Share

Bercak Darah di Ranjang Adik

Kepala Nasya terasa begitu pekat, dia tidak tahu kenapa akhir-akhir ini dia merasakan rasa sakit kepala yang luar biasa. Bahkan dia tidak ingat apa yang terjadi semalam, bahwa dia malam dia dan Anjas berencana untuk ke rumah sakit.

Dia juga tidak ingat bahwa Anjas dan dirinya menjalani malam yang panas, tapi dia bisa merasakan tubuhnya yang saat ini masih lelah.

Sesekali dia memijat-mijat keningnya, dan tatapannya kini mengarah ke arah jam dinding yang berada di sebelah barat, sudah jam lima pagi. Hal itu membuat Nasya merasa aneh, tidak sering suaminya bangun terlalu dini, dan kadang Anjas juga harus dibangunkan ketika pagi.

“Mas , Anjas?” Nasya memanggil dan memilih untuk berjalan ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, tapi tak ada seseorang di sana. Maka Nasya memilih untuk keluar dari kamarnya, menuju dapur dan mengecek kamar mandi dapur.

Tetapi sayangnya suaminya Anjas, masih tidak ditemukan olehnya, Nasya mulai kesal, mungkin saja Anjas lari pagi atau sedang olahraga, tapi pintu rumah tampaknya terlihat dikunci dari dalam.

“Di mana dia?” Nasya bertanya-tanya dan kini duduk di sofa, kepalanya masih merasa sakit, badannya pegal, dan dia memilih keluar dari rumah, berdiri di teras dan diam beberapa saat di sana.

Sampai Nasya mendengar suara dari belakang, “Sayang?” Lalu Nasya menoleh dan melihat suaminya yang mengenakan kaos biasa dan celana pendek itu berdiri di sana.

“Mas, ke mana aja, aku cari tadi di dapur tapi Mas nggak aku temuin,” kata Nasya yang membuat Anjas terlihat sedikit panik untuk menjelaskan pertanyaan dari Nasya.

Bukan hanya itu, Anjas juga tampak mengernyit ketika, Nasya tidak ingat bahwa Nasya lah yang mengunci kamar dan tidak mengizinkan Anjas untuk masuk ke dalam sana.

“Tapi kan kamu yang ....”

“Udahlah Mas, kepala aku pusing, ini udah jam lima pagi, aku harus masak sarapan.” Nasya sambil memijat keningnya, dan Anjas tersenyum menggeleng.

“Oh iya, kita jangan ke rumah sakit besok ya, aku ada kesibukan,” ucap Anjas, terlihat keringat di keningnya dan membuat Nasya menyipitkan mata.

“Emang ada yang mau ke rumah sakit hari ini?”

Anjas sontak terkejut mendengar istrinya mengatakan hal demikian, bukankah Nasya yang sudah sejak kemarin ingin ke rumah sakit, kenapa tiba-tiba saja sekarang dia malah tidak ingat, tentu hal itu membuat Anjas bertanya-tanya.

“Jadi kita nggak jadi ke rumah sakit nih.”

Tetapi bukannya merespons ucapan suaminya, Nasya malah terfokus pada keringat yang berada di kening suaminya yang terlihat begitu jelas.

“Mas habis olahraga pagi ya?” Nasya yang sekarang mengusap kening Anjas, yang membuat Anjas langsung terbata-bata.

“Eh.” Dia juga ikut mengusap keringat yang berada di keningnya itu, “Oh iya tadi, aku bangun jam empat, ini baru mau mandi.”

Nasya mengangguk-angguk dan dia memilih untuk meninggalkan Anjas di ruang tamu, lalu masuk ke dalam kamar adiknya Anara yang tidak terkunci, Nasya merasa heran, kenapa bisa kamar adiknya yang biasanya terkunci kini terbuka.

“Nara.” Nasya masuk ke dalam sana dan sedikit mengguncang tubuh Anara, “Bangun dek, udah jam kima pagi, bantu Mbak buat masak.”

Tetapi respon Anara tidaklah menyenangkan untuk Nasya, dia mengeluh capek dan badannya terasa pegal, membuat Nasya langsung berlutut dan menyentuh kening Anara.

“Kamu nggak panas toh,” kata Nasya yang membuat Anara merasa tidak senang.

“Iya Mbak, aku nggak panas, cuman badan aku pegal semua, capek banget sejak kemarin pekerjaan rumah dikerjain aku,” kata Anara yang membuat Nasya tersinggung.

Terlihat Anjas berdiri di bingkai pintu kamar Anara yang dan mendengar perbincangan antara adik dan kakak itu.

“Kalau dia capek nggak usah dipaksa, sayang.” Anjas yang menyahut, membuat Nasya menoleh ke arah Anjas.

“Ya udah, pekerjaan rumah biar aku semua yang kerjain.” Nasya dengan nada suara yang kesal.

Nasya dengan langkah kesal menuju dapur sendirian dan menyiapkan sarapan pagi sendirian, sambil mengoceh dan tidak senang dengan respon adiknya.

“Seharusnya dia bilang ke aku lebih awal, atau sejak semalam, kalau dia itu sedang capek, jadi aku bisa bangun lebih awal.”

Anjas yang berdiri di sana menaikkan alis dan berkata, “Kamu seharusnya tidak menyalahkan Anara. Kan dia lagi capek, lagian dia selama ini udah bantuin kita, ini baru pertama kalinya dia nolak kan?”

Nasya mendengus kesal mendengar suaminya memberikan pembelaan kepada Anara, dia lalu menatap Anjas dan berkata kepada suaminya dengan nada ketus, “Oh jadi Mas sekarang belain dia?” Sambil menggelengkan kepala.

“Astaga Nasya, kamu kalau dibilangin ya, kan adik kamu capek sekarang. Sudahlah, Mas mau mandi, buru-buru ke kantor.”

Nasya tidak merespon dan dia malah melanjutkan pekerjaan yang sedang dia lakukan sementara di sisi yang lainnya, sekarang Anara yang masih berada di dalam kamarnya terlihat cemas.

Beberapa kali dia menelan salivanya, lalu dia dengan cepat menutup pintu kamarnya, sesekali menyelaraskan nafasnya, dia merasakan keringat yang menetes di dahinya lalu dengan cepat dia kibaskan selimut yang menutupi seprei.

Saat selimut itu dikibaskan, terlihat jelas ada darah yang menempel di atas ranjang dan membuat Anara panik luar biasa.

“Astaga, gimana kalau Mbak Nasya tahu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status