Apa yang terjadi pada Nasya tentu adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari, Anjas tidak pula memberikan perhatian yang lebih pada istrinya dan Nasya seoalah melewati hari demi hari tanpa tahu bahwa dia sedang sakit.
Sering kali Nasya tidak meminum obatnya karena dia tidak ingat bahwa dia harus meminum obat, sering kali pipa dia hanya berada di kamarnya sendirian dan makan jika diingatkan. Anara yang seharusnya menjadi sosok yang membantu Nasya dalam menyembuhkan luka malah menjadi penyebab dari hadirnya luka yang dirasakan oleh Nasya. Sekarang tak ada yang bisa membantunya, apalagi orang tua Nasya tak ada yang tahu akan penyakit yang diderita olehnya. Parahnya Nasya bahkan tidak mengingat bahwa dia sedang hamil jika saja dia tidak diingatkan oleh Anjas dan Anara. Ketika Nasya yang seharusnya tidak masuk mengajar karena masih dalam kondisi yang sakit, Anjas berkata kepadanya, "Hari ini tidak usah masuk mengajar," katanya saat Nasya sedang bersiap-siap. "Kenapa, Mas?" "Istrhat aja nanti bahaya buat bayi kita, kalau kamu sibuk terus," kata Anjas dengan nada suara yang dingin. Nasya mengernyit dan menyentuh perutnya sendiri yang masih belum begitu menonjol. "Emang aku hamil Mas?" Anjas tampak menghembuskan nafas panjang, tak merespon istrinya lagi dan pergi dari sana setelah menutup pintu. Waktu ingatan Nasya bertahan hanya sekejap, paling lama ada lima puluh satu detik, dan paling cepat adalah tujuh belas detik. Dia keluar dari kamarnya dan di ruang tamu Anjas terlihat berbicara dengan Anara yang terlihat manja di depan suami kakaknya sendiri, Anjas bahkan menyentuh pipi Anara dengan lembut. Anjas berkata sebelum pergi, "Jaga Mbak kamu, ya jangan sampai keluar rumah," kata Anjas sambil tersenyum pada Anara tepat di hadapan Nasya. Sementara Nasya merasa bingung apa yang terjadi. Kenapa suaminya bersifat begitu manis pada Anara. Kemudian Anjas keluar dari rumah, berangkat ke kantor dan Nasya yang tidak terima dengan sifat adiknya lalu membentak Anara. "Apa-apaan kamu, Nara. Kenapa kamu kayak gitu didepan Mas Anja, kok kamu kegenitan gitu sama suami kakak kamu sendiri!" Nasya membentak dengan mata yang nanar, penuh dengan amarah. Anara diam sejenak dan berkata lagi, "Mbak kayaknya aku mau beresin meja makan, tadi Mas Anjas habis sarapan," kata Anara yang membuat Nasya terhentak sejenak. "Oh gitu ya, astaga, maaf ya Dek kamu di sini kerjanya cuman beres-beres rumah, eh kamu nggak kuliah ya?" Nasya tentu lupa akan apa yang terjadi sebelumnya dan mereka kini berjalan ke dapur, Anara kembali menjelaskan kepada sang kakak bahwa dia sedang tidak kuliah karena tidak ad jadwal kuliah, padahal sebenarnya dia sudah berhenti kuliah beberapa bulan lalu. Terlihat senyum miring di bibir Anara yang memperlihatkan betapa liciknya gadis ini. Dia bahkan membiarkan kakaknya menderita penyakit yang sangat sulit untuk disembuhkan, apalagi Nasya saat ini sedang hamil yang menunjukkan sifat licik dari Anara. "Mbak besok aku mau keluar sore, bisa nggak Mbak, soalnya Anara mau ketemu sama teman-teman," kata Anara yang saat ini sedang mencuci piring di wastafel, sementara Nasya sendiri hanya duduk merenung. Dia sering kali