Seperti terkena sambaran petir, Zayyan dan Zea sontak terdiam ketika mendengar penjelasan Erwin dan Sean. Kedua orang itu saling menggengam tangan untuk menguatkan satu sama lain. Bahkan tanpa malu dan tanpa permisi air mata mengalir di pipi Zea. Sungguh, dia benar-benar tidak mampu melihat wajah putri kecilnya. Wajah kesakitan dan tubuhnya harus disiksa oleh jarum-jarum kejam dan ganas yang menancap di bagian tubuhnya. "Tumor ini terbilang jinak dan perkembangannya cukup cepat," sambung Erwin."Apa putriku bisa sembuh, Win?" tanya Zayyan. "Bisa. Tapi, Ziva harus melewati beberapa proses perawatan yang panjang. Mungkin itu akan sedikit menyakiti dirinya," sambung Erwin yang kembali menjelaskan kondisi Ziva kecil. Tanpa Zayyan sadari air mata jatuh di pipi tampannya. Dadanya berdenyut sakit ketika membayangkan tubuh kecil Ziva yang disiksa oleh penyakit mematikan itu. Zayyan dan Zea kembali ke ruangna rawat inap Ziva. Di sana tampak gadis kecil itu bermain dengan kedua kakaknya. Di
Setelah menjalani beberapa perawatan dan kemoterapi, kondisi Ziva lumayan membaik. Gadis kecil itu sudah bisa bermain bersama kedua kakak kembarnya. "Daddy, Ziva mau pulang!" renggeknya manja. Rumah sakit adalah tempat paling menyeramkan bagi anak-anak sepertinya. Apalagi disiksa oleh banyaknya jarum suntik yang masuk ke beberapa bagian tubuhnya. Rasanya Ziva tidak sanggup dan ingin segera pulang saja. "Iya, Sayang. Kita pulang." Kini Zayyan merasa hidupnya berada di ambang maut. Melihat anak perempuannya yang terus saja merenggek kesakitan, seperti menusukkan belati tersendiri di dalam rongga hatinya. Hari ini Ziva memang sudah diperbolehkan pulang oleh Erwin dan Sean. Gadis kecil itu nanti akan menjalani beberapa perawatan lagi karena ada tumor kecil yang tumbuh di dadanya. Zayyan dan Zea duduk berdampingan di dalam mobil. Sedangkan Ziva berada di tengah kedua orang tuanya. Gadis kecil itu terus berceloteh bahagia karena akhirnya memiliki orang tua yang lengkap seperti teman-te
"Jadi, sekarang Zayyan ada di Kanada bersama Zea? Pantas saja dia sengaja menitipkan Ar padaku." Zevanya mengepalkan tangannya kian erat. Dadanya naik turun menahan amarah yang membara. Bisa-bisanya lelaki itu menjadikan dirinya hanya sebagai alat pelampiasan. "Iya, Nyonya," jawab sang asisten. "Kau boleh keluar!" usir Zevanya mengibaskan tangannya. Wanita itu duduk di kursi kebesarannya. Dia masih merutuki Zayyan, padahal dia dengan percaya diri berpikir bahwa Zayyan mulai masuk dalam perangkapnya karena menitipkan Ar. Ternyata dirinya hanya dijadikan alat pelampiasan. Lihat saja nanti dia akan membalas pria itu. "Aku yakin, ini semua pasti karena perintah Zea padanya," tudingnya. "Entah pelet apa yang diberikan Zea, sehingga Zayyan selalu mengikuti perkataan dan perintahnya," ujar Zevanya lagi yang masih menuduh bahwa semua karena Zea. Wanita itu berdiri dari duduk dan tak lupa meyambar tas yang terletak di atas meja. "Marvin ke mana sih? Sudah beberapa hari hilang
"Tuan!" Zea langsung berdiri melihat kedatangan Leigh. Begitu juga dengan kedua anak kembarnya. "Siapa dia, Kak?" tanya Zean setengah berbisik, sembari menatap Leigh dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Hem!" Seperti biasa, lelaki kecil berdarah dingin itu hanya membalas dengan deheman. "Dia kakek kita," sambung Zayn kemudian. Zean tampak terkejut, kembali dia selidiki penampian Leigh. Jika dlihat-lihat pria tua yang ada di depannya ini memang begitu mirip dengan ayah kandung mereka. "Apa yang Anda lakukan di sini, Tuan?" tanya Zea takut. Dia bahkan menggeser tubuh kedua anak kembar itu agar berlindung di belakang tubuhnya. Bisa saja Leigh datang untuk mengambil anak-anaknya. Zea tidak akan membiarkan hal itu terjadi. "Tenanglah, Zea. Kedatanganku bukan untuk mengambil anak-anakmu," ucap Leigh yang seolah tahu bahwa calon menantunya itu sedang ketakutan. Zea bernapas lega. Wanita itu bahkan mengusap dadanya, tenang. Lalu dia mempersilakan Leigh duduk di sofa. Zayn menatap
Zayyan dan Zea sedang menunggu di ruang tunggu depan rumah. Kedua orang tua muda itu saling menggenggam dan menyalurkan kekuatan. Hari ini Ziva kembali menjalani operasi pengangkatan tumor di bagian dadanya. "Kak, aku takut!" ungkap Zea. Orang tua mana yang tidak akan merasakan takut teramat jika melihat putri kesayangannya dalam ruangan operasi, sedang berjuang melawan kerasnya kehidupan. "Semua akan baik-baik saja!" sahut Zayyan mengecup ujung kepala wanita itu. Sementara Zayn dan Zean bersama dengan Leigh dan Zavier, karena suasana rumah sakit tidak terlalu bagus untuk kesehatan mereka. Leigh juga tidak mau kedua cucu kembarnya menganggu istirahat Ziva."Daddy!" Hingga suara panggilan membuyarkan lamunan kedua orang tua muda itu. Zayyan dan Zea segera menoleh dan betapa terkejutnya mereka melihat Ar yang berjalan ke arah keduanya. "Ar!" Zayyan sontak berdiri, begitu juga dengan Zea. "Daddy!" Ar berhambur memeluk sang ayah. Dia benar-benar merindukan sosok yang sudah beberapa
"Mommy!" Zayn dan Zean berjalan menghampiri Zea. Kedua bocah tampak itu tampak berjalan setengah berlari. "Son, jangan lari!" tegur Zea pada kedua anaknya. Lalu Zayn dan Zean berjalan pelan sembari dengan langkah tak sabar. Mereka masih berada di depan ruangan Ziva. Sementara di dalam Sean dan Erwin masih berjuang menyelamatkan Ziva. "Daddy mana, Mom?" tanya Zean yang tidak melihat kehadiran sang ayah di sana. "Kenapa terus menanyakan lelaki itu sih?" protes Zayn. "Bukannya tanya kondisi adik, malah ingin tahu keberadaan orang lain," sambungnya terdengar tak suka saat adiknya itu menanyakan ayah mereka. "Memangnya kenapa, Kak? Bukannya dia memang ayah kita?" ujar Zean tak habis pikir. Kakaknya ini masih saja tak suka pada ayah mereka. "Son, jangan bicara begitu," tegur Zea. "Ayo duduk!"Kedua bocah kembar itu menurut dan duduk di samping sang ibu. Zayn duduk di samping kanan Zea, sedangkan Zean duduk di samping kiri. Keduanya langsung kembali dengan mode wajah polos. "Di mana
"Zea, kak Zayyan ke mana?" tanya Zavier yang tak melihat sang kakak di sana. Biasanya lelaki itu selalu menempel pada Zea layaknya prangko. "Kak Zayyan sedang jalan-jalan dengan Ar, Kak," jawab Zea. Tak ada raut sedih sama sekali di ekspresi wajahnya. Zea memahami kerinduan Ar kepada ayahnya dan ia pun tak memiliki wewenang untuk melarang Zayyan. "Jalan-jalan sama Ar?" ulang Zavier. "Kapan Ar datang ke sini? Dengan siapa?" cecarnya penasaran. "Sama kak Zeva," sahut Zea. "Zevanya ada di sini?" tanya Zavier yang tampak terkejut. Mau apalagi wanita iblis tak berperasaan itu menganggu ketenangan Zayyan dan Zea. "Iya, Kak," jawab Zea, singkat, padat dan jelas. Zavier menarik napas dalam, lalu dia duduk di samping Zea. Sementara Zayn dan Zean sudah pulang bersama Shania. Kedua anak itu tidak boleh terlalu lama berada dalam lingkungan rumah sakit karena tidak baik untuk kesehatan mereka. Bau obat-obatan dan jarum suntik bisa menganggu sistem imun tubuh kecil keduanya. Oleh sebab itulah
Zea memuaskan barang-barang Ziva ke dalam cover kecil milik putrinya itu. Senyumnya lebar saat melihat Ziva yang tengah sibuk bermain dengan kedua saudara kembarnya. Hari ini gadis kecil itu sudah boleh pulang, setelah beberapa hari dirawat. Kondisinya pun lumayan membaik dan ia tak lagi merenggek kesakitan seperti waktu lalu. Ada Zayyan juga di sana yang ikut bermain dengan ketiga anak kembarnya. Lelaki itu tampak tertawa lepas tanpa beban. "Sayang, ayo!" ajak Zea. "Daddy, gendong!" Ziva mengulurkan tangannya manja pada Zayyan. "Tentu, Girl." Zayyan mengangkat tubuh kecil putrinya itu lalu menggendongnya. Zea hanya tersenyum lebar, itulah cara dia menutupi lukanya. Zea tak memiliki angan-angan untuk hidup bahagia bersama Zayyan. Baginya, lelaki itu hanya mimpi yang tak mungkin menjadi kenyataan. "Ayo!" Leo membawa cover kecil Ziva. Asisten setia itu selalu menemani Zayyan ke mana saja. Sementara Zayn dan Zean menggandeng tangan Zea dan keluar dari ruangan. "Daddy!" Hingga s