'Bocah sinting!'Adalah dua kata yang dipikirkan oleh Bela. Mendengar bagaimana gigihnya Dio yang dengan terang-terangan memintanya agar meninggalkan Nial dan memilihnya saja.Niko pernah melakukan hal-hal seperti ini. Namun ia tidak sefrontal Dio, tentu saja. Dua kepribadian mereka bertolak belakang."Kamu sudah gila?"Bela marah dan melepas kedua tangannya dari Dio."Kamu ini sebenarnya kenapa, sih? Kamu terobsesi denganku?" Dio mengangguk mendengar pertanyaan Bela."Ya, lihat bagaimana dirimu, Bela! Siapa yang nggak akan menggila saat—""Stop!"Bela memotong kalimat Dio. Mereka saling tatap dalam kediaman yang sesaat barusan menghampiri."Dio, terima kasih sudah memberi perhatian padaku, tapi ... aku harus memberi batas yang jelas untuk itu. Aku adalah perempuan yang sudah menikah. Aku mencintai suamiku, jadi tolong! Berhentilah!"Rahang Dio menegang melihat Bela yang dengan terang-terangan telah menunjukkan di mana tempatnya seharusnya berada. Bahwa ia tidak bisa melangkahi bata
Bela masih membuka matanya saat Nial mengecupnya. Ia tidak tahu situasi apa ini, tapi sepertinya rasa kesalnya pada Nial seketika itu menguap dengan begitu mudahnya.Ia ikut memejamkan matanya, membiarkan Nial melakukannya."Kamu marah dengan Mas, 'kan?"Nial sekali lagi bertanya saat melepaskan bibirnya dari Bela."Tuh 'kan ... kamu nggak mau ngomong sama Mas?""Mas Nial bohong!"Bela menghindari tatapan mata Nial, pergi dari sana dan duduk di kursi di depan meja. Yang berseberangan dengan kursi kerja Nial."Bohong apa?" tanya Nial masih mengikutinya."Kamu bilang akan membalas pesanku? Tapi ... kamu membuatku khawatir.""Kamu khawatir?""Tentu saja! Setelah peristiwa terakhir yang memisahkan kita, aku terus merasa khawatir. Karena takdir bisa saja berubah sewaktu-waktu."Nial tersenyum. Ia meraih kedua pinggang ramping Bela dan mengangkatnya. Mendudukkannya di atas meja kerja miliknya.Melangkah mendekat dan meraih wajah Bela, memberikan kecupan paling manis sebisa mungkin agar ia t
"Ah! Gugupnya ...."Nial mengusap dadanya sekilas.Auckland.Rolex Oyster Perpetual Day-Date 40 seharga seratus ribu dolar Amerika di pergelangan tangan kiri Nial menunjuk pada angka sepuluh malam saat ia dan Bela masuk ke dalam rumah yang sudah disiapkan Jerry untuk mereka selama berbulan madu di sini, di New Zealand.Kali ini, New Zealand sedang dilanda musim yang cerah. Tapi tetap saja suasana di sini dingin dan sejuk.Penghangat ruangan juga sudah dinyalakan sejak Jerry mengambil penerbangan lebih dulu untuk sampai di sini lebih cepat dan memastikan Bela juga Nial tidak mengalami kesulitan.Bela menyapukan pandangannya ke seluruh rumah ini. Ruang tamunya tak begitu luas, tapi suasananya hangat. Dapurnya rapi, dengan teras yang dipenuhi oleh pot-pot bunga yang dijajar dengan cantik.Rumah hanya satu lantai, tapi seni minimalis yang disuguhkan seperti sengaja menyambut mereka untuk menghabiskan waktu berdua saja.Jendelanya luas dan besar-besar, dengan korden warna cream yang tampa
