***Bela takut.Dia takut karena ini hari ketiganya belajar menyetir namun ia masih gugup. Ia takut merusak mobil Nial. Ini memang bukan Maserati yang dihadiahkan untuknya. Tapi ini tetaplah sedan mewah yang paling sering dipakai oleh Nial."Jangan gugup!"Nial mencoba menenangkannya saat Bela berbelok dengan kaku di tikungan. "Mas? Apa aku nggak bisa nggak usah nyetir saja? Aku takut sungguh!"Nial tertawa dibuatnya."Kenapa? Kamu 'kan sudah punya dasar-dasarnya? Ini hanya karena kamu belum terbiasa, kok!"Memang!Memang Bela sempat diajari Handoko menyetir mobil. Tapi itu sudah agak lama dan Bela lupa caranya. Keberaniannya juga sedikit memudar karena kini yang dia hadapi hanyalah rasa takut."Jangan takut! Lihat! Kamu sudah bisa mengontrol lajunya. Sebenarnya kamu sudah bisa, Sayang. Tapi masih kaku."Bela menghela napasnya saat mobil yang ia kemudikan berbelok memasuki halaman rumah Nial. Ia mematikan mesin tak lama kemudian setelah Nial mengajarinya parkir."Bagaimana? Mudah, '
"Kalau aku jatuh di sini aku akan menguncimu di luar kamar nanti malam." Nial tersenyum mendengarnya. Pada akhirnya Bela benar-benar menuruti apa yang diinginkan oleh Nial. Bahwa mereka akan berjalan di atas arena ice skating ini. Selagi Nial Sudah melenggang bebas di sana, dan tampak sangat menawan saat dia dengan mudahnya berputar untuk melihat Bela yang berdiri kaku di tepian dengan berpegangan pada pembatas, tidak bisa bergerak. "Sayang? Kamu sungguh nggak bisa?" Bela mengangguk. Nial kembali ke tepi dan menarik tangan Bela. Memimpinnya agar mereka pelan-pelan masuk ke dalam sana selagi orang-orang mulai menjadikan mereka sebagai pusat perhatian. Siapa lelaki tampan dan perempuan secantik bidadari yang bergandengan tangan di atas arena ice skating. "Mas Nial jangan lepasin aku loh ya!" "Kalau Mas lepasin kenapa?" Nial tersenyum menggodanya. "Aku akan mencubit hidungmu, sungguh!" Nial tertawa sekarang. Dia tidak pernah melihat Bela sekaku ini karena setiap kali berjalan a
Tangan Bela seperti kebas saat melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa perempuan dengan dress di atas lutut itu adalah Jenni.Bukan Jenni personil girlband yang terkenal itu. Tapi wanita yang datang dari masa lalu Nial. Wanita yang tidak menginginkannya."Kenapa dia datang ke sini?"Nial mendesis dengan kesal melangkah maju bersiap melakukan sumpah serapah untuk kedatangannya yang membuatnya sakit mata. Tapi Bela lebih dulu menahannya dan membuat Nial tetap berdiri di tempatnya.Bela melingkarkan tangannya di lengan Nial dan berjalan maju. Menyambut kedatangan Jenni saat Hendro ikut mendekat dan msnyapanya."Nial? Bela? Kalian di sini?"Nial tersenyum menyeringai mendengar pertanyaannya yang tidak masuk akal. Ditilik dari manapun sepertinya perempuan itu sedang terguncang melihat Bela yang dengan berani justru seperti sedang dengan terang-terangan melawannya.Bahwa Bela adalah menantu keluarga ini, istri Nial. "Iya, kami di sini. Tentu saja, karena Ayah Hendro adalah ayahku."Nia
Jenni heran ke mana perginya Nial dan Bela sejak mereka kesal karena kedatangannya. Terakhir kali mereka terlihat berjalan ke arah sini. Dan Jenni pergi mengikuti mereka.Namun, bukannya menemukan Nial--karena ia berharap bisa bicara dengan Nial saja--dia malah menemukan jasnya yang tergeletak di atas sandaran sofa.Dan orangnya?Ada di dekat lemari. Sedang menunduk memeluk pinggang seorang perempuan yang ia kunci agar tidak bisa bergerak.Dan jari-jari lentik yang melingkar di belakang leher Nial itu adalah milik Bela, tentu saja. Nial tidak akan sekalap itu jika itu bukan Bela.Jenni memegang pouch-nya erat-erat. Saat ia mengharapkan dengan sepenuh hati Nial masih meletakkan sebagian hati padanya, namun semuanya terasa sia-sia.Dia telah kalah oleh Bela. Kalah dari anak kecil yang membuat Nial bertekuk lutut itu. Anak kecil yang mengendalikan Nial, membawa pergi hatinya sekaligus memilikinya seutuhnya.Bibir Jenni bergetar, mengatup rapat. Dingin dan pucat selagi dua bibir di sana s
