Ponsel Nasya terus berdering beberapa kali tapi Nasya tidak menjawab panggilan yang sudah sejak tadi memanggilnya, Nasya berpikir mungkin yang memanggil adalah Anjas dan Nasya saat ini sedang tidak ingin bicara dengan suaminya, namun dia salah, karena yang saat ini memanggilnya adalah seseorang yang lain, Jaka.
Jaka sendiri adalah atasan Anjas di perusahaan tempat Anjas bekerja, tetapi juga adalah mantan kekasih Nasya saat masih kuliah dulu. Anjas sendiri adalah senior Jaka di jurusan yang sama, dan Nasya lah yang meminta Jaka untuk menerima Anjas bekerja di perusahaan Jaka. Namun saat ini, hampir saja Nasya melempar ponsel miliknya karena berpikir bahwa yang memanggilnya berkali-kali adalah sang suami, kini rasa kesal yang dia hadapi memuncak, hingga akhirnya Nasya menyadari sesuatu bahwa, Nasya yang berjalan menuju ke arah rumah sepulang mengajar tiba-tiba tersadar bahwa dia tidak berada di jalan menuju rumah. Nasya malah menemukan jalan buntu dan berdiri di hadapan dinding sebuah lorong-lorong kanal yang tidak dikenali Nasya berada di mana. “Neng.” Suara seorang pria paruh baya yang melihat bahwa Nasya terlihat tersesat, “Mau ke mana?” Nasya diam sejenak dan menoleh pada pria setengah baya itu, sambil berkata, “Mau pulang, Pak. Tapi kok di sini ada tembok ya, Pak?” “Tembok ini emang udah lama, Neng, mungkin Eneng salah jalan. Memangnya alamat rumahnya di mana Neng?” Nasya tentu saja merasa heran dan mau tidak mau dia harus memberikan alamat rumahnya untuk diantar pulang, bahkan Nasya lupa arah jalan pulang. Sedangkan ketika Anjas berada di rumah yang sampai saat ini, Nasya masih tidak berada di rumah, Anjas berusaha untuk menghubungi nomor Nasya tapi dia tak mendapatkan jawaban sama sekali. Tangan Anjas mengepal berusaha untuk tenang tapi dia tak bisa menunggu lagi dan dia harus mencari Nasya ada di mana. Lantas Anjas hendak membuka pintu, keluar dari rumah tapi saat itu, Nasya tiba-tiba membuka pintu dengan raut wajah yang lelah, tapi seoalah tak terjadi sesuatu. “Dari mana saja kau?” tanya Anjas dengan suara yang tegas, membuat Nasya langsung terhentak dan berhenti dari langkahnya. Mengernyit menatap Anjas, dan berkata kepada suaminya yang terlihat geram, “Apa maksud kamu mas, aku baru saja pulang dari ngajar tapi kau marah-marah kek gini ke aku?” Suara Nasya membesar dan membuat Anara yang berada di dalam kamar langsung keluar dari sana dan melihat apa yang terjadi. Mata Nasya lalu mengarah kepada Anara, seolah terkejut melihat adiknya berada di dalam rumah yang sama dengannya. “Ngajar? Teman ngajar mu tadi nelpon aku dan bilang kamu nggak ada di sekolah!” Suara Anjas semakin membesar dan Nasya mengernyit melihat reaksi kasar suaminya itu. “Mas, aku baru aja pulang ngajar, Mas jangan gitu ih, aku lagi capek tapi Mas malah ngomong kasar.” “Nasya, di sekolah pulang aja jam 4 sore, anak sekolah mana yang pulang sampai jam tujuh malam untuk diajar?” Nasya diam dan menelan saliva, dia tidak mengingat apa pun, apa yang terjadi padanya dan hanya diam, Anjas bingung dan tidak bisa melakukan apa-apa pada istrinya sekarang ini. Anara bahkan belum makan dan menguping di depan kamar, Nasya dan Anjas kembali berdebat setelah berada di dalam kamar mereka, dan Anara seolah tidak punya masalah dengan perdebatan itu, entah apa yang membuat Anara malah suka dengan perdebatan yang terjadi antara kakak dan