***"Waah ... Serius? Aku pikir Mas Jerry bohong saat bilang kamu dapat Maserati dari Pak Nial."Siska berujar saat mereka ada di kelas terakhir, di mana mahasiswa yang ada di dalam kelas mulai membubarkan diri."Tapi buat apa dia membelikanku mobil? Aku 'kan nggak bisa nyetir."Bela baru tahu fakta itu. Bukannya dia tidak suka hadiah dari Nial. Tapi, memang begitulah adanya."Nggak apa-apa, nanti minta ajarin sama Pak Nial.""Besok, 'kan? Kamu sama Kak Jerry tunangan?"Mereka bangkit dari duduk dan berjalan keluar dari sana. Berjalan di sepanjang koridor yang entah kenapa lebih ramai dari biasanya."Iya, besok. Doakan lancar ya? Dan kamu harus datang, loh!""Kalau nggak?""Aku marah lah! Kita nggak usah ngomong, dua minggu."Bela dibuat tertawa olehnya. Mereka terus berjalan sampai menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Apalagi saat Bela merasakan sebuah batu melayang padanya dan mengenai kepalanya."Auh!"Bela menyentuh keningnya yang berdarah."Kenapa, Bel?"Belum sempat Bela menj
"Kalian bisa keluar. Mereka sudah bubar."Leo datang dengan membawa angin segar bagi mereka yang ada di dalam ruangan."Syukurlah."Siska menyambutnya dengan bahagia. Untung saja kerusuhan ini berlangsung dengan singkat dan mereka mencapai mufakat. "Bel! Aku duluan ya!"Siska lebih dulu kabur. Dia benar-benar harus pergi dari sini sesegera mungkin karena memang ada janji dengan ayahnya untuk mengurus beberapa hal mengenai persiapan pertunangannya besok."Iya. Dah ...."Bela membalas lambaian tangannya dan berjalan keluar bersama anak-anak yang lain. Dan dengan Leo di sampingnya."Kamu benar Bela? Arabela?" Leo memastikan, sekaligus membuka percakapan mereka."Iya, aku Bela.""Sekarang aku tahu kenapa Samudera Nikolass tergila-gila denganmu. Siapa yang bisa menahan diri melihat kecantikanmu, Bela?"Bela membersihkan tenggorokannya dengan berdehem saat Leo hanya melemparkan tawa kecil."Jangan mengikuti jejak Samudra Nikolass! Aku katakan ini dari awal ya! Aku sudah menikah."Leo menga
***MARIA FLORIST."Ini tempat Mas Nial sering membeli bunga untukku?"Bela bertanya saat mobil yang dikemudikan oleh Han berhenti di depan sebuah toko florist dalam perjalanan mereka untuk menghadiri pertunangan Jerry dan juga Siska."Iya. Ayo masuk! Kamu yang pilihkan bunga untuk mereka."Bela mengangguk, turun dari mobil bersama Nial saat hari menggelap. Saat masuk, ia kagum dengan banyaknya bunga di tempat ini. Semuanya cantik, tapi beberapa keranjang bunga sudah banyak yang kosong."Selamat datang. Oh?"Wanita pemilik toko bernama Maria itu tampak terkejut karena yang dilihatnya adalah Nial."Wah ... ini istrimu?" Dia melangkah mendekat. Mengamati Bela dari ujung kepala hingga ke ujung kaki dengan tidak percaya. Sekarang dia menemukan jawabannya kenapa Nial jatuh cinta dengannya."Astaga ... kamu cantik sekali.""Terima kasih.""Pak Nial! Kamu memilih istri yang tepat. Dilihat dari manapun dia tampak baik hati, manis dan sempurna seperti yang kamu katakan.""Sssst!"Nial memberi
***Bela takut.Dia takut karena ini hari ketiganya belajar menyetir namun ia masih gugup. Ia takut merusak mobil Nial. Ini memang bukan Maserati yang dihadiahkan untuknya. Tapi ini tetaplah sedan mewah yang paling sering dipakai oleh Nial."Jangan gugup!"Nial mencoba menenangkannya saat Bela berbelok dengan kaku di tikungan. "Mas? Apa aku nggak bisa nggak usah nyetir saja? Aku takut sungguh!"Nial tertawa dibuatnya."Kenapa? Kamu 'kan sudah punya dasar-dasarnya? Ini hanya karena kamu belum terbiasa, kok!"Memang!Memang Bela sempat diajari Handoko menyetir mobil. Tapi itu sudah agak lama dan Bela lupa caranya. Keberaniannya juga sedikit memudar karena kini yang dia hadapi hanyalah rasa takut."Jangan takut! Lihat! Kamu sudah bisa mengontrol lajunya. Sebenarnya kamu sudah bisa, Sayang. Tapi masih kaku."Bela menghela napasnya saat mobil yang ia kemudikan berbelok memasuki halaman rumah Nial. Ia mematikan mesin tak lama kemudian setelah Nial mengajarinya parkir."Bagaimana? Mudah, '
"Kalau aku