Beberapa bulan kemudian, Dika sudah melihat perubahan dalam perut Tasya yang semakin membesar, kini usia kehamilan Tasya sudah memasuki enam bulan. Perutnya yang tipis terlihat menonjol dibalik daster yang Dika belikan beberapa waktu lalu. Malam ini Dika tak berhenti menatap wajah Tasya di balik cermin, sejak hamil Tasya memang terlihat jauh lebih cantik, apalagi sejak dekat dengan Dika, terlihat Dika memberikan perhatian penuh seperti pakaian bagus, parfum, dan juga body lotion yang wajib Tasya pakai saat hendak tidur di sampingnya. Tasya sedang menyisir rambutnya yang mengurai panjang, karena gemas Dika bangkit dari tempat duduk nya dan mendekati Tasya. CupTasya terkejut saat Dika memberikan sebuah kecupan di tengkuk lehernya dari belakang, ia menatap wajah suaminya itu dari cermin, hatinya berdesir mendapatkan sentuhan hangat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. "Kehamilan mu sudah menginjak berapa bulan?" tanya Dika pelan. "6 bulan Mas, memangnya kenapa?" Tasya membalas t
"Dika, kapan kamu bawa Tasya main ke rumah Mama?" tanya Riri saat sedang menyantap makanan yang telah dimasak oleh Tasya. "Kalau aku terserah dengan Tasya saja, aku ikut," lirih Dika memberikan keputusan pada istrinya. "Kok aku si Mas, aku yang seharusnya ngomong kayak gitu, aku nurut kapan kamu mau bawa aku main ke rumah Mama." jawab Tasya tidak setuju ketika keputusan diberikan padanya. Mama Riri melempar senyum, saat mendengar perdebatan romantis itu, hingga akhirnya Dika pun memberikan keputusan yang memuaskan bagi mama Riri, Dika mengatakan akan pergi beberapa hari dan mengindap di rumah Mama Riri. "Kamu mau pakai baju mana aja, Tasya? Biar aku masukan ke dalam koper," ucap Dika setelah masuk ke kamar. "Kamu mau bantu aku Mas? Emmm, aku pengen pakai beberapa daster dan baju yang dibelikan oleh mama tadi," seru Tasya melempar senyum bahagia, tidak ada lagi kata suami yang dingin dan tidak perhatian, Dika benar-benar berubah sekarang. "Ya sudah, sini biar aku masukkan. Kamu l
"Kok merajuk si," Dika mencoba untuk menggoda Tasya, namun tatapan matanya masih mengarah pada ponselnya. "Udah lah Mas, kamu nggak usah ngomong lagi, fokus aja sama HP mu itu," sahut Tasya, kini Tasya sudah membelakangi suaminya. "Sayang, kenapa harus marah, aku kan kerja. Lagian kan aku masih ada si samping kamu sekarang ini." jelas Dika, mencoba merayu Tasya. Tiba-tiba kalimat sayang itu meluncur bebas dari bibir manis Dika, Tasya yang sebelumnya marah pun tiba-tiba mengulas senyum, namun dengan cepat Tasya menyembunyikan rasa itu karena tidak mau jika sampai hal itu membuat Dika tersadar. Jika hal itu disadari oleh Dika, tentu saja Dika tidak akan merayunya lagi. Beberapa saat kemudian, Dika pun meletakkan ponselnya di atas nakas, lalu merubah posisi duduknya menjadi tidur menghadap ke arah Tasya, perlahan pria itu mendekap tubuh istrinya yang saat ini mulai terisi, sejak hamil bukan hanya perut Tasya yang terlihat besar, tetapi berat badan Tasya pun ikut bertambah. "Tasya, a
Ciiitt..... Tiba-tiba mobil Dika terhenti seketika, saat ia menyadari ada seorang wanita yang berdiri menghalangi jalan, saat itu Dika seketika turun dan keluar dari mobil. Tatapan nya tertuju pada seorang wanita yang ternyata itu adalah Zahra. "Zahra, kamu sudah gila, ya! Kenapa kamu nyebrang nggak liat-liat, kalau tadi ketabrak gimana?" Dika menatap nanar, saking takutnya jika sampai ia benar-benar menabrak orang di jalanan. "Tabrak aja aku Mas, tabrak!" pekik Zahra, bulir air mata itu tiba-tiba jatuh begitu saja. "Apa! Kamu sudah benar-benar tidak waras Zahra," Dika melayangkan tangan ke udara, berniat untuk meninggalkan wanita itu di jalanan. "Hiks, sudah tidak ada gunanya aku ada di dunia ini, lebih baik aku mati saja." lirih Zahra, tangisnya semakin kencang. Dika yang sebelumnya marah karena ulah Zahra, tiba-tiba terhenti setelah mendengar keputusasaan itu. Ia memutar kembali tubuhnya mendekatkan Zahra yang menutup wajah dengan kedua tangannya. "Ayo masuk ke mobil," ajak