melakukan hal seperti ini. "Boleh dong, kan kamu juga pasti capek terus menerus di rumah, apalagi kamu banyak banget pekerjaannya kan," kata Nasya yang tersenyum pada sang adik. Padahal sebenarnya ada sesuatu yang direncanakan Anara, yang tentu saja tidak ada hubungannya dengan teman-temannya, toh dia tidak punya teman selama tinggal di rumah Nasya. Lagi pula walaupun Anara meminta izin pada Nasya tetap saja Nasya tidak akan ingat bahwa Anara pernah meminta izin. Walaupun sebenarnya tingkat alzheimer dari Nasya masih tergolong paling lemah, dan belum begitu parah, tetapi jika dia tidak memeriksakan diri pada dokter maka penyakitnya akan semakin parah. Sepanjang hari, Nasya hanya berada di rumah, tidak melakukan apa pun, duduk di teras, masuk ke dalam ruang tamu, menonton televisi atau bahkan tidur, tanpa tahu apa yang harus dia lakukan. Ketika masuk ke dalam ruang tamu, melihat adiknya Anara yang berpakaian mini dan sedang menelepon seseorang dia mendengar apa yang dikatakan adiknya. Terdengar bahwa Anara sedang berbicara dengan seorang pria tapi Nasya tidak tahu dengan siapa adiknya berbicara. "Kamu kayaknya punya pacar," kata Nasya yang tiba-tiba muncul di dekat Anara. "Hmm hehehehe iya Mbak," jawab Anara dan Nasya duduk di samping Anara sambil berkata, "Mbak nggak masuk ke kamar aja istrhat." Tiba-tiba Nasya terdiam dan berpikir bahwa seharusnya dia berada di sekolah, "Aku kan seharusnya di sekolah," kata Nasya yang tiba-tiba berdiri membuat Anara bingung akan mengatakan apa. "Tapi mbak ...." "Aduh gimana ini, aku pasti udah terlambat masuk ngajar." Nasya tiba-tiba panik sementara Anara mengeluh. "Gini nih kalau harus hadapin orang pikun, belum tua juga!" Dia berdecak kesal dan menghentikan kepanikan Nasya. "Kamu ngomong apa tadi, kamu manggil aku pikun." Sepertinya Nasya yang pemarah sekarang mulai muncul, "Kok mulut kamu kayak gitu sih, Dek. Udahlah aku mau istirahat aja!" Mendengar apa yang dikatakan Nasya membuat Anara menganga, dia menatap Nasya dengan tatapan tajam dan seoalah ada kebencian di dalam dirinya kepada Nasya. "Ya udah istirahat aja, nggak usah bangun sekalian!" Anara yang berbisik sendiri, melihat punggung Nasya menghilang yang kini Nasya masuk ke dalam kamar. Dia tidak menyadari sesuatu bahwa waktu sudah sore dan sebaiknya dia tetap berada di rumah, hanya saja Anara saat ini juga hanya berada di kamarnya, tentu yang dia lakukan adalah bermain ponsel. Sementara Nasya yang tidak mengingat sadar bahwa hari sudah sore merasa sudah terlambat untuk mengajar sementara selama ini Anjas sudah meminta agar Anara diberhentikan dari sekolah, permohonan Anjas masih diproses tapi Nasya tidak tahu hal ini. Dengan percaya diri, Nasya menggunakan seragam dinas mengajarnya keluar dari rumah, berjalan sekitar seratus meter untuk sampai di jalan raya, di sana dia akan mengambil angkutan umum tetapi bukannya angkutan umum yang berhenti di hadapannya, melainkan mobil hitam mengkilat yang terlihat cukup mewah. Nasya terhentak dan tidak tahu siapa pemilik mobil itu, tetapi mobil hitam itu berhenti tepat di hadapan Nasya, kaca mobil penumpang terbuka dan seseorang mengeluarkan kepalanya dari sana. "Nasya." Nasya