“Mas, kok semenjak ada Anara di sini, Mas udah nggak pernah nyentuh aku?"
Pertanyaan yang sudah memenuhi pikiran wanita bermanik cokelat itu selama dua bulan terakhir akhirnya diungkapkan juga. Sembari sesekali menengok ke arah dapur karena khawatir adiknya sendiri mendengar percakapannya, Nasya kini menatap suaminya dengan nanar. "Aku kan sibuk, lagi ada banyak pekerjaan di kantor, gak punya waktu untuk mikirin itu," ucap Anjas santai, matanya bahkan tak sempat menatap Nasya. Pria itu terlalu sibuk dengan layar laptop yang ada di depannya. Jawaban Anjas tentu saja membuat Nasya kecewa, namun, ia tetap berusaha tak menunjukkan emosinya di depan sang suami. "Mas, tapi katanya mas mau anak dari—” Nasya yang hendak melanjutkan terpaksa menghentikan ucapannya ketika Anara, adik kandungnya, tiba-tiba masuk ke dalam dapur, berjalan pelan sambil bermain ponsel. Selama setahun terakhir, Nasya memang mengizinkan adiknya untuk tinggal di rumah pribadi miliknya dan sang suami karena rumahnya yang lebih dekat ke kampus Anara. Saat itu, tentu Nasya memilih untuk berhenti karena perbincangan saat ini terlalu intim dan tidak pantas bagi adiknya untuk mendengarkan semua itu. Ketika Anara muncul, Nasya tiba-tiba saja menangkap mata Anjas sesekali menatap ke arah Anara yang ikut sarapan pagi. "Eh mbak, aku kayaknya nggak jadi lanjut kuliah tahun ini," ucap Anara sambil menyajikan makanannya sendiri. "Kenapa begitu?" tanya Nasya dengan nada khas yang lembut. "Mau nabung dulu, Ibu juga bilang ke aku, sebaiknya aku tinggal di sini, bareng Mbak, pekerjaan Mbak juga numpuk kan di rumah?" Mendengar ucapan Anara membuat Nasya tersenyum, dan mengangguk setuju, dia merasa beruntung karena adiknya bisa berada di rumahnya sekarang. Selain karena beberapa pekerjaan yang terasa lebih mudah karena adanya Anara, Nasya juga merasa kedatangan Anara membuat rumahnya terasa lebih ramai. "Dek." Anjas sekarang berdiri, "Mas tunggu di mobil ya," ucap Anjas tiba-tiba, terlihat buru-buru. Mereka memang akan bergegas untuk pergi ke tempat Nasya bekerja. Namun, entah mengapa, Nasya merasa suaminya seolah tak ingin menatap baik Nasya maupun Anara. Nasya ingat saat pertama kali Anara datang ke rumah mereka, Anjas bersikap sangat ramah dan hangat pada adiknya. Namun akhir-akhir ini, Anjas menjadi lebih diam dan dingin. Tetapi untuk saat ini Nasya berusaha untuk tidak berpikir yang aneh-aneh. "Kamu kalau capek istirahat saja ya. Nanti biar Mbak aja yang beresin rumah.” Nasya akhirnya pamit, tak ingin membuat sang suami menunggu lama. "Mas nanti kita ke rumah sakit ya,” pinta Nasya tak lama setelah ia masuk ke mobil. Nasya memang tak ada janji untuk bertemu dokter. Namun, keinginannya untuk memiliki anak kerap membuat ia terus menerus penasaran dengan kesuburan dirinya sendiri. "Buat apa?" tanya Anjas dengan nada lesu, tak ada semangat sama sekali di wajahnya. "Cuman ngecek kesuburan aku, sama kamu juga. Aku capek, Mas, dikatain mandul sama orang-orang!" Suara Nasya mulai sedikit meninggi membuat Anjas menggelengkan kepala dan tidak senang, dia terlihat berusaha menahan sesuatu. "Kita sudah ke dokter beberapa bulan lalu, sayang. Ngapain ke dokter terus? Buang-buang duit aja." Mendengar apa yang dikatakan Anjas membuat Nasya merasa tersinggung, "Kok kamu ngomong gitu, sih?" "Ngomong apa?" tanya Anjas kembali, seolah tak sadar jika apa yang ia ucapkan cukup menyakitkan untuk Nasya. "Kalau ke dokter itu buang-buang duit. Atau … kamu sudah gak ingin punya anak ya, Mas?” tanya Nasya sembari menundukkan kepalanya, “tapi kalau boleh jujur, mungkin tak apa jika kamu gak mau. Masalahnya, kamu gak akan “diwawancara” sama rekan kerja kamu, tetangga, dan