"Ayo, Zea. Pelan-pelan!" Mereka bertiga masuk ke dalam bandara. Sebelumnya Zavier sudah memerintahkan asistennya untuk menyiapkan tiket keberangkatan. Zavier sengaja tidak menggunakan jet pribadi karena itu mempermudah Zayyan melacak keberadaan Zea. Setelah check-in, mereka masuk ke dalam pesawat. Sesuai urutan kursi, Zavier dan Sean sengaja memilih kelas ekonomi yang hanya diduduki oleh mereka bertiga. Sebab, sekarang Zea butuh ketenangan. "Apakah perutmu sakit?" tanya Zavier sedikit panik. "Tidak, Kak. Aku hanya sedikit capek," jawab Zea membalas dengan senyuman. "Istirahatlah! Jika butuh sesuatu katakan saja pada Kakak," sambung Sean. Zea membalas dengan anggukan kepala. Ada rasa syukur di hatinya memiliki kakak sebaik Sean dan Zavier. Kedua lelaki yang sama sekali tak memiliki hubungan darah itu, memperlakukan dirinya dengan baik. "Terima kasih, Kak. Sudah menolongku," ucap Zea sopan sambil menangkup kedua tangannya dengan hormat. "Ini sudah tugas Kakak, Zea. Kakak tidak ma
Zea menatap bangunan mewah yang ada di depannya. Sudut bibir wanita itu tertarik, dia tersenyum miris. Tak dia sangka, takdir akan membawanya bersembunyi di sini. "Mulai sekarang, kita akan tinggal di sini," ucap Sean. "Apa kau suka tempatnya?" Lelaki itu melirik ke arah Zea. "Suka, Kak!" balas Zea dengan senyuman antuasias. "Iya, sudah. Ayo kita masuk!" ajak Zavier. Kedatangan mereka disambut oleh para pelayan yang bekerja di sana. Zea menganggumi vila mewah yang akan dia tempati ini. "Kak, tempatnya bagus sekali!" seru Zea. "Aku seperti merasa ada di dunia dongeng," celetuk wanita itu. Sean dan Zavier terkekeh. Mereka memang sudah menyiapkan segala sesuatunya untuk Zea, jauh-jauh hari. Setidaknya, wanita hamil ini akan merasa aman dan tentram selama tinggal di sini. "Ini milikmu, Zea. Kau boleh nikmati semuanya," ujar Zavier. "Terima kasih, Kak." Zea tersenyum tulus. Zavier membalas dengan anggukan kepala. Dia senang bisa membantu Zea. Walaupun tak bisa memiliki hati wanita
Zayyan keluar dari mobil dengan langkah tergesa-gesa. Lelaki itu tampak marah. "Tuan." Wajah Samuel sudah pucat melihat kedatangan Zayyan. Zayyan menatap Samuel dengan marah. Brugh!Satu pukulan mendarat di pipi lelaki itu, hingga membuat Samuel terjerembab ke lantai dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. "Apa saja kerjamu, Sam? Sudah aku perintahkan, jangan pernah tinggalkan Zea barang sedetikpun tanpa perintah dariku!" hardik Zayyan. Lelaki itu terus memukuli Samuel dengan membabi buta, sembari meluapkan semua emosi yang terasa membuncah di dalam dada. Jika Josua dan Niko tidak melerai atau menahan Zayyan, mungkin saja Samuel tinggal nama. Samuel hanya bisa meringgis kesakitan. Lelaki itu tak melawan sama sekali karena memang dirinya salah sudah meninggalkan Zea. "Argh!" Zayyan menepis tangan Josua dan Niko. Mendengar keributan di depan pekarangan rumahnya, Miko keluar untuk mencari tahu. "Ada apa ini?" tanya Miko. Tatapan Zayyan nyalang. Tak hanya itu, tanpa ada y
"Jadi, pelakor itu sudah pergi jauh?" Zevanya menatap intens kedua anak buahnya. "Benar, Nyonya," jawab salah satunya. "Siapa yang membawanya pergi? Apa Zea pergi sendiri atau dibawa orang lain?" tanya Zevanya yang cukup penasaran. Luar biasa juga orang yang membawa Zea pergi, tanpa perih repot-repot Zevanya turun tangan untuk menyingkirkan adiknya itu. "Kami belum mendapatkan informasi yang pasti, Nyonya. Tapi, sepertinya ada dua orang laki-laki yang membawa nona Zea," jawab salah satunya. "Dua laki-laki?" Kening Zevanya mengerut heran dan tampak penasaran, siapa dua laki-laki yang membawa adiknya itu pergi? "Baik, kalian selidik siapa kedua laki-laki itu dan pastikan Zea tidak akan kembali pada Zayyan!" perintah Zevanya penuh penekanan. "Baik, Nyonya," sahut keduanya membungkuk hormat, lalu melenggang pergi dari hadapannya. Zevanya duduk dengan tenang di sofa. Tangannya memegang ujung gelas dan sesekali menyesap isinya. "Siapa yang membawa Zea pergi?" gumamnya penasaran. "Aku
