Hari berganti minggu, dan minggu pun berganti bulan, setelah kejadian malam itu, Tasya dan Dika masih tidur terpisah, dan Dika pun masih bersikap seperti biasanya seolah tidak terjadi apa-apa pada mereka. Tasya pun masih memendam harapan jika kejadian waktu itu akan mengetuk pintu hati Dika untuk mulai menerima pernikahan itu, namun sampai saat ini Dika justru masih bersikap sama, karena tidak mau memikirkan hal itu terlalu dalam, akhirnya Tasya memutuskan untuk kembali fokus bekerja membersihkan rumah. Hari ini Tasya merasa berbeda, ia terlihat sangat kelelahan sehingga keringat mengucur deras di keningnya, karena tidak tahan akhirnya Tasya memutuskan untuk duduk di sebuah anak tangga antara lantai bawah ke lantai atas. Dika membuka pintu, karena hari libur, Dika memutuskan untuk pergi joging seperti yang biasa ia lakukan, saat Dika membuka pintu, ia menyadari keberadaan Tasya sedang duduk karena kelelahan. "Tasya, kamu kenapa?" tegur Dika terhenti dari langkahnya. Tasya terkeju
"Selamat ya, sebentar lagi, kalian akan jadi nenek, dan kakek," ucap dokter itu melempar senyum. "Apa, jadi maksud dokter menantu saya itu sedang hamil?" mama Riri membulatkan matanya ke arah dokter yang menangani Tasya. "Ya Bu, apa yang dialami oleh menantu anda adalah hal wajar bagi ibu yang sedang hamil, karena keadaan calon ibu sedang lemah, saya sarankan untuk dirawat inap sementara, takutnya terjadi apa-apa pada kandungannya," sambungnya menjelaskan. "Ya, ya Dok, lakukan yang terbaik untuk menantu saya." jawab mama Riri begitu bahagia. Mama Riri bergandengan tangan dengan Bu Nirma, bahkan mereka saling berpelukan. Sebagai ekspresi kebahagiaan yang tak terbendung, sementara papa Arkana hanya mengulas senyum bahagia karena akhirnya apa yang ia dambakan selama ini akan segera terwujud juga, papa Arkana menepuk-nepuk pundak Dika, dengan senyuman mengembang di wajahnya. "Lihat lah Dika, kedua wanita itu begitu sangat bahagia menerima kabar tentang calon anak keturunan mu yang ka
Tring... Tring... Malam hari itu, Dika menghubungi mama Riri. Karena ia merasa tidak nyaman berada di rumah sakit menemani Tasya, mama Riri yang belum tidur pun mengangkat telpon putra kesayangannya itu. "Halo Dika, ada apa?""Ma, Mama ke sini dong, aku nggak bisa tidur di ruangan Tasya, aku pulang aja ya,""Eh, kok pulang, nggak bisa gitu dong Dika! Kalau memang kamu nggak bisa tidur di sofa, ya kamu tidur saja di atas brankar sama Tasya, lagian kalian itu sudah suami istri, jadi nggak papa dong kalian tidur satu brankar,""Nggak Ma, aku nggak mau, ayo dong Ma, jangan ngasih solusi yang nggak mungkin aku lakukan," "Kok nggak mungkin di lakukan si, memangnya apa alasan kamu, Dika! Udah ah, Mama ngantuk, mau tidur."TuuutDengan cepat mama Riri mematikan ponselnya, sengaja ia menutup telinga dari rengekan Dika yang membuat dirinya sebenarnya tidak tega, namun apa boleh buat. Mau tidak mau Dika harus bertanggung jawab dengan pernikahannya yang sudah berjalan selama ini. Dika pun ter
"Silahkan, ini kamar mu," ucap Dika mengantarkan asisten rumah tangga yang dikirimkan oleh mama Riri ke kamar Tasya. Tasya mengerutkan kening ketika suaminya itu mempersilahkan masuk asisten rumah tangga yang bernama bi Surti itu ke kamarnya, namun Tasya tak berani bertanya apa maksudnya, Dika nampak sibuk memberikan beberapa tugas pada bi Surti, dari membersihkan ruangan tamu, ruangan keluarga, memasak, dan membersihkan kamarnya yang ada di lantai atas. Sementara Tasya sendiri hanya duduk di sebuah ayunan dengan tangan yang masih mengelus lembut perutnya yang masih rata. Setelah memberikan beberapa tugas pada bik Surti, Dika pun mempersilahkan bi Surti untuk istirahat dulu sejenak, karena sore nanti ia memintanya untuk membuatkan makanan. Tasya bangkit dari tempat duduknya ketika Dika menghampiri dirinya di ayunan. "Mas, kenapa kamu pakai kamarku untuk bi Surti, lalu aku akan tidur di mana?" tanya Tasya, akhirnya pertanyaan itu sampai pada pemilik rumah tersebut. "Karena kamu se
"Istriku hamil, Zahra," ucap Dika membalas tatapan wanita itu dengan serius. "Apa, jadi Tasya benar-benar hamil?" lirih Zahra, apa yang ia dengar dari Ana, rupanya memang benar. Saat itu Zahra tidak bisa berkata apa-apa selain hanya diam menerima kenyataan yang baru saja ia dengar. Dan saat suasana itu masih tegang, tiba-tiba Tasya datang dengan membawakan minuman dan cemilan untuk Zahra. "Mas, ada tamu kok nggak dijamu, si," ucap Tasya. "Emm, maaf sayang, aku pikir Zahra hanya datang sebentar untuk membicarakan soal pekerjaan di kantor," seru Dika beralasan. "Ya tapi tetap saja dia datang sebagai tamu, tamu itu adalah raja yang harus kita hormati," sahut Tasya melempar senyum pada Zahra. "Mbak Zahra, silahkan dinikmati minuman dan cemilannya," sambung Tasya. "Ya, terima kasih." singkat Zahra menjawab. Saat itu pandangan Zahra tak berkedip sedikit pun dalam memperhatikan perut Tasya yang masih rata, entah apa yang ada dalam pikiran wanita itu saat ini, namun Dika sangat ingin
Uwek! Uwek! Tiba-tiba Dika mendengar suara seorang wanita yang sedang berusaha memuntahkan isi dalam perutnya, dan saat ia menyadari bahwa Tasya sudah tidak ada di atas ranjang yang sama dengannya, Dika pun segera mencari sumber suara yang ternyata ada di kamar mandi. Dengan cepat Dika membuka pintu, dan benar saja, bahwa itu adalah Tasya. Dika dengan cepat memijit tengkuk leher Tasya untuk membantunya. "Tasya, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Dika memastikan. "Aku nggak papa Mas, cuma aku tadi tiba-tiba mual aja, uwek!" Tasya terlihat sangat pucat, nampaknya kehamilan pertamanya ini membuat tubuhnya sangat lemas. "Ya sudah, ayo aku bantu, kita kembali ke ranjang." ajak Dika yang langsung menggendong Tasya. Dika merebahkan tubuh Tasya di sana, memberikan air minum agar ia merasa sedikit lebih baik. "Mas, aku kok tiba-tiba pengen makan yang asem-asem ya," ucap Tasya setelah meneguk minuman yang diberikan oleh suaminya. "Asem-asem? Contoh nya apa, Tasya?" tanya Dika menatap bingun
"Mas," Tasya memanggil suaminya yang saat ini sudah membawakan apa yang ia inginkan di dalam mangkuk yang cukup besar itu, Tasya tiba-tiba tersenyum bahagia ketika mengetahui bahwa yang Dika bawa adalah mangga muda yang sudah di campur dengan sambal kacang. "Ini yang kamu inginkan, sudah aku carikan, dan aku buatkan," ucap Dika. "Ya ampun, makasih banyak ya Mas, akhirnya aku bisa memakan buah asam ini," seru Tasya menerima makanan itu dengan suka cita. "Ya, semoga kamu suka. Makan lah." Dika pun meminta Tasya untuk mencicipi makanan yang telah ia sodorkan. Tak lama kemudian makanan itu benar-benar masuk ke dalam mulut Tasya tanpa merasa bahwa buah itu sangat masam, justru Tasya nampak menikmati makanan itu dengan semangat yang membara. "Mas, kamu mau?" tawar Tasya menyodorkan mangkuk itu pada Dika. "Tidak, tidak, aku tidak mau, aku tidak suka buah yang asam-asam," tolak Dika mengernyitkan dahi. "Mas, ini nggak asem kok. Kamu cobain deh, ini aku suapin," paksa Tasya memberikan
