"Aku harap dia nggak cukup sinting untuk nggak menyerah mendapatkan Bela."Nial bergegas menjemput Bela. Ia khawatir karena ada pemuda tanggung bernama Dio yang terobsesi untuk memilikinya.Namun, saat mobil yang ia kemudikan berhenti dan ia keluar, ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Dio yang menahan Bela.Sementara Siska memasang badan untuk melindunginya, Dio bukannya mereda tapi justru menggila saat ia menyeret Siska enyah dari hadapannya.Ketenangannya buyar saat ia melihat Bela yang menampar Dio setelah cincin pernikahannya dibuang.Amarah menguasai Nial dari ujung kaki hingga ke ujung kepala saat Dio melepas tangan Bela dengan kasar dan membuatnya hampir terjerembab jatuh ke belakang.Nial dengan sigap menahan pinggang ramping Bela. Membuat ketegangan beralih mata padanya, seolah ia tidak terlihat sebelumnya. Baik itu oleh Siska, Dio dan juga Bela."Sepertinya kamu tuli! Kutanya apa yang kamu lakukan pada wanitaku, brengsek?"Nial mengulangi kalimatnya saat orang
Niko datang ke kampus karena sengaja ingin bertemu dengan Bela. Tapi ia kesal karena hujan mengguyur sore yang tadinya baik-baik saja.Suasana ini seperti sedang mengatakan bahwa ada yang bersedih. Yang tak disangka oleh Niko, ternyata yang bersedih itu adalah Bela. Saat ia keluar dari mobilnya dengan membuka payung, ia melihat Bela, Nial dan juga Siska tampak mencari sesuatu di antara rumput kecil. Di bawah pohon yang letaknya tak jauh dari pintu gerbang kampus.Ia ingin tahu dan memutuskan untuk berjalan ke dalam. Ia sudah akan mengeluarkan suara untuk bertanya apa yang mereka lakukan di bawah derai hujan yang menggila ini.Tapi sebelum hal itu sempat ia lakukan, Niko melihat sebuah benda berkilauan yang tepat hampir saja ia injak. Benda berbentuk lingkaran dengan kemilauan sedang ada di antara segerombolan rumput semanggi berdaun empat.Seperti sebuah keadaan yang melambangkan keberuntungan 'Cincin milik Bela?'Ia memungut cincin itu, benar ada nama 'Danial' yang terukir di bag
Bela merasa darahnya memanas dengan cepat saat tangannya memeluk Nial. Prianya juga kembali memberikan sensasi berdebar yang menyenangkan saat memagut bibirnya dengan hangat.Bela tahu Nial sedang tersenyum saat melakukannya. Tapi itu hanya sesaat sebelum mereka menyadari ada orang ketiga dan keempat yang datang, yang sebelumnya seperti lepas dari pengawasan mereka karena suasana terlanjur menyeret mereka dengan rasa nyaman."Bapak, Ibuk?""Ayah, Mamah?"Suara Bela dan Nial saling bertumpang tindih dengan terkejut saat melihat kedatangan Handoko dan Sasti yang juga sama terkejutnya.Bela mendorong Nial sehingga Nial bangkit sambil menariknya dan mereka duduk dengan panik di sofa ruang tamu."Maaf! K-kalian di sini?"Handoko bertanya dengan tergagap, sambil berjalan masuk diikuti Sasti, saling menahan senyum."I-iya," jawab Bela dan juga Nial bersamaan."Maaf, Bapak kira rumahnya kosong karena nggak ada mobilnya di depan.""Iya, tadi hujan. Jadi Nial masukkan ke dalam kamar.""Kamar?"
