"Baiklah sayang, jika kamu tidak mau membukakan pintu untukku kali ini. Aku akan memilih sendiri gaunmu untuk pernikahan kita nanti. Oh ya.. yaa.. Aku tahu bahwa kamu menyukai warna silver. Hm.. seperti tadi pagi, kamu terlihat sangat cantik menggunakan gaun warna silver itu. Sungguh pun kamu dalam keadaan tertidur lelap, tapi kamu sangat cantik dan seksi sayang.. Hm, dan gairahmu yang bergelora membuat aku jatuh cinta."
"Duaar.. "Bagaikan suara halilintar menyambar, Aina tersentak mendengar ocehan si lelaki yang tidak ia kenal yang masih saja berceloteh di depan pintu kamarnya. Pikiran Aina bercampur aduk antara ocehan lelaki itu dengan ucapan wanita yang baru saja ia dengar di ponsel milik Zano suaminya. Namun sesungguhnya Aina tidaklah tahu kalau kedua anak manusia yang kini mengusik kenyamanan hidupnya adalah sepasang suami istri yang memiliki cara hidup tidak lazim. "Ooh.. mengapa ia tahu kalau tadi aku memakai gaun berwarna silver? Aku terlelap dia juga tahu? Terlelap...? ooh.."Aina memijit pelipisnya yang dari tadi terasa puyeng. Rasa yang dari tadi ia rasakan namun tidak ia pedulikan, kini semakin kuat menjalari saraf di kepalanya. Aina mencoba mengingat-ingat apa sebenarnya yang telah terjadi pada dirinya sebelum ia menemui Zano yang baru saja pulang ke rumah. "Astagaaa...!" tiba-tiba Aina berteriak kecil setelah ia meraba bagian belakang kepalanya yang terasa sedikit ngilu ketika ditekan. Disana juga ada sebuah benjolan yang tidak terlalu besar. "Aku ingat setelah bangun tidur aku tergesa-gesa untuk membuka pintu. Lalu aku terjatuh dan aku tidak ingat apa-apa lagi.. oooh.." Aina kembali memijit keningnya memaksa ingatannya bekerja sebaik mungkin. "Lalu aku merasakan sentuhan-sentuhan lembut di sekujur tubuhku. Ooh.. daaan... daaan... oh ya Allah... siapakah sebenarnya yang bersamaku pagi tadi...??? Zano ataukah laki-laki ini...??? Ooh Tuhaaan...! ! Histeris Aina tidak bisa lagi dibendung. Bahkan suara wanita yang tadi menelpon Zano tidak lagi ia ingat. Yang paling membuatnya panik adalah lelaki asing itu. "Laki-laki itu bahkan bisa masuk rumah denga leluasa tanpa harus dibukakan pintu..!" erang Aina di dalam hatinya. Mata wanita itu sebentar melotot dan sekali-kali menyipit. Ia terus memacu dan memaksa otaknya untuk menyibak sebuah teka-teka yang kini menjadi keraguan hatinya. Tiba-tiba bagaikan diburu hantu belahu Aina berlari sekencang mungkin menuju pintu kamar dan membukanya. "Braaak..."Netra wanita itu mengembang melihat lelaki pemilik body atletis membelakang ke arahnya dan berjalan tergesa menuju pintu utama. "Tunggu...!!" Aina membentak seakan ingin mengalahkan suara halilintar terbesar yang pernah singgah di belahan bumi. Tuan Arnold tersenyum dibalik sorot matanya yang menjelaskan akan kekejaman seorang lelaki berdarah mafia. "Tap.."Tuan Arnold menghentikan langkahnya namun tiada menoleh ke belakang. Egonya telah lahir dengan sempurna karena ia tahu bahwa dirinya telah memenangkan permainan. "Tap.. tap. tap.."Langkah Aina mendekat seiring menghilangnya senyuman di wajah lelaki itu. Yang tersisa kini hanyalah keangkuhan yang menunjukkan jati dirinya seutuhnya. "Katakan siapa kau sebenarnya.. Dan katakan apa yang telah kau lakukan padaku.." suara Aina tercekat mengucapkan kalimat tanpa tanda baca yang