlakuan Joni yang memukul Dika dan mengajaknya bertengkar di tempat umum, tatapan tajam pun didapatkan oleh Joni ketika Zahra tidak mampu menahan lagi emosinya. "Mas, cukup ya, kalau kamu terus saja seperti ini, lebih baik kita putus saja, aku tidak tahan dengan sikap kamu yang seperti ini terus menerus," bentak Zahra, untungnya tempat itu cukup sepi, hinga membuat Joni tidak merasa begitu malu karena mendapatkan tamparan dari Zahra. "Apa, kamu mau putus sama aku? Zahra, kamu jangan bercanda dong, aku nggak mungkin bisa hidup tanpa kamu," ucap Joni, meraih tangan wanita itu hendak memeluknya. "Kamu udah keterlaluan Mas, kamu itu menyebalkan akhir-akhir ini," keluh Zahra, menepis tangan Joni yang hendak menangkapnya. "Aku seperti ini karena aku cemburu, Zahra. Aku cemburu kamu dekat dengan pria lain, bukannya kamu sendiri kan yang ingin aku nikahi, tapi kena
"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanya Zahra ketika duduk santainya sambil menikmati makan siang diganggu oleh Cahyo. "Ya aku ingin mendengar kabar baik dari kamu lah, bagaimana, apa Dika mau menerima ku sebagai karyawannya?" Cahyo duduk dengan mantap, bahkan meminum jus yang sudah dipesan oleh Zahra. "Butuh pekerjaan tapi nggak gitu juga kali Mas, kamu bisa memesan minuman sendiri tanpa harus mengambil minuman yang dipesan sama orang," celetuk Zahra tak menanggapi. "Ayolah Zahra, aku datang jauh-jauh ke sini untuk mendengar kabarnya, jangan mengulur waktu." Cahyo bahkan tidak mau meminta maaf dengan kesalahan yang ia lakukan, ia masih saja menunggu jawaban dari Zahra yang saat itu sangat ia harapkan. Karena Cahyo begitu memaksa, akhirnya wanita itupun menjawab dengan kalimat datar, meskipun ada peluang namun ia begitu malas untuk memberikan semangat, lantaran tingkah Cahyo yang tiba-tiba membuatnya ilfil. "Jadi sekarang aku bisa datang ke kantor Dika untuk meminta pekerjaan, ya?" tan
TringKarena tidak mendapatkan balasan apapun dari Zahra, Cahyo pun memutuskan untuk menghubungi wanita itu, sebenarnya Zahra merasa sangat terganggu lantaran ia harus menyelesaikan semua pekerjaannya yang menumpuk. [Ada apa lagi, Mas?] protes Zahra setelah sambungan telepon mereka terhubung. [Zahra, apa kamu tidak membaca keluhan ku? Aku di sini diperlakukan seenaknya oleh Dika] marah Cahyo kecewa. [Mas, sebagai bawahan harusnya kamu jangan gampang tersinggung dong, kamu itukan sedang merintis, kenapa kamu malah justru mengeluh seperti ini] sahut Zahra kesal. [Ya tapi seharusnya tidak seperti itu Zahra, Dika bisa saja memperlakukan aku lebih baik bukan seperti ini] nada bicara Cahyo pun semakin tak terkendali. [Mas, jika semua tidak sesuai dengan keinginan mu, lalu apa mau mu? Kau mau bilang sama Dika kalau kamu tidak terima diperintah? Atau kau akan memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu di hari pertama mu, ha!] [Sudah lah, nikmati saja dulu prosesnya, harusnya kamu pikirka
Esok paginya, Cahyo berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, karena ia akan membuat perhitungan pada Ana yang telah berani menertawakan nasibnya saat ini, diam-diam Cahyo masuk ke ruangan Ana dan mengambil beberapa berkas penting yang ia yakini bahwa berkas tersebut akan digunakan untuk meeting pagi ini. Saat berkas itu sudah ada di tangannya, Cahyo buru-buru keluar dari ruangan tersebut dengan mengendap-ngendap, dan masuk ke ruangan pribadinya. Tawa pun menggelegar di sana, Cahyo merasa menang lantaran berhasil mengambil barang penting yang akan menjadi masalah jika tidak ada."Ini akibatnya kalau kamu main-main denganku, Ana. Hari ini aku akan pastikan kalau kamu akan mendapatkan masalah." ungkap Cahyo menatap tajam ke arah berkas penting itu. Sementara Ana sendiri nampak bersemangat memasuki ruangannya, tidak ada filing apapun yang ia rasakan sejak melangkahkan kakinya menuju ke ruangan. Ana justru nampak lebih ramah dari biasanya pada para karyawan lain, dan masuk ke ruangannya den