kakak iparnya. “Aku ... Aku tadi ....” “Sama Jaka?” Mendengar apa yang dikatakan oleh Anjas membuat Nasya menggelengkan kepala, “Apa sih Mas, kok Mas ngomong gitu, mana ada Jaka sama aku, nomor Jaka sendiri nggak ada sama aku.” Nasya menolehkan pandnagan dan tidak berniat menatap ke arah suaminya. Anjas yang terlihat dengan muka yang memerah itu berusaha untuk sabar. Nasya sendiri tidak mau melanjutkan perdebatan dan memilih untuk keluar dari kamar. “Mau ke mana kamu Nasya?” Suara Anjas membesar, dan Nasya tidak menjawab, dia membuka pintu dan menemukan adiknya berdiri di dekat kamar mereka. “Ngapain kamu di sini?” tanya Nasya kepada Anara, “kamu nguping ya?” “Nggak Mbak, aku lagi nyari jaringan, di kamar aku nggak ada jaringan.” “Alesan.” Nasya yang seolah bahkan tak paham dengan apa yang terjadi padanya masuk ke dapur danelijay bahwa di meja makan sudah ada makanan, dia memilih keluar dari dapur. Ketika langkah kaki Anara berada dekat dengan kamarnya, dia melihat suaminya yang jangkung itu menunduk dan sedang bicara dengan Anara, apa yang mungkin mereka perdebatkan membuat Nasya bingung. “Nara.” Anjas dan Anara langsung menoleh ke arah Nasya, “Kalian ngomongin apa?” Kedua kelopak mata Anjas cukup membulat menatap istrinya, dan dia melangkah ke arah sang istri lalu berkata dengan lembut, “Cuman bilang kalau adik kamu harus hati-hati, jangan suka nguping.” Anjas menatap Anara dengan tatapan yang tajam. “Makanan udah ada di dapur, kalian nggak mau makan malam?” Nasya berbalik kembali ke arah dapur sementara Anjas dan Anara saling menatap satu sama lain, berbisik di belakang Nasya yang berjalan di depan. Entah apa yang mereka bicarakan, tetapi saat mereka berjalan, tubuh Anara dan Anjas sangat berdekatan dan jemari mereka bahkan hampir bergenggaman satu sama lain, sayangnya Nasya tidak memperhatikan semua itu. Mereka hanya berjalan ke dapur dan seolah tidak terjadi apa-apa, tak ada pertengkaran dan tak ada perdebatan lagi, bahkan Nasya tidak mengungkit lagi tentang Anara yang begitu berani menguping.Pertengkaran antara Nasya dan juga Anjas tentu saja berakhir, dengan Nasya yang kembali masuk ke dalam kamar, kali ini dia tidak lagi mengunci kamar dan memilih untuk beristirahat. Pikirannya seolah kosong dan dia kesulitan mengingat sesuatu, dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, dan Nasya sadar bahwa akhir-akhir ini sulit baginya mengingat sesuatu. Walaupun seperti itu dia tidak ingin ambil pusing dan berusaha untuk tetap tenang dengan kondisinya yang tidak stabil, bahkan pikiran akan keinginannya untuk hamil kini tidak terbersit lagi di kepalanya. Nasya saat ini, yang masih berada di dalam sekolah mendengar beberapa gunjingan dari guru lainnya bahwa dia sering kali keluar dan pulang sebelum jam pulang. Nasya yang mendengar semua itu berusaha untuk tetap tenang dan berpikir untuk kembali masuk ke dalam kelas, karena sudah waktunya jam mengajar, tapi bukannya masuk ke dalam kelas, Nasya malah berjalan keluar. Langkah kaki Nasya sekarang berada di jalan raya dan