menoleh ke arah si pria dan melihat Jaka dengan kacamata hitam yang menutupi kedua kelopak matanya. "Kamu mau ke mana, bukannya ini udah jam pulang mengajar ya?" "Hmm ... Aku nggak tahu Mas mau ke mana.""Maksud kamu apa, kalau kamu nggak tahu?" Keningnya mengernyit dan menatap dengan tatapan yang heran, tampak sedikit rasa cemas di wajah Anjas ketika pulang dan tak menemukan Nasya. "Mas, aku tadi ada di dalam kamar dan aku pikir Mbak Nasya juga ada di dalam kamarnya, jadi aku nggak cek lagi, eh pas aku cek ternyata Mbak Nasya udah nggak ada di sini." Wajah Anara tampak cemas dan menunduk, Anjas gelisah. Dia berusaha untuk menghubungi Nasya tapi sayangnya saat ini Nasya yang berdiri di pinggir jalan dan tanpa sengaja bertemu dengan Jaka memilih untuk menerima tawaran Jaka. "Kalau kamu mau aku antar, ayo masuk." Jaka tampak melepas kacamata hitam miliknya dan membuka pintu mobil untuk Nasya. Tampan Nasya bingung dan hanya menganga, tidak ingat akan apa yang dia inginkan sebenarnya. "Mas, ini udah jam berapa ya?" Nasya bertanya dengan bibir terbuka, dia menoleh kepada Jaka yang mengecek jam digital yang mengikat di pergelangan tangannya. "Udah jam lima sore, Nas, memangnya
Pintu rumah terbuka dan terlihat Anjas berdiri di ambang pintu, matanya cukup berbinar melihat Nasya berdiri di hadapan bingkai pintu. Dia menelan saliva dan bersyukur bahwa Nasya akhirnya pulang. Anjas melihat keluar ke halaman rumah apa mungkin ada seseorang yang mengantar Nasya pulang tapi tidak ada sama sekali. "Mas." "Kamu dari mana saja." "Aku dari sekolah Mas," kata Nasya yang bahkan tidak tahu apa yang baru saja dia lakukan, dia masuk ke dalam tanpa mengatakan apa pun lagi pada Anjas. "Kamu nggak bisa begini Nasya." Anjas berjalan di belakang Nasya yang tampak lesu. "Kamu itu hamil, kamu nggak bisa sembarang keluyuran, lagi pula kok kamu bisa keluar tanpa nelpon aku, di mana hp kamu." Anjas dengan kasar menghentakkan tas Nasya dan membuat Nasya terkejut. "Apa-apaan kamu Mas!" Nasya menaikkan alis dan merasa tidak senang dengan perlakuan dari Anjas. Anjas melihat ponsel Masya yang soda lowbet, dan bergumam, "Dia bahkan lupa mengisi baterainya." Anjas menggelengkan kep
Beberapa saat sebelum Nasya berada di rumah, di mana saat itu dia dan Jaka berada di dalam mobil yang sama, Jaka juga mengatakan kepada supir pribadinya bahwa jika pulang maka Jaka lah yang akan berkendara dan membiarkan supir pribadinya pergi. Jaka menghentikan mobil di pinggir jalan dan merasa sangat prihatin terhadap Nasya, apa yang terjadi pada mantan kekasihnya setelah menikah dengan Anjas. Tentu hingga saat ini perasaan Jaka masih utuh untuk Nasya. Dia bahkan tidak peduli jika saja Nasya memiliki wajah pucat yang terlihat sangat jarang mengurus diri. Dia merasa bahwa bukan Nasya yang tidak tahu cara mengurus diri, melainkan Anjas lah yang tidak bisa merawat dan menjaga Nasya dengan baik. "Nasya," gumam Jaka menatap ke arah Nasya yang memandang kosong ke depan. "Nasya kau dengar aku?" Jala sekali lagi dan Nasya kini menoleh ke arah Jaka. "Iya?" Suara Nasya sangat lemah dan lembut, Jaka tersenyum mendengar suara Nasya yang khas akan kelembutannya. "Hmm kau ingat aku, bukan?"