"Bu Tasya ke sini?" tanya Ana, pada salah satu karyawan yang mendengar kabar bahwa istri dari atasannya itu akan datang ke kantor. "Ibu bu Ana, katanya tadi kalau bu Tasya datang di suruh langsung ke ruangan pak Dika aja," ucapnya memberi tahu. "Tapi kok pak Dika nggak kasih tahu aku ya?" Ana pun bertanya bingung. "Mungkin belum, atau mungkin karena terlalu sibuk, sampai memberitahukan pada siapapun yang pak Dika temui." jawabnya asal. Sebenarnya jawaban itu sangat tidak masuk akal, namun Ana mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Meskipun jauh di lubuk hatinya yang dalam, Ana berpikir jika Dika masih marah dan kecewa padanya. Benar saja, selang beberapa menit, Tasya datang dengan keadaan perutnya yang semakin membesar, wanita itu melangkahkan kakinya masuk dengan senyuman yang begitu ramah. Menyapa semua karyawan yang berpapasan dengannya. "Selamat siang bu Tasya," sapa Ana melempar senyum, menyambut kedatangan Tasya dengan ramah. "Selamat siang mbak, saya mau ketemu sama
"Terima kasih banyak sayang, aku benar-benar merasakan dicintai oleh kamu," ucap Dika mengulas senyum menatap wajah ayu Tasya. "Sama-sama Mas, aku juga senang bisa melakukan semua ini untuk kamu, aku bahagia bisa melayani kamu dengan baik. Dan aku senang jika kamu menikmatinya," sahut Tasya membalas senyuman suaminya. "Tentu saja aku sangat menikmati semua ini," lirih Dika mengecup mesra punggung tangan istrinya. "Mas, apa aku boleh tanya sesuatu sama kamu?" Tasya menghentikan aksi memijit nya. Dika pun menatap wajah Tasya dan memintanya duduk di sampingnya, ia mulai fokus pada tatapan Tasya yang mengarah dalam padanya. "Apa Tasya, kamu mau bertanya tentang apa," ucap Dika santai. "Mas, sifat kamu sangat baik sama aku setelah kamu tahu aku hamil, tapi ada sesuatu yang ingin sekali aku tanyakan selama ini, yang aku nggak berani sebenarnya untuk jujur sama kamu, tapi aku penasaran Mas, aku pengen banget nanyain ini," sahut Tasya yang merasa sedikit tidak enak. "Mas, apa kamu udah
Zahra mengendap-endap saat hendak mendekati Tasya yang masih fokus memilah dan memilih produk apa saja yang ia inginkan, di saat yang sangat tepat, Zahra tiba-tiba mendekati Tasya dan mendorong wanita hamil itu dengan sangat kuat. Hingga membuat perut Tasya terbentur keranjang baju yang berukuran cukup besar itu. Dengan cepat Zahra pun menghilangkan jejaknya, meninggalkan Tasya yang kesakitan seorang diri di sana, kebetulan toko itu sepi, lantaran Dika memang sengaja meminta penjaga toko untuk tidak menerima pengunjung sebelum istrinya menyelesaikan hajatnya. "Auuuw.... Tolong! Mas Dika..."Sebuah teriakan dari Tasya terdengar sangat memilukan, bagaimana tidak, ada darah segar yang mengalir di selangkangan wanita itu yang terbuka. Di tengah menahan rasa sakit dan permintaan pertolongan, akhirnya penjaga toko tersebut menyadari suara rintihan seseorang. Betapa terkejutnya ia ketika menyadari pengunjung spesialnya itu sedang mengalami pendarahan hebat, dengan rasa takut yang berkeca
Uwek... Uwek... Hampir satu jam menunggu, suara tangis si jabang bayi pun menggema. Dika terperanjat dari tempat duduknya ketika mendengar suara tangis dari dalam sana. Kedua matanya berbinar seolah menunjukkan betapa bahagianya ia tanpa mengutarakan dengan kata-kata. mama Riri, papa Arkana, dan bu Nirma pun turut bangkit dan tersenyum menatap Dika. "Selamat ya Dika, sekarang kamu sudah menjadi seorang ayah," ucap mama Riri bangga. "Ya, benar. Mulai hari ini kamu sudah menjadi seorang ayah," sambung papa Arkana mengulas senyum. "Selamat juga untuk kamu dari Ibu ya Dika, terima kasih telah memberikan gelar nenek untuk Ibu." bu Nirma tak kalah memberikan selamat pada menantunya itu. Dika tersenyum sangat bahagia, ia memeluk orang tua dan mertuanya secara bergantian. Ia mengucapkan syukur yang tak terhingga meskipun sebenarnya kelahiran bayinya dipercepat dari tanggal dan waktunya. Namun Dika tidak memiliki alasan untuk tidak mensyukuri semua itu. Dokter membawa bayi yang telah di