"Selamat pagi."Adalah kalimat pertama yang didengar Bela saat ia membuka mata. Ada pemandangan yang sama cantiknya dengan landscape memukau milik Auckland dan itu adalah wajah cerah Nial."Selamat pagi."Bela gugup saat mengingat bagaimana panasnya kegiatan mereka semalam di dalam kamar mandi.Semakin gugup karena saat ini Nial tersenyum padanya saat duduk di tepi ranjang. Menunggunya bangun hanya untuk mengucapkan 'Selamat pagi' padanya.Bela merinding saat Nial mengecup keningnya, hidungnya, pipinya, dagunya sebelum bibirnya."Mandilah dulu! Aku sudah menyiapkan sandwich untuk sarapan. Kamu mau susu?""I-iya, terima kasih.""Aku suka kalau kamu seperti itu, Bela. Malu-malu, gugup, dan tersenyum."Nial ikut tersenyum saat ia bangkit dan pergi lebih dulu dari kamar.Bela menyusul tak lama kemudian dengan sudah memakai pakaian yang hangat. Bukan dress cantik dan anggun karena tempat mereka pergi hari ini akan ada di tanah yang bersalju.Tapi pandangan Nial mengatakan ia suka dengan ya
***"Apa itu Vida?"Niko seperti akan melompat keluar dan mematahkan seat belt miliknya saat ia berhenti di lampu merah dan melihat seorang perempuan yang ada di sisi kanannya. Perempuan itu juga ada di dalam mobil seseorang entah siapa, tapi ia yakin itu Vida."Tapi, bukannya Bela bilang dia ada di penjara?"Ia ragu, lalu memasang airpods di telinganya dan menghubungi Bela.Namun, jemarinya kaku saat itu juga. Ia baru ingat saat ini Bela sedang tidak ada di Jakarta. Melainkan sedang ada di luar negeri guna berbulan madu dengan Nial.Ia membatalkan niatnya dan kembali melepas airpods yang tadi ia kenakan.Lampu hijau menyala dan mobil yang ditumpangi Vida lebih dulu pergi membelah jalan raya. 'Mungkin aku hanya salah lihat?'....Niko tidak salah melihat karena yang tadi ada di sisi kanannya benar-benar seorang Vida. Ia dengan sopir milik Dio yang membawa mobil menuju sebuah lokasi perumahan elit. Dan itu adalah rumah Dio.Ia masuk setibanya di sana dan menjumpai Dio yang berjalan
***"Kamu capek?"Nial mempererat genggaman tangannya pada Bela.Mereka sekarang sedang ada di Mount Cook.Padang rumput kering, sungai yang ada di bawah jembatan gantung dan padang salju telah menemani akhir petualangan Bela dan Nial yang menghabiskan waktu dengan berjalan di sepanjang jalur trekking."Enggak, Mas."Bela tersenyum, cantik. Seperti pemandangan yang indah, landscape gunung bersalju dan juga padang ilalang yang memanjakan mata telah membuat mereka lelah.Tiga jam berjalan menuju tempat bersalju dan tiga jam perjalanan untuk kembali ke titik awal.Melelahkan sekaligus menyenangkan.Jerry mengambil foto-foto mereka. Menjaga jarak dengan berjalan sedikit lebih jauh di belakang agar dua makhluk hidup yang dimabuk cinta itu tidak merasa terganggu.Jerry senang karena Nial telah kembali cerah setelah awan gelap kehidupan merundungnya dalam sepi dan rasa bersalah. Ia senang itu adalah Bela yang menyembuhkan Nial.Tidak ia duga, pernikahan mereka yang hanya berawal dari keben
Bela terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Ia membuka matanya, jendela besar selebar pintu di kamarnya, kelambunya sudah terbuka. Pemandangan langit biru yang terlihat sampai ke sini memanjakan penglihatannya.Tapi ada hal lain yang lebih atraktif.Nial.Bela melihatnya sedang melakukan pemanasan, stretching lengan kiri dan kanan, di dekat jendela. Membuat Bela disuguhi dua pemandangan sekaligus, langit pagi dan juga Nial.Jantung Bela berdebar melihat Nial--yang tampak tak tahu kalau dia sudah bangun. Karena ia terus beraktivitas. Melakukan push up, sit up, back up. Dengan keadaan bertelanjang dada dan memakai celana panjang warna putih. Melihat Nial melakukan push up membuat debar jantungnya berantakan. Ia berkeringat dan larut dalam aktivitas fisiknya di dekat jendela."Kamu sudah bangun?"Bela mengakhiri lamunan panjangnya saat suara Nial membuatnya sesegera mungkin tersadar."I-iya."Bela dengan gugup menjawab, belum bangun dari posisinya sementara Nial masih melakukan push up