pasti, apakah ia sedang bertanya atau sedang menghakimi. Senyuman yang tadi menghilang dari wajah Tuan Arnold kini datang kembali dan bertengger di antara kedua belah bibirnya yang berhiaskan sepasang kumis tertata rapi. Namun seindah apa pun penampakan sepasang bibir pria itu, namun sayang senyuman yang dihasilkan tidaklah semanis harapan. sebelah dari bagian atas bibir Tuan Arnold terangkat dan kelopak bawah bibirnya bergetar. Bahkan senyuman yang tersungging lebih tepat disebut seringaian. "Hei...! Jawab..!" bentak Aina tanpa menambah jumlah langkah kaki ke depan. Ia berdiri mematung dengan sorot mata yang tajam. Wanita itu kini sudah terbebas dari ketakutan. "Byaar.."Bunyi kibaran jas milik Tuan Arnold sedikit berdesau seiring tubuhnya berkelabat membalik menghadap Aina. "Kau berani membentakku..?" ucap Tuan Arnold berdesis dengan pandangan sedingin es. "Owwh.."Aina sedikit mundur ke belakang begitu pandangan matanya bertubrukan dengan sorot dingin yang dipancar kedua belah mata Tuan Arnold. Aina terkesima dan mencoba mempertahankan nyalinya yang perlahan menciut. Ia tidak menyangka kalau lelaki yang tadi berbicara cukup lembut kepadanya kini menampak wujud wajah yang tidak sama. "Jawaaab...!!"Kali ini Tuan Arnold yang membentak bahkan berlipat ganda dari kerasnya bentakkan Aina tadi. "Si.. siapa kau sebenarnya..? Mengapa masuk ke rumahku tanpa izin..?" Suara Aina bergetar walau ia sudah berusaha bertahan agar tubuhnya tidak gemetar. Dua langkah di buka Tuan Arnold dan itu cukup membuat jarak di antara mereka tersisa menjadi satu meter saja. Dengus nafas Tuan Arnold bagaikan tiupan topan yang terus menggerus sisa-sisa keberanian Aina. Tatapan mata Aina melemah. Bahkan ketakutan yang mendera bathinnya hampir saja membuat ia menangis. "Seharusnya aku yang bertanya mengapa kau ada disini." desis Tuan Arnold tanpa memalingkan wajahnya dari Aina. "Ii.. ini rumah suamiku." sahut Aina bermaksud menjelaskan. "Rumah suamimu...??" tanya Tuan Arnold sedikit menaikkan alis matanya. "Yah..!" jawab Aina yang ia buat setegas mungkin. Wanita itu berharap laki-laki yang berada lebih kurang dua depa di hadapannya itu akan lari terbirit-birit. Namun ternyata dugaan Aina meleset. Lelaki asing di depannya malah gelak terkekeh. "heheheh.. eh..""Hei wanita super dungu...! Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?""Jangan lancang mulutmu Tuan berdasi! Aku tidak akan segan-segan melemparkanmu keluar dari rumah ini jika kau masih berani menghina suamiku..!" bentak Aina berubah garang. Seorang istri tentu tidak rela suaminya dihina serendah itu. Dan ternyata kemarahan Aina telah mengembalikan keberanian dirinya. Tuan Arnold memperlihatkan ekpresi seakan-akan dirinya benar-benar terkejut. Namun itu tidak berlangsung lama. Lima detik kemudian senyuman mengejek kembali menghiasi bibirnya yang angkuh. Ia melangkah sedikit memiring dan perlahan mengitari tubuh Aina. Untuk menambah frekwensi keangkuhan dirinya, Tuan Arnold sengaja memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. "Aku tipe lelaki yang tidak mau banyak basa-basi. Namun kutegaskan kepadamu segeralah berkemas karena besok aku akan membawamu ke rumah keluarga besarku. Aku akan mengatakan bahwa kau adalah istriku walau aku tidak berkeinginan menikahi dirimu." ucap Tuan Arnold