-------------------------------------------------------------------------"Anjas selingkuh, dan aku bahkan tidak ingat apa yang aku lihat beberapa hari yang lalu, sehingga aku harus menulis dua kata itu. Aku harus menulis semuanya, untuk tahu semuanya. Karena sekarang aku sadar kalau aku tidak akan mengingat apa pun, bahkan kenyataan bahwa aku sedang hamil saat ini." -------------------------------------------------------------------------Nasya yang menulis dia pula yang harus membacanya, untungnya Anjas tidak menyadari akan tulisan dan kebiasaan istrinya yang mulai menulis semua yang dia lihat. Entah apa yang berada di pikiran Anjas sekarang karena dia saat ini tertidur pulas di samping Nasya, biasanya dia tidak berada di sana dan memilih untuk tidur di kamar Anara. Sementara Nasya sendiri menatap suaminya yang masih tertidur pulas itu, dan di dalam benaknya berpikir, apa yang telah Anjas lakukan, apa semua yang ada di dalam buku catatan Nasya memang benar adanya? "Aku tidak tah
Pikiran Anjas melayang ke mana-mana, tidka mungkin dia harus menghadapi dua wanita hamil sekaligus, apalagi saat ini dia sedang berada di rumah sakit dan Nasya ditangani oleh dokter yang sama saat dia awal diperiksa. Dokter itu pun keluar dari ruang rawat dan memberitahu Anjas sesuatu yang tidak seharusnya diketahui oleh Anjas karena itu semua akan menguak rahasia Nasya yang pernah bertemu dengan Jaka. Nasya tentu saja sudah lupa dengan kejadian itu dan tidak bisa mengingatnya lagi, momen ketika dia bicara Dnegan Jaka, bertemu dengan dokter Afia atau bahkan ketika dia menulis buku catatannya. Karena satu-satunya yang bertahan di kepala Nasya adalah dia akan lupa semuanya setelah semua itu terjadi sehingga dia harus menulisnya. "Sebelumnya Bu Nasya sudah datang ke sini, Pak Anjas," kata dokter tersebut yang membuat Anjas mengernyitkan kening. "Iya Dok, aku udah pernah datang ke sini, sama istriku aku ingat itu." Dokter menggelengkan kepala dan berkata lagi, "Tidak, Tidka bersama
"Mbak Nasya, Mbak nggak apa-apa kan kalau nanti aku sering keluar, soalnya aku mau ketemu teman-teman aku di luar, Mbak." Nara yang saat ini menyiapkan segelas susu untuk Nasya. Nasya yang selalu tampak pucat itu menatap ke arah adiknya dan tersenyum, "Iya." Sepertinya akhir-akhir ini Nasya lebih tenang, tidak gampang marah bahkan ketika dia melihat adiknya sendiri mengenakan pakaian mini. "Hmm tapi Mbak Nasya bakalan sendiri di sini, nggak apa-apa kan?" Anara duduk di kursi ruang tamu di samping Nasya dan menatap kakaknya seoalah dia tidak melakukan hal buruk di belakang Nasya. "Aku nggak bakal sendiri kok, kan aku bakal ke sekolah buar ngajar." Memang benar bahwa dipikiran Nasya selalu demikian, bahwa dia akan ke sekolah, mengajar di sana karena dalam benaknya dia masih belum menekankan bahwa dia sudah diberhentikan. "Gitu ya Mbak, ya udah sih," ucap Anara yang kemudian mereka terkejut ketika Anjas tiba-tiba masuk ke dalam rumah dalam keadaan yang tidak sedang senang. "Nasya!"
"Kamu ke mana waktu hari Rabu?" Jaka yang sekarang berdiri di belakang meja menatap Anjas yang duduk di hadapan meja kerja Jaka. "Kemarin aku udah izin cuti sehari, Pak. Istri aku sakit," kata Anjas tak berani menatap Jaka. Terlintas senyum miring di bibir Jaka, jelas sekali bahwa Jaka lah yang membawa Nasya ke rumah sakit. "Apa ada alasan lain selain istrimu yang sakit?" Jaka kembali bertanya. Tetapi Anjas tampak bingung dan tidak tahu harus menjawab dengan jawaban seperti apa. "Maaf Pak, tapi istri saya harus saya jaga kemarin, jadi saya harus cuti satu hari." Jaka lalu melempar beberapa berkas di hadapan Anjas yang membuat Anjas langsung terhentak. Dia menelan salivanya beberapa kali dan terkejut. Tangan Anjas meraih berkas itu dan melihat bahwa berkas itu bukanlah apa-apa selain tentang pekerjaan. "Kamu ninggalin pekerjaan kamu untuk hal yang tidak kamu lakukan." Jaka yang kembali duduk dan dengan suara nada yang pelan. "Apa maksud Bapak untuk hal yang saya tidak lakukan?"
