"Lho, kenapa mommy ada dua?" tanya Ar yang kebingungan.Zayyan langsung berdiri. Dia menggeser tubuh Zea agar berlindung di belakangnya. "Ar, sama Mommy di kamar ya!" perintah Zayyan. "Daddy, yang mana Mommy? Kenapa Mommy ada dua?" Pria kecil itu menatap Zevanya dan Zea secara bergantian. "Sayang, tolong bawa Ar masuk ke kamar ya. Biar aku yang selesaikan, semua akan baik-baik saja." Masih sempat-sempatnya lelaki itu mengecup kening Zea. "Daddy, kenapa tidak dijawab?" protes Ar yang sedari tadi merasa bahwa Zayyan tak mau menanggapi pertanyaannya. "Nanti Daddy akan jawab. Sekarang masuklah ke kamar, Son!" titah Zayyan dengan suara lembut. Zea segera membawa Ar masuk ke dalam kamar. Wajah wanita itu pucat fasih ketika melihat kedatangan kakak kembarnya. Semua anggota keluarga berkumpul di sana. Kedatangan Zevanya seolah membuat mereka semua bungkam. Para pelayan pun terkejut, karena selama ini mereka memang tak pernah melihat Zevanya dan Zea secara bersamaan. Bahkan mereka juga
"Mommy kenapa ada dua?" tanya Ar yang masih belum puas. Sejak tadi dia bertanya, tetapi tidak ada yang menjawab. Zea tersenyum. Lalu wanita hamil itu duduk di samping sang keponakan. Sepertinya, memang ini saat yang tepat untuk Zea mengatakan siapa dirinya. Terlepas dari tanggapan Ar, dia sudah menyiapkan mental sekuat mungkin. "Son!" "Iya, Mommy?" Ar menatap wajah cantik Zea. "Mommy, kenapa?" tanyanya lagi. "Apa Mommy boleh bicara sesuatu?"Ar mengangguk, seakan tak sabar menunggu apa yang akan Zea katakan padanya. "Bicala apa, Mom?" tanyanya. "Ini tentang Mommy." Sebenarnya sangat berat untuk menjelaskan ini semua. Namun, lambat laun pun Ar akan tahu bahwa dirinya bukan ibu kandung dari pria kecil itu. "Tentang Mommy yang ada dua?" tanya Ar.Zea mengangguk. Pasti Ar bingung yang mana ibunya? Sebab, wajah Zevanya dan Zea memang begitu mirip. Sangat sudah membedakan keduanya, kecuali tai lalat yang tumbuh bagian leher Zea. Namun, tak banyak yang menyadari itu, sehingga sulit b
"Mommy kenapa ada dua?" tanya Ar yang masih belum puas. Sejak tadi dia bertanya, tetapi tidak ada yang menjawab. Zea tersenyum. Lalu wanita hamil itu duduk di samping sang keponakan. Sepertinya, memang ini saat yang tepat untuk Zea mengatakan siapa dirinya. Terlepas dari tanggapan Ar, dia sudah menyiapkan mental sekuat mungkin. "Son!" "Iya, Mommy?" Ar menatap wajah cantik Zea. "Mommy, kenapa?" tanyanya lagi. "Apa Mommy boleh bicara sesuatu?"Ar mengangguk, seakan tak sabar menunggu apa yang akan Zea katakan padanya. "Bicala apa, Mom?" tanyanya. "Ini tentang Mommy." Sebenarnya sangat berat untuk menjelaskan ini semua. Namun, lambat laun pun Ar akan tahu bahwa dirinya bukan ibu kandung dari pria kecil itu. "Tentang Mommy yang ada dua?" tanya Ar.Zea mengangguk. Pasti Ar bingung yang mana ibunya? Sebab, wajah Zevanya dan Zea memang begitu mirip. Sangat sudah membedakan keduanya, kecuali tai lalat yang tumbuh bagian leher Zea. Namun, tak banyak yang menyadari itu, sehingga sulit bag
Zevanya masuk ke dalam kamar yang memang sudah lama tak dia tempati. Kamar ini sama sekali tak berubah, tetap sama versi seperti beberapa bulan yang lalu. "Huh, sebenarnya aku tak ingin kembali. Tapi, demi merebut kebahagiaanku, aku rela datang kembali ke neraka ini." Terdengar helaa napas panjang dari mulut wanita ituWanita itu membaringkan tubuhnya di atas kasur king size yang sudah lama tak dia tiduri. Tatapan matanya menegadah ke atas. "Andai kau mencintaiku sejak awal, Zayyan. Aku pasti tidak akan pernah salah langkah," gumam Zevanya. Hati wanita mana yang sanggup tinggal bersama seorang suami yang hatinya sama sekali tak bisa dimiliki. Bukan diam saja, Zevanya sudah melakukan segala cara agar lelaki itu jatuh cinta dan mau menerima dia apa adanya. Namun, hasilnya tetap sama, dirinya hanyalah bayangan semu bagi sang suami. Sakit, jelas sangat sakit. Kecewa, begitu dirasakan teramat dalam. Lalu, Zea hadir dan dengan mudah membuat lelaki itu jatuh cinta. Apa bedanya Zevanya dan
Rahang Zayyan mengeras ketika melihat Zevanya berada di depan pintu kamarnya. "Apa yang kau lakukan?" tanyanya dengan nada yang dingin. "Apa kau tidak merindukan aku, Suamiku?" Dengan tak tahu malunya, Zevanya mengelus dada lelaki itu. Aroma tubuh Zayyan masih saja seperti pertama kali dia jatuh cinta pada lelaki ini."Jangan sentuh aku!" Zayyan menepis tangan Zevanya dengan kasar."Siapa, Kak?" Zea dan Ar menyusul. Kedua orang itu penasaran karena mendengar suara keributan. "Hai, Adikku," sapa Zevanya tersenyum licik. Lalu tatapan mata wanita itu tertuju pada Ar yang bersembunyi di balik tubuh Zea. "Son!" panggil Zevanya.Ar malah bersembunyi seperti orang ketakutan. Entah kenapa dia tak ingin melihat wanita yang menjadi ibu kandungnya itu? Apalagi Zevanya sudah terlalu lama meninggalkannya."Kau lupa pada Mommy, Son?" Mata Zevanya berkaca-kaca. Dulu dia memang tidak peduli pada putranya, tetapi beberapa waktu terakhir ada perasaan aneh yang terselip di antara rongg dada ketika mel
Zayyan keluar dari setelah Leo membuka pintu mobil. Lelaki itu berjalan dengan wajah datar tanpa ekspresi, sedangkan kedua tangannya berdiam nyaman di dalam saku celana kanan dan kiri. Ekspresi wajah lelaki ini selalu saja seperti itu, menyeramkan. Tak pernah tersenyum kecuali bersama Zea dan Ar. Mungkin bagi setiap orang Zayyan adalah jelmaan iblis yang tak pernah memasang wajah ramahnya. "Selamat datang, Tuan Muda," sapa para karyawan berbaris rapi.Memang sudah lama Zayyan tak datang ke perusahaan karena terlalu takut meninggalkan Zea dan Ar. Namun, hari ini entah apa yang membuat lelaki itu menyempatkan waktu untuk datang ke tempat favoritenya mengalihkan segala pikiran. "Selamat datang, Tuan," sapa Samuel, Josua dan Niko yang sudah menunggu di ruang kerja Zayyan. Zayyan duduk di kursi kebesarannya, tanpa berniat membalas sapaan para anak buahnya. "Katakan padaku!" titahnya. Ketiga pria itu menjelaskan hasil pekerjaan mereka selama Zayyan tidak ada. Semua laporan keuangan dan
"Zea, bangun!" Zavier mengoyangkan tubuh Zea berulang kali. "Aku mohon!" Lelaki itu tampak panik.Tak ada pergerakan sama sekali dari Zea. Wanita itu sama sekali tidak terusik dengan suara panggilan laki-laki yang tengah memangku tubuh lemahnya. Zavier membelai wajah mulus Zea. Tak dia sangka ternyata wanita ini bukan kakak iparnya, sejak awal Zavier memang sudah merasakan ada sesuatu berbeda setiap kali menatap Zea. Benar saja bahwa wanita ini telah menariknya masuk ke dalam pesona seorang Zea. "Jika bersama Kak Zayyan membuatmu lelah. Menyerahlah, Zea! Aku siap menjadi ayah untuk bayi dalam kandunganmu."Mungkin terdengar konyol dan tak mungkin, tetapi perasaan Zavier pada Zea tak main-main. Dia mencintai Zea sepenuh hati, walau dia tahu wanita ini sama sekali tak memikirkannya. "Aku akan membantumu lepas dari Kak Zayyan!" Tak terasa mobil yang membawa Zaver berhenti tepat di depan sebuah rumah sakit elit. Segera lelaki itu keluar saat sang supir membuka pintu untuknya.Zavier be
Zayyan melangkah lebar masuk ke dalam ruangan inap Zea. Tampak di sana Zea terpejam dengan selang infus yang mengalir di tangan kirinya. Padahal baru beberapa jam saja dia meninggalkan wanita itu, Zea sudah celaka. Lelaki itu duduk di samping ranjang rawat inap Zea. Tatapan matanya tertuju pada wajah mulus tanpa dan cela itu. Dia duduk dengan mata berkaca-kaca. "Maafkan aku, Zea," ucapnya merasa bersalah. "Aku ingin melepaskanmu, tapi aku tidak bisa. Aku benar-benar tidak bisa." Dia beberapa kali menggelengkan kepalanya tidak bisa. "Kumohon, Zea. Bertahanlah bersamaku, hanya kau yang mengerti betapa beratnya beban yang ada di pundakku saat ini." Seorang pria bernama Zayyan mengakui kelemahannya hanya di depan Zea. Wajah arogan yang biasa dia tampilkan, ternyata menyimpan banyak beban yang tidak seorang pun tahu dan paham. Hidup dalam harta bergelimangan nyatanya tak membuat dia bahagia layaknya orang lain. Dirinya yang selama ini terkenal kejam, tegas dan berani. Ternyata memiliki