"Samudera Nikolass!"Bentakan William menukik tajam membuat kesadaran dengan cepat merengkuh kembali akal sehat Niko. Ia panik saat pasien itu berdarah akibat pembuluhnya salah ia tarik."Kendalikan dirimu!"Ada riak kemarahan dalam titah William saat ia mengambil alih untuk mengatasi kekacauan di atas meja operasi. Salah seorang perawat mengusap keringatnya yang menetes berpeluh-peluh.Niko merasa ia benar-benar kacau. Kehilangan Bela telah mematahkan tulang rusuknya. Menghancurkannya hingga tak berbentuk. Ia dirundung nestapa sementara Nial dapat merasakan cinta yang hebat dari Bela.***Pagi ini, saat Bela keluar dari kamar mandi, Kim telah membawa masuk sebuah dress yang sangat cantik. Berwarna peach, dengan shoulder boat beraksen brukat yang indah."Tuan Nial sudah berangkat lebih pagi ke kantor. Nanti malam Nona Bela akan diantar Pak Han."Kim mengucapkannya seraya meletakkan sebuah kotak sepatu di dekat ranjang."Mas Nial nggak akan pulang, Bu Kim?""Biasanya dia ikut turun
"Ya, Jerry?"Nial menjauh saat menerima panggilan dari Jerry."Pak Nial di mana?""Aku sedang mengantar Bela ke kamar mandi.""Cepat kembalilah ke sini! Ada yang harus aku bicarakan padamu.""Apa?"Nial dapat merasakah gurat kekhawatiran yang tersirat dalam nada suara Jerry meski suara alunan musik dari seberang telepon ikut andil dalam percakapan mereka."Tim keamanan bilang ada CCTV yang dirusak di pintu masuk gedung sebelah timur. Bisa saja ada kejadian buruk di antara kerumunan. Sebaiknya Pak Nial cepat kembali."Rahang Nial menegang."Iya, baiklah! Aku akan ke sana."Panggilan mereka mati. Nial kembali menoleh ke arah kamar mandi di mana menurutnya Bela sangat lama di dalam sana.Nial menengok arlojinya dan memutuskan untuk membuka pintu utama toilet. "Sayang?"Hening."Bela?"Nihil.Bahkan pintu demi pintu yang ada di dalam sana dan ia buka seluruhnya benar-benar kosong."Di mana Bela?"Ia menengok sekeliling. Di sini memang sangat sepi dan beda dengan keadaan di depan. "Apa d
"BRENGSEK!"Dio terkejut mendengar suara bariton dingin yang murka itu datang dari belakangnya. Dan itu adalah ...."Nial?"Selama perjalanan ke sini panggilannya dengan Bela belum mati dan ia mendengar sendiri bagaimana kejamnya anak kecil ini memperlakukan istrinya.Nial melacak ponsel Bela dan menemukannya di sini, tergolek tak berdaya di bawah tubuh Dio yang menindihnya.Di depannya.Tepat di depan matanya ia melihat sendiri bagaimana istrinya hampir saja digagahi. Darah Nial mendidih manjadi bara api melihat Bela yang wajahnya babak belur, dengan darah di pelipisnya dan juga sudut bibirnya. Ia semakin marah saat melihat dress Bela sudah terkoyak hingga menunjukkan hampir semua bagian atas tubuhnya.Dari bagaimana gigihnya Bela dan hati baiknya, Nial tahu Bela pasti melakukan perlawanan dan menjaga kehormatannya, tapi justru berakhir tragis seperti sekarang. Ia tidak tahu pikiran iblis apa yang ada di dalam kepala Dio. Dan ....Nial tidak peduli. Yang ia tahu, ia akan menghab
Remuk.Bela merasa tubuhnya remuk saat ia membuka mata. Entah ini di mana karena ia merasa sudah terlalu lama tidur.Ia bangkit dan melihat kelambu yang tersingkap, menampakkan seberkas kilau cahaya matahari yang memaksa masuk dari celah-celahnya.Jam menunjuk pukul tujuh. Membutuhkan waktu sedikit lebih lama baginya untuk menyadari ia ada di dalam kamarnya, kamar Nial.Saat ia menyentuh keningnya, ada plester yang menutupi luka perihnya.Air mata Bela menggenang hebat saat ingat kejadian yang telah membuatnya dibawa pergi Dio. Dan ... hal terakhir yang saat itu disadarinya hanyalah detik-detik di mana Dio membuka ikat pinggang miliknya setelah mengoyak pakaiannya.Bela mengusap seluruh tubuhnya.Jijik. Dio pasti sudah menodainya..'Lalu bagaimana aku harus menghadapi Nial sekarang?'Tangisnya semakin keras. Ia meremas dadanya kuat-kuat. "Sayang?"Suara Nial datang dari arah kamar mandi. Berderap dan mengahampiri Bela yang menangis di tempatnya baru bangun."Sayang, kenapa? Kamu sud
"Ibumu stroke setelah tahu kamu masuk penjara.""BOHONG!"Jerry hanya tersenyum melihat wajah pucat Dio."Lihat! Bukan hanya hidupmu yang hancur, tapi kamu juga telah menghancurkan hidup orang lain, hidup ibumu. Dan ingat ini! Jangan salahkan siapapun atas apa yang terjadi padamu! Semuanya berasal dari titik awal kamu memulainya."Jerry melenggang pergi dari sana. "JERRY!"Dio berteriak kesetanan saat memanggil namanya. Memukul kaca yang menahannya di dalam sana."JERRY!"Suaranya parau seperti burung gagak yang menggigil kedinginan di dalam badai salju.Jerry sampai di depan, melihat Nial yang berdiri di samping mobilnya. Berhadapan dengan seorang lelaki yang mengenakan kemeja warna putih, seputih rambutnya."Maafkan dia, Pak Nial." Kalimat itu datang dari Hakim, ayahnya Dio. Jerry takut Hakim gelap mata dan menyerang Nial karena telah membuatnya gulung tikar, menjebloskan anak lelakinya ke penjara yang mana itu mengakibatkan istrinya stroke.Jerry bergegas menghampiri Nial, memas
***Sekitar pukul delapan malam saat Bela mendengar, "Bela!" panggilan yang datang dari Siska.Siska mendekap erat Bela sesampainya ia di dalam rumah Nial setelah pulang kencan dengan Jerry."Selamat malam."Jerry yang masuk dari belakang Siska menundukkan kepala memberi salam pada Nial yang berjalan menuruni tangga."Selamat malam, Jerry, Siska. Bagaimana filmnya? Bagus?""Bagus, terima kasih."Nial mengangguk dan tersenyum, lalu mereka menoleh pada Bela dan Siska yang masih memeluk satu sama lain."Yah-yah! Ini Dio yang membuatnya?"Siska memelototkan matanya, menyentuh wajah Bela yang membiru si beberapa titik. Selagi Bela menjawabnya dengan mengangguk."Bagus dia dipenjara, kalau nggak ... wah ... aku akan merencanakan pembunuhan karena dia menyakiti temanku.""Tenang saja, Mas Nial sudah menghajarnya."Bela sekilas menoleh pada Nial."Selamat malam." Jerry menundukkan kepala pada Bela setelah jeda karena percakapan mereka."Malam, Kak Jerry.""Terima kasih Pak Nial sudah memesan
Niko gugup.Ini sudah semalam berselang sejak ia mengamati bunga yang ada di atas meja di dalam kamarnya. Dan pagi ini ia keluar dari mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pintu gerbang kampus.Ia gelisah, antara melanjutkan menunggu Bela untuk meminta maaf atas insiden yang ia lakukan di rumah sakit tempo hari, ataukah sebaiknya ia mundur saja dan melupakan semuanya.Simalakama.Jika ia ada di sini, bisa saja Bela bertambah marah. Tapi jika ia mundur, ia tidak tahu apakah Bela memaafkannya atau tidak."Kak Niko?"Niko berbalik, tersenyum mendengar suara panggilan yang keluar dari bibir seorang perempuan. Tapi saat ia berbalik, itu bukanlah Bela. Bukan yang ia harapkan kedatangannya karena itu adalah Siska.Niko sekilas melihat melewati pundak Siska, berharap Bela ada di belakangnya. Namun hasilnya nihil."Kamu sendirian? Bela mana?""Kak Niko menunggunya?""Iya.""Dia nggak akan masuk.""Kenapa?""Dia sakit."Mata Niko bergerak tidak nyaman. Tidak mengantisipasi jawaban dari Siska ya
"Bapak!"Bela berlari memasuki ruangan di mana Handoko terbaring di dalam sana. Bersama Sasti yang duduk di sebelahnya. Dan juga Hendro yang duduk di sofa ruang VIP. Menyambut kedatangan Bela dan juga Nial dengan tersenyum."Bapak baik-baik saja?"Bela meraih tangan Handoko yang tersenyum. Kondisinya tidak seburuk yang ia pikirkan."Baik, Bel.""Sungguh?""Iya, jangan khawatir!"Nial menunduk, menyalami Sasti, Handoko dan ayahnya sendiri bergantian. Ia memandang Handoko yang tersenyum melihat wajah paniknya setelah Hendro mengabarinya bahwa ia dilarikan ke sini."Ayah sungguh baik-baik saja? Apa yang dikatakan William?""Hanya perlu istirahat saja, Nak Nial, dan tidak perlu memikirkan hal yang berat-berat."Bela bersyukur ayahnya dalam kondisi yang baik. Ia juga bersyukur obat dari Stefani bekerja dengan cukup baik sehingga luka memar di wajahnya sudah hampir sepenuhnya pulih. Sekarang tidak tampak karena ia mengaplikasikan make up tipis.Ia ingin apa yang terjadi padanya hari itu tid
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si