Suasana kamar Nasya dan Anjas terasa sangat canggung dan kemarahan terlihat di kedua kelopak mata Anjas. Nasya yang selalu melihat mata Anjas sebagai mata yang teduh dan menenangkan kini terlihat sangat menakutkan. Apalagi ketika tubuh Nasya tadi dihentakkan ke atas kasur tapi pada akhirnya Nasya tidak mengingat apa pun akan kejadian itu setelah beberapa detik kemudian. Anjas menyadari akan hal itu dan itu adalah sebuah keuntungan baginya. Nasya menatap seisi ruangan yang berada di kamarnya dan menyentuh kepalanya dengan pelan, Anjas yang sedang berada di lantai dan duduk bersandar menggelengkan kepala seolah dia tidak bisa menahan sikap pikun Nasya yang merepotkan. "Mas ngapain di sana?" tanya Nasya yang membuat Anjas kesal, dia mengepalkan tangan memandangi istrinya dan seolah pasrah dengan semuanya. "Aku capek Nasya, aku capek ngehadapi kamu," ucap Anjas yang sekarang berdiri dan keluar dari pintu, dia membanting pintu kamar dan meninggalkan Nasya sendiri. Nasya yang merasa bi
Dengan mata kepala Nasya, dia melihat suaminya msuk ke dalam kamar adiknya sendiri, dan ya di dalam sana Anjas menutup pintu kamar itu sementara Nasya berdiri di samping pintu. Mendengarkan semuanya bahkan ketika adiknya mengatakan sesuatu yang tidak mungkin bisa dipercaya oleh Nasya sendiri.Bisa-bisanya suaminya melakukan hal tak senonoh itu, tatapan Nasya mengernyit, dan tiba-tiba meneteskan air mata, sayangnya beberapa detik setelah itu, ketika ake matanya menetes dan membasahi pipi Nasya, dia kembali tak mengingat apa pun. Sampai akhirnya dia mendengar desahan di dalam kamar, langkah kaki Nasya maju ke depan dan dia menempelkan telinganya pada dindin. "Iya Mas ... Terus Mas ... Ahk ...!" Suara itu jelas sangat dikenali oleh Nasya dan dia tidak bisa melakukan apa pun selain berdiri di sana, di balik dinding merasakan sesuatu yang bisa menhancurkan tubuh, mental dan jiwanya. Desahan demi desahan membuat Nasya muak mendengar semuanya, dia mengepalkan tangan dan ingin menghancur
Kecupan hangat diberikan di kening Nasya, dan Anjas terlihat segar di pagi itu. Nasya yang baru terbangun merasakan kehangatan itu dari suaminya. Nasya terbangun dari tidur dan melihat Anjas yang sudah bersiap-siap untuk ke kantor sementara dia sendiri mungkin akan melakukan rutinitas seperti hari-hari sebelumnya. Senyum Anjas terlihat sangat manis sementara Nasya mendengar ketukan dari luar pintu kamar, tidak lama setelah itu kepala Anara dijulurkan masuk dan memberikan kabar bagi mereka. "Mbak, Mas, sarapan pagi udah siap." "Oh gitu ya, aku siap-siap dulu kalau gitu," ucap Nasya yang bangkit dari tempat tidurnya. Dia lalu melangkah ke arah Anjas dan memeluk suaminya itu dari belakang. "Nara udah nungguin kita, jangan lama-lama," kata Anjas yang sekarang melepaskan pelukan hangat istrinya. Nasya tampak kesal dan melipat kedua tangannya. "Astaga Mas, baru juga bangun, aku juga belum mandi," kata Nasya yang terlihat cemberut. "Nggak usah mandi, emang mau ke mana, kamu di sini aj
"Di mana kamu Nasya?"Berhari-hari Jaka menunggu di jalan poros tempat di mana dia sering bertemu dengan Nasya akhir-akhir ini, tapi sayangnya Nasya tidak berada di sana, dan sudah tiga pekan Masya tidak datang untuk konsultasi dan terapi. Tentu saja Nasya tidak lagi mengingat bahwa seharusnya Nasya harus rutin untuk melakukan konsultasi, sayangnya tidak ada yang mengingatkan dan tak ada yang peduli dengan kondisi Nasya saat ini, selain Jaka. Karena Jaka tidak menemukan keberadaan Nasya, kemudian mendorong Jaka untuk mendatangi rumah Anjas dan Nasya, dia juga tahu bahwa Anjas pasti berada di tempat kerja sekarang. Sayangnya Jaka tidak bahwa ada orang lain di rumah Nasya, yang tak lain adalah Anara. Ketika Jaka akan segera berangkat menuju ke rumah Nasya, dia melihat mobil Anjas berlalu dan seseorang berada bersamanya. Dengan cepat Jaka menghubungi bawahannya dan bertanya, "Apa Anjas datang ke kantor hari ini?" Jaka mendengarkan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya melalui pons