"M-Mas, stop!"Susah payah Bela membuat Nial agar ia menahan hasratnya. "Kenapa? Kamu menolak Mas?""Aku nggak menolak, tapi—"Kruyuuuk ....Perut Nial berbunyi dan tawa Bela terdengar renyah."Tuh! Kamu lapar, 'kan?""Baiklah, deep kiss ya? Sebentar saja."Bela mengangguk. Menurutinya untuk saling menautkan bibir sebentar karena Nial meminta deep kiss dan membiarkan Bela memasak. Ia juga membantu dengan menyeduh kopi dan mereka letakkan di atas meja setelah semua makanan siap. Duduk di ruang makan. Di samping jendela besar di mana di luar sana cuaca sedang terik. Berada di dalam rumah adalah satu-satunya hal yang menyejukkan."Terima kasih, ini enak sekali."Nial tersenyum saat melakukan satu suapan dengan pasta lembut dan juga saus yang enak. Hasil karya Bela."Iya, kamu suka?""Aku hampir nggak pernah makan makanan rumahan setelah peristiwa yang mengguncang hidupku."Bela tahu itu pastilah peristiwa kematian Catherine dan juga Gavin. Nial hanya tidak menyebutkan namanya dan seb
***"Selamat pagi."Bariton dalam nan seksi milik Nial selalu menyambutnya setiap pagi.Dia juga tampak baru saja mandi saat melihat Bela yang bangun dari tidurnya dan memberi istrinya kecupan yang manis."Selamat pagi, Mas. Kamu sudah mandi?""Sudah, Sayang. Hm ... kenapa kamu bangun cepat-cepat? Istirahatlah lagi!""Tapi belum ada makanan untuk pagi ini."Nial tersenyum mendengarnya. Ia berlutut di depan Bela dengan sebelah kakinya dan mengusap perutnya yang bulat dan lucu."Oh? Oh!"Nial terkejut. Ia memandang Bela dengan tidak percaya."Kenapa Mas? Dia gerak ya?""Iya. Oh mungkin ingin ucapan selamat pagi juga? Hm ... kamu iri?"Nial mengecup perutnya dan memandang Bela."Bela?""Ya?""Kamu sempurna. Terima kasih untuk sudah mengandung dan mwlahirkan anak-anak kita."Bela mengangguk. Ia tidak bisa menyembunyikan senyumnya saat senyum Nial juga tampak sangat manis."Kamu mandilah! Nanti jadi pergi, 'kan?"Nial lebih dulu bangkit dari posisinya. Mengusap puncak kepala Bela dan memer
***"Ini kebebasan?"Terik. Matahari bersinar terik siang ini.Cerah dan juga berawan. Gugusan Cirro stratus membentang seperti karpet selamat datang yang menyaksikannya keluar dari tahanan. Pada akhirnya ....Tahun-tahun penebusannya telah berlalu. Dan ia tersenyum sekarang. Senyum yang kini tampak lega. Itu adalah Vida.Ia bebas dari tahanan setelah melewati masa yang suram. Yang tidak ingin lagi ia ulangi untuk ke dua kalinya.Dadanya lega sekaligus sebah. Ada perasaan bersalah pada Bela yang kini meluap hingga tumpah.Ia berjalan di sepanjang jalur pedestrian, menunduk dan memasuki sebuah kafe setelah keluar dari toko emas, menjual perhiasan yang dulu masih ia pakai sebelum dibawa polisi.Ponsel dan emas yang dikembalikan padanya itu ia jual dan ia gunakan setidaknya untuk bertahan hidup beberapa waktu ke depan. Sementara ponselnya masih bagus dan saat ini ada di atas meja.Ia duduk. Menghadap sebuah kertas kosong yang baru ia beli dari sebuah toko alat tulis.Netranya tergenan
Bela tersenyum membaca pesan dari Nial yang mengatakan agar ia bicara dengan Niko lebih dulu.Kini, bagi mereka ... semua telah sembuh dari luka. Tidak ada lagi pertengkaran atau baku hantam sama seperti