"Oh, rumah ini bagus sekali, Zan! Aku tidak menyangka kita bakal punya rumah sebesar ini." Mata Aina berbinar seakan ia tidak percaya karena tiba-tiba saja Virzano suaminya mengajak dirinya pindah ke rumah baru. Zano mengaku telah membeli sebuah rumah dan mengajak Aina istrinya itu pindah kesana dan meninggalkan kontrakan lusuh yang sudah lima tahun mereka tempati berdua.
Hal itu tentu sulit dipercaya Aina. Selama lima tahun berumah tangga, hidup mereka sangatlah susah. Jangankan untuk membeli sebuah rumah mewah, untuk makan sehari-hari dan bayar kontrakan saja mereka kesulitan. Hampir setiap bulan Aina diomelin oleh pemilik kontrakan karena selalu telat membayar sewa rumah petak yang mereka tempati. Bahkan karena kesulitan ekonomi itu juga mereka harus merelakan Zehra anak semata wayang buah cinta mereka di adopsi salah seorang keluarga Aina yang tidak memiliki anak. Yah, mau gimana lagi, untuk hidup sehari-hari saja mereka kekurangan bahkan tak jarang harus puasa. Merelakan Zehra adalah langkah yang tepat untuk menyelamatkan anak itu dari kelaparan. Waktu menikahi Aina, Zano hanyalah seorang pelayan di sebuah toko roti dan Aina adalah perempuan kampung yang nota bene adalah teman masa sekolah Zano. Mereka berdua telah berpacaran sejak di bangku SMA dan dua tahun kemudian mereka memutuskan untuk menikah dan Zano memboyong Aina ke Jakarta lalu mereka hidup pas-pas an. Ketika covid 19 menghantam dunia membuat ekonomi di setiap belahan bumi merosot tajam. Pembatasan ruang gerak yang diberlakukan oleh pemerintah membuat banyak sekali usaha rakyat gulung tikar dan tidak terkecuali toko roti tempat Zano bekerja. Ia dan beberapa rekannya di berhentikan walau diberikan sedikit uang untuk bekal mereka satu bulan ke depan. Selanjutnya Zano menganggur dan hanya kerja serabutan untuk sekedar mencari sepiring nasi pengganjal perut mereka berdua. Makan sebungkus berdua, itu sudah biasa. "Aku masih belum percaya kalau ini rumah kita, Zan. Apakah kamu sedang bercanda sayang?" tanya Aina sambil mengerjapkan matanya berulang kali. Zano tersenyum dan merangkul bahu istrinya itu dengan mesra. "Coba cubit tanganmu, sayang! Sakit nggak? Kalau sakit berarti ini kenyataan!" ucap Zano mengelus-elus tangan kanan istrinya. "Aku cubitin ya..!" ucap Zano mulai menjumput daging tangan istrinya yang lembut dan berkulit putih namun sedikit kurus. Dagingnya tidak tebal. "Aduuuuh...!" Aina berteriak. "Hahaha... sakit kan? Itu tandanya kamu tidak bermimpi sayang." ucap Zano lalu memindahkan tangannya mengacak rambut Aina yang memandangnya dengan meringis. "Kamu mencubit sangat keras sayang.. sakit tahu..!" sungut Aina dengan bibir agak monyong. Muuah... Sebuah kecupan dihadiahkan Zano dibibir Aina. Lelaki itu sangat mencintai istrinya. Membahagiakan Aina adalah cita-cita Zano sejak mereka menikah. "Yuk kita lihat-lihat ke dalam! Aku yakin kamu akan lebih terpana." ajak Zano lalu menuntun tangan istrinya menuju kamar utama. "Ya Allah...! Ranjangnya sangat mewah. Ini seperti peraduan Ratu dan Raja. Oooh... ya Allah... mimpikah aku...??" teriak Aina sambil berlari mendekati ranjang yang berukir indah. Jemari lentik Aina meraba dan mengelus setiap permukaan perabot mewah yang tertata rapi di dalam ruangan tersebut. Ada ranjang, lemari dan meja rias. Semua perabotan penuh ukiran halus. Aina tak henti-hentinya mengerjapkan mata seakan masih tidak percaya. Zano beranjak ke ruang lain dan membiarkan istrinya menikmati pemandangan indah ruang tidur mereka berdua. Puas memeriksa semua perabotan di dalam kamar utama, Aina lalu keluar dan berjalan mendekati suaminya yang kini tengah berada di ruang makan yang juga dipenuhi perabotan mewah. "Katakan sayang, dari mana kamu mendapat uang membeli rumah semewah ini? Tolong sayang, jangan buat aku kebingungan." rengek Aina sembari memeluk pinggang Zano dari belakang. Wajahnya ia tempelkan ke rambut suaminya itu. Zano mengelus tangan Aina yang mengunci perutnya. "Nasib kita telah berubah sayang. Aku telah diterima bekerja pada sebuah perusahaan besar dan rumah ini adalah hadiah pertama dari perusahaan tersebut." sahut Zano tanpa ingin membalikkan badannya untuk menatap wajah istri tercintanya itu. Dua tetes air mata yang turun mengalir dipipinya sengaja ia sembunyikan. Zano sakit karena ia tahu bahwa ia tengah berbohong. "Maafkan aku Aina. Aku hanya ingin membuatmu bahagia walau dengan cara mengkhianati dirimu. Tapi percayalah, hatiku hanya mencintai kamu seorang." ratap Zano di dalam hati. Matanya nanar menatap dinding ruang makan yang berlapiskan keramik berwarna coklat muda. "Ooh benarkah begitu sayang...? Tapi bagaimana bisa kamu bekerja di perusahaan besar? Kamu kan hanya tamatan SMA..! Ya maksudku kita berdua cuma tamatan SMA di kampung." cecar Aina lalu mengeratkan pelukannya di pinggang Zano. Aina adalah wanita yang cerdas yang tidak mudah untuk dibohongi. Tidak salah kalau dirinya selalu menjadi juara umum sewaktu SMA dulu. Banyak lelaki yang menginginkan Aina karena terpesona oleh kacantikan dan kecerdasannya. Namun hati Aina hanya terpaut kepada Zano seorang. Laki-laki tampan itu benar-benar telah mengunci hati Aina hingga tidak pernah berpaling ke laki-laki mana pun. "Jangan merendahkan diriku, sayang! Aku tidak suka!" ujar Zano menutupi kegugupannya. Ia tahu kalau Aina bukanlah wanita yang mudah percaya begitu saja. "Bukan begitu sayang. Hm maafkan aku ya.. Aku tidak bermaksud merendahkan dirimu." ucap Aina lembut lalu menarik pinggang Zano agar wajah suaminya itu menghadap kepadanya. Namun alangkah terkejutnya Aina melihat pipi suaminya basah. Dengan jemarinya ia sentuh air mata di pipi Zano. "Kamu menangis sayang? Ada apa? Apa sebenarnya yang terjadi?" tanya Aina bingung. "Tolong jangan merendahkan aku lagi, Aina. Aku sedih..!" jawab Zano lalu menyembunyikan wajahnya ke leher Aina. Aina tidak tahu kalau sebenarnya Zano tengah menyembunyikan sebuah rahasia besar bahwa dirinya telah berselingkuh dengan seorang wanita kaya raya yang telah memberinya banyak harta. Dan rumah besar itu adalah hadiah dari sang nyonya yang telah mendapatkan kepuasan ranjang dari Zano yang masih muda serta tampan pula.*****
Keesokan harinya. "Ain, aku berangkat dulu sayang. Jangan lupa hari ini kamu ke salon untuk rilek dan mempercantik diri." Zano berteriak di ruang tamu ketika Aina tengah membawa piring bekas sarapan mereka tadi ke wastafel. "Bentar sayaaang.. Aku cuci tangan dulu..! " teriak Aina dari ruang makan lalu bergegas menghampiri suaminya yang tengah membetulkan posisi dasi yang manggantung di depan dada bidangnya. "Aku tidak perlu ke salon sayang. Buat apa buang-buang uang? Kita harus berhemat Zan." sahut Aina lalu menyambar sebuah tas kulit yang tergeletak di atas sofa mewah di ruang itu. Ia menjinjingnya sebentar lalu memberikan tas tersebut kepada Zano. Zano menatap Aina mesra lalu mencubit dagu wanita cantik itu. "Apa pun yang aku dapatkan semua untuk membahagiakanmu, Aina. Kamu harus pergi ke salon, ke butik untuk mempercantik diri dan memborong pakaian mahal. Aku ingin istri tercintaku berpenampilan mewah seperti artis." ucap Zano kembali menatap mesra Aina. Aina tersenyum bahagia
Senja sudah berganti malam. Dan bahkan kini malam telah semakin larut. Namun tiada tanda-tanda Zano akan pulang ke rumah. Dandanan cantik hasil buah karya salon ternama di wajah Aina kini semakin pudar dan mulai acak-acak-an. "Oh, kamu dimana Zan? Hari ini adalah hari pertama kamu masuk kerja. Apakah kamu langsung lembur? Tapi... kalau lembur masa sih kamu tidak memberi tahu aku terlebih dahulu?" hati Aina bertanya dalam gelisah. Di ruang tamu yang dipenuhi perabotan mewah, wanita muda itu mondar-mandir tak tentu arah. Sekali-kali ia mengecek ponselnya berharap Zano suaminya akan berkabar. Dan ternyata nihil. Bahkan keterangan online di whatsaap milik Zano tidak berubah dari yang sudah ia lihat puluhan kali sebelumnya, bahwa Zano terakhir mengaktifkan aplikasi populer tersebut pada jam 08.15 pagi. Itu artinya setelah sampai dikantornya Zano me-non aktifkan data ponsel miliknya atau bahkan mematikan alat komunikasinya itu. "Oh, sebenarnya Zano kerja apa sih? Kok segitu sibuknya?"
Mentari perlahan mulai naik. Cahayanya mulai bingar menyentuh permukaan bumi. Sesosok tubuh yang tadi nyenyak tak sadarkan diri kini mulai menggeliat perlahanAina baru saja siuman. "Ohh"Wanita itu kembali menggeliatkan tubuhnya yang separuh telanjang. Gaun berwarna silver yang sedari kemarin sore ia kenakan masih saja melekat di badannya. Namun kondisinya sudah centang perenang tiada beraturan. Bahkan bagian bawah gaun tersebut sudah tersibak ke atas dan membiarkan organ intim Aina terbuka tanpa sehelai benang pun yang menutupinya selain bulu-bulu halus yang legam. "Oh, apa yang telah terjadi..?" Aina kembali mendesah dan meraba liang peranakannya lebih dalam lagi. Cairan berlendir serta merta membasahi jemari Aina dan terasa sedikit lengket. Mata Aina membesar dan ia berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Sisa-sisa kenikmatan masih menjalari sebagian besar sarafnya. Aina akhirnya tersenyum bahagia. Wanita itu telah dipengaruhi bayangan ilusi alam bawah sadarnya tadi. "Zano
Dam.. dam.. dam.. Jantung Zano bertabuh riuh ketika tangannya meraih pakaian dalam penutup aurat terdalam istrinya tersebut. Dengan menjepit diantara dua jarinya Zano mengangkat lebih tinggi jenis pakaian berukuran kecil tersebut dan kini dadanya semakin sesak oleh amarah yang tiba-tiba saja membuncah dan nafasnya memburu. "Perempuan hina..!" makinya sambil menghempaskan benda kecil itu ke lantai. Dengan terburu-buru selanjutnya Zano mengenyahkan selimut tebal yang teronggok tak beraturan di atas kasur. Sekali sentakan saja selimut itu sudah berpindah ke atas lantai. Dengan telapak tangannya Zano meraba permukaan kasur seakan mencari-cari sesuatu. Nafasnya seakan berhenti begitu ia menemukan bagian yang lembab lagi basah di permukaan kasur tersebut. Zano perlahan mengangkat tangannya dan menggosokkan dua jarinya untuk memastikan apakah benar ada cairan yang menempel di sana. Matanya nanar menatap kedua jemari tangannya itu. "Biadaaaab...!!!" teriak Zano tiba-tiba cukup keras. Ta