Kedua kelopak mata Nasya terbuka dan kepalanya merasa penat luar biasa, dia tidak tahu apa yang terjadi padanya, yang dia ingat adalah dia jatuh pingsan tapi setelah itu dia sama sekali tidak mengingat apa pun. Langit-langit putih, yang sama sekali dia tidak tahu di mana dia berada, bukan di kamarnya atau di mana pun, tapi dia merasakan bukan hanya dia yang berada di sana tetapi Anjas juga berada di sana. Mata Nasya menyipit menatap suaminya yang tampak dengan rambut berantakan itu memandanginya dan berusaha berbicara pada Nasya, tetapi sayangnya Nasya tidak mendengar satu kata pun dari sang suami. “Nasya sayang aku bisa jelasin semuanya, tolong dengarkan aku dulu, ya.” “Mas ....” Perlahan dia bisa mendengar suaminya mengatakan sesuatu. Tetapi ucapan suaminya terdengar aneh, dan dia tidak tahu apa yang dimaksudkan oleh Anjas. Nasya menyipitkan mata dan sekarang pandangannya terlihat begitu jelas, Anjas berdiri di hadapannya. Seseorang dengan jas medis datang, seorang pria ya
Apa yang terjadi pada Nasya tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, Anjas tidak pula memberikan perhatian yang lebih pada istrinya dan Nasya seoalah melewati hari demi hari tanpa tahu bahwa dia sedang sakit. Sering kali Nasya tidak meminum obatnya karena dia tidak ingat bahwa dia harus meminum obat, sering kali pipa dia hanya berada di kamarnya sendirian dan makan jika diingatkan. Anara yang seharusnya menjadi sosok yang membantu Nasya dalam menyembuhkan luka malah menjadi penyebab dari hadirnya luka yang dirasakan oleh Nasya. Sekarang tak ada yang bisa membantunya, apalagi orang tua Nasya tak ada yang tahu akan penyakit yang diderita olehnya. Parahnya Nasya bahkan tidak mengingat bahwa dia sedang hamil jika saja dia tidak diingatkan oleh Anjas dan Anara. Ketika Nasya yang seharusnya tidak masuk mengajar karena masih dalam kondisi yang sakit, Anjas berkata kepadanya, "Hari ini tidak usah masuk mengajar," katanya saat Nasya sedang bersiap-siap. "Kenapa, Mas?" "Istrhat aj
"Maksud kamu apa, kalau kamu nggak tahu?" Keningnya mengernyit dan menatap dengan tatapan yang heran, tampak sedikit rasa cemas di wajah Anjas ketika pulang dan tak menemukan Nasya. "Mas, aku tadi ada di dalam kamar dan aku pikir Mbak Nasya juga ada di dalam kamarnya, jadi aku nggak cek lagi, eh pas aku cek ternyata Mbak Nasya udah nggak ada di sini." Wajah Anara tampak cemas dan menunduk, Anjas gelisah. Dia berusaha untuk menghubungi Nasya tapi sayangnya saat ini Nasya yang berdiri di pinggir jalan dan tanpa sengaja bertemu dengan Jaka memilih untuk menerima tawaran Jaka. "Kalau kamu mau aku antar, ayo masuk." Jaka tampak melepas kacamata hitam miliknya dan membuka pintu mobil untuk Nasya. Tampan Nasya bingung dan hanya menganga, tidak ingat akan apa yang dia inginkan sebenarnya. "Mas, ini udah jam berapa ya?" Nasya bertanya dengan bibir terbuka, dia menoleh kepada Jaka yang mengecek jam digital yang mengikat di pergelangan tangannya. "Udah jam lima sore, Nas, memangnya
Pintu rumah terbuka dan terlihat Anjas berdiri di ambang pintu, matanya cukup berbinar melihat Nasya berdiri di hadapan bingkai pintu. Dia menelan saliva dan bersyukur bahwa Nasya akhirnya pulang. Anjas melihat keluar ke halaman rumah apa mungkin ada seseorang yang mengantar Nasya pulang tapi tidak ada sama sekali. "Mas." "Kamu dari mana saja." "Aku dari sekolah Mas," kata Nasya yang bahkan tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan, dia masuk ke dalam tanpa mengatakan apa pun lagi pada Anjas. "Kamu nggak bisa begini Nasya." Anjas berjalan di belakang Nasya yang tampak lesu. "Kamu itu hamil, kamu nggak bisa sembarang keluyuran, lagi pula kok kamu bisa keluar tanpa nelpon aku, di mana hp kamu." Anjas dengan kasar menghentakkan tas Nasya dan membuat Nasya terkejut. "Apa-apaan kamu Mas!" Nasya menaikkan alis dan merasa tidak senang dengan perlakuan dari Anjas. Anjas melihat ponsel Masya yang soda lowbet, dan bergumam, "Dia bahkan lupa mengisi baterainya." Anjas menggelengkan kep
