"Apa maksud semua ini, Ran?" seru Vinko, masih tidak terima. Dia bahkan tidak sudi membalas uluran tangan Bagas.Rania seharusnya tahu jika Vinko memang tetaplah Vinko yang temperamen. Dia berjalan cepat menghampiri Vinko, hendak menenangkan sekaligus memberi penjelasan."Gas, hentikan … " pinta Rania sambil mengangguk beberapa kali.Bagas yang tidak paham hanya bisa sedikit memiringkan kepala sambil berpikir. "Maksudmu?""Dia bukan mantan suamiku … " aku Rania sambil memejamkan mata. Akhirnya dia punya keberanian untuk mengungkap identitas asli Vinko."Lalu dia siapa?" Bagas masih tidak paham."Dia … ""Aku Vinko Hadi," sambar Vinko, tak memberi kesempatan Rania untuk melanjutkan ucapannya. "Aku–" Suara Vinko tercekat saat menyadari dia tidak mengerti siapakah dia bagi Rania.Bagas masih menunggu jawaban Vinko dengan penuh kesabaran. Menunggu pria itu bersuara meski tetap saja diam sambil beberapa kali mengedipkan mata. Akhirnya agar suasana tidak canggung, Rania pun maju."Dia Vinko
"T-Tuan … ""Diam," Tama mengacungkan telunjuknya. Lalu membuang puntung rokok yang terselip di jemarinya. "Kalian berdua, masuk ke dalam,"Bersamaan dengan perintah Tama, dua orang anak buah Tama datang dan menahan kedua tangan Arif dan Laura seraya memaksa keduanya masuk ke dalam wilayah rumah Tama.Arif tidak bisa melawan ketika anak buah itu memperlakukannya layaknya nasabah nakal, yang sudah siap dihajar. Tama membawa keduanya di bagian belakang rumahnya, membiarkan Arif dan Laura duduk bersimpuh tak berdaya, siap menunggu diadili.Tama mengangkat tangan, dan salah satu anak buahnya menyalakan rokok untuknya. Sambil menyesap dalam, Tama memandang Arif dan Laura satu persatu. "Sejak kapan?" tanyanya."Tama, kumohon! Ini semua bukan salah Arif. Aku yang menggodanya, aku yang memaksanya untuk menjadi kekasihku!" pekik Laura ketakutan."Kekasih?" ulang Tama dengan suara menjerit. Kemudian dia tertawa amat keras. "Pria tua ini kamu sebut kekasih?" Tiba-tiba dia membuang ludah, tepat d
"Arif!" Laura menjerit, berlari sekencangnya menghampiri Arif yang sudah babak belur. "Lepaskan dia! Lepaskan!" Laura mendorong siapapun yang masih saja berusaha menghajar Arif.Dengan tangan gemetar dan wajah basah penuh air mata, Laura berusaha mengangkat kepala Arif yang sudah berlumuran darah. Dia menangis sejadinya. "A-aku pasti akan menyelamatkanmu … " Suara Laura tersendat-sendat karena tangisnya berebutan ingin mendominasi pikirannya yang kalut.Tapi Arif tidak bisa bersuara. Bukan karena kesadarannya hampir hilang, tapi karena dia tidak ingin membuat Laura makin dirugikan. Dengan kekuatan yang tersisa, Arif berusaha keras untuk berdiri meski terhuyung. Dia memandangi anak buah Tama satu-persatu dengan tatapan murka. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah bawahan Arif. Tentu saja harga diri Arif merasa diinjak-injak meski mereka semua menghajarnya atas perintah Tama."Ayo pergi dari sini," ajak Laura, berusaha membopong tubuh Arif.Sembari berjalan tertatih dengan Laura di sa
Setelah menunggu segala proses administrasi dan persiapan kamar VIP, akhirnya Arif dibawa ke kamarnya. Laura dan Mada berjalan saling beriringan, mengikuti para perawat yang mendorong ranjang Arif. Keduanya diam, tapi si pria nyentrik itu terus tersenyum licik sambil sesekali melirik ke arah Laura. Ketika Laura hendak masuk ke dalam kamar, tiba-tiba Mada menghentikan langkahnya."Ayo kita bicara dulu diluar," ajak Mada."Apa yang kamu inginkan?" Laura bertanya ketus, meski Mada sudah membayarkan segala biaya administrasi rumah sakit.Mada tersenyum licik. "Apakah semua anggota keluarga Tuan Hadi memang tidak bisa diajak bicara baik-baik, eh?" seloroh Mada menyindir."Langsung saja," Laura melipat tangan dengan tatapan menantang. "Apa yang kamu inginkan dariku?""Kamu benar-benar tidak ingin bicara santai denganku?""Jawab!" Laura bersikap tegas, sangat berbeda dengan kebiasaannya apalagi saat menghadapi Tama.Tanpa terduga Mada justru terkikik. Pria nyentrik dengan baju motif mencolok