"Kenapa lo..? Wajah kok kusut begini..!" semprot Gibran menyambut kedatangan Zano di pondok Gogiwa Crew Komunitas. Gogiwa Crew (Gigolo Gila Wanita) adalah nama komunitas para lelaki yang mencari rejeki dengan menjual cinta kepada wanita-wanita kesepian yang pada umumnya adalah perempuan yang sudah bersuami namun tidak bahagia di dalam rumah tangga mereka. Dalam permasalahan ini kelompok Gogiwa Crew akan menawarkan jasa untuk mengisi kehampaan hati para nyonya-nyonya yang umumnya berharta banyak. "Gua lagi patah arang, Bran. Pusing gua..!" keluh Zano lalu membanting rokok yang tadi dihisapnya ke tanah. "Aduuh... pusing gimana sih Zan? Lo kan baru aja laku dan bayaran lo lumayan gede Bro. Bayangin... baru dua kali aja di ajak kencan ama nyonya Nisti, lo udah dapetin mobil bagus, duit banyak.. bahkan lo udah bisa ngeboyong bini lo tinggal di rumah mewah. Pusing apa lagi sih Bro...?" tanya Gibran sambil menatap wajah Zano dengan pandangan tak mengerti. Gibran adalah sahabat Zano wala
"Baiklah sayang, jika kamu tidak mau membukakan pintu untukku kali ini. Aku akan memilih sendiri gaunmu untuk pernikahan kita nanti. Oh ya.. yaa.. Aku tahu bahwa kamu menyukai warna silver. Hm.. seperti tadi pagi, kamu terlihat sangat cantik menggunakan gaun warna silver itu. Sungguh pun kamu dalam keadaan tertidur lelap, tapi kamu sangat cantik dan seksi sayang.. Hm, dan gairahmu yang bergelora membuat aku jatuh cinta.""Duaar.. "Bagaikan suara halilintar menyambar, Aina tersentak mendengar ocehan si lelaki yang tidak ia kenal yang masih saja berceloteh di depan pintu kamarnya. Pikiran Aina bercampur aduk antara ocehan lelaki itu dengan ucapan wanita yang baru saja ia dengar di ponsel milik Zano suaminya. Namun sesungguhnya Aina tidaklah tahu kalau kedua anak manusia yang kini mengusik kenyamanan hidupnya adalah sepasang suami istri yang memiliki cara hidup tidak lazim. "Ooh.. mengapa ia tahu kalau tadi aku memakai gaun berwarna silver? Aku terlelap dia juga tahu? Terlelap...? oo
Kalimat terakhir yang diucapkan Tuan Arnold benar-benar telah mencampakkan harga diri Aina ke lembah nista. Wanita itu berdiri mematung menatap kepergian lelaki yang baru saja mengaku telah merenggut harga dirinya itu. Perlahan bola-bola air membulat dari mata Aina lalu berjatuhan dan pecah di kemiringan pipinya. "Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kata-kata lelaki itu memang ngelantur tapi entah mengapa aku yakin bahwa ia tidak berbohong." desah bathin Aina dengan perasaan sangat galau. Wanita itu menghempaskan bokongnya di atas sofa untuk mendapatkan ketenangan. Disana ia mulai mengingat satu persatu kalimat yang telah di ucapkan Tuan Arnold kepadanya. "Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?" Suara Tuan Arnold tadi kini terngiang kembali di telinga Aina. "Apa maksud dari semua ini? Apakah maksudnya Zano sudaah.. . ooh ya Allah.. tidak.. . Zano tidak mungkin melakukan hal serendah itu.. !" Aina berseru membanta
"Aa.. Arnold...??! " tergagap Nyonya Nisti menyebut nama seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapan tempat tidur begitu empat lelaki pendobrak pintu menggeser langkah ke samping sambil menundukkan wajah. Lelaki yang dipanggil Arnold tersebut mengangkat sedikit ujung bibir bagian atas, menyentuh pangkal dasi dan melangkah pelan ke depan. Sorot matanya nyalang seakan menguliti tubuh Nyonya Nisti dan Zano yang tiada berlapis sehelai benang pun jua. Nyonya Nisti terlihat sangat ketakutan dan menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit menjauhi Zano yang duduk di sampingnya. Sedangkan Zano tidak jauh berbeda dengan Nyonya Nisti, wajahnya pias laksana kapas. Seluruh darahnya seakan terbang entah kemana. Ia hanya bisa menengadah menatap sayu ke wajah lelaki tinggi gagah yang berdiri hanya beberapa depa dari tempat tidur yang ia duduki dengan Nyonya Nisti. Kedua insan tanpa busana tersebut terlihat sangat ketakutan, kadang menunduk dan terkadang menengadah dengan pandangan memelas. "Bu..
Sepeninggal kedua lelaki itu, Aina kembali dihadapkan oleh pemikiran tadi. Ia berusaha mengingat suara salah seorang laki-laki yang baru saja mengantarkan makanan kepadanya.“Siapa dia? “Beberapa kali Aina mencoba memeras ingatannya namun ia belum juga berhasil mengetahui pemilik suara yang ia yakin pernah ia dengar sebelumnya.“Ia memanggilku ‘Ain'. Panggilan itu hanya diketahui oleh orang-orang dikampungku saja. Bukankah sejak pindah ke Jakarta aku tidak pernah memperkenalkan namaku ‘Ain' kepada siapa pun. Hm, jangan-jangan dia adalah teman sekampungku. Ooh.. Atau salah satu teman sekolahku. Tapi.. Siapa? Ooh, aku tidak bisa mengingat sama sekali.”Lelah memaksa ingatannya untuk mengenali suara lelaki tadi, Aina akhirnya tertidur pulas. Ia terbangun beberapa jam kemudian begitu mendengar ada orang bercakap-cakap diluar terali yang kini mengurung dirinya.Perlahan Aina membuka mata dan melihat dua lelaki kekar yang semalam menyeretnya masuk ke dalam kurungan itu.“Kau sudah bangun?
Aina berlari sekencang mungkin. Ia tidak memperdulikan suara lengking Tuan Fulton, Tuan Arnold dan Ratu Rasta yang memanggilnya dengan serempak dan setengah berteriak.Suasana pesta mendadak kacau balau. Para tamu kebingungan dan ada juga yang ikut berteriak bahkan beberapa orang diantaranya mengejar Aina yang sudah menggapai pintu.Dengan sigap Aina membuka pintu yang terbuat dari besi dengan gagang stainless.Dan ia berhasil keluar.Namun alangkah terkejutnya Aina begitu menyadari bahwa bangunan megah yang disebut istana itu ternyata bukanlah bangunan tembok atau rumah. Istana Tuan Fulton adalah sebuah kapal yang sangat besar dan bertingkat.Mulut Aina makin ternganga lebar begitu melihat ke bawah. Hamparan lautan luas yang terlihat kelam karena saat itu hari sudah malam. Ternyata kapal tersebut terapung di tengah lautan luas dan tenang.“Oh, betapa bodohnya aku hingga aku tidak menyadari kalau aku tengah berada di atas kapal. Mengapa aku tidak merasakan getaran mesin kapal ini? “B
"Ibu..??! ""Lalu aku harus memanggil dia apa..?! " Aina bertanya-tanya di dalam hati."Tundukkan kepalamu di hadapan Ratu! " Perintah Tuan Arnold lirih di telinga Aina ketika wanita itu terlihat kebingungan karena belum menemukan jawaban atas panggilan apa yang pantas ia berikan kepada wanita cantik bermahkota yang berdiri tepat di hadapannya."Ooh.. Se.. Selamat malam Ratu! " Tergagap suara Aina menyapa Ratu Rasta yang tersenyum bagaikan seringaian yang ia sembunyikan dalam keramahan palsu."Selamat malam! Malam ini kamu akan diresmikan menjadi menantu terbaru di istana megah ini. Jadi jaga sikapmu agar tidak memalukan keluarga besar Tuan Fulton yang sangat terhormat..! " Ulas Ratu Rasta terdengar sinis disela alunan musik yang mengalun lembut. Beberapa pasang manusia berusia tak lagi muda terlihat berdansa di lantai hall yang cukup luas itu.Namun bukan itu yang menjadi perhatian Aina. Aina cukup terkejut dengan pernyataan Ratu Rasta yang sangat janggal di telinganya."Menantu terb
"Dia tidur pulas sekali, Tuan! Kami sudah membangunkannya berulang kali." Lapor pelayan hitam manis kepada Tuan Arnold. "Ini sudah pukul berapa hah.. ? Ayahku Tuan Fulton, sudah duduk di singgasananya. Bagaimana perempuan itu bisa tidur dengan tenangnya...? Huuuh... " Tuan Arnold menyeret langkah dengan kasar menuju kamar tempat Aina berada. Ia melewati para tamu yang duduk bersantai di sofa yang sudah disediakan di hall rumah besar yang menyerupai istana tersebut. Sepasang mata seorang lelaki mengawasi pergerakan Tuan Arnold. Lelaki itu berpakaian sedikit lusuh dan tampaknya bertugas sebagai tenaga kebersihan. Beberapa kali ia terlihat sudah mengemasi kotak-kotak kosong dan gelas bekas makan dan minum para tamu. "Hei bodoh! Cepat bawakan minuman dingin untukku...! Aku kehausan menunggu perempuan busuk yang bakal menjadi permaisuri baru disini...!" Bentak seorang perempuan yang langsung membuat si lelaki berpakaian lusuh sedikit terkejut. Namun itu tidak berlangsung lama. Ia segera
"Bangunlah Nyonya.. ! Saya tahu sejak tadi Anda hanya berpura-pura tidur." Salah satu dari dua orang pelayan berkulit hitam manis membangunkan Aina dengan suara lembut namun dengan kalimat yang sedikit tegas. Kedua pelayan itu berdiri di samping pembaringan, melipat tangan di dada dan menekuk wajah menatap sinis ke arah tubuh Aina yang tergolek di atas pembaringan. Ucapan salah satu pelayan itu tentu saja membuat Aina terperanjat. Ia tidak menduga kalau aktingnya yang ia anggap sangat sempurna ternyata tidak mampu mengelabui kedua pelayan tersebut. "Kalau Anda terus saja berpura-pura tidur, maka jangan salahkan jika sebentar lagi Anda akan tidur untuk selamanya. Perut Anda butuh diisi. Anda butuh tenaga untuk keluar dari neraka jahanam ini." Sambung pelayan tadi, kali ini dengan kalimat lebih horor dan menakutkan. Sontak Aina terkejut lalu bergegas duduk mendengar ucapan itu. Ia berfikir tiada gunanya melanjutkan kepura-puraan. Toh kedua perempuan itu sudah tahu kalau dirinya hanya
"Jaga dia dan kalau sudah bangun dandani dengan cantik..!" Teriak Tuan Arnold kepada dua orang pelayan berkulit hitam manis. Tampaknya kedua pelayan itu berasal dari belahan timur Indonesia. Walaupun hitam, keduanya sangat manis. "Ya Tuan..!" Jawab kedua pelayan sembari membungkukkan badan dan melirik tubuh seorang wanita cantik yang terlihat tertidur pulas di atas pembaringan yang beralaskan kain sutera terbaik. "Siapa lagi wanita yang kau rebut dari kekasihnya? Apakah kau tidak ada puasnya merusak hubungan orang-orang yang saling mencintai?"Kalimat teguran itu dilontarkan oleh seorang wanita cantik, berpakaian ala seorang ratu lengkap dengan mahkota kecil di kepala. Kedatangannya di kamar itu cukup membuat kedua pelayan ketakutan dan bersegera undur diri. Tampaknya kekuatan perempuan tersebut melebihi power yang dimiliki oleh Tuan Arnold. Buktinya kedua pelayan memilih mengabaikan perintah Tuan Arnold untuk mematuhi perintah wanita bermahkota tersebut. Hening beberapa saat. Hany
"Ainaaa....!! "Zano berlari berusaha mengejar istrinya yang dibawa paksa oleh Tuan Arnold beserta rombongan. Walau terseok, lelaki muda itu tetap memaksakan diri untuk terus menguatkan kedua tungkai kakinya terus berlari mengejar mobil yang telah melesat pergi dan hanya meninggalkan semburan debu.Darah bercucuran dari hidung Zano, pandangan matanya mulai berkunang-kunang dan penglihatannya ikut memudar. Pluk... Tubuh Zano terhempas di halaman vila. Antara sadar dan tidak sadar Zano hanya bisa pasrah. Beberapa belas menit lamanya kesadaran Zano hilang dan ia seperti tertidur pulas beralaskan rumput hijau. Sepasang mata tua memperhatikan dari bawah sebatang pohon mangga yang rindang. Lelaki tua dengan tubuh agak ceking mengenakan singlet di bagian atas tubuhnya dan bercelana sedikit komprang di bagian bawah. Di hadapan lelaki itu ada sebuah lubang yang baru saja ia gali. Itu dibuktikan oleh tangannya yang masih memegang sebuah cangkul berlumuran tanah. "Matikah dia?" Mang Asep men
"Aa.. Arnold...??! " tergagap Nyonya Nisti menyebut nama seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapan tempat tidur begitu empat lelaki pendobrak pintu menggeser langkah ke samping sambil menundukkan wajah. Lelaki yang dipanggil Arnold tersebut mengangkat sedikit ujung bibir bagian atas, menyentuh pangkal dasi dan melangkah pelan ke depan. Sorot matanya nyalang seakan menguliti tubuh Nyonya Nisti dan Zano yang tiada berlapis sehelai benang pun jua. Nyonya Nisti terlihat sangat ketakutan dan menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit menjauhi Zano yang duduk di sampingnya. Sedangkan Zano tidak jauh berbeda dengan Nyonya Nisti, wajahnya pias laksana kapas. Seluruh darahnya seakan terbang entah kemana. Ia hanya bisa menengadah menatap sayu ke wajah lelaki tinggi gagah yang berdiri hanya beberapa depa dari tempat tidur yang ia duduki dengan Nyonya Nisti. Kedua insan tanpa busana tersebut terlihat sangat ketakutan, kadang menunduk dan terkadang menengadah dengan pandangan memelas. "Bu..
Kalimat terakhir yang diucapkan Tuan Arnold benar-benar telah mencampakkan harga diri Aina ke lembah nista. Wanita itu berdiri mematung menatap kepergian lelaki yang baru saja mengaku telah merenggut harga dirinya itu. Perlahan bola-bola air membulat dari mata Aina lalu berjatuhan dan pecah di kemiringan pipinya. "Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kata-kata lelaki itu memang ngelantur tapi entah mengapa aku yakin bahwa ia tidak berbohong." desah bathin Aina dengan perasaan sangat galau. Wanita itu menghempaskan bokongnya di atas sofa untuk mendapatkan ketenangan. Disana ia mulai mengingat satu persatu kalimat yang telah di ucapkan Tuan Arnold kepadanya. "Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?" Suara Tuan Arnold tadi kini terngiang kembali di telinga Aina. "Apa maksud dari semua ini? Apakah maksudnya Zano sudaah.. . ooh ya Allah.. tidak.. . Zano tidak mungkin melakukan hal serendah itu.. !" Aina berseru membanta