Beberapa saat sebelum Nasya berada di rumah, di mana saat itu dia dan Jaka berada di dalam mobil yang sama, Jaka juga mengatakan kepada supir pribadinya bahwa jika pulang maka Jaka lah yang akan berkendara dan membiarkan supir pribadinya pergi. Jaka menghentikan mobil di pinggir jalan dan merasa sangat prihatin terhadap Nasya, apa yang terjadi pada mantan kekasihnya setelah menikah dengan Anjas. Tentu hingga saat ini perasaan Jaka masih utuh untuk Nasya. Dia bahkan tidak peduli jika saja Nasya memiliki wajah pucat yang terlihat sangat jarang mengurus diri. Dia merasa bahwa bukan Nasya yang tidak tahu cara mengurus diri, melainkan Anjas lah yang tidak bisa merawat dan menjaga Nasya dengan baik. "Nasya," gumam Jaka menatap ke arah Nasya yang memandang kosong ke depan. "Nasya kau dengar aku?" Jala sekali lagi dan Nasya kini menoleh ke arah Jaka. "Iya?" Suara Nasya sangat lemah dan lembut, Jaka tersenyum mendengar suara Nasya yang khas akan kelembutannya. "Hmm kau ingat aku, bukan?"
"Nasya." Suara Anjas terdengar, kepalanya terlihat dia julurkan Masik ke dalam kamar sedangkan Nasya sudah hampir setengah jam berada di atas ranjang sambil memegangi buku catatan yang diberikan Jaka padanya. Anjas yang tidak mendapatkan respon memilih untuk masuk ke dalam kamar dan melihat apa yang terjadi dengan Nasya. "Nasya makan malam udah siap," kata Anjas lalu pergi dari sana. Nasya yang merasa lapar terbangun dari lamunannya, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang ingin dia lakukan tapi dia tidak tahu. "Apa ini?" Nasya bertanya sendiri dan menghela nafas panjang, sambil melempar buku catatan itu ke atas naka. Dia berjalan keluar dari kamar dan masuk ke ayah dapur. Di sana adiknya Anara terlihat dengan pakaian yang lebih sopan. Karena jika dia terus menerus memakai pakaian mini maka Nasya tentu akan terus menerus menegurnya. Anjas terlihat menatap ke arah Nasya yang terlihat biasa-biasa saja, dia juga tidak memberikan Nasya obat akan penyakitnya tapi hanya memberikan obat ka
Tanpa mengingat apa pun, Nasya mengikuti instruksi yang diberikan Jaka padanya. Apalagi saat ini rumah sangat sepi, Anjas tidak berada di sana begitu juga dengan Anara. Nasya seolah dikurung di dalam rumah. Dia berusaha keluar dari rumahnya. Nasya mengernyitkan kening dan mencari cara agar bisa keluar. Jaka sendiri menduga bahwa Nasya sudah lupa di mana dia meletakkan kunci rumah, dan memang benar seperti itu. Istrinya tak lagi ingat di mana dia menyimpan kunci rumah, sehingga Anjas yakin bahwa Nasya tidak akan ke mana-mana. Tetapi walaupun Nasya tidak mengingat di mana dia menyimpan kunci pintu rumahnya, dia tetap bisa menemukan benda kecil itu. Ya tangannya meraba masuk ke dalam tas yang sering dia gunakan dan menemukan kunci pintu. Sangat mudah bagi Nasya membuka pintu rumah dan dia berjalan pergi dari sana. Hanya berjalan, pikirannya tanpa sadar terus mengantarkan Nasya hingga ke jalan poros. Lalu tak lama setelah itu mobil mengkilat hitam berhenti di hadapannya. Pintu mobil
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa