"Ya, Jerry?"Nial menjauh saat menerima panggilan dari Jerry."Pak Nial di mana?""Aku sedang mengantar Bela ke kamar mandi.""Cepat kembalilah ke sini! Ada yang harus aku bicarakan padamu.""Apa?"Nial dapat merasakah gurat kekhawatiran yang tersirat dalam nada suara Jerry meski suara alunan musik dari seberang telepon ikut andil dalam percakapan mereka."Tim keamanan bilang ada CCTV yang dirusak di pintu masuk gedung sebelah timur. Bisa saja ada kejadian buruk di antara kerumunan. Sebaiknya Pak Nial cepat kembali."Rahang Nial menegang."Iya, baiklah! Aku akan ke sana."Panggilan mereka mati. Nial kembali menoleh ke arah kamar mandi di mana menurutnya Bela sangat lama di dalam sana.Nial menengok arlojinya dan memutuskan untuk membuka pintu utama toilet. "Sayang?"Hening."Bela?"Nihil.Bahkan pintu demi pintu yang ada di dalam sana dan ia buka seluruhnya benar-benar kosong."Di mana Bela?"Ia menengok sekeliling. Di sini memang sangat sepi dan beda dengan keadaan di depan. "Apa d
"BRENGSEK!"Dio terkejut mendengar suara bariton dingin yang murka itu datang dari belakangnya. Dan itu adalah ...."Nial?"Selama perjalanan ke sini panggilannya dengan Bela belum mati dan ia mendengar sendiri bagaimana kejamnya anak kecil ini memperlakukan istrinya.Nial melacak ponsel Bela dan menemukannya di sini, tergolek tak berdaya di bawah tubuh Dio yang menindihnya.Di depannya.Tepat di depan matanya ia melihat sendiri bagaimana istrinya hampir saja digagahi. Darah Nial mendidih manjadi bara api melihat Bela yang wajahnya babak belur, dengan darah di pelipisnya dan juga sudut bibirnya. Ia semakin marah saat melihat dress Bela sudah terkoyak hingga menunjukkan hampir semua bagian atas tubuhnya.Dari bagaimana gigihnya Bela dan hati baiknya, Nial tahu Bela pasti melakukan perlawanan dan menjaga kehormatannya, tapi justru berakhir tragis seperti sekarang. Ia tidak tahu pikiran iblis apa yang ada di dalam kepala Dio. Dan ....Nial tidak peduli. Yang ia tahu, ia akan menghab
Remuk.Bela merasa tubuhnya remuk saat ia membuka mata. Entah ini di mana karena ia merasa sudah terlalu lama tidur.Ia bangkit dan melihat kelambu yang tersingkap, menampakkan seberkas kilau cahaya matahari yang memaksa masuk dari celah-celahnya.Jam menunjuk pukul tujuh. Membutuhkan waktu sedikit lebih lama baginya untuk menyadari ia ada di dalam kamarnya, kamar Nial.Saat ia menyentuh keningnya, ada plester yang menutupi luka perihnya.Air mata Bela menggenang hebat saat ingat kejadian yang telah membuatnya dibawa pergi Dio. Dan ... hal terakhir yang saat itu disadarinya hanyalah detik-detik di mana Dio membuka ikat pinggang miliknya setelah mengoyak pakaiannya.Bela mengusap seluruh tubuhnya.Jijik. Dio pasti sudah menodainya..'Lalu bagaimana aku harus menghadapi Nial sekarang?'Tangisnya semakin keras. Ia meremas dadanya kuat-kuat. "Sayang?"Suara Nial datang dari arah kamar mandi. Berderap dan mengahampiri Bela yang menangis di tempatnya baru bangun."Sayang, kenapa? Kamu sud
"Ibumu stroke setelah tahu kamu masuk penjara.""BOHONG!"Jerry hanya tersenyum melihat wajah pucat Dio."Lihat! Bukan hanya hidupmu yang hancur, tapi kamu juga telah menghancurkan hidup orang lain, hidup ibumu. Dan ingat ini! Jangan salahkan siapapun atas apa yang terjadi padamu! Semuanya berasal dari titik awal kamu memulainya."Jerry melenggang pergi dari sana. "JERRY!"Dio berteriak kesetanan saat memanggil namanya. Memukul kaca yang menahannya di dalam sana."JERRY!"Suaranya parau seperti burung gagak yang menggigil kedinginan di dalam badai salju.Jerry sampai di depan, melihat Nial yang berdiri di samping mobilnya. Berhadapan dengan seorang lelaki yang mengenakan kemeja warna putih, seputih rambutnya."Maafkan dia, Pak Nial." Kalimat itu datang dari Hakim, ayahnya Dio. Jerry takut Hakim gelap mata dan menyerang Nial karena telah membuatnya gulung tikar, menjebloskan anak lelakinya ke penjara yang mana itu mengakibatkan istrinya stroke.Jerry bergegas menghampiri Nial, memas
***Sekitar pukul delapan malam saat Bela mendengar, "Bela!" panggilan yang datang dari Siska.Siska mendekap erat Bela sesampainya ia di dalam rumah Nial setelah pulang kencan dengan Jerry."Selamat malam."Jerry yang masuk dari belakang Siska menundukkan kepala memberi salam pada Nial yang berjalan menuruni tangga."Selamat malam, Jerry, Siska. Bagaimana filmnya? Bagus?""Bagus, terima kasih."Nial mengangguk dan tersenyum, lalu mereka menoleh pada Bela dan Siska yang masih memeluk satu sama lain."Yah-yah! Ini Dio yang membuatnya?"Siska memelototkan matanya, menyentuh wajah Bela yang membiru si beberapa titik. Selagi Bela menjawabnya dengan mengangguk."Bagus dia dipenjara, kalau nggak ... wah ... aku akan merencanakan pembunuhan karena dia menyakiti temanku.""Tenang saja, Mas Nial sudah menghajarnya."Bela sekilas menoleh pada Nial."Selamat malam." Jerry menundukkan kepala pada Bela setelah jeda karena percakapan mereka."Malam, Kak Jerry.""Terima kasih Pak Nial sudah memesan
Niko gugup.Ini sudah semalam berselang sejak ia mengamati bunga yang ada di atas meja di dalam kamarnya. Dan pagi ini ia keluar dari mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pintu gerbang kampus.Ia gelisah, antara melanjutkan menunggu Bela untuk meminta maaf atas insiden yang ia lakukan di rumah sakit tempo hari, ataukah sebaiknya ia mundur saja dan melupakan semuanya.Simalakama.Jika ia ada di sini, bisa saja Bela bertambah marah. Tapi jika ia mundur, ia tidak tahu apakah Bela memaafkannya atau tidak."Kak Niko?"Niko berbalik, tersenyum mendengar suara panggilan yang keluar dari bibir seorang perempuan. Tapi saat ia berbalik, itu bukanlah Bela. Bukan yang ia harapkan kedatangannya karena itu adalah Siska.Niko sekilas melihat melewati pundak Siska, berharap Bela ada di belakangnya. Namun hasilnya nihil."Kamu sendirian? Bela mana?""Kak Niko menunggunya?""Iya.""Dia nggak akan masuk.""Kenapa?""Dia sakit."Mata Niko bergerak tidak nyaman. Tidak mengantisipasi jawaban dari Siska ya
"Bapak!"Bela berlari memasuki ruangan di mana Handoko terbaring di dalam sana. Bersama Sasti yang duduk di sebelahnya. Dan juga Hendro yang duduk di sofa ruang VIP. Menyambut kedatangan Bela dan juga Nial dengan tersenyum."Bapak baik-baik saja?"Bela meraih tangan Handoko yang tersenyum. Kondisinya tidak seburuk yang ia pikirkan."Baik, Bel.""Sungguh?""Iya, jangan khawatir!"Nial menunduk, menyalami Sasti, Handoko dan ayahnya sendiri bergantian. Ia memandang Handoko yang tersenyum melihat wajah paniknya setelah Hendro mengabarinya bahwa ia dilarikan ke sini."Ayah sungguh baik-baik saja? Apa yang dikatakan William?""Hanya perlu istirahat saja, Nak Nial, dan tidak perlu memikirkan hal yang berat-berat."Bela bersyukur ayahnya dalam kondisi yang baik. Ia juga bersyukur obat dari Stefani bekerja dengan cukup baik sehingga luka memar di wajahnya sudah hampir sepenuhnya pulih. Sekarang tidak tampak karena ia mengaplikasikan make up tipis.Ia ingin apa yang terjadi padanya hari itu tid
"Ingin bicara apa, Kak Nik?"Bela bertanya sekeluarnya mereka dari ruang rawat Handoko dan Bela memutuskan untuk ikut dengannya. Setidaknya ia harus mendengarkan apa yang ingin dikatakan Niko kepadanya.Mereka ada di bawah pohon, dekat bangku tak jauh dari ruang VIP."Nggak, Bel. Tadi pagi aku datang ke kampus tapi Siska bilang kamu sedang sakit. Aku hanya ingin minta maaf."Niko menatap teduh Bela, lebih teduh ketimbang bayangan pohon besar yang saling tumpang tindih menaungi mereka dari matahari yang mulai meninggi."Iya, aku maafkan."Niko meraih tangan kanan Bela, meletakkan sebuah cincin di sana. Cincin dengan warna rose gold yang cantik dan itu membuat Bela tidak nyaman. "Apa ini?""Hadiah.""Untuk apa?""Saat kamu pergi bulan madu dengan Nial, aku terus berpikir haruskah aku menunggumu lebih lama ataukah melepasmu. Aku berniat akan menanyakannya secara langsung."Canggung.Bela tidak tahu bagaimana harus menyikapi situasi ini. Dengan Niko yang sudah jelas tahu statusnya adalah