***"Apa aku membuat kesalahan lagi? Astaga kepalaku pusing."Hendro memijit keningnya yang terasa sakit. Ia merasa bersalah pada Nial dan juga Bela yang pasti kecewa karena ada Jenni di pesta ulang tahunnya. Pesta yang harusnya hanya diisi oleh orang dekatnya.Ia memang mengundang orang tua Jenni, tapi siapa sangka malah anaknya yang datang.Ia lebih merasa bersalah pada Bela. Nial benar saat mengatakan kalau Jennilah dalang sebenarnya dari peristiwa buruk yang nyaris saja menghancurkan hidup anak menantunya.Dan malam ini perempuan itu malah ia biarkan melenggang bebas di dalam rumahnya. Harusnya ia mengusirnya saja.Hendro terus mengemudi. Memikirkan hal semalam telah membuat tengkuknya terasa berat. Dadanya juga sesak. Cidera akibat jatuh saat di kamar mandi tempo hari kini tiba-tiba terasa sakit.Ia menepikan mobilnya. keinginannya untuk segera sampai di kantor harus ia gagalkan begitu saja karena ia kesakitan.Rasa bersalahnya semakin besar saat ia memikirkan Bela dan Nial. Bela
"Ayah?!"Bela terkejut karena saat ia turun dari taksi online, ada kerumunan di sebelah barat kampusnya. Ia dan Siska ikut ke sana dan melihat seorang lelaki yang dikeluarkan dari mobil dalam keadaan pingsan. Itu adalah Hendro."Ayah!"Bela sekali lagi memanggilnya saat petugas medis yang mungkin saja di panggil oleh orang yang menemukannya pingsan di pinggir jalan."Anda mengenalnya?" Salah satu petugas medis bertanya dan Bela mengangguk dengan cepat."Iya, itu ayah mertuaku.""Tolong ikut kami!"Bela memandang Siska yang tatapannya mengartikan, 'It's okay! Just follow him!'"Apa yang terjadi, Pak?" Ia bertanya pada salah seorang petugas medis yang membawa Hendro memasuki ambulans. Mereka masuk dan melesat di atas jalan raya yang lengang pagi ini."Tekanan darahnya sangat rendah. Apa dia punya riwayat cedera akhir-akhir ini? Di dadanya ada luka lebam yang belum sepenuhnya pulih."Bela pusing, melihat Hendro tak berdaya di atas brankar seperti membuatnya mengalami kekhawatiran yang da
***"Sungguh ayah mertuamu baik-baik saja?" Siska bertanya pada Bela saat mereka ada di mall. Di dalam toko buku yang lumayan ramai. Sepulang dari kampus dan pergi ke sini dengan memesan taksi online."Iya, bapak yang jaga di sana.""Apa yang sebenarnya terjadi, Bel?" Siska meraih sebuah buku tebal dari rak buku romance, membaca blurb di belakang dan menoleh pada Bela. Yang masih melihat-lihat setiap judul buku yang ada di hadapannya."Bapak bilang ayah baru saja jatuh. Makanya ada luka memar di dadanya. Pasti dia nggak mau aku sama mas Nial khawatir. Dia nggak cerita."Siska mendorong napasnya dengan sedikit cemas. Orang tua memang selalu seperti itu sampai kapanpun. Bahwa mereka tidak ingin anak-anak mereka cemas dan merahasiakan rasa sakit mereka untuk diri sendiri."Kamu sudah izin sama Pak Nial 'kan kalau mau ke sini?" "Iya, Sis. Mas Nial yang minta aku ke sini sama kamu. Dia bilang aku nggak usah kepikiran karena dia nanti sore akan jenguk ayah.""Ya sudah."Mereka beralih ke
"Wah! Jangan bilang kamu nggak tahu kalau sebenarnya aku yang meminta Vida menjebakmu?"Jika ada kata kasar yang ada pada level tertinggi, Bela benar-benar akan menumpahkannya pada Jenni. Dia aneh! Jika biasanya orang-orang ingin kejahatannya disembunyikan, tapi Jenni lain. Dia malah membukanya di depan korban.Di mana korban itu adalah Bela. Bela yang mengalami trauma akibat peristiwa malam itu.Bela berjalan mendekat pada Jenni, benar-benar ingin mencakarnya sekarang. Apalagi saat perempuan itu melanjutkan dengan,"Apa Nial berusaha melindungiku? Apa dia nggak ingin kamu tahu aku yang melakukannya? Hm ... jadi aku harus berterima kasih pada Nial?"Bela tertawa lirih dibuatnya. Ia masih lurus memandang Jenni, dagunya terangkat seperti sedang menantang meski hatinya hancur berkeping-keping. Kenyataan Nial menyembunyikan kebenaran besar ini membuat ulu hatinya nyeri. Tapi itu nanti saja. Dia bisa membahasnya di rumah. Yang terpenting sekarang adalah bagaimana caranya membuat peremp