PlakSebuah tamparan mendarat bebas di pipi Joni hingga menimbulkan rasa kebas di sana, Zahra nampaknya tidak terima dengan perlakuan Joni yang memukul Dika dan mengajaknya bertengkar di tempat umum, tatapan tajam pun didapatkan oleh Joni ketika Zahra tidak mampu menahan lagi emosinya. "Mas, cukup ya, kalau kamu terus saja seperti ini, lebih baik kita putus saja, aku tidak tahan dengan sikap kamu yang seperti ini terus menerus," bentak Zahra, untungnya tempat itu cukup sepi, hinga membuat Joni tidak merasa begitu malu karena mendapatkan tamparan dari Zahra. "Apa, kamu mau putus sama aku? Zahra, kamu jangan bercanda dong, aku nggak mungkin bisa hidup tanpa kamu," ucap Joni, meraih tangan wanita itu hendak memeluknya. "Kamu udah keterlaluan Mas, kamu itu menyebalkan akhir-akhir ini," keluh Zahra, menepis tangan Joni yang hendak menangkapnya. "Aku seperti ini karena aku cemburu, Zahra. Aku cemburu kamu dekat dengan pria lain, bukannya kamu sendiri kan yang ingin aku nikahi, tapi kena
"Ngapain kamu ke sini Mas?" tanya Zahra ketika duduk santainya sambil menikmati makan siang diganggu oleh Cahyo. "Ya aku ingin mendengar kabar baik dari kamu lah, bagaimana, apa Dika mau menerima ku sebagai karyawannya?" Cahyo duduk dengan mantap, bahkan meminum jus yang sudah dipesan oleh Zahra. "Butuh pekerjaan tapi nggak gitu juga kali Mas, kamu bisa memesan minuman sendiri tanpa harus mengambil minuman yang dipesan sama orang," celetuk Zahra tak menanggapi. "Ayolah Zahra, aku datang jauh-jauh ke sini untuk mendengar kabarnya, jangan mengulur waktu." Cahyo bahkan tidak mau meminta maaf dengan kesalahan yang ia lakukan, ia masih saja menunggu jawaban dari Zahra yang saat itu sangat ia harapkan. Karena Cahyo begitu memaksa, akhirnya wanita itupun menjawab dengan kalimat datar, meskipun ada peluang namun ia begitu malas untuk memberikan semangat, lantaran tingkah Cahyo yang tiba-tiba membuatnya ilfil. "Jadi sekarang aku bisa datang ke kantor Dika untuk meminta pekerjaan, ya?" tan
TringKarena tidak mendapatkan balasan apapun dari Zahra, Cahyo pun memutuskan untuk menghubungi wanita itu, sebenarnya Zahra merasa sangat terganggu lantaran ia harus menyelesaikan semua pekerjaannya yang menumpuk. [Ada apa lagi, Mas?] protes Zahra setelah sambungan telepon mereka terhubung. [Zahra, apa kamu tidak membaca keluhan ku? Aku di sini diperlakukan seenaknya oleh Dika] marah Cahyo kecewa. [Mas, sebagai bawahan harusnya kamu jangan gampang tersinggung dong, kamu itukan sedang merintis, kenapa kamu malah justru mengeluh seperti ini] sahut Zahra kesal. [Ya tapi seharusnya tidak seperti itu Zahra, Dika bisa saja memperlakukan aku lebih baik bukan seperti ini] nada bicara Cahyo pun semakin tak terkendali. [Mas, jika semua tidak sesuai dengan keinginan mu, lalu apa mau mu? Kau mau bilang sama Dika kalau kamu tidak terima diperintah? Atau kau akan memutuskan untuk keluar dari pekerjaan itu di hari pertama mu, ha!] [Sudah lah, nikmati saja dulu prosesnya, harusnya kamu pikirka
Esok paginya, Cahyo berangkat ke kantor pagi-pagi sekali, karena ia akan membuat perhitungan pada Ana yang telah berani menertawakan nasibnya saat ini, diam-diam Cahyo masuk ke ruangan Ana dan mengambil beberapa berkas penting yang ia yakini bahwa berkas tersebut akan digunakan untuk meeting pagi ini. Saat berkas itu sudah ada di tangannya, Cahyo buru-buru keluar dari ruangan tersebut dengan mengendap-ngendap, dan masuk ke ruangan pribadinya. Tawa pun menggelegar di sana, Cahyo merasa menang lantaran berhasil mengambil barang penting yang akan menjadi masalah jika tidak ada."Ini akibatnya kalau kamu main-main denganku, Ana. Hari ini aku akan pastikan kalau kamu akan mendapatkan masalah." ungkap Cahyo menatap tajam ke arah berkas penting itu. Sementara Ana sendiri nampak bersemangat memasuki ruangannya, tidak ada filing apapun yang ia rasakan sejak melangkahkan kakinya menuju ke ruangan. Ana justru nampak lebih ramah dari biasanya pada para karyawan lain, dan masuk ke ruangannya den