Di sebuah kamar mewah, tampak seorang pria tengah bersandar di bibir ranjang. Di tangannya terdapat sebotol wine yang sesekali dia tengguk untuk membasahi tenggorokannya. Kamar itu terlihat berantakan, apalagi dengan pecahan kaca yang berserakan di mana-mana, serta bau alkohol yang menyeruak masuk ke dalam indera penciuman. "Zea!" gumamnya. Air mata bergulir membasahi pipi tampan pria itu. Matanya membengkak akibat menangis semalaman. Penampilannya seperti orang gila dengan baju yang sudah koyak akibat dia tarik paksa. "Kenapa kau tega meninggalkan aku? Kau sudah berjanji akan selalu bersamaku apapun yang terjadi. Tapi, kenapa...?" Tangisnya kembali pecah. Dia cengkram dengan kuat botol kaca tersebut untuk melampiaskan semua rasa sakit yang terasa menghantam dada. Di tangannya tampak selembar foto seorang wanita cantik yang memakai jas khas kedokteran. Senyum wanita itu terlihat manis, sehingga tanpa sadar dia mengusapnya berulang kali. "Kau tidak bisa melakukan ini semua padaku
Zayyan menatap Ar yang terlelap dalam pelukannya. Putra kecilnya itu terus saja menangis sejak tadi. "Maafkan Daddy, Son. Daddy gagal menjadi seorang ayah," ungkapnya mengusap kepala pria kecil itu. Zayyan berusaha menenangkan Ar yang menangis mencari Zea, akhirnya sang putra lelah sendiri hingga terlelap dengan mata yang membengkak. "Daddy janji akan membawa mommy pulang dan berkumpul lagi bersama kita," ujarnya. Setelah merasa Ar terlelap. Pelan, Zayyan turun dari ranjang dan tak lupa menaikan selimut putranya itu. Satu kecupan mendarat di kening Ar, sebagai rasa sayang dan minta maaf karena belum bisa menyediakan kebahagiaan untuk anaknya. Zayyan melenggang keluar dari kamar Ar. Lelaki itu berjalan menuju pintu keluar. "Kak," panggil Ruth. Langkah Zayyan terhenti. Dia sama sekali tak menoleh pada adik tirinya itu. "Apa Kakak sudah makan?" tanyanya ramah dan tak lupa genit. Ah, Ruth sudah membayangkan bagaimana rasanya mendesah di bawah pria tampan itu. Zayyan tak menjawab
"Astaga, Sayang. Wajahmu kenapa?" tanya Marvin panik ketika melihat goresan di wajah Zevanya. "Ini semua ulah Zayyan," ketus perempuan itu. Lewi sang asisten tengah mengobati luka di wajah Zevanya. Wanita itu menolak dibawa ke rumah sakit karena pasti akan menjadi bahan omongan media. "Bagaimana bisa dia menyakitimu sampai seperti ini?" tanya Marvin tak habis pikir. "Ini semua karena pelakor itu," geram Zevanya mengingat wajah adiknya. Marvin duduk di samping kekasihnya. "Memang Zea kenapa?" tanyanya penasaran. "Hilang tanpa bilang," sahut Zevanya ketus. "Aku bahkan tidak berani pulang ke mansion dengan wajah seperti ini," ujarnya Zevanya lagi. "Sabar ya. Wajahmu pasti akan sembuh dan cantik kembali," hibur Marvin menenangkan kekasihnya itu. "Kau harus membantuku mencari keberadaan Zea!" renggek Zevanya. "Lho, kenapa harus dicari? Bukankah kepergian Zea keuntungan buat kita?" ujar Marvin dengan kening mengerut heran. "Tidak begitu." Zevanya menggelengkan kepalanya. "Aku han
Zayyan masuk ke dalam kamar putranya. Pria tampan itu terkejut melihat sang istri yang ada di sana. "Daddy!" seru Ar sambil menggandeng tangan Zevanya. "Mommy Zea sudah pulang," ujarnya lagi. Kening Zayyan mengerut heran dan melihat ke arah Zevanya yang sudah tersenyum manis. "Kau baru pulang, Sayang?" sapa Zevanya dengan senyuman ramah. "Kau pasti lelah!" Wanita itu mendekati sang suami. Lalu dengan berani membuka jas Zayyan. Lelaki itu hendak menolak, tetapi dia sadar sedang berada di depan Ar. Jika dia kasar, hal itu akan membuat anaknya bingung dan heran. Terpaksa Zayyan menurut, walau dalam hati rasanya ingin sekali menepis tangan Zevanya yang berani menyentuh tubuhnya. "Monmy, Ar ingin makan masakan Mommy. Ayo masak, Mom!" ajaknya dengan wajah sumringah. Wajah pria kecil itu tampak senang dan bahagia melihat kedua orang tuanya utuh. Walaupun dia tahu jika Zea bukan ibu kandungnya. Seketika Zevanya terdiam sambil menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. Seumur hidup dia