Ting... Tong... Sebuah bel berbunyi, bi Surti segera membuka pintu dan menghentikan aktifitas Tasya yang saat itu sedang mengobrol ringan dengan Zahra. Lalu tiba-tiba datang seorang pria yang tak lain adalah Cahyo, tatapan Zahra pun membulat ke arah mantan suaminya itu. 'Mau apa dia ke sini!' batin Zahra terlihat gelisah. Sementara Cahyo sendiri melempar senyum ketika sampai di hadapan Tasya, saat itu Tasya nampak menyambut dengan baik dan mempersilahkan Cahyo duduk. "Kok kebetulan sekali kalian datang ke sini secara bersamaan ya, sayang banget mas Dika hari ini udah ngantor, beberapa hari mas Dika di rumah, tapi nggak ada tamu yang datang," ucap Tasya melempar senyum. "Iya, aku nggak sengaja tadi lewat, dan mampir ke sini. Oh ya, denger-denger kamu lagi hamil ya? Selamat ya Tasya, andai aja Zahra nggak minta pisah sama aku, mungkin dia juga sudah hamil sekarang," seru Cahyo menatap ke arah Zahra. "Apaan si kamu, nggak lucu tahu! Lagian mending kamu pulang deh, nggak penting tahu
Pagi itu, Tasya nampak sibuk menyiapkan sarapan pagi di meja makan, hari ini adalah hari ulang tahun Sauqi yang ke empat tahun, nampak seluruh keluarga duduk menunggu semua menu yang sedang dihidangkan oleh Tasya. Sejak pagi Tasya sendiri tidak mengizinkan mama Riri dan bu Nirma membantunya di dapur, ia ingin menyiapkan semuanya sendiri, karena merasa jika hari ini adalah hari yang sangat spesial baginya. Sementara mama Riri dan bu Nirma akhirnya hanya terduduk dan menonton saja apa yang sedang dilakukan oleh Tasya, sambil sekali-kali mengobrol dengan Sauqi yang sudah lincah dalam berbicara. Tidak ada lagi sesuatu yang menghalangi bagi keluarga itu untuk berbagai kebahagiaan, karena setelah semua kejadian yang menimpa mereka tiga tahun yang lalu, nampak pernikahan Tasya dan Dika semakin romantis dan harmonis. "Sayang, kamu nggak capek sibuk-sibuk sendiri, aku bantu kamu ya," ucap Dika yang tidak enak hati ketika melihat kesibukan yang sedang dijalani oleh istrinya."Nggak usah Mas,
Tiga tahun KemudianBug! Bug! Bug! Sebuah bogeman terdengar di ruangan sempit yang di tempati oleh lima tahanan yang masing-masing memiliki bukti kejahatan yang berbeda, dan salah satunya adalah Roy sebagai pimpinan kerusuhan yang terjadi di pagi ini. Cahyo yang melihat hal itu pun berusaha menyudahi perkelahian tersebut dengan memanggil polisi, suaranya yang nyaring pun mengundang beberapa petugas kepolisian yang mendengar suara Cahyo, dengan cepat dan sigap, mereka pun dapat dipisahkan, tahanan baru yang menjadi bully-an itupun diamankan. Roy dan beberapa temannya pun harus mendapatkan hukuman karena telah melakukan tindakan kerusuhan di dalam tahanan, sementara Cahyo sendiri kini mendekati Diki, seorang tahanan baru yang sudah babak belur di buat oleh teman-teman Roy. "Kamu nggak papa kan?" tanyanya memberikan perhatian. Sesekali ia mengobati luka lebam yang terlihat memar di sana. "Nggak kok, aku nggak papa, makasih ya Mas," ucapnya mengulas senyum. "Ya udah, kamu tenang aja