"Nasya." Suara Anjas terdengar, kepalanya terlihat dia julurkan Masik ke dalam kamar sedangkan Nasya sudah hampir setengah jam berada di atas ranjang sambil memegangi buku catatan yang diberikan Jaka padanya. Anjas yang tidak mendapatkan respon memilih untuk masuk ke dalam kamar dan melihat apa yang terjadi dengan Nasya. "Nasya makan malam udah siap," kata Anjas lalu pergi dari sana. Nasya yang merasa lapar terbangun dari lamunannya, dia menyadari bahwa ada sesuatu yang ingin dia lakukan tapi dia tidak tahu. "Apa ini?" Nasya bertanya sendiri dan menghela nafas panjang, sambil melempar buku catatan itu ke atas naka. Dia berjalan keluar dari kamar dan masuk ke ayah dapur. Di sana adiknya Anara terlihat dengan pakaian yang lebih sopan. Karena jika dia terus menerus memakai pakaian mini maka Nasya tentu akan terus menerus menegurnya. Anjas terlihat menatap ke arah Nasya yang terlihat biasa-biasa saja, dia juga tidak memberikan Nasya obat akan penyakitnya tapi hanya memberikan obat ka
Tanpa mengingat apa pun, Nasya mengikuti instruksi yang diberikan Jaka padanya. Apalagi saat ini rumah sangat sepi, Anjas tidak berada di sana begitu juga dengan Anara. Nasya seolah dikurung di dalam rumah. Dia berusaha keluar dari rumahnya. Nasya mengernyitkan kening dan mencari cara agar bisa keluar. Jaka sendiri menduga bahwa Nasya sudah lupa di mana dia meletakkan kunci rumah, dan memang benar seperti itu. Istrinya tak lagi ingat di mana dia menyimpan kunci rumah, sehingga Anjas yakin bahwa Nasya tidak akan ke mana-mana. Tetapi walaupun Nasya tidak mengingat di mana dia menyimpan kunci pintu rumahnya, dia tetap bisa menemukan benda kecil itu. Ya tangannya meraba masuk ke dalam tas yang sering dia gunakan dan menemukan kunci pintu. Sangat mudah bagi Nasya membuka pintu rumah dan dia berjalan pergi dari sana. Hanya berjalan, pikirannya tanpa sadar terus mengantarkan Nasya hingga ke jalan poros. Lalu tak lama setelah itu mobil mengkilat hitam berhenti di hadapannya. Pintu mobil
Jaka panik setelah dia tidak menemukan di mana Nasya berada, untungnya kamera cctv yang ada di rumah sakit aktif dan Jaka bisa tahu di mana Nasya saat ini. Yang saat itu Nasya sedang berada di jalan keluar rumah sakit. Langkah kaki Jaka lincah dan menemukan Nasya di bagian resepsionis. Sekarang Nasya kembali ke ruangan perawatan dan diberikan penanganan ringan oleh dokter Afia. Dokter Afia adalah dokter yang khusus menangani Alzheimer dan dia sudah banyak menyembuhkan banyak pasien yang memiliki kondisi yang sama dengan Nasya, apalagi dia mengetahui bahwa Nasya masih memiliki kesempatan untuk sembuh. Sesuatu disuntikkan ke dalam tubuh Nasya, kata dokter Afia hal itu akan membuatnya lebih mudah untuk mempertahankan ingatan Nasya. Jaka tentu berharap bahwa dia bisa mengetahui semua yang terjadi dan kenapa Anjas yang berstatus sebagai suami Nasya tidak terlihat memperhatikan istrinya sendiri, bahkan di kantor pun Anjas terlihat seperti biasa-biasa saja. "Anda harus menjaganya, Pak J
Anjas saat ini tentu sedang bersenang-senang dengan adik dari istrinya sendiri, sedangkan Nasya yang sedang mengandung anak mereka harus berjuang melawan penyakit. Hari juga sudah mulai gelap, dan Nasya pasti akan dicari oleh Anjas, apalagi ingatan Nasya hanya sampai pada tiga puluh menit lebih lama selama Nasya menggunakan obat yang diberikan dokter Afia. Tiga kali sehari Nasya harus menyuntikkan tangannya, itu jika dia bisa mengingatnya, tapi sayang terlalu berbahaya bagi kandungan Nasya. "Aku tidak bisa melakukannya, Dok," ucap Nasya, "Jika aku hamil dan dengan menggunakan obat yang Anda berikan padaku, maka itu mungkin bisa membuatku kehilangan bayiku," jelas Nasya sekali lagi. Dokter Afia diam sejenak dan memang benar dengan apa yang dikatakan oleh Nasya, kandungan Nasya akan berada dalam bahaya jika Nasya terus menggunakan obat yang diberikan padanya. "Tetapi jika Anda tidak sembuh maka kandungan Anda juga bisa fatal, Bu Nasya, anda mungkin akan lupa dengan kandungan Anda l
