"T-Tuan … ""Diam," Tama mengacungkan telunjuknya. Lalu membuang puntung rokok yang terselip di jemarinya. "Kalian berdua, masuk ke dalam,"Bersamaan dengan perintah Tama, dua orang anak buah Tama datang dan menahan kedua tangan Arif dan Laura seraya memaksa keduanya masuk ke dalam wilayah rumah Tama.Arif tidak bisa melawan ketika anak buah itu memperlakukannya layaknya nasabah nakal, yang sudah siap dihajar. Tama membawa keduanya di bagian belakang rumahnya, membiarkan Arif dan Laura duduk bersimpuh tak berdaya, siap menunggu diadili.Tama mengangkat tangan, dan salah satu anak buahnya menyalakan rokok untuknya. Sambil menyesap dalam, Tama memandang Arif dan Laura satu persatu. "Sejak kapan?" tanyanya."Tama, kumohon! Ini semua bukan salah Arif. Aku yang menggodanya, aku yang memaksanya untuk menjadi kekasihku!" pekik Laura ketakutan."Kekasih?" ulang Tama dengan suara menjerit. Kemudian dia tertawa amat keras. "Pria tua ini kamu sebut kekasih?" Tiba-tiba dia membuang ludah, tepat d
"Arif!" Laura menjerit, berlari sekencangnya menghampiri Arif yang sudah babak belur. "Lepaskan dia! Lepaskan!" Laura mendorong siapapun yang masih saja berusaha menghajar Arif.Dengan tangan gemetar dan wajah basah penuh air mata, Laura berusaha mengangkat kepala Arif yang sudah berlumuran darah. Dia menangis sejadinya. "A-aku pasti akan menyelamatkanmu … " Suara Laura tersendat-sendat karena tangisnya berebutan ingin mendominasi pikirannya yang kalut.Tapi Arif tidak bisa bersuara. Bukan karena kesadarannya hampir hilang, tapi karena dia tidak ingin membuat Laura makin dirugikan. Dengan kekuatan yang tersisa, Arif berusaha keras untuk berdiri meski terhuyung. Dia memandangi anak buah Tama satu-persatu dengan tatapan murka. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah bawahan Arif. Tentu saja harga diri Arif merasa diinjak-injak meski mereka semua menghajarnya atas perintah Tama."Ayo pergi dari sini," ajak Laura, berusaha membopong tubuh Arif.Sembari berjalan tertatih dengan Laura di sa
Setelah menunggu segala proses administrasi dan persiapan kamar VIP, akhirnya Arif dibawa ke kamarnya. Laura dan Mada berjalan saling beriringan, mengikuti para perawat yang mendorong ranjang Arif. Keduanya diam, tapi si pria nyentrik itu terus tersenyum licik sambil sesekali melirik ke arah Laura. Ketika Laura hendak masuk ke dalam kamar, tiba-tiba Mada menghentikan langkahnya."Ayo kita bicara dulu diluar," ajak Mada."Apa yang kamu inginkan?" Laura bertanya ketus, meski Mada sudah membayarkan segala biaya administrasi rumah sakit.Mada tersenyum licik. "Apakah semua anggota keluarga Tuan Hadi memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, eh?" seloroh Mada menyindir."Langsung saja," Laura melipat tangan dengan tatapan menantang. "Apa yang kamu inginkan dariku?""Kamu benar-benar tidak ingin bicara santai denganku?""Jawab!" Laura bersikap tegas, sangat berbeda dengan kebiasaannya apalagi saat menghadapi Tama.Tanpa terduga Mada justru terkikik. Pria nyentrik dengan baju motif mencolok
Semakin Rania memberontak, semakin intens Vinko mengulum bibirnya. Hingga Rania tidak bisa berkata apa-apa selain pasrah karena pergerakannya dikunci oleh Vinko. Jantungnya berdegup sangat kencang, merasakan sensasi aneh yang membuatnya hampir melayang andai otaknya tidak memberi sinyal bahwa dia harus melawan."Argh!" pekik Vinko, ketika Rania menginjak kakinya dengan sangat keras.Mau tak mau Vinko melepaskan pelukannya dan Rania langsung menghindar dengan nafas tersengal bercampur amarah."Kamu memang brengsek, Vin!" umpat Rania. Dia mengusap bibirnya kesal.Vinko tampak terkikik pelan. Tatapan matanya yang buas membuat Rania mundur, merasa bahwa Vinko sedang dalam kondisi tidak normal."Kenapa kamu seperti ini?"Pertanyaan Rania seketika menyadarkan Vinko. Tatapannya yang sebelumnya buas, berubah sendu. Dia menundukkan kepalanya sangat dalam, seakan kembali pada kenyataan bahwa dirinya yang asli tidak sebrengsek itu."Aku mencintaimu, Ran … " gumam Vinko sambil menunduk. "Bertahun
Vinko terdiam dengan mata hampir tak berkedip menatap Rania. Namun semakin dia mendebat, semakin dia tidak segera pergi dari tempat itu. Sementara Regina akan bertaruh nyawa demi melahirkan sang buah hati."Baiklah jika itu keputusanmu," jawab Vinko pada akhirnya."Vin," panggil Rania, ketika Vinko sudah melangkah keluar dari pagar rumahnya. "Kumohon jangan beritahu Tama dimana aku tinggal," pinta Rania.Vinko menelan ludah dan sekali lagi terdiam. Ada dua gejolak di dalam hatinya saat ini, yang membuatnya enggan untuk menjawab permintaan Rania. Dia bisa saja menyimpan rahasia itu rapat-rapat, tapi melihat si kecil Athar yang tak berdosa, tentu Vinko ingin anak itu tahu siapa ayahnya.Kemudian dia benar-benar pergi, tanpa menjawab permintaan Rania itu. Membuat hati Rania berdebar, merasa posisinya terancam jika Vinko membuka mulut dan mengungkapkan keberadaannya pada Tama. Apalagi jika Tama sampai tahu tentang Athar, pria itu pasti tidak akan melepas Rania.***Arif sudah siuman ketik
“Apa kamu bilang?! Tama tahu dimana Rania?” Tuan menjerit, tak sadar jika sekarang dia sedang ada di ruang bersalin rumah sakit. Dia menjauhkan telepon dari daun telinganya, dengan nafas tersengal begitu terkejut setelah mendapat kabar dari Arif.“Ada apa, Tuan?” tanya Dewi cemas.“Dia sudah tahu … “ Lemas tubuh Tuan Hadi karena rahasia yang dia jaga bertahun-tahun terbongkar sudah.“Apa maksud Tuan? Siapa yang tahu?”“Tama … dia tahu dimana Rania,” Tatapan Tuan Hadi pias. Dia sudah tidak punya daya lagi untuk merespon segala hal-hal mengejutkan yang datang serba tiba-tiba.Setelah mengantar Regina menuju rumah sakit, serta menghubungi Nita, kini Tuan Hadi harus menerima kabar dari Arif kalau Tama sudah tahu dimana Rania.“Kamu sudah berhasil menghubungi Laura?” Tuan Hadi tiba-tiba teringat akan anak perempuannya.Dewi menggeleng. “Dia tidak menjawab teleponku,”“Sialan Laura,” umpat Tuan Hadi. “Kemana lagi anak itu?”“Tuan!” Nita berlari kecil menghampiri Tuan Hadi sambil memegang po
Rania mengintip dari balik jendela kamarnya, pada sebuah mobil sedan hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Malam semakin larut, namun mobil itu tidak juga pergi dari kawasan perumahannya, pun juga tidak tampak menemui siapapun diantara tetangganya. Rania ingin berpikir positif–barangkali itu anak buah Tuan Hadi. Tapi mengingat ekspresi Vinko setelah diminta untuk tidak memberitahu Tama, Rania tidak bisa untuk tidak khawatir.Kemudian dia menoleh pada si kecil Athar yang sudah tertidur pulas kelelahan bermain. Dia hanya mencemaskan Athar, takut jika Tama tiba-tiba merebut Athar darinya.“Bagas … “ Akhirnya Rania memberanikan diri untuk menghubungi Bagas. “Maaf mengganggumu tengah malam begini, tapi aku sepertinya butuh bantuanmu,”“Ada apa, Ran? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Bagas di seberang telepon.“Bisakah kamu datang ke rumahku sekarang? Aku butuh ditemani,” Sadar jika dia salah memilih kata, Rania buru-buru meralat. “Maksudmu .. ehm … karena aku merasa ada yang menginta
Rania tidak segera menjawab pertanyaan Tama, dan dia membuang muka karena tak tahan dengan tatapan Tama yang penuh harap. Sepanjang pernikahannya, baru kali ini dia melihat Tama memasang wajah yang begitu tenang. Yang selama ini dia tahu, Tama adalah seorang pria dingin yang sadis."Habiskan dulu makananmu," jawab Rania pada akhirnya. Dia lantas beranjak berdiri, namun Tama tiba-tiba menahan pergelangan tangannya.Ada getaran aneh di dalam hati Rania akibat dari sentuhan itu. Sudah sangat lama, dia sampai melupakan bagaimana rasanya disentuh oleh Tama."Apa Vinko yang memberitahumu?" Rania berusaha mengalihkan topik, meski Tama masih saja memegang pergelangannya.Mendengar nama Vinko disebut, telinga Tama langsung berdiri. "Kenapa dengan Vinko?"Menyadari jika bukan Vinko orang yang sudah membocorkan alamatnya pada Tama, Rania tiba-tiba menyesal. Dari ekspresi Tama yang tampak terkejut, membuktikan bahwa hubungan keduanya belumlah membaik."Jawab aku, Ran. Ada apa dengan Vinko?" cecar