ibu kamu, terkait kapan punya momongan.” Nasya mengatakannya dengan pelan. Bagaimanapun, Nasya tak bisa dipungkiri jika ucapan suaminya memang membuat dirinya sedih, karena faktanya, memang Nasya yang kerap dicap sebagai wanita mandul oleh keluarga dan kerabat sang suami. "Kok ibu aku sih yang kamu salahkan?" Anjas lalu meminggirkan mobil dan menatap Nasya dengan tatapan yang cukup tajam. "Kamu yang nggak bisa hamil, toh, kok ibu aku yang kamu bawa-bawa." "Ya gimana mau hamil Mas, kalau aku aja nggak disentuh sama kamu." "Gimana aku mau sentuh kamu kalau kamu sendiri pulang ke rumah muka kamu loyo, aku juga kecapean di kantor, udahlah, aku nggak mau debat lagi!" Dia lalu membuka pintu mobil dan menyuruh Nasya untuk keluar. "Kamu nyuruh aku keluar?" tanya Nasya dengan mata yang membulat, "Apa-apaan ini, Mas!" "Kamu pakai taksi aja, aku nggak mau lagi aku hancur cuman karena bahas anak yang bahkan belum lahir!" Nasya hanya bisa menganga tipis, tak percaya dengan apa yang suaminya katakan, dia mengepalkan tangan lalu melipatnya di dada, "Aku nggak bakalan keluar." Nasya cemberut, dan Anjas kembali menutup pintu mobil lalu melanjutkan perjalanan. Ini adalah pertama kalinya Nasya diperlakukan seperti itu oleh Anjas, dibentak dan disuruh keluar dari mobil tentu adalah sesuatu yang menyakitkan. Nasya tidak kuasa menahan air matanya dan menangis di samping Anjas, sementara suaminya itu menggelengkan kepala. Dia merasa bersalah tapi sayangnya dia juga punya kepribadian yang cukup keras. Susah baginya meminta maaf. "Sudahlah jangan nangis gitu, maskara kamu luntur nanti." Tapi Nasya masih terisak sesenggukan di samping Anjas yang membuat Anjas harus membujuk istrinya itu dan berusaha untuk bisa minta maaf. "Kamu ya Mas, bisa-bisanya kamu ... Bentak aku!" Nasya masih tersedu-sedu, "Kamu mau aku jalan kaki ke sekolah, ha?" "Makanya, gak usah drama di pagi hari gini, Nasya.” Nada suara Anjas lebih tenang dan dia kembali menjalankan mobil menuju tempat mengajar Nasya. Nasya tak lagi mengatakan apa pun dan mulai berhenti menangis, sampai akhirnya mereka tiba di depan gerbang sekolah, dan Nasya berusaha untuk menyelaraskan nafasnya dan kondisi perasaannya sekarang. Nasya tidak mengatakan apa-apa dan dia keluar dari mobil, sambil membanting pintu, Anjas bahkan tak membujuk dan memilih untuk membelokkan mobilnya menuju tempat kerja. Nasya yang menatap mobil itu menjauh hanya bisa bersabar, bisa-bisanya suaminya membentaknya, tentu hal itu adalah sesuatu yang tidak bisa dia bayangkan sebelumnya. Ketika Nasya yang saat ini akan segera mengajar, tiba-tiba notofikasi ponsel yang dia taruh di atas meja berbunyi, menamdalaana bahwa ada pesan yang masuk, Nasya yang penasaran meraih ponsel itu dan melihat siapa yang mengirim pesan. “Anara, kok pagi-pagi begini dia ngirim gambar?” Nasya bergumam sendiri dan betapa terkejutnya dia ketika melihat gambar yang dikirim Anara, hanya sekali lihat, foto dengan mini dress dan memperlihatkan belahan dadanya.Bibir Nasya terbuka, menganga tipis, dia tentu sangat terkejut dan tanpa berpikir panjang dia langsung menelpon Anara tapi sang adik tidak menjawab panggilan Nasya dan lebih memilih mengirimkan pesan kepada Nasya, pesannya berbunyi, “Maaf Mbak, salah kirim.” Nasya yang merasa penasaran akan ke mana Amara mengirim pesan itu, membalas, “Memangnya mau dikirim ke mana gambar kayak gitu?” Nasya menunggu beberapa saat agar Anara menjelaskan tentang pesan salah kirim itu, tapi fokus Nasya terganggu ketika salah seorang murid laki-laki berkata di sampingnya, “Bu Nasya.” Nasya menoleh ke arahnya, “Maaf Bu tapi, Ibu belum mulai mengajar?” “Oh iya astaga, baik, Ibu mulai sekarang ya,” Nasya tersenyum dan memilih untuk menaruh ponselnya dan membuka buku cetak yang berada di samping ponsel miliknya. Maka pada saat ini Nasya memilih untuk mengajar dan memilih untuk lupa dengan apa yang dia baca tadi, atau dia memang lupa. Tak ada bagi Nasya ingatan sama sekali dengan foto yang baru sa
