Share

Istri Pelupa yang Kau Buat Luka
Istri Pelupa yang Kau Buat Luka
Penulis: Black Eagle

Salah Kirim

“Mas, kok semenjak ada Anara di sini, Mas udah nggak pernah nyentuh aku?"

Pertanyaan yang sudah memenuhi pikiran wanita bermanik cokelat itu selama dua bulan terakhir akhirnya diungkapkan juga. Sembari sesekali menengok ke arah dapur karena khawatir adiknya sendiri mendengar percakapannya, Nasya kini menatap suaminya dengan nanar.

"Aku kan sibuk, lagi ada banyak pekerjaan di kantor, gak punya waktu untuk mikirin itu," ucap Anjas santai, matanya bahkan tak sempat menatap Nasya. Pria itu terlalu sibuk dengan layar laptop yang ada di depannya.

Jawaban Anjas tentu saja membuat Nasya kecewa, namun, ia tetap berusaha tak menunjukkan emosinya di depan sang suami.

"Mas, tapi katanya mas mau anak dari—”

Nasya yang hendak melanjutkan terpaksa menghentikan ucapannya ketika Anara, adik kandungnya, tiba-tiba masuk ke dalam dapur, berjalan pelan sambil bermain ponsel.

Selama setahun terakhir, Nasya memang mengizinkan adiknya untuk tinggal di rumah pribadi miliknya dan sang suami karena rumahnya yang lebih dekat ke kampus Anara.

Saat itu, tentu Nasya memilih untuk berhenti karena perbincangan saat ini terlalu intim dan tidak pantas bagi adiknya untuk mendengarkan semua itu.

Ketika Anara muncul, Nasya tiba-tiba saja menangkap mata Anjas sesekali menatap ke arah Anara yang ikut sarapan pagi.

"Eh mbak, aku kayaknya nggak jadi lanjut kuliah tahun ini," ucap Anara sambil menyajikan makanannya sendiri.

"Kenapa begitu?" tanya Nasya dengan nada khas yang lembut.

"Mau nabung dulu, Ibu juga bilang ke aku, sebaiknya aku tinggal di sini, bareng Mbak, pekerjaan Mbak juga numpuk kan di rumah?"

Mendengar ucapan Anara membuat Nasya tersenyum, dan mengangguk setuju, dia merasa beruntung karena adiknya bisa berada di rumahnya sekarang. Selain karena beberapa pekerjaan yang terasa lebih mudah karena adanya Anara, Nasya juga merasa kedatangan Anara membuat rumahnya terasa lebih ramai.

"Dek." Anjas sekarang berdiri, "Mas tunggu di mobil ya," ucap Anjas tiba-tiba, terlihat buru-buru.

Mereka memang akan bergegas untuk pergi ke tempat Nasya bekerja. Namun, entah mengapa, Nasya merasa suaminya seolah tak ingin menatap baik Nasya maupun Anara.

Nasya ingat saat pertama kali Anara datang ke rumah mereka, Anjas bersikap sangat ramah dan hangat pada adiknya. Namun akhir-akhir ini, Anjas menjadi lebih diam dan dingin. Tetapi untuk saat ini Nasya berusaha untuk tidak berpikir yang aneh-aneh.

"Kamu kalau capek istirahat saja ya. Nanti biar Mbak aja yang beresin rumah.” Nasya akhirnya pamit, tak ingin membuat sang suami menunggu lama.

"Mas nanti kita ke rumah sakit ya,” pinta Nasya tak lama setelah ia masuk ke mobil.

Nasya memang tak ada janji untuk bertemu dokter. Namun, keinginannya untuk memiliki anak kerap membuat ia terus menerus penasaran dengan kesuburan dirinya sendiri.

"Buat apa?" tanya Anjas dengan nada lesu, tak ada semangat sama sekali di wajahnya.

"Cuman ngecek kesuburan aku, sama kamu juga. Aku capek, Mas, dikatain mandul sama orang-orang!"

Suara Nasya mulai sedikit meninggi membuat Anjas menggelengkan kepala dan tidak senang, dia terlihat berusaha menahan sesuatu.

"Kita sudah ke dokter beberapa bulan lalu, sayang. Ngapain ke dokter terus? Buang-buang duit aja."

Mendengar apa yang dikatakan Anjas membuat Nasya merasa tersinggung, "Kok kamu ngomong gitu, sih?"

"Ngomong apa?" tanya Anjas kembali, seolah tak sadar jika apa yang ia ucapkan cukup menyakitkan untuk Nasya.

"Kalau ke dokter itu buang-buang duit. Atau … kamu sudah gak ingin punya anak ya, Mas?” tanya Nasya sembari menundukkan kepalanya, “tapi kalau boleh jujur, mungkin tak apa jika kamu gak mau. Masalahnya, kamu gak akan “diwawancara” sama rekan kerja kamu, tetangga, dan ibu kamu, terkait kapan punya momongan.”

Nasya mengatakannya dengan pelan. Bagaimanapun, Nasya tak bisa dipungkiri jika ucapan suaminya memang membuat dirinya sedih, karena faktanya, memang Nasya yang kerap dicap sebagai wanita mandul oleh keluarga dan kerabat sang suami.

"Kok ibu aku sih yang kamu salahkan?" Anjas lalu meminggirkan mobil dan menatap Nasya dengan tatapan yang cukup tajam. "Kamu yang nggak bisa hamil, toh, kok ibu aku yang kamu bawa-bawa."

"Ya gimana mau hamil Mas, kalau aku aja nggak disentuh sama kamu."

"Gimana aku mau sentuh kamu kalau kamu sendiri pulang ke rumah muka kamu loyo, aku juga kecapean di kantor, udahlah, aku nggak mau debat lagi!"

Dia lalu membuka pintu mobil dan menyuruh Nasya untuk keluar.

"Kamu nyuruh aku keluar?" tanya Nasya dengan mata yang membulat, "Apa-apaan ini, Mas!"

"Kamu pakai taksi aja, aku nggak mau lagi aku hancur cuman karena bahas anak yang bahkan belum lahir!"

Nasya hanya bisa menganga tipis, tak percaya dengan apa yang suaminya katakan, dia mengepalkan tangan lalu melipatnya di dada, "Aku nggak bakalan keluar."

Nasya cemberut, dan Anjas kembali menutup pintu mobil lalu melanjutkan perjalanan. Ini adalah pertama kalinya Nasya diperlakukan seperti itu oleh Anjas, dibentak dan disuruh keluar dari mobil tentu adalah sesuatu yang menyakitkan.

Nasya tidak kuasa menahan air matanya dan menangis di samping Anjas, sementara suaminya itu menggelengkan kepala. Dia merasa bersalah tapi sayangnya dia juga punya kepribadian yang cukup keras. Susah baginya meminta maaf.

"Sudahlah jangan nangis gitu, maskara kamu luntur nanti."

Tapi Nasya masih terisak sesenggukan di samping Anjas yang membuat Anjas harus membujuk istrinya itu dan berusaha untuk bisa minta maaf.

"Kamu ya Mas, bisa-bisanya kamu ... Bentak aku!" Nasya masih tersedu-sedu, "Kamu mau aku jalan kaki ke sekolah, ha?"

"Makanya, gak usah drama di pagi hari gini, Nasya.” Nada suara Anjas lebih tenang dan dia kembali menjalankan mobil menuju tempat mengajar Nasya.

Nasya tak lagi mengatakan apa pun dan mulai berhenti menangis, sampai akhirnya mereka tiba di depan gerbang sekolah, dan Nasya berusaha untuk menyelaraskan nafasnya dan kondisi perasaannya sekarang.

Nasya tidak mengatakan apa-apa dan dia keluar dari mobil, sambil membanting pintu, Anjas bahkan tak membujuk dan memilih untuk membelokkan mobilnya menuju tempat kerja.

Nasya yang menatap mobil itu menjauh hanya bisa bersabar, bisa-bisanya suaminya membentaknya, tentu hal itu adalah sesuatu yang tidak bisa dia bayangkan sebelumnya.

Ketika Nasya yang saat ini akan segera mengajar, tiba-tiba notofikasi ponsel yang dia taruh di atas meja berbunyi, menamdalaana bahwa ada pesan yang masuk, Nasya yang penasaran meraih ponsel itu dan melihat siapa yang mengirim pesan.

“Anara, kok pagi-pagi begini dia ngirim gambar?” Nasya bergumam sendiri dan betapa terkejutnya dia ketika melihat gambar yang dikirim Anara, hanya sekali lihat, foto dengan mini dress dan memperlihatkan belahan dadanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status