jatuh di sini aku akan menguncimu di luar kamar nanti malam." Nial tersenyum mendengarnya. Pada akhirnya Bela benar-benar menuruti apa yang diinginkan oleh Nial. Bahwa mereka akan berjalan di atas arena ice skating ini. Selagi Nial Sudah melenggang bebas di sana, dan tampak sangat menawan saat dia dengan mudahnya berputar untuk melihat Bela yang berdiri kaku di tepian dengan berpegangan pada pembatas, tidak bisa bergerak. "Sayang? Kamu sungguh nggak bisa?" Bela mengangguk. Nial kembali ke tepi dan menarik tangan Bela. Memimpinnya agar mereka pelan-pelan masuk ke dalam sana selagi orang-orang mulai menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. Siapa lelaki tampan dan perempuan secantik bidadari yang bergandengan tangan di atas arena ice skating. "Mas Nial jangan lepasin aku loh ya!" "Kalau Mas lepasin kenapa?" Nial tersenyum menggodanya. "Aku akan mencubit hidungmu, sungguh!" Nial tertawa sekarang. Dia tidak pernah melihat Bela sekaku ini karena setiap kali berjalan a
Tangan Bela seperti kebas saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa perempuan dengan dress di atas lutut itu adalah Jenni.Bukan Jenni personil girlband yang terkenal itu. Tapi wanita yang datang dari masa lalu Nial. Wanita yang tidak menginginkannya."Kenapa dia datang ke sini?"Nial mendesis dengan kesal melangkah maju bersiap melakukan sumpah serapah untuk kedatangannya yang membuatnya sakit mata. Tapi Bela lebih dulu menahannya dan membuat Nial tetap berdiri di tempatnya.Bela melingkarkan tangannya di lengan Nial dan berjalan maju. Menyambut kedatangan Jenni saat Hendro ikut mendekat dan msnyapanya."Nial? Bela? Kalian di sini?"Nial tersenyum menyeringai mendengar pertanyaannya yang tidak masuk akal. Ditilik dari manapun sepertinya perempuan itu sedang terguncang melihat Bela yang dengan berani justru seperti sedang dengan terang-terangan melawannya.Bahwa Bela adalah menantu keluarga ini, istri Nial. "Iya, kami di sini. Tentu saja, karena Ayah Hendro adalah ayahku."Nia
Jenni heran ke mana perginya Nial dan Bela sejak mereka kesal karena kedatangannya. Terakhir kali mereka terlihat berjalan ke arah sini. Dan Jenni pergi mengikuti mereka.Namun, bukannya menemukan Nial--karena ia berharap bisa bicara dengan Nial saja--dia malah menemukan jasnya yang tergeletak di atas sandaran sofa.Dan orangnya?Ada di dekat lemari. Sedang menunduk memeluk pinggang seorang perempuan yang ia kunci agar tidak bisa bergerak.Dan jari-jari lentik yang melingkar di belakang leher Nial itu adalah milik Bela, tentu saja. Nial tidak akan sekalap itu jika itu bukan Bela.Jenni memegang pouch-nya erat-erat. Saat ia mengharapkan dengan sepenuh hati Nial masih meletakkan sebagian hati padanya, namun semuanya terasa sia-sia.Dia telah kalah oleh Bela. Kalah dari anak kecil yang membuat Nial bertekuk lutut itu. Anak kecil yang mengendalikan Nial, membawa pergi hatinya sekaligus memilikinya seutuhnya.Bibir Jenni bergetar, mengatup rapat. Dingin dan pucat selagi dua bibir di sana s
***"Apa aku membuat kesalahan lagi? Astaga kepalaku pusing."Hendro memijit keningnya yang terasa sakit. Ia merasa bersalah pada Nial dan juga Bela yang pasti kecewa karena ada Jenni di pesta ulang tahunnya. Pesta yang harusnya hanya diisi oleh orang dekatnya.Ia memang mengundang orang tua Jenni, tapi siapa sangka malah anaknya yang datang.Ia lebih merasa bersalah pada Bela. Nial benar saat mengatakan kalau Jennilah dalang sebenarnya dari peristiwa buruk yang nyaris saja menghancurkan hidup anak menantunya.Dan malam ini perempuan itu malah ia biarkan melenggang bebas di dalam rumahnya. Harusnya ia mengusirnya saja.Hendro terus mengemudi. Memikirkan hal semalam telah membuat tengkuknya terasa berat. Dadanya juga sesak. Cidera akibat jatuh saat di kamar mandi tempo hari kini tiba-tiba terasa sakit.Ia menepikan mobilnya. keinginannya untuk segera sampai di kantor harus ia gagalkan begitu saja karena ia kesakitan.Rasa bersalahnya semakin besar saat ia memikirkan Bela dan Nial. Bela