sembari berjalan perlahan mengitari Aina yang berdiri mematung. Lelaki itu sepertinya berubah pikiran untuk menikahi Aina. "Sebagai gundik saja cukuplah." begitu kata hatinya. Mata Aina mendelik. Ia benar-benar merasa dihina dan direndahkan. "Apa hak-mu membawaku hah..? Kau pikir kau bisa melakukan apa saja yang kamu inginkan..??" sahut Aina makin berani bahkan menunjukkan jarinya ke wajah si Tuan tampan. Tuan Arnold menghentikan langkahnya dan menatap kembali wajah Aina masih dengan pandangan dinginnya. Aina membalas tatapan mata Tuan Arnold dengan keberanian yang hampir sempurna. "Ketahuilah wahai perempuan yang tidak kuketahui namamu! Ayahku mengajariku untuk berbuat seenaknya kepada siapa pun. Merebut perempuan dari tangan lelaki yang mencintainya adalah kesukaanku.""Kau gila..!" bentak Aina makin jengkel mendengar ocehan lelaki tampan yang mulai tak jelas arahnya. "Kegilaanku itu bermula ketika ayahku merebut kekasihku dan menjadikannya istri yang sekali gus ibu tiriku dan juga merupakan permaisuri dalam kerajaan bisnis keluarga kami." sambung Tuan Arnold tanpa menghiraukan makian Aina. "Itu masalahmu..! Kau pasti berasal dari keluarga gila..!" jawab Aina kini berkacak pinggang. Namun Tuan Arnold tidak terlihat marah walau Aina menghina dirinya dan keluarganya. Ia bahkan meneruskan curhatan hatinya walau ia tahu Aina tidak tertarik untuk mendengarkannya. Sambil mengelus dagunya yang ditumbuhi jenggot yang tertata sangat rapi, Tuan Arnold melanjutkan kisahnya. Kali ini nadanya cukup miris. "Setiap kali aku melihat ayah memesrai kekasihku, darahku mendidih. Tapi aku tidak akan memarahi ayahku. Karena ayah adalah guru terbaik yang membuat aku menjadi orang yang sangat kuat seperti sekarang ini.""Sudaaah...! Aku tidak butuh celotehmu..! Sekarang juga kau pergiiii...!"Aina sudah sangat muak lalu mendorong tubuh Tuan Arnold hingga terjejal beberapa langkah ke depan. "Baik! Aku akan pergi. Dan besok aku akan datang kembali untuk menjemputmu. Itu adalah sebagai bentuk tanggung jawabku kepada perempuan yang sudah kunikmati tubuhnya." sahut Tuan Arnold tanpa nada bersalah sedikit pun. Ucapannya tenang laksana samudra yang tiada berombak. "Apaa...???"Aina terpekik lalu sebelah telapak tangannya spontan menutup mulutnya yang terbuka. Matanya mendelik memandang tidak percaya kepada lelaki yang baru saja mengungkapkan pengakuan dosa. "Kaa.. kau yang meniduriku disaat aku tidak sadarkan diri?" bertanya Aina dengan mata kini berkaca-kaca. Ia menyumpahi waktu yang telah membuat dirinya ternoda. "Tidak sadarkan diri? Hm, bagus juga pengakuan tak masuk akalmu. Tapi aku menghargai usahamu yang cukup keras untuk mempertahankan harga dirimu yang memang tidak ada." sahut Tuan Arnold lancar tanpa jeda, lalu ia kembali membalikkan badan untuk bersiap pergi.*****
Kalimat terakhir yang diucapkan Tuan Arnold benar-benar telah mencampakkan harga diri Aina ke lembah nista. Wanita itu berdiri mematung menatap kepergian lelaki yang baru saja mengaku telah merenggut harga dirinya itu. Perlahan bola-bola air membulat dari mata Aina lalu berjatuhan dan pecah di kemiringan pipinya. "Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kata-kata lelaki itu memang ngelantur tapi entah mengapa aku yakin bahwa ia tidak berbohong." desah bathin Aina dengan perasaan sangat galau. Wanita itu menghempaskan bokongnya di atas sofa untuk mendapatkan ketenangan. Disana ia mulai mengingat satu persatu kalimat yang telah di ucapkan Tuan Arnold kepadanya. "Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?" Suara Tuan Arnold tadi kini terngiang kembali di telinga Aina. "Apa maksud dari semua ini? Apakah maksudnya Zano sudaah.. . ooh ya Allah.. tidak.. . Zano tidak mungkin melakukan hal serendah itu.. !" Aina berseru membanta