"Syukur lah sayang, kamu pulang dalam keadaan selamat," ucap mama Riri mengulas senyum lega. Tasya memblas senyuman itu dengan tulus, lalu ia pun berpindah pada bu Nirma yang tak kalah bahagia ketika melihat putrinya kembali dalam keadaan selamat, wanita itu berbinar ketika menyadari suaminya kini datang menggendong Sauqi, perhatikan nya pun kini tertuju pada bocah itu lalu mendekatinya. "Sayang, ini Mama, Nak!"Tasya terharu, dengan kedua mata yang berkaca-kaca ia meraih tubuh mungil Sauqi, bocah kecil itu pun nampak memancarkan senyuman saat menyadari yang menggendongnya adalah sang mama. "Ma-Ma!"Suara manja itu pun terdengar merdu, Tasya mengulas senyum dan langsung mendaratkan kecupan kasih sayang di keningnya. Betapa bahagianya ketika ia mendengar sang putra sudah bisa memanggilnya dengan sebutan mama. Dika ikut mememeluk Tasya dari belakang, mengulas senyum bahagia dan bersyukur atas kembalinya sang istri. Mama Riri pun meminta Dika untuk membawa Tasya ke kamar, tak menungg
Arkana dan Dika kini sudah berada di rumah, di mana ia akan mempersiapkan uang sebanyak dua miliar untuk menembus Tasya, kedatangan mereka pun disambut oleh bu Nirma dan mama Riri yang menatap cemas. "Pa, Dika, bagaimana, apa kalian sudah menemukan keberadaan Tasya?" tanya mama Riri yang memasang wajah penuh kecemasan. "Iya Dika, bagaimana?" lanjut bu Nirma tak kalah khawatir. "Kami sudah menemukan keberadaan Tasya Ma, Bu, Tasya diculik, dan kami pulang untuk menyiapkan uang sebesar dua milyar seperti yang penculik itu inginkan sebagai penebusnya," ucap Dika menahan emosi. "Apa! Dua milyar, astagfirullah, itu jumlah yang yang sangat besar." jawab bu Nirma menatap sedih. Bu Nirma sepertinya sangat syok mendengar jumlah uang yang disebut oleh menantunya itu, namun dengan cepat ditenangkan oleh mama Riri yang mendapat perintah dari papa Arkana. Papa Arkana mengatakan jika jumlah uang tidak perlu menjadi beban pikiran, karena mereka sendiri sudah siap jika harus kehilangan uang sebes
"Nggak papa Pa," ucap Dika dengan gugup. "Ya ampun, ya udah kalau gitu gantian aja ya yang nyetir, kamu sambil istirahat aja," seru papa Arkana cemas. "Papa yakin bisa bawa mobil?" tanya Dika memastikan. "Iya tenang aja, Papa bisa bawa mobil pelan-pelan." jawabnya dengan yakin. Mereka pun bertukar posisi, kini papa Arkana sudah berada di bagian setir, sementara Dika sendiri saat ini sedang duduk dengan santai menatap ke depan dan ke sini berharap jika ia bisa menemukan istrinya. Sementara di tempat lain, Tasya sudah berada di sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya ada lampu kecil yang menerangi ruangan tersebut. Sayup-sayup wanita itu membuka kedua mata, dan terkejut ketika kedua tangannya diikat ke belakang di sebuah kursi kayu, tak lama kemudian datang seorang pria bertubuh tinggi dengan wajah tertutup masker. "Siapa kamu sebenarnya? Dan untuk apa kamu membawaku ke tempat ini, di mana ini?!" bentak Tasya dengan suara parau, tatapan matanya seolah ingin sekali merebut masker ya
"Loh, kok lantainya tiba-tiba basah dan kotor seperti ini? Lalu ini, jejak kaki siapa ya?" bi Surti menatap ke lantai itu dengan penuh tanya. "Maksud Bibi apa bicara seperti itu? Apa di rumah ini ada orang lain selain kalian berdua?!" tatapan tegas dari Dika pun didapatkan oleh bi Surti yang tidak tahu apa-apa. "Saya sendiri tidak tahu Den, tapi ini bukan jejak kaki saya, lihat saja, jejak kakinya cukup besar, dan sepertinya ada kaki lain yang terseret." jawab wanita paruh baya itu dengan polosnya. Dika mendelik sempurna ketika mendengar kalimat dari bi Surti, sempat berpikir tidak mungkin, tetapi pada kenyataannya memang Tasya tidak ada di rumah itu, membuat hati pria tersebut begitu gelisah dan ketakutan.Mencoba untuk tenang, dengan merogoh ponsel di saku celana, ia mencoba untuk menghubungi nomor Tasya, namun tiba-tiba ia mendengar suara ponsel itu di meja makan, rupanya Tasya tidak membawa ponselnya. Menambah kepanikan yang Dika rasakan saat ini. "Sebenarnya tadi non Tasya se