Nasya yang sekarang berada di dal rumah, memijat kepalanya dan mengingat apa yang dikatakan Jaka padanya. Lamunan Nasya dibuyarkan ketika dia mendengar suara pintu terbuka. Kakinya melangkah keluar dan melihat suaminya masuk ke dalam sana. Diikuti oleh Anara yang dimana mereka berdua tertawa pulas, membuat Nasya terdiam dan menatap Anara bersama Anjas. Nasya mengernyitkan kening dan bertanya-tanya kenapa mereka bisa datang bersamaan. Anjas yang belum melihat Nasya berdiri diam mendengarkan mereka mengatakan sesuatu yang tidak disukai oleh Nasya hingga akhirnya dia sadar bahwa istrinya sekarang berdiri dan menatap ke arahnya. "Nasya?" Dia terlihat terkejut dengan kehadiran Nasya dan berjalan ke arah sang istri sekarang. "Dari mana Mas, kok barengan sama Anara?" tanya Nasya yang berjalan ke arah mereka. "Oh itu Mbak, aku tadi keluar ketemu teman aku, terus dijemput sama Mas Anjas, hmm oh iya aku udha minta izin kan kemarin kalau aku mau keluar." Anara tersenyum dan berjalan berlal
"Akan ada operasi yang mungkin kau akan lakukan, jadi aku mohon janga membangkang untuk kesembuhan kau, Nasya, aku harap aku paham." Jaka yang saat ini masih memandang ke arah Nasya yang duduk di hadapannya. sebenarnya pikran Nasya masih ingin percaya dengan apa yang dikatakan oleh Jaka tetapi sepertinya berbeda dengan hati Nasya yang tentu saja masih berpikir bahwa Anjas atau mantan suaminya itu adalah pribadi yang setia dan tidak mungkin menghianati Nasya. jadi Nasya masih memilih untuk tidak mempercayai apa yang Jaka katakan. "Aku hanya ingin sekali saja bertemu dengan Anjas dan mendengar apa yang dia katakan, jika kau mengurungku seperti ini bagaimana aku bisa percaya kepadamu, aku sama sekali tidak ...." dia menundukkan kepala dan merasa bimbang dengan apa yang harus dia katakan. Sesekali dia menelan saliva dan mencoba berpikir kata apa yang harus dia keluarkan dari mulutnya. "tentu saja ... astaga apa yang harus aku katakan lagi agar bisa membuat kau percaya. sepertinya tidak
"Aku sudah katakan semuanya, berkali-kali, Nasya, tapi kenapa kau sama sekali tidak percaya?" Jaka mencondongkan tubuhnya ke arah Nasya yang menghindar dan mengernyitkan kening. "Tolong jangan terlalu dekat dengan ku," ucap Nasya, dia memalingkan pandangan dan Jaka merasa bahwa ya sebaiknya Nasya diberikan sedikit ruang. Lalu tidak lama setelah itu, Boca berusia tiga tahun yang sudah bisa dikatakan aktif dalam berbicara dan memahami pembicaraan ringan seseorang itu berjalan ke arah Jaka. "Aysan." Jaka berdiri dari duduknya dan menghampiri Aysan, "Apa kau butuh sesuatu?" "Apa Mama masih marah sama Aysan?" dia menundukkan kepala cara dia bicara masih sangat sulit untuk dipahami tapi Jaka bisa cukup memahami ucapan Aysan, Nasya juga bisa memahami ucapan itu tapi dia memalingkan pandangannya sekarang, dia tidak ingin memikirkan banyak hal selain pikirannya sendiri yang lupa semuanya. Sementara Jaka dia berlutut setengah di hadapan Aysan dan berusaha meyakinkan bocah itu. "Aysan, Nak.
"Aku tidak bisa terus seperti ini," ucap Nasya yang sekarang berada dalam kondisi yang berantakan, wajahnya dan rambut gelombang yang bahkan belum disisir, matanya menandakan bahwa dia lelah dan tidak bisa berpikir jernih. Semua seolah menghilang dari memorinya. Dan hidup seolah tetap sama, dia merasa bahwa hidupnya sama seperti sebelumnya, tidak seperti apa yang dilihatnya sekarang, yaitu Jaka yang berada di hadapannya mungkin hanyalah omong kosong yang dibuat-buat oleh Jaka untuk mendekati Nasya, itulah Jaka di pikiran Nasya. "Seperti apa?" Jaka yang menyuguhkan makanan di atas meja, sekarang mereka berada di taman halaman depan rumah, Nasya tidak mau makan jika masih berada di dalam rumah karena dia menganggap bahwa jika dia terus berada di dalam rumah maka dia seolah dikurung di dalam sana. Dan dia tidak ingin seperti itu, Jaka pun tidak mau Nasya berpikir demikian. Sehingga yang dia lakukan adalah menuruti saja apa yang diinginkan oleh Nasya untuk saat ini. "Kau seperti menguru
Tok ... tok ... tok .... Suara ketukan yang datang dari luar kamar Nasya, saatnya adalah sarapan pagi, Nasya tidak membuka pintu semalam sehingga tidak ada makan malam yang membuat Jaka merasa cemas. Bagaimana tidak, Nasya menolak bertemu sementara Jaka terus membujuk dan menjelaskan apa yang terjadi. Walau berusaha, Jaka masih belum bisa membujuk. Pagi harinya, Jaka masih berusaha keras, tapi sepertinya Nasya masih menolak, karena itulah Jaka pun mencoba untuk membujuk satu kali, berharap kali ini Nasya mengurungkan niat untuk bersifat keras. Ketukan demi ketukan, bujukan demi bujukan, tak ada satu pun yang berhasil. Aysan juga sudah sangat ingin bertemu dengan ibunya, yang semakin membuat Jaka merasa tidak nyaman. Makan malam gagal, sarapan pagi pun tidak digubris, hingga akhirnya makan siang tiba, Jaka bahkan tidak masuk kerja, dan dia pun bersama dengan Aysan mencoba membujuk Nasya. "Mama tidak mau makan." Aysan dengan ucapan yang masih belum fasih, "Aku tidak mau kalau Mama
Untuk saat ini, Anara terlupakan dan dia hidup dengan dirinya sendiri, tidak ada siapa pun yang dia temani bahkan Jaka tak lagi menghubunginya, sementara dia sendiri berusaha untuk hidup tenang walau masih ada rasa benci terhadap kakaknya sendiri. Dia tidak ingin kakaknya bahagia dan dia berusaha agar bisa kembali mendapatkan kedamaian dan kebahagian dari kakaknya. Dengan kata lain dia berusaha agar bisa menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Tetapi bukan momennya menceritakan mengenai Anara yang dab masalahnya yang terus menerus merugikan tubuhnya dan hidup dalam kebebasan malam, karena saat ini Nasya sedang bergelut dengan dirinya sendiri dan pikirannya, dia mondar-mandir dan bahkan lupa apa yang selama ini terjadi pada hidupnya. Foto dan rekaman terus dia lihat tapi sama sekali tidak ada yang membuat Nasya merasa percaya. Seolah semuanya begitu dibuat-buat. Jaka sementara mencoba menenangkan Aysan yang terus menangis memanggil ibunya yang terkunci di dalam kamar, walau berada di d