yang dilakukan Nial dan Niko jika dulu mereka bertemu.Kebencian mereka telah berakhir. Bela ingat Nial sempat mengatakan bahwa Niko-lah yang dulu memberi tahu Nial saat Bela pergi ke Jawa Barat dan memutuskan akan mengakhiri hidupnya sendiri.Niko jugalah yang telah menanganinya saat Bela dilukai Jenni.Semuanya telah berlalu dengan sangat cepat. Waktu membuat kebencian bermetamorfosa menjadi obat penyembuh paling mujarab."Bagaimana kabarnya Pak Nial?"Pertanyaan Niko kembali merengkuh kesadaran Bela yang sedari tadi dibelenggu oleh pemikiran panjangnya."Kabar baik juga, Kak Nik. Dia sedang menikmati hari menjadi Papa yang super sibuk dengan anak lelakinya yang berlarian tanpa henti."Niko tersenyum mendengarnya. Sudah lama ia juga tidak bertemu Nial."Kak Niko mau bertenu dengan M
"Baby, be careful!"Bela merendahkan tinggi tubuhnya, berlutut saat anak kecil laki-laki berumur tiga tahun itu berlari dan memeluknya."Mommy! Mrs. Kim gets some letters!"Jari kecilnya menunjuk pada pintu ruang makan. Tapi saat Bela melihatnya, Nial lah yang masuk dengan bahu merosot penuh kelegaan. Ia baru saja berlari mengikuti anak lelakinya yang berderap secepat kilat meninggalkannya di belakang."Gavin? Papa 'kan sudah bilang jangan--""Mas? Sudahlah!"Bela tersenyum, mengusap punggung tangan Nial saat mendekat."Gavin, lihat perut mama! Hm? Gavin sayang dengan mama?"Nial ikut berlutut dan mengusap puncak kepalanya."Pasti sayang. Gavin sayang mama.""Kalau begitu pelan-pelan ya kalau peluk mama? Nanti kalau adik sakit bagaimana?"Gavin mengusap perut Bela yang membesar."Dia namanya adik?"Bela tertawa mendengar pertanyaan polosnya."No, Baby! Dia belum punya nama. Masih di dalam perut Mama. Nanti kalau sudah keluar, baru bisa diberi nama."Bela meraih tangan kecilnya. Meleta
Bela hanya menahan senyumnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan Siska rasakan bersama Jerry untuk pertama kalinya.'Jadi, akan ada yang segelnya dirusak malam ini.'Bela tertawa sendiri. Ia berdiri di deoan cermin setinggi pintu yang ada di dalam kamar ganti dan mengulurkan tangannya ke belakang. Meraih resleting di punggungnya, untuk melepas gaun malam yang tadi ia gunakan untuk menghadiri pernikahan Siska dan juga Jerry."Astaga! Kenapa selalu saja seperti ini. Tadi dipakai mudah tapi kalau mau dilepas sulitnya minta ampun."Bela menggerutu. Ia masih mencoba menarik resletingnya tapi rasanya tidak bisa.Sampai sebuah tangan menariknya turun dan Bela dengan cepat menoleh ke belakang. Ia menunduk teelalu lama sampai tidak sadar Nial sudah masuk dan membantunya."Terima kasih, Mas Nial.""Iya, sama-sama, Sayang."Bela melepasnya. Melemparnya ke sandaran sofa ruang ganti dengan hanya menyisakan underwear. Saat Nial juga membuka kancing jasnya dan ikut melemparnya di temp
Nial tidak bisa membendung senyumnya saat tahu isi di dalam kotak kado itu. Itu berisi figura yang membingkai sebuah foto.Foto anak kecil perempuan dengan topi bundarnya. Itu adalah foto masa kecil Bela."Mas Nial 'kan selalu bilang kalau aku adalah hadiah yang kamu sukai?""Ya. Memang benar begitu, kok.""Jadi aku memberikan foto anak kecil itu padamu. Anak kecil yang hidupnya kamu selamatkan dan meski terpisah selama lebih dari satu dekade, takdir kembali mempertemukannu dengannya.""Ya, benar. Terima kasih. Mas akan letakkan ini di atas meja kantor kalau pulang nanti. Tapi ada yang harus kamu lakukan sekarang."Nial menutup kotak kado itu dan meletakkannya di atas nakas. Ia meraih tangan Bela dan membuatnya duduk di atas pangkuannya."Apa? Apa yang harus aku lakukan?""Berperan sebagai hadiah yang baik. Hm?"Nial telah membuka kancing dress yang dipakai Bela."Mas? Kamu nggak ingin makan kuenya dulu? Itu enak loh! Aku pesan di toko kue di ujung jalan yang ramai itu."Nial menggele