"B-benar Pak, ini saya Dika, a-ada apa ya?" tanya pria itu dengan suara parau. "Kami menemukan sepucuk surat tergeletak di samping korban, dan surat ini sepertinya untuk Bapak," ucapnya seraya memberitahu. "Benarkah, kalau begitu saya akan terima surat itu Pak." jawab Dika yang langsung mengulurkan tangan kanannya. Tanpa disadari oleh Dika, jika sepasang mata sedang mengamati tingkahnya dari kejauhan, siapa lagi kalau bukan Tasya, wanita itu seperti sudah tidak mengenal suaminya, yang terlihat begitu berbeda dari sebelumnya. Rasa kecewa tak terbendung lagi ketika melihat berapa sibuknya Dika dalam urusan kematian Zahra. Karena tak mampu lagi menahan kesedihan, Tasya pun kini menghilang dari kerumunan, ia berjalan menjauhi tempat itu sambil terus menggendong dan memeluk Sauqi, tak lama kemudian ia menemukan pangkalan ojek, ada satu orang bapak-bapak yang mungkin sejak tadi sedang menunggu penumpang, tak menunggu waktu lama, Tasya segera menghampiri bapak itu dengan nafas yang tersen
Beberapa hari sudah, Duka merasa cukup nyaman menjalani rumah tangga nya bersama Tasya, lantaran Zahra sudah tidak pernah lagi menghubungi atau mengganggunya meksipun hanya sebuah pesan yang ia kirimkan. Namun, sepertinya hal itu membuat hati kecil Dika menjadi ganjal, ia merasa ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu, karena ia sangat mengenal sekali siapa Zahra. Wanita yang tidak pernah mau kalah dari pertarungan, apalagi itu menyangkut soal perasaan."Mas, kenapa kamu kayaknya gelisah banget si?"Tiba-tiba datang Tasya yang menegur suaminya, pria itu terkejut dan sontak saja memasang wajah bingung lantaran kepergok memikirkan Zahra. Namun siapa sangka jika Tasya sudah mengetahui apa yang dipikirkan oleh suaminya, dengan melihat sekilas tatapan matanya ia tahu jika Dika saat ini sedang memikirkan orang lain. "Kalau kamu mau menjenguk Zahra di rumah sakit, ya nggak papa Mas, aku negerti kok kalau kamu masih mencemaskan dia," lirih wanita itu yang memberikan lampu hijau pada suamin
Tibanya di pinggir danau, Dika menghentikan mobilnya, membuka pintu lalu mempersilahkan Tasya keluar, namun wanita itu nampaknya enggan mengikuti perintah sang suami lantaran ia masih memendam rasa kecewa. "Sayang, ayo lah turun," ajak Dika berusaha terus membujuk. "Nggak mau, mending kamu bawa aku pulang aja ke rumah ibu, kamu pasti sibuk kan mau ke rumah sakit, jadi lebih baik kamu pergi saja ke sana," celetuk Tasya menolak, ia masih saja berpikir jika suaminya itu lebih memilih mantan kekasihnya itu. "Mau turun sendiri, atau kamu akan melihat aku nekat, dengan menggendong kamu masih memasuki kafe itu." tukas Dika yang sama sekali tak menanggapi ucapan Tasya. Wanita itu mendelik sempurna ketika ucapannya sama sekali tak direspon, ia pun akhirnya turun daripada harus menerima gendongan dari Dika yang jelas-jelas sudah membuatnya marah. Sementara Dika sendiri mengulas senyum sembari berjalan beriringan dengan Tasya menuju sebuah kafe yang terlihat begitu ramai pengunjung. Sebuah