Kepala Nasya terasa begitu pekat, dia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini dia merasakan rasa sakit kepala yang luar biasa. Bahkan dia tidak ingat apa yang terjadi semalam, bahwa dia malam dia dan Anjas berencana untuk ke rumah sakit. Dia juga tidak ingat bahwa Anjas dan dirinya menjalani malam yang panas, tapi dia bisa merasakan tubuhnya yang saat ini masih lelah. Sesekali dia memijat-mijat keningnya, dan tatapannya kini mengarah ke arah jam dinding yang berada di sebelah barat, sudah jam lima pagi. Hal itu membuat Nasya merasa aneh, tidak sering suaminya bangun terlalu dini, dan kadang Anjas juga harus dibangunkan ketika pagi. “Mas , Anjas?” Nasya memanggil dan memilih untuk berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, tapi tak ada seseorang di sana. Maka Nasya memilih untuk keluar dari kamarnya, menuju dapur dan mengecek kamar mandi dapur. Tetapi sayangnya suaminya Anjas, masih tidak ditemukan olehnya, Nasya mulai kesal, mungkin saja Anjas lari pagi atau sedang
Ponsel Nasya terus berdering beberapa kali tapi Nasya tidak menjawab panggilan yang sudah sejak tadi memanggilnya, Nasya berpikir mungkin yang memanggil adalah Anjas dan Nasya saat ini sedang tidak ingin bicara dengan suaminya, namun dia salah, karena yang saat ini memanggilnya adalah seseorang yang lain, Jaka. Jaka sendiri adalah atasan Anjas di perusahaan tempat Anjas bekerja, tetapi juga adalah mantan kekasih Nasya saat masih kuliah dulu. Anjas sendiri adalah senior Jaka di jurusan yang sama, dan Nasya lah yang meminta Jaka untuk menerima Anjas bekerja di perusahaan Jaka. Namun saat ini, hampir saja Nasya melempar ponsel miliknya karena berpikir bahwa yang memanggilnya berkali-kali adalah sang suami, kini rasa kesal yang dia hadapi memuncak, hingga akhirnya Nasya menyadari sesuatu bahwa, Nasya yang berjalan menuju ke arah rumah sepulang mengajar tiba-tiba tersadar bahwa dia tidak berada di jalan menuju rumah. Nasya malah menemukan jalan buntu dan berdiri di hadapan dinding
Pertengkaran antara Nasya dan juga Anjas tentu saja berakhir, dengan Nasya yang kembali masuk ke dalam kamar, kali ini dia tidak lagi mengunci kamar dan memilih untuk beristirahat. Pikirannya seolah kosong dan dia kesulitan mengingat sesuatu, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, dan Nasya sadar bahwa akhir-akhir ini sulit baginya mengingat sesuatu. Walaupun seperti itu dia tidak ingin ambil pusing dan berusaha untuk tetap tenang dengan kondisinya yang tidak stabil, bahkan pikiran akan keinginannya untuk hamil kini tidak terbersit lagi di kepalanya. Nasya saat ini, yang masih berada di dalam sekolah mendengar beberapa gunjingan dari guru lainnya bahwa dia sering kali keluar dan pulang sebelum jam pulang. Nasya yang mendengar semua itu berusaha untuk tetap tenang dan berpikir untuk kembali masuk ke dalam kelas, karena sudah waktunya jam mengajar, tapi bukannya masuk ke dalam kelas, Nasya malah berjalan keluar. Langkah kaki Nasya sekarang berada di jalan raya dan