***Nial membuka matanya, hari sudah pagi. Dengan keadaan dirinya yang terbaring di atas ranjang bulan madunya. Dengan keadaan tanpa pakaian.Ia sama sekali tidak turun dari ranjang sejak dengan Bela kemarin sore. Akh.Mengingatnya saja membuatnya gerah setengah mati bahkan saat pendingin udara dinyalakan di atas sana. Ingatannya kembali terpanggil di saat-saat ia dan Bela memasuki kamar kemarin."Are you sure?" ragu Bela, bertanya memastikan pada Nial bahwa ia diperbolehkan mengambil alih kontrol mulai saat ini sejak Nial tidak bisa mendominasi hubungan ranjang karena ia masih tidak diperbolehkan bergerak terlalu banyak."Yeah, Baby! Take off my clothes!"Jantung Bela berdebar mendengar permintaan Nial agar melucuti pakaiannya. Bela tidak membantahnya dan membuka kancing kemeja Nial satu demi satu. Melihat perutnya yang masih terlilit perban dan belum sepenuhnya bisa dikatakan pulih.Nial hanya tersenyum saat Bela membuka kancing di celana panjang putih yang ia kenakan dan membuatny
Darah lebih kental dari Air. Jika di Swiss Leo menyerang Nial saat semua orang lengah, atau Jenni yang menyerang Bela saat itu, sekarang di sini, di Jakarta, Rafael menyerang Jerry.Tapi Jerry telah meningkatkan kewaspadaannya sepuluh kali lipat. Ia membaca pergerakan Rafael dan secepat mungkin menahan pergelangan tangannya yang membawa pisau cutter."Kamu yang brengsek!"Jerry memuntir tangannya hingga terbalik dan jatuhlah pisau itu. Rafael didorongnya hingga punggungnya terbentur dinding dengan kasar."Untuk semua yang telah kamu lakukan pada keluarga Nial, dan kali ini padaku. Bayarkan dan tebuslah semuanya, Rafael! Kamu punya kesempatan untuk menyesal."Jerry mengalihkan tangannya dari bahu Rafael ke kerah bajunya."Tapi saat kamu nggak berubah, aku pastikan kerah bajumu ini nggak lagi sama karena kamu akan mendekam di dalam penjara. Do you get it? Get lost you bastard!"Jerry memberikan penekanan pada setiap kalimatnya. Membuat Rafael bergidik ngeri karena dia dalam ancaman yan
"Selamat malam."Jerry datang dan menunduukan kepalanya pada Nial dan juga Bela yang ada di dalam kamar rawat."Selamat malam," balas mereka hampir bersamaan."Pak Nial sudah baikan?""Ya, Jerry. Dari mana kamu seharian? Kamu nggak datang menjengukku loh."Jerry menunjukkan senyumnya yang manis. Tapi Bela dapat melihat ada gurat kemarahan yang ia pendam saat ini."Bisa kita bicara? Hanya berdua saja."Jerry memandang Bela, memohon pengertian dan maaf."Sure, aku akan keluar. Aku akan ngobrol dengan Pak Watson."Bela hanya melemparkan senyumnya lalu memberi tempat untuk Jerry."Sebentar ya, Sayang?" Nial meraih tangannya sebelum ia benar-benar pergi."Iya, Mas. Kalian bicaralah!"Bela melambaikan tangannya sekilas pada Nial sebelum menghilang di balik pintu ruangan."Kenapa, Jerry? Hari ini kamu mengunjungi anak itu?"Nial bertanya sesegera mungkin. Tidak ingin membuang waktu lebih banyak karena ia ingin dengar apa yang ingin dikatakan oleh Jerry sampai membuat Bela harus pergi dari si