***"Selamat datang kembali, Nona Bela."Suara bahagia Kim terdengar saat ia menyambut kedatangan Bela dan juga Nial dari arah pintu rumah.Kim tersenyum lepas, seperti menemukan mana orang yang benar yang seharusnya ada di rumah ini. Nial melihat bagaimana Kim menyambut Bela masuk, meraih tas Bela dan mengajaknya ke dalam rumah. Ia jadi ingat wajah kesal Kim yang hari itu tahu bahwa perempuan yang dibawa pulang Nial adalah Vida, saat ia hilang ingatan."Mas nggak masuk?"Suara Bela menghentikan lamunan sesaatnya. Bela tersenyum pada Nial yang masih berdiri di luar padahal malam ini sedang gerimis."Iya.""Kenapa, Mas? Terjadi sesuatu?" Bela yang masih berdiri di samping Kim memandangnya yang mulai mengambil langkah masuk."Terakhir kali aku datang dengan seorang perempuan, Bu Kim nggak seperti ini, Bel.""Oh? Sungguh? Saat membawa pulang Vida?""Ya, tatapannya berisik. Matanya seperti sedang mengatakan kalau dia membenciku. Nggak menyambut kedatanganku, mengisyaratkan sebaiknya ak
'Bocah sinting!'Adalah dua kata yang dipikirkan oleh Bela. Mendengar bagaimana gigihnya Dio yang dengan terang-terangan memintanya agar meninggalkan Nial dan memilihnya saja.Niko pernah melakukan hal-hal seperti ini. Namun ia tidak sefrontal Dio, tentu saja. Dua kepribadian mereka bertolak belakang."Kamu sudah gila?"Bela marah dan melepas kedua tangannya dari Dio."Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Kamu terobsesi denganku?" Dio mengangguk mendengar pertanyaan Bela."Ya, lihat bagaimana dirimu, Bela! Siapa yang nggak akan menggila saat—""Stop!"Bela memotong kalimat Dio. Mereka saling tatap dalam kediaman yang sesaat barusan menghampiri."Dio, terima kasih sudah memberi perhatian padaku, tapi ... aku harus memberi batas yang jelas untuk itu. Aku adalah perempuan yang sudah menikah. Aku mencintai suamiku, jadi tolong! Berhentilah!"Rahang Dio menegang melihat Bela yang dengan terang-terangan telah menunjukkan di mana tempatnya seharusnya berada. Bahwa ia tidak bisa melangkahi bata
Bela masih membuka matanya saat Nial mengecupnya. Ia tidak tahu situasi apa ini, tapi sepertinya rasa kesalnya pada Nial seketika itu menguap dengan begitu mudahnya.Ia ikut memejamkan matanya, membiarkan Nial melakukannya."Kamu marah dengan Mas, 'kan?"Nial sekali lagi bertanya saat melepaskan bibirnya dari Bela."Tuh 'kan ... kamu nggak mau ngomong sama Mas?""Mas Nial bohong!"Bela menghindari tatapan mata Nial, pergi dari sana dan duduk di kursi di depan meja. Yang berseberangan dengan kursi kerja Nial."Bohong apa?" tanya Nial masih mengikutinya."Kamu bilang akan membalas pesanku? Tapi ... kamu membuatku khawatir.""Kamu khawatir?""Tentu saja! Setelah peristiwa terakhir yang memisahkan kita, aku terus merasa khawatir. Karena takdir bisa saja berubah sewaktu-waktu."Nial tersenyum. Ia meraih kedua pinggang ramping Bela dan mengangkatnya. Mendudukkannya di atas meja kerja miliknya.Melangkah mendekat dan meraih wajah Bela, memberikan kecupan paling manis sebisa mungkin agar ia t
"Ah! Gugupnya ...."Nial mengusap dadanya sekilas.Auckland.Rolex Oyster Perpetual Day-Date 40 seharga seratus ribu dolar Amerika di pergelangan tangan kiri Nial menunjuk pada angka sepuluh malam saat ia dan Bela masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan Jerry untuk mereka selama berbulan madu di sini, di New Zealand.Kali ini, New Zealand sedang dilanda musim yang cerah. Tapi tetap saja suasana di sini dingin dan sejuk.Penghangat ruangan juga sudah dinyalakan sejak Jerry mengambil penerbangan lebih dulu untuk sampai di sini lebih cepat dan memastikan Bela juga Nial tidak mengalami kesulitan.Bela menyapukan pandangannya ke seluruh rumah ini. Ruang tamunya tak begitu luas, tapi suasananya hangat. Dapurnya rapi, dengan teras yang dipenuhi oleh pot-pot bunga yang dijajar dengan cantik.Rumah hanya satu lantai, tapi seni minimalis yang disuguhkan seperti sengaja menyambut mereka untuk menghabiskan waktu berdua saja.Jendelanya luas dan besar-besar, dengan korden warna cream yang tampa
"Selamat pagi."Adalah kalimat pertama yang didengar Bela saat ia membuka mata. Ada pemandangan yang sama cantiknya dengan landscape memukau milik Auckland dan itu adalah wajah cerah Nial."Selamat pagi."Bela gugup saat mengingat bagaimana panasnya kegiatan mereka semalam di dalam kamar mandi.Semakin gugup karena saat ini Nial tersenyum padanya saat duduk di tepi ranjang. Menunggunya bangun hanya untuk mengucapkan 'Selamat pagi' padanya.Bela merinding saat Nial mengecup keningnya, hidungnya, pipinya, dagunya sebelum bibirnya."Mandilah dulu! Aku sudah menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kamu mau susu?""I-iya, terima kasih.""Aku suka kalau kamu seperti itu, Bela. Malu-malu, gugup, dan tersenyum."Nial ikut tersenyum saat ia bangkit dan pergi lebih dulu dari kamar.Bela menyusul tak lama kemudian dengan sudah memakai pakaian yang hangat. Bukan dress cantik dan anggun karena tempat mereka pergi hari ini akan ada di tanah yang bersalju.Tapi pandangan Nial mengatakan ia suka dengan ya