"Aa.. Arnold...??! " tergagap Nyonya Nisti menyebut nama seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapan tempat tidur begitu empat lelaki pendobrak pintu menggeser langkah ke samping sambil menundukkan wajah. Lelaki yang dipanggil Arnold tersebut mengangkat sedikit ujung bibir bagian atas, menyentuh pangkal dasi dan melangkah pelan ke depan. Sorot matanya nyalang seakan menguliti tubuh Nyonya Nisti dan Zano yang tiada berlapis sehelai benang pun jua. Nyonya Nisti terlihat sangat ketakutan dan menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit menjauhi Zano yang duduk di sampingnya. Sedangkan Zano tidak jauh berbeda dengan Nyonya Nisti, wajahnya pias laksana kapas. Seluruh darahnya seakan terbang entah kemana. Ia hanya bisa menengadah menatap sayu ke wajah lelaki tinggi gagah yang berdiri hanya beberapa depa dari tempat tidur yang ia duduki dengan Nyonya Nisti. Kedua insan tanpa busana tersebut terlihat sangat ketakutan, kadang menunduk dan terkadang menengadah dengan pandangan memelas. "Bu..
"Ainaaa....!! "Zano berlari berusaha mengejar istrinya yang dibawa paksa oleh Tuan Arnold beserta rombongan. Walau terseok, lelaki muda itu tetap memaksakan diri untuk terus menguatkan kedua tungkai kakinya terus berlari mengejar mobil yang telah melesat pergi dan hanya meninggalkan semburan debu.Darah bercucuran dari hidung Zano, pandangan matanya mulai berkunang-kunang dan penglihatannya ikut memudar. Pluk... Tubuh Zano terhempas di halaman vila. Antara sadar dan tidak sadar Zano hanya bisa pasrah. Beberapa belas menit lamanya kesadaran Zano hilang dan ia seperti tertidur pulas beralaskan rumput hijau. Sepasang mata tua memperhatikan dari bawah sebatang pohon mangga yang rindang. Lelaki tua dengan tubuh agak ceking mengenakan singlet di bagian atas tubuhnya dan bercelana sedikit komprang di bagian bawah. Di hadapan lelaki itu ada sebuah lubang yang baru saja ia gali. Itu dibuktikan oleh tangannya yang masih memegang sebuah cangkul berlumuran tanah. "Matikah dia?" Mang Asep men
"Jaga dia dan kalau sudah bangun dandani dengan cantik..!" Teriak Tuan Arnold kepada dua orang pelayan berkulit hitam manis. Tampaknya kedua pelayan itu berasal dari belahan timur Indonesia. Walaupun hitam, keduanya sangat manis. "Ya Tuan..!" Jawab kedua pelayan sembari membungkukkan badan dan melirik tubuh seorang wanita cantik yang terlihat tertidur pulas di atas pembaringan yang beralaskan kain sutera terbaik. "Siapa lagi wanita yang kau rebut dari kekasihnya? Apakah kau tidak ada puasnya merusak hubungan orang-orang yang saling mencintai?"Kalimat teguran itu dilontarkan oleh seorang wanita cantik, berpakaian ala seorang ratu lengkap dengan mahkota kecil di kepala. Kedatangannya di kamar itu cukup membuat kedua pelayan ketakutan dan bersegera undur diri. Tampaknya kekuatan perempuan tersebut melebihi power yang dimiliki oleh Tuan Arnold. Buktinya kedua pelayan memilih mengabaikan perintah Tuan Arnold untuk mematuhi perintah wanita bermahkota tersebut. Hening beberapa saat. Hany
"Bangunlah Nyonya.. ! Saya tahu sejak tadi Anda hanya berpura-pura tidur." Salah satu dari dua orang pelayan berkulit hitam manis membangunkan Aina dengan suara lembut namun dengan kalimat yang sedikit tegas. Kedua pelayan itu berdiri di samping pembaringan, melipat tangan di dada dan menekuk wajah menatap sinis ke arah tubuh Aina yang tergolek di atas pembaringan. Ucapan salah satu pelayan itu tentu saja membuat Aina terperanjat. Ia tidak menduga kalau aktingnya yang ia anggap sangat sempurna ternyata tidak mampu mengelabui kedua pelayan tersebut. "Kalau Anda terus saja berpura-pura tidur, maka jangan salahkan jika sebentar lagi Anda akan tidur untuk selamanya. Perut Anda butuh diisi. Anda butuh tenaga untuk keluar dari neraka jahanam ini." Sambung pelayan tadi, kali ini dengan kalimat lebih horor dan menakutkan. Sontak Aina terkejut lalu bergegas duduk mendengar ucapan itu. Ia berfikir tiada gunanya melanjutkan kepura-puraan. Toh kedua perempuan itu sudah tahu kalau dirinya hanya
"Dia tidur pulas sekali, Tuan! Kami sudah membangunkannya berulang kali." Lapor pelayan hitam manis kepada Tuan Arnold. "Ini sudah pukul berapa hah.. ? Ayahku Tuan Fulton, sudah duduk di singgasananya. Bagaimana perempuan itu bisa tidur dengan tenangnya...? Huuuh... " Tuan Arnold menyeret langkah dengan kasar menuju kamar tempat Aina berada. Ia melewati para tamu yang duduk bersantai di sofa yang sudah disediakan di hall rumah besar yang menyerupai istana tersebut. Sepasang mata seorang lelaki mengawasi pergerakan Tuan Arnold. Lelaki itu berpakaian sedikit lusuh dan tampaknya bertugas sebagai tenaga kebersihan. Beberapa kali ia terlihat sudah mengemasi kotak-kotak kosong dan gelas bekas makan dan minum para tamu. "Hei bodoh! Cepat bawakan minuman dingin untukku...! Aku kehausan menunggu perempuan busuk yang bakal menjadi permaisuri baru disini...!" Bentak seorang perempuan yang langsung membuat si lelaki berpakaian lusuh sedikit terkejut. Namun itu tidak berlangsung lama. Ia segera
"Ibu..??! ""Lalu aku harus memanggil dia apa..?! " Aina bertanya-tanya di dalam hati."Tundukkan kepalamu di hadapan Ratu! " Perintah Tuan Arnold lirih di telinga Aina ketika wanita itu terlihat kebingungan karena belum menemukan jawaban atas panggilan apa yang pantas ia berikan kepada wanita cantik bermahkota yang berdiri tepat di hadapannya."Ooh.. Se.. Selamat malam Ratu! " Tergagap suara Aina menyapa Ratu Rasta yang tersenyum bagaikan seringaian yang ia sembunyikan dalam keramahan palsu."Selamat malam! Malam ini kamu akan diresmikan menjadi menantu terbaru di istana megah ini. Jadi jaga sikapmu agar tidak memalukan keluarga besar Tuan Fulton yang sangat terhormat..! " Ulas Ratu Rasta terdengar sinis disela alunan musik yang mengalun lembut. Beberapa pasang manusia berusia tak lagi muda terlihat berdansa di lantai hall yang cukup luas itu.Namun bukan itu yang menjadi perhatian Aina. Aina cukup terkejut dengan pernyataan Ratu Rasta yang sangat janggal di telinganya."Menantu terb