Semakin Rania memberontak, semakin intens Vinko mengulum bibirnya. Hingga Rania tidak bisa berkata apa-apa selain pasrah karena pergerakannya dikunci oleh Vinko. Jantungnya berdegup sangat kencang, merasakan sensasi aneh yang membuatnya hampir melayang andai otaknya tidak memberi sinyal bahwa dia harus melawan."Argh!" pekik Vinko, ketika Rania menginjak kakinya dengan sangat keras.Mau tak mau Vinko melepaskan pelukannya dan Rania langsung menghindar dengan nafas tersengal bercampur amarah."Kamu memang brengsek, Vin!" umpat Rania. Dia mengusap bibirnya kesal.Vinko tampak terkikik pelan. Tatapan matanya yang buas membuat Rania mundur, merasa bahwa Vinko sedang dalam kondisi tidak normal."Kenapa kamu seperti ini?"Pertanyaan Rania seketika menyadarkan Vinko. Tatapannya yang sebelumnya buas, berubah sendu. Dia menundukkan kepalanya sangat dalam, seakan kembali pada kenyataan bahwa dirinya yang asli tidak sebrengsek itu."Aku mencintaimu, Ran … " gumam Vinko sambil menunduk. "Bertahun
Vinko terdiam dengan mata hampir tak berkedip menatap Rania. Namun semakin dia mendebat, semakin dia tidak segera pergi dari tempat itu. Sementara Regina akan bertaruh nyawa demi melahirkan sang buah hati."Baiklah jika itu keputusanmu," jawab Vinko pada akhirnya."Vin," panggil Rania, ketika Vinko sudah melangkah keluar dari pagar rumahnya. "Kumohon jangan beritahu Tama dimana aku tinggal," pinta Rania.Vinko menelan ludah dan sekali lagi terdiam. Ada dua gejolak di dalam hatinya saat ini, yang membuatnya enggan untuk menjawab permintaan Rania. Dia bisa saja menyimpan rahasia itu rapat-rapat, tapi melihat si kecil Athar yang tak berdosa, tentu Vinko ingin anak itu tahu siapa ayahnya.Kemudian dia benar-benar pergi, tanpa menjawab permintaan Rania itu. Membuat hati Rania berdebar, merasa posisinya terancam jika Vinko membuka mulut dan mengungkapkan keberadaannya pada Tama. Apalagi jika Tama sampai tahu tentang Athar, pria itu pasti tidak akan melepas Rania.***Arif sudah siuman ketik
“Apa kamu bilang?! Tama tahu dimana Rania?” Tuan menjerit, tak sadar jika sekarang dia sedang ada di ruang bersalin rumah sakit. Dia menjauhkan telepon dari daun telinganya, dengan nafas tersengal begitu terkejut setelah mendapat kabar dari Arif.“Ada apa, Tuan?” tanya Dewi cemas.“Dia sudah tahu … “ Lemas tubuh Tuan Hadi karena rahasia yang dia jaga bertahun-tahun terbongkar sudah.“Apa maksud Tuan? Siapa yang tahu?”“Tama … dia tahu dimana Rania,” Tatapan Tuan Hadi pias. Dia sudah tidak punya daya lagi untuk merespon segala hal-hal mengejutkan yang datang serba tiba-tiba.Setelah mengantar Regina menuju rumah sakit, serta menghubungi Nita, kini Tuan Hadi harus menerima kabar dari Arif kalau Tama sudah tahu dimana Rania.“Kamu sudah berhasil menghubungi Laura?” Tuan Hadi tiba-tiba teringat akan anak perempuannya.Dewi menggeleng. “Dia tidak menjawab teleponku,”“Sialan Laura,” umpat Tuan Hadi. “Kemana lagi anak itu?”“Tuan!” Nita berlari kecil menghampiri Tuan Hadi sambil memegang po
Rania mengintip dari balik jendela kamarnya, pada sebuah mobil sedan hitam yang terparkir tak jauh dari rumahnya. Malam semakin larut, namun mobil itu tidak juga pergi dari kawasan perumahannya, pun juga tidak tampak menemui siapapun diantara tetangganya. Rania ingin berpikir positif–barangkali itu anak buah Tuan Hadi. Tapi mengingat ekspresi Vinko setelah diminta untuk tidak memberitahu Tama, Rania tidak bisa untuk tidak khawatir.Kemudian dia menoleh pada si kecil Athar yang sudah tertidur pulas kelelahan bermain. Dia hanya mencemaskan Athar, takut jika Tama tiba-tiba merebut Athar darinya.“Bagas … “ Akhirnya Rania memberanikan diri untuk menghubungi Bagas. “Maaf mengganggumu tengah malam begini, tapi aku sepertinya butuh bantuanmu,”“Ada apa, Ran? Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Bagