Zevanya dan Ar ikut masuk ke dalam vila mewah milik Leigh. Ini pertama kalinya, wanita itu masuk ke dalam sana. Tampak di sana ketiga kembar anak Zea tengah bercengkerama di ruang tunggu. Ada Leigh, Zayyan dan Zavier serta Sean dan ketiga anak buah Zayyan. Mereka seperti sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Tatapan mata mereka teralihkan melihat kedatangan ibu dan anak itu. "Ar," sapa Leigh ramah. "Opa!" Ar berhambur ke arah sang kakek dan memeluk lelaki berusia itu. Leigh tersenyum dan membalas pelukan cucu kesayangannya. Namun, Leigh tak pernah membedakan antara anak Zevanya dan anak Zea. Baginya, keempat cucunya sama berharga di matanya. Sementara Zevanya tersenyum licik menatap Zea yang diam saja. Dia akan buktikan pada adiknya itu, bahwa Zayyan hanya pantas bersanding dengannya. Zevanya juga menegaskan pada Zea agar tidak menganggu dan berharap bahwa lelaki itu akan menikahinya. Zavier dan Sean menatap tak suka pada Zevanya. Sementara Zayyan hanya diam saja sambil mem
"Mau bicara apa?" Zayyan menatap tak suka pada Sean dan Zavier. "Ini tentang Zea!" sahut Sean dengan nada yang tak kalah dingin. Ia juga tak menyukai Zayyan, pria yang syok tegas, tetapi tak punya ketegasan terhadap isi hati dan pikirannya. Zayyan menarik napas sedalam mungkin, lalu ia mempersilakan kedua orang itu duduk. Walaupun ia tak menyukai keduanya, tetapi dua pria ini memiliki jasa dalam hidupnya karena sudah menjaga Zea dan ketiga anak kembarnya. "Kak, sebenarnya kau benar-benar mencintai Zea atau tidak sih?" tanya Zavier memasang wajah datar tanpa ekspresi. Zayyan tersenyum menyeringai. "Tentu saja. Aku bahkan tak bisa gambarkan, bagaimana besarnya cintaku pada Zea," jawabnya. "Jika begitu, Kakak harus tegaskan pada Zevanya agar berhenti menganggu Kakak dan Zea," tukas Zavier yang kadang merasa kesal karena sang kakak yang tidak bisa menegaskan sendiri perasaannya. Sejenak Zayyan terdiam, kata-kata Zavier seperti tamparan tersendiri untuknya. Ia bahkan tak menyadari ji
Kening Zea mengerut heran saat melihat Zayyan dan Ar yang baru datang ke vila, sudah larut malam. "Kakak!" Dia menyambut kedua orang itu dengan hangat. "Sayang." Lidah Zayyan terasa kelu saat melihat tatapan mata teduh Zea. Benar, apa yang dikatakan oleh Zavier dan Sean bahwa dirinya telah menciptakan neraka perasa bagi wanita itu. "Ar, Kak, ayo masuk! Ini sudah malam!" ajak Zea, tetapi ia tak berani melihat wajah Ar karena dirinya tahu bahwa keponakannya itu masih enggan menatapnya. Tubuh Zea seketika menegang saat Ar memeluk tubuhnya. Wanita itu bahkan hampir terjerembab saking terkejutnya karena pelukan sang keponakan. "Mommy, maafkan Ar, hiks, hiks!" Tangis Ar pecah. "Ar sudah jahat sama Mommy. Ar sudah marah sama Mommy. Ar sudah benci sama Mommy!" ungkapnya seolah mengeluarkan semua perasaan yang terselip di antara rongga dadanya. Mata Zea berkaca-kaca, hatinya hangat merasakan pelukan nyaman Ar di tubuhnya. Tak bisa dia pungkiri bahwa dirinya juga merindukan sosok keponaka
Zea tersenyum saat melihat anak-anaknya sibuk bermain game. Jika, anak-anak seusia itu bermain kejar-kejaran maka tidak dengan ketiga anak kembarnya. Mereka malah sibuk berlatih dan bermain e-sport dan mempersiapkan pertandingan di setiap musim. "Kakak, majulah!" seru Zean. "Bertahanlah, jangan menyerang! Kakak segera datang!" tukas Zayn. Jari-jari mungilnya begitu lincah memainkan mouse serta tombol pengontrol. Sementara Ar menyunggingkan senyum licik, melihat kedua adiknya yang kewalahan menyeimbangi permainannya. Namun, ia salut dengan kemampuan Ziva yang terlihat tenang dengan wajah imut dan juga menggemaskannya. Ia tak gegabah menghadapi lawan yang mencoba menyerangnya. "Ziva, kau langsung ke Middle Lane, Kakak akan bertahan di bottom-up!" ujar Zayn. "Baik, Kak." Zayyan dan Zea hanya bisa menggelengkan kepala salut. Entah bagaimana anak-anak sekecil itu begitu ahli bermain e-sport. Bahkan kemampuan mereka mengalahkan orang dewasa. Si kembar sudah pernah memenangk
Leigh duduk dengan kedua kaki yang saling menyilang satu sama lain. Walau usianya tak muda lagi, tetapi aura ketampanan masih terlihat jelas dari raut wajahnya. Bahkan jika ia mau, bisa saja dia menemukan wanita muda yang mau menikah dengannya. "Jadi, ini semua ulah Ruth?" tanyanya dengan sorot mata yang begitu tajam. Usia tak membuat kekejaman lelaki itu mengurang. Bahkan ia semakin ganas dan tak memiliki perasaan. "Iya, Tuan," jawab Riley mengangguk dan mengiyakan pertanyaan dari Leigh. Leigh manggut-manggut dan tetap dengan wajah tenang. Sorot matanya terlihat tajam dan seakan mampu menghunus siapa saja yang ada di depannya. "Apa dia punya rencana lain?" tanya Leigh. Ia pikir, anak tirinya itu akan jera pada hukuman yang pernah dia berikan. Ternyata, Ruth malah berulah dan seperti menantang. "Sepertinya iya, Tuan," sahut Riley lagi. "Awasi pergerakannya! Jangan biarkan dia menyakiti para cucuku. Entah kenapa aku curiga bahwa sekarang dia menargetkan mereka," titah L
Josua dan Niko keluar dari mobil, kedua pria itu tampak menyeringai licik ketika melihat sebuah apartemen mewah. Tak lama kemudian datang dua buah mobil berwarna hitam. Lalu keluarlah beberapa pria berpakaian hitam dengan badan kekar. "Kalian tunggu di luar dan berjaga-jaga!" perintah Josua. "Baik, Tuan," jawab mereka kompak. Pria-pria itu adalah anak buah Zayyan yang diutus untuk menemani Josua dan Niko agar menangkap Ruth serta pria yang bekerjasama dengannya. "Ayo masuk!" ajak Josua. Kedua pria itu masuk. Tak luka mereka menyelipkan senjata api dan senjata tajam di saku jas yang dipakai, sebagai jaga-jaga. Brak! Ruth dan seorang pria yang tengah asyik berbagi kehangatan di atas ranjang, sontak terkejut dan melihat ke arah Josua serta Niko. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Ruth sembari menutupi bagian tubuhnya dengan selimut. Josua menatap licik lelaki yang berada di atas ranjang dengan Ruth. Tentu ia kenal siapa lelaki itu. "Marvin!" sapa Josua ramah.
"Kakak!" Zea menutup mulut tak percaya ketika dokter menekan-nekan alat CPR di dada Zevanya. "Sayang!" Zayyan merangkul bahu wanita itu. Dia benamkan wajah Zea di dada bidangnya. "Jangan dilihat!" tukasnya. Sean dan Erwin serta beberapa dokter lainnya, masih berusaha memberikan pertolongan pada Zevanya dengan alat medis yang ada. Bahkan mereka tampak bekerja kian keras, setelah wanita itu wanita itu kejang-kejang. "Aku takut kehilangan kak Zeva, Kak. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain dia." Isak tangis Zea terdengar menggema di dalam ruangan itu. "Ada aku dan anak-anak untukmu, Sayang. Jangan pernah berpikir sendirian. Kami semua menyayangimu dan ingin kau bahagia," tukas Zayyan. Tidak lama kemudian Samuel datang. Ia juga ikut terdiam ketika melihat Zevanya yang masih ditangani oleh dokter. Kondisi wanita itu memang kritis, apalagi dia kehilangan banyak darah. Kakinya juga patah dengan pendarahan otak kepala. Oleh sebab itulah, dirinya tak terpengaruh sama sekali wa
Ar tampak duduk gelisah, sedari tadi dia menelepon sang ibu, tetapi nomor ponsel wanita yang sudah melahirkannya itu tidak aktif sama sekali. "Mommy ke mana?" desahnya. "Kenapa, Kak?" Ziva langsung duduk di samping kakaknya itu. Ar tersenyum hangat. "Tidak apa-apa," kilahnya yang seolah mampu menyembunyikan kesedihan dari raut dan ekspresi wajahnya. "Kakak, kenapa tidak ingin main baleng Ziva, kak Zayn dan kak Zean?" tanyanya dengan wajah polos. "Kakak sedang tidak enak badan, Zi," kilahnya. "Kakak sakit?" Ar menggeleng, bukan tidak enak badan karena sakit, tetapi tidak enak badan karena menghawatirkan kondisi ibunya di luar sana. Hati Ar benar-benar merasa tak nyaman dan tak tenang. Bahkan jika bisa ia ingin terbang agar segera bertemu sang istri. "Son!" Kedua orang itu menoleh ke arah Zayyan dan Zea yang baru saja datang. "Daddy, Mommy!" Keduanya sontak berdiri. Zea mendekati Ar. Ia berusaha untuk tak mengeluarkan air mata, sebab tidak mau jika kepona
Satu tahun kemudian ...Samuel, Josua, Niko dan juga Sean, keempat pria tampan dengan sejuta pesona itu keluar dari ruangan rias. Mereka memakai tuxedo dengan warna yang sama. Dilengkapi dasi kupu-kupu yang membuat tampilan mereka begitu memukau. Saat mereka berjalan ke arah karpet, merah jepretan kamera saling menggema dan bersahutan untuk memotret pria-pria tampan yang menyerupai dewa Yunani itu. Hari ini, Sean, Josua, Niko dan juga Samuel mengakhiri masa lajang mereka. Pria-pria matang yang berusia dewasa itu akhirnya memutuskan untuk berkeluarga, walau sebelumnya banyak pertimbangan. Namun, siapa sangka sekarang telah menentukan siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya. "Ayah!" sapa si kembar melambaikan tangannya dari jarak jauh. Sean tersenyum melihat anak-anak Zea yang begitu antusias menyambut hari bahagianya. Sekarang, ia benar-benar sudah bisa melepaskan semua perasaan cintanya pada wanita yang pernah bersemayam begitu lama. Sean sudah menemukan wanita yang tepat untuk
"Kenapa lama sekali sih?" Samuel melirik arloji yang ada di tangannya. Menunggu adalah hal paling membosankan. Lelaki itu tampak gelisah, apalagi waktu terus berjalan. Dia bisa terlambat dan nanti akan diledek oleh Josua dan juga Niko. Malam ini, Josua dan Niko sengaja mengajak Samuel untuk bertemu di sebuah restoran membawa pasangan masing-masing. Jika Samuel belum juga menemukan calon pasangan hidupnya. Maka, Josua dan Niko akan mencarikan sendiri, calon yang tepat untuk sahabat mereka tersebut. Derap langkah kaki membuat Samuel mengangkat pandangannya. Seketika lelaki itu mematung bahkan tanpa sadar berdiri dari duduknya. Mulutnya terbuka lebar dan mengangga karena melihat perubahan yang begitu signifikan pada asisten sekaligus gadis berkacamata tebal yang selalu mengikuti perintahnya. "Sudah selesai, Tuan!" ujar salah satu pelayan butik. "Hem!" Samuel berdehem sambil memperbaiki dasinya yang setengah bergerak.Riri tersenyum kaku, jujur saja dia tak nyaman dengan dress ini.
Sean keluar dari ruangannya. Jam sudah menunjukkan pukul siang tengah hari. Waktunya ia makan siang. Langkah lelaki itu terhenti saat melihat Ema duduk di bangku tunggu depan ruangan ibunya. Bersama seorang pria berseragam polisi yang tidak lain adalah Bima. Entah, kenapa ia tidak suka melihat lelaki itu. "Itu kan 'pria kemarin? Apa itu kekasihnya?" ujar Sean, nada bicaranya tampak tak suka. Tidak mungkin dia menyukai Ema. Pertemuan mereka hanya kebetulan, bukan keinginan. Tampak Ema berbicara serius dengan Bima. Sesekali Bima mengusap punggung gadis itu untuk menyalurkan kekuatan padanya. Sean menghampiri mereka berdua. Ia sedikit penasaran, apa yang dibicarakan oleh kedua orang itu. "Dokter Sean," sapa Ema sambil berdiri. Sean mengangguk. "Bagaimana keadaan Ibu?" tanyanya tanpa menoleh ke arah Bima. Sean seperti sedang bermusuhan dengan orang yang baru saja ditemui dan kenal. Sementara Bima memperhatikan Sean dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu kata, Sean tidak hanya t
"Terima kasih, Dok." Ema melepaskan sealbeat di tubuhnya. "Aku ingin menjengguk ibumu juga." Tanpa menunggu jawaban dari Ema. Sean turun keluar duluan dari mobil. "Apa, Dok?" Ema ikut keluar dari mobil. "Tapi di ini sudah malam, Dok," sambungnya. "Memangnya kenapa kalau malam?" Sean menaikan kedua alisnya. "Apa Dokter tidak ingin istirahat?" tanya Ema mendesah pelan. "Ini rumah sakitku, aku bisa istirahat di ruanganku nanti!" jawab lelaki itu sombong, lalu dia berjalan duluan. Ema menghela napas panjang lalu mengikuti langkah kaki Sean. Sampai di depan ruangan sang ibu, Ema berhenti sejenak. Dia mengelus dadanya, seakan ada rasa sakit yang terasa mencengkeram di sana. "Ada apa?" tanya Sean heran. "Tidak apa-apa, Dok. Saya hanya sedang mengontrol emosi, supaya tidak terlihat sedih di depan ibu." Anak mana yang tidak akan sedih melihat wanita yang sudah melahirkannya terbaring lemah di atas ranjang. Sean manggut-manggut paham. Dia masih berdiri di belakang Ema yang hanya tingg
"Kau mengingatku, Niko?" Gadis itu tersenyum mengejek ke arah lekakis yang tampak syok melihat wajahnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Niko terdengar begitu dingin. Gadis itu malah tersenyum santai, sembari mengigit apel di tangannya. Dia suka melihat wajah kesal dan marah Niko padanya. Hal itu menjadi kesenangan tersendiri pada diri gadis tersebut. "Kenapa kau menggagalkan pengiriman senjataku, Nara?" tanya Niko marah. "Seharusnya kau berterima kasih padaku, Niko," ujar gadis bernama Nara itu. Rambut panjang yang sengaja dikuncir kuda. Matanya coklat dengan hidung mancung. Senyumnya manis, apalagi memakai pakaian ketat ala seorang bodyguard. "Maksudmu?" Gadis itu melempar ponselnya ke arah Niko. Lelaki tersebut mengambil ponsel itu dengan cepat. "Lihatlah!" Niko melihat video yang ada di layar ponsel milik Nara. Pupil matanya hampir saja keluar ketika melihat apa yang ada di sana. "Kau pikir pengiriman senjatamu aman? Untung saja tuan Zayyan segera m
Sean terdiam mendengar jawaban Ema. Entah, kenapa hatinya merasa tergerak mendengar penuturan gadis itu. "Anda ingin pesan apa, Dok?" tanya Ema lagi yang masih memegang kertas dan juga pulpen di tangannya.Sean terdiam sejenak, lalu dia menatap Ema. "Duduklah!" suruhnya. "Hah?!" "Duduklah!" titahnya lagi. Ema menurut dengan wajah polosnya. Sebenarnya dia bingung, kenapa Sean malah memintanya duduk? "Ada yang bisa saya bantu, Dok?" tanya Ema tak nyaman. Sebab, para pelayan yang lain menatap ke arahnya. "Sudah makan?" Ema menggeleng karena memang dia belum makan. Setelah shif siang tadi. Dirinya langsung ke restoran hingga lupa makan malam. Sean lalu melambaikan tangannya pada salah satu waiters dan memesan makanan untuk mereka berdua. "Biar saya saja, Dok!" ujar Ema. "Jangan!" cegah Sean. "Duduklah, kita makan bersama," ucapnya. Walaupun dengan nada dingin, tetapi terdengar perhatian. "Tapi, Dok–""Menurutlah, Ema!" tekan Sean yang sedikit geram. Wanita di luar sana berlomb
"Melihat tuan Zavier dan nona Shania yang menikah, aku jadi ingin menikah," ujar Niko mendesah. "Memang punya calon?" Josua melirik sahabatnya. "Ada, banyak," jawab Niko penuh percaya diri. Jika dia mau banyak sekali wanita yang mengantri untuk menjadi istrinya. Namun, wanita-wanita itu hanya mengincar harta dan ketampanannya saja. Niko ingin menemukan wanita yang tulus mencintai dirinya, seperti Zea mencintai Zayyan contohnya. Sementara Samuel terdiam saja. Dia melihat betapa cantik dan bahagianya Shania duduk di pelaminan bersama lelaki terbaik pilihannya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum kecut karena selalu gagal dalam hal percintaan. Padahal selain jatuh cinta pada Zea berkali-kali, ia juga menyukai Shania dan berharap wanita itu akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Namun, apalah daya jodoh memang tidak selalu bisa dipaksakan. "Hem!" Josua berdehem di dekat telinga Samuel. "Kenapa?" tanyanya. Walaupun sudah tahu, tetapi sengaja bertanya untuk sekedar basa-basi. "Tidak," kilah Sam
Shania menatap pantulan dirinya di depan cermin. Gadis cantik berstatus model itu tampak tersenyum lebar, ketika gaun mewah tersebut melekat dengan sempurna di tubuh ramping dan juga mungilnya."Kak, apa aku sudah cantik?" tanyanya pada sang kakak yang sedari menunggunya. "Cantik!" balas Sean. "Apa kak Zavier akan terpesona padaku?" tanyanya lagi yang seolah belum puas. "Tidak," jawab Sean. Shania mendengkus kesal. Ia menatap kakaknya malas. "Kakak." "Sudahlah, jangan terlalu lama. Zavier sudah menunggu," ujar Sean terkekeh melihat wajah kesal adiknya. Lagian Shania terus bertanya, apa dia cantik? Apa Zavier akan terpesona padanya? Sean saja bosan dengan pertanyaan tersebut. "Ayo, Kak!" ajak Shania. "Tapi..." Gadis itu mendesah pelan. "Tapi, kenapa?" Sean menatap adiknya. Shania tersenyum kecut. Di hari bahagia harusnya dikelilingi oleh orang tua serta orang-orang yang menyayanginya. Namun, tidak dengan Shania sang ayah dan sang ibu bahkan tak meluangkan waktu sedikitpun untu
Zayyan bangun pagi sekali. Sementara Zea masih terlelap nyaman. Sejak hamil, wanita ini tak hanya manja tapi juga sedikit pemalas. "Sayang, bangun!" panggil Zayyan"Sudah siang ya, Kak?" Zea sontak duduk sembari mengucek matanya. Wanita itu masih berusaha mengumpulkan sejuta nyawanya yang terasa hilang ke alam mimpi. "Iya, Sayang. Ayo cuci muka dulu!" Zayyan menyimak selimut mereka. "Iya, Kak." "Kakak gendong, ya." Zayyan langsung mengangkat tubuh wanita itu. Usia kehamilan Zea sudah memasuki bulan keenam. Jadi masa mengidamnya pun sudah berkurang hanya manjanya masih kuat. "Kak, maaf merepotkan mu," ucap Zea tak enak hati. "Sama sekali tidak, Sayang. Aku ingin kau terus manja-manja padaku." Zayyan mencolek dagu istrinya dengan gemas. "Ehem, tidak mungkin aku manja terus, Kak. Sudah ayo cuci muka, kita harus siapkan sarapan untuk anak-anak," ajak Zea. Setelah mencuci muka dan gosok gigi kedua pasangan itu keluar dari kamar mandi. Seperti biasa aktivitas pagi adalah mengur