Aina berlari sekencang mungkin. Ia tidak memperdulikan suara lengking Tuan Fulton, Tuan Arnold dan Ratu Rasta yang memanggilnya dengan serempak dan setengah berteriak.Suasana pesta mendadak kacau balau. Para tamu kebingungan dan ada juga yang ikut berteriak bahkan beberapa orang diantaranya mengejar Aina yang sudah menggapai pintu.Dengan sigap Aina membuka pintu yang terbuat dari besi dengan gagang stainless.Dan ia berhasil keluar.Namun alangkah terkejutnya Aina begitu menyadari bahwa bangunan megah yang disebut istana itu ternyata bukanlah bangunan tembok atau rumah. Istana Tuan Fulton adalah sebuah kapal yang sangat besar dan bertingkat.Mulut Aina makin ternganga lebar begitu melihat ke bawah. Hamparan lautan luas yang terlihat kelam karena saat itu hari sudah malam. Ternyata kapal tersebut terapung di tengah lautan luas dan tenang.“Oh, betapa bodohnya aku hingga aku tidak menyadari kalau aku tengah berada di atas kapal. Mengapa aku tidak merasakan getaran mesin kapal ini? “B
Sepeninggal kedua lelaki itu, Aina kembali dihadapkan oleh pemikiran tadi. Ia berusaha mengingat suara salah seorang laki-laki yang baru saja mengantarkan makanan kepadanya.“Siapa dia? “Beberapa kali Aina mencoba memeras ingatannya namun ia belum juga berhasil mengetahui pemilik suara yang ia yakin pernah ia dengar sebelumnya.“Ia memanggilku ‘Ain'. Panggilan itu hanya diketahui oleh orang-orang dikampungku saja. Bukankah sejak pindah ke Jakarta aku tidak pernah memperkenalkan namaku ‘Ain' kepada siapa pun. Hm, jangan-jangan dia adalah teman sekampungku. Ooh.. Atau salah satu teman sekolahku. Tapi.. Siapa? Ooh, aku tidak bisa mengingat sama sekali.”Lelah memaksa ingatannya untuk mengenali suara lelaki tadi, Aina akhirnya tertidur pulas. Ia terbangun beberapa jam kemudian begitu mendengar ada orang bercakap-cakap diluar terali yang kini mengurung dirinya.Perlahan Aina membuka mata dan melihat dua lelaki kekar yang semalam menyeretnya masuk ke dalam kurungan itu.“Kau sudah bangun?
Aina berlari sekencang mungkin. Ia tidak memperdulikan suara lengking Tuan Fulton, Tuan Arnold dan Ratu Rasta yang memanggilnya dengan serempak dan setengah berteriak.Suasana pesta mendadak kacau balau. Para tamu kebingungan dan ada juga yang ikut berteriak bahkan beberapa orang diantaranya mengejar Aina yang sudah menggapai pintu.Dengan sigap Aina membuka pintu yang terbuat dari besi dengan gagang stainless.Dan ia berhasil keluar.Namun alangkah terkejutnya Aina begitu menyadari bahwa bangunan megah yang disebut istana itu ternyata bukanlah bangunan tembok atau rumah. Istana Tuan Fulton adalah sebuah kapal yang sangat besar dan bertingkat.Mulut Aina makin ternganga lebar begitu melihat ke bawah. Hamparan lautan luas yang terlihat kelam karena saat itu hari sudah malam. Ternyata kapal tersebut terapung di tengah lautan luas dan tenang.“Oh, betapa bodohnya aku hingga aku tidak menyadari kalau aku tengah berada di atas kapal. Mengapa aku tidak merasakan getaran mesin kapal ini? “B
"Ibu..??! ""Lalu aku harus memanggil dia apa..?! " Aina bertanya-tanya di dalam hati."Tundukkan kepalamu di hadapan Ratu! " Perintah Tuan Arnold lirih di telinga Aina ketika wanita itu terlihat kebingungan karena belum menemukan jawaban atas panggilan apa yang pantas ia berikan kepada wanita cantik bermahkota yang berdiri tepat di hadapannya."Ooh.. Se.. Selamat malam Ratu! " Tergagap suara Aina menyapa Ratu Rasta yang tersenyum bagaikan seringaian yang ia sembunyikan dalam keramahan palsu."Selamat malam! Malam ini kamu akan diresmikan menjadi menantu terbaru di istana megah ini. Jadi jaga sikapmu agar tidak memalukan keluarga besar Tuan Fulton yang sangat terhormat..! " Ulas Ratu Rasta terdengar sinis disela alunan musik yang mengalun lembut. Beberapa pasang manusia berusia tak lagi muda terlihat berdansa di lantai hall yang cukup luas itu.Namun bukan itu yang menjadi perhatian Aina. Aina cukup terkejut dengan pernyataan Ratu Rasta yang sangat janggal di telinganya."Menantu terb
"Dia tidur pulas sekali, Tuan! Kami sudah membangunkannya berulang kali." Lapor pelayan hitam manis kepada Tuan Arnold. "Ini sudah pukul berapa hah.. ? Ayahku Tuan Fulton, sudah duduk di singgasananya. Bagaimana perempuan itu bisa tidur dengan tenangnya...? Huuuh... " Tuan Arnold menyeret langkah dengan kasar menuju kamar tempat Aina berada. Ia melewati para tamu yang duduk bersantai di sofa yang sudah disediakan di hall rumah besar yang menyerupai istana tersebut. Sepasang mata seorang lelaki mengawasi pergerakan Tuan Arnold. Lelaki itu berpakaian sedikit lusuh dan tampaknya bertugas sebagai tenaga kebersihan. Beberapa kali ia terlihat sudah mengemasi kotak-kotak kosong dan gelas bekas makan dan minum para tamu. "Hei bodoh! Cepat bawakan minuman dingin untukku...! Aku kehausan menunggu perempuan busuk yang bakal menjadi permaisuri baru disini...!" Bentak seorang perempuan yang langsung membuat si lelaki berpakaian lusuh sedikit terkejut. Namun itu tidak berlangsung lama. Ia segera
"Bangunlah Nyonya.. ! Saya tahu sejak tadi Anda hanya berpura-pura tidur." Salah satu dari dua orang pelayan berkulit hitam manis membangunkan Aina dengan suara lembut namun dengan kalimat yang sedikit tegas. Kedua pelayan itu berdiri di samping pembaringan, melipat tangan di dada dan menekuk wajah menatap sinis ke arah tubuh Aina yang tergolek di atas pembaringan. Ucapan salah satu pelayan itu tentu saja membuat Aina terperanjat. Ia tidak menduga kalau aktingnya yang ia anggap sangat sempurna ternyata tidak mampu mengelabui kedua pelayan tersebut. "Kalau Anda terus saja berpura-pura tidur, maka jangan salahkan jika sebentar lagi Anda akan tidur untuk selamanya. Perut Anda butuh diisi. Anda butuh tenaga untuk keluar dari neraka jahanam ini." Sambung pelayan tadi, kali ini dengan kalimat lebih horor dan menakutkan. Sontak Aina terkejut lalu bergegas duduk mendengar ucapan itu. Ia berfikir tiada gunanya melanjutkan kepura-puraan. Toh kedua perempuan itu sudah tahu kalau dirinya hanya
"Jaga dia dan kalau sudah bangun dandani dengan cantik..!" Teriak Tuan Arnold kepada dua orang pelayan berkulit hitam manis. Tampaknya kedua pelayan itu berasal dari belahan timur Indonesia. Walaupun hitam, keduanya sangat manis. "Ya Tuan..!" Jawab kedua pelayan sembari membungkukkan badan dan melirik tubuh seorang wanita cantik yang terlihat tertidur pulas di atas pembaringan yang beralaskan kain sutera terbaik. "Siapa lagi wanita yang kau rebut dari kekasihnya? Apakah kau tidak ada puasnya merusak hubungan orang-orang yang saling mencintai?"Kalimat teguran itu dilontarkan oleh seorang wanita cantik, berpakaian ala seorang ratu lengkap dengan mahkota kecil di kepala. Kedatangannya di kamar itu cukup membuat kedua pelayan ketakutan dan bersegera undur diri. Tampaknya kekuatan perempuan tersebut melebihi power yang dimiliki oleh Tuan Arnold. Buktinya kedua pelayan memilih mengabaikan perintah Tuan Arnold untuk mematuhi perintah wanita bermahkota tersebut. Hening beberapa saat. Hany
"Ainaaa....!! "Zano berlari berusaha mengejar istrinya yang dibawa paksa oleh Tuan Arnold beserta rombongan. Walau terseok, lelaki muda itu tetap memaksakan diri untuk terus menguatkan kedua tungkai kakinya terus berlari mengejar mobil yang telah melesat pergi dan hanya meninggalkan semburan debu.Darah bercucuran dari hidung Zano, pandangan matanya mulai berkunang-kunang dan penglihatannya ikut memudar. Pluk... Tubuh Zano terhempas di halaman vila. Antara sadar dan tidak sadar Zano hanya bisa pasrah. Beberapa belas menit lamanya kesadaran Zano hilang dan ia seperti tertidur pulas beralaskan rumput hijau. Sepasang mata tua memperhatikan dari bawah sebatang pohon mangga yang rindang. Lelaki tua dengan tubuh agak ceking mengenakan singlet di bagian atas tubuhnya dan bercelana sedikit komprang di bagian bawah. Di hadapan lelaki itu ada sebuah lubang yang baru saja ia gali. Itu dibuktikan oleh tangannya yang masih memegang sebuah cangkul berlumuran tanah. "Matikah dia?" Mang Asep men
"Aa.. Arnold...??! " tergagap Nyonya Nisti menyebut nama seorang lelaki yang tiba-tiba muncul di hadapan tempat tidur begitu empat lelaki pendobrak pintu menggeser langkah ke samping sambil menundukkan wajah. Lelaki yang dipanggil Arnold tersebut mengangkat sedikit ujung bibir bagian atas, menyentuh pangkal dasi dan melangkah pelan ke depan. Sorot matanya nyalang seakan menguliti tubuh Nyonya Nisti dan Zano yang tiada berlapis sehelai benang pun jua. Nyonya Nisti terlihat sangat ketakutan dan menggeser tubuhnya sedikit demi sedikit menjauhi Zano yang duduk di sampingnya. Sedangkan Zano tidak jauh berbeda dengan Nyonya Nisti, wajahnya pias laksana kapas. Seluruh darahnya seakan terbang entah kemana. Ia hanya bisa menengadah menatap sayu ke wajah lelaki tinggi gagah yang berdiri hanya beberapa depa dari tempat tidur yang ia duduki dengan Nyonya Nisti. Kedua insan tanpa busana tersebut terlihat sangat ketakutan, kadang menunduk dan terkadang menengadah dengan pandangan memelas. "Bu..
Kalimat terakhir yang diucapkan Tuan Arnold benar-benar telah mencampakkan harga diri Aina ke lembah nista. Wanita itu berdiri mematung menatap kepergian lelaki yang baru saja mengaku telah merenggut harga dirinya itu. Perlahan bola-bola air membulat dari mata Aina lalu berjatuhan dan pecah di kemiringan pipinya. "Sungguh aku tidak percaya dengan apa yang telah terjadi. Kata-kata lelaki itu memang ngelantur tapi entah mengapa aku yakin bahwa ia tidak berbohong." desah bathin Aina dengan perasaan sangat galau. Wanita itu menghempaskan bokongnya di atas sofa untuk mendapatkan ketenangan. Disana ia mulai mengingat satu persatu kalimat yang telah di ucapkan Tuan Arnold kepadanya. "Apakah mungkin seorang lelaki penjual cinta mampu membeli bangunan semegah ini..?" Suara Tuan Arnold tadi kini terngiang kembali di telinga Aina. "Apa maksud dari semua ini? Apakah maksudnya Zano sudaah.. . ooh ya Allah.. tidak.. . Zano tidak mungkin melakukan hal serendah itu.. !" Aina berseru membanta