"Aku pikir Bu Nasya sudah sembuh, tapi ternyata itu hanya bersifat sementara saja," kata dokter Afia yang dipanggil kembali oleh Jaka, dokter Afia sangat baik dan merawat Nasya sebelumnya, dan Jaka berharap bahwa dokter Afia kembali bisa membantu Nasya. "Aku pikir begitu juga, dokter. Sayangnya aku salah dan ternyata alzheimer tidak semudah itu untuk hilang bagi pengidapnya." Dokter Afia diam sejenak dan berpikir lalu berkata, "Aku pikir itu bukan Alzheimer. Ini penyakit yang berbeda, aku tidak tahu apa. Alzheimer adalah penyakit yang tidak akan sembuh dan Bu Nasya sempat mengingat semuanya sementara penderita Alzheimer tidak bisa. Mungkin ini adalah penyakit yang disebabkan trauma berat, bukankah penyakit Bu Nasya pertama kali ada setelah dia mengalami trauma yang terjadi padanya di sekolah, Pak Jaka?" Jaka diam karena terlalu fokus dalam mendengarkan dan dia membayangkan apa yang akan terjadi jika penyakit Nasya betul-betul kembali dan Anjas datang kepadanya maka Nasya pasti akan
Mengetahui bahwa Nasya sekarang kembali mengalami penyakit Alzheimer yang akan melupakan apa pun yang terjadi membuat Anjas merasa semakin bersemangat untuk melakukan misi yang diberikan padanya, kini dia tahu apa yang harus dia lakukan, selain itu dia juga meminta agar Aina memberikan dia sebuah pekerjaan yang pada akhirnya Aina memberikan pekerjaan untuk menjadi seorang bodyguard pribadi dari Aina. Awalnya Anjas merasa enggan dan tak mau menjadi seorang bodyguard, tapi pada akhirnya dia menerima saja apa yang diinginkan oleh Aina. Lagi pula mereka memiliki misi yang sama dan berharap bahwa mereka bisa meraih misi mereka, memisahkan Jaka dan juga Nasya, yang di mana Anjas juga memiliki perasaan dendam pada Jaka, untuk pertama kali dalam hidupnya dia tidak akan membiarkan Jaka menang, dia sebenarnya jika bersaing dengan Jaka, maka Anjas akan keluar sebagai pemenang, tapi kali ini Jaka memenangkan Nasya bahkan Aysan yang membuat Anjas semakin membara karena selama ini dia belum pernah
"Jadi selama ini dia menulisnya?" gumaman itu muncul dari mulut Anjas yang menemukan lembaran kertas dan buku yang pernah disembunyikan oleh Nasya, dia menemukan beberapa foto dan juga rekaman dan dia menyadari bahwa selama ini Nasya telah membencinya, ya Nasya begitu membenci Anjas selama ini. "Menyebalkan, kenapa aku harus melakukan hal bejat itu, bahkan sekarang aku tidak tahu bagaimana semua ini akan berakhir." Dia menelan saliva dan mencoba berbaring dengan tenang, apalagi sekarang dia punya masalah dengan bos besar yang menjadi atasan di tempat dia bekerja, sekarang dia terancam dipecat, sehingga tak akan ada lagi pekerjaan untuk Anjas, betul naas hidup Anjas setelah bercerai dengan Nasya, padahal selama ini hidupnya baik-baik saja bersama dengan Nasya, aman dan dia merasa dendam kepada Jaka. Tetapi Anjas terlalu lemah untuk menjadi pendendam, lagi pula dia masih bisa memanfaatkan Aina yang juga ingin memisahkan Jaka dengan Nasya, bahkan dalam hidup Anjas, Anara sudah tidak ada
Jaka yang saat ini melangkah cepat dan jantung yang berdetak dengan kencang, Dia segera mengangkat tubuh Nasya, tubuh yang saat ini begitu lemah dan dia dengan cemas menggendong tubuh Nasya segera ke tempat tidur. Di sudut kamar, Aysan, balita kecil, dia sangat membutuhkan ibunya, dan terus merengek, suaranya memecah keheningan.. Tangisan itu membuat suasana semakin mencekam, sementara Jaka mencoba menenangkan Nasya dan memeluk Aysan di saat bersamaan. Aina, yang masih berdiri di ambang pintu kamar, hanya memperhatikan tanpa menunjukkan rasa peduli pada keadaan Nasya. Tatapan yang begitu dingin, dan bibirnya tersenyum sinis. Dia menyilangkan tangan di dada, tampak tak sabar. “Jaka, sampai kapan kamu akan bertahan dengan wanita ini? Lihat dirimu, kamu terlihat lelah dan kehabisan tenaga. Ha ya mungkin penyakit itu kambuh." Tatapan Jaka mengernyit, apa maksudnya, apa Aina tahh semuanya, maksud Jaka, apa Aina tahu mengenai penyakit Nasya dan berusaha mengolok-olok Lika Nasya, dan saa