Kedua kelopak mata Nasya terbuka dan kepalanya merasa penat luar biasa, dia tidak tahu apa yang terjadi padanya, yang dia ingat adalah dia jatuh pingsan tapi setelah itu dia sama sekali tidak mengingat apa pun. Langit-langit putih, yang sama sekali dia tidak tahu di mana dia berada, bukan di kamarnya atau di mana pun, tapi dia merasakan bukan hanya dia yang berada di sana tetapi Anjas juga berada di sana. Mata Nasya menyipit menatap suaminya yang tampak dengan rambut berantakan itu memandanginya dan berusaha berbicara pada Nasya, tetapi sayangnya Nasya tidak mendengar satu kata pun dari sang suami. “Nasya sayang aku bisa jelasin semuanya, tolong dengarkan aku dulu, ya.” “Mas ....” Perlahan dia bisa mendengar suaminya mengatakan sesuatu. Tetapi ucapan suaminya terdengar aneh, dan dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Anjas. Nasya menyipitkan mata dan sekarang pandangannya terlihat begitu jelas, Anjas berdiri di hadapannya. Seseorang dengan jas medis datang, seorang pria ya
Apa yang terjadi pada Nasya tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, Anjas tidak pula memberikan perhatian yang lebih pada istrinya dan Nasya seoalah melewati hari demi hari tanpa tahu bahwa dia sedang sakit. Sering kali Nasya tidak meminum obatnya karena dia tidak ingat bahwa dia harus meminum obat, sering kali pipa dia hanya berada di kamarnya sendirian dan makan jika diingatkan. Anara yang seharusnya menjadi sosok yang membantu Nasya dalam menyembuhkan luka malah menjadi penyebab dari hadirnya luka yang dirasakan oleh Nasya. Sekarang tak ada yang bisa membantunya, apalagi orang tua Nasya tak ada yang tahu akan penyakit yang diderita olehnya. Parahnya Nasya bahkan tidak mengingat bahwa dia sedang hamil jika saja dia tidak diingatkan oleh Anjas dan Anara. Ketika Nasya yang seharusnya tidak masuk mengajar karena masih dalam kondisi yang sakit, Anjas berkata kepadanya, "Hari ini tidak usah masuk mengajar," katanya saat Nasya sedang bersiap-siap. "Kenapa, Mas?" "Istrhat aj
"Maksud kamu apa, kalau kamu nggak tahu?" Keningnya mengernyit dan menatap dengan tatapan yang heran, tampak sedikit rasa cemas di wajah Anjas ketika pulang dan tak menemukan Nasya. "Mas, aku tadi ada di dalam kamar dan aku pikir Mbak Nasya juga ada di dalam kamarnya, jadi aku nggak cek lagi, eh pas aku cek ternyata Mbak Nasya udah nggak ada di sini." Wajah Anara tampak cemas dan menunduk, Anjas gelisah. Dia berusaha untuk menghubungi Nasya tapi sayangnya saat ini Nasya yang berdiri di pinggir jalan dan tanpa sengaja bertemu dengan Jaka memilih untuk menerima tawaran Jaka. "Kalau kamu mau aku antar, ayo masuk." Jaka tampak melepas kacamata hitam miliknya dan membuka pintu mobil untuk Nasya. Tampan Nasya bingung dan hanya menganga, tidak ingat akan apa yang dia inginkan sebenarnya. "Mas, ini udah jam berapa ya?" Nasya bertanya dengan bibir terbuka, dia menoleh kepada Jaka yang mengecek jam digital yang mengikat di pergelangan tangannya. "Udah jam lima sore, Nas, memangnya
Pintu rumah terbuka dan terlihat Anjas berdiri di ambang pintu, matanya cukup berbinar melihat Nasya berdiri di hadapan bingkai pintu. Dia menelan saliva dan bersyukur bahwa Nasya akhirnya pulang. Anjas melihat keluar ke halaman rumah apa mungkin ada seseorang yang mengantar Nasya pulang tapi tidak ada sama sekali. "Mas." "Kamu dari mana saja." "Aku dari sekolah Mas," kata Nasya yang bahkan tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan, dia masuk ke dalam tanpa mengatakan apa pun lagi pada Anjas. "Kamu nggak bisa begini Nasya." Anjas berjalan di belakang Nasya yang tampak lesu. "Kamu itu hamil, kamu nggak bisa sembarang keluyuran, lagi pula kok kamu bisa keluar tanpa nelpon aku, di mana hp kamu." Anjas dengan kasar menghentakkan tas Nasya dan membuat Nasya terkejut. "Apa-apaan kamu Mas!" Nasya menaikkan alis dan merasa tidak senang dengan perlakuan dari Anjas. Anjas melihat ponsel Masya yang soda lowbet, dan bergumam, "Dia bahkan lupa mengisi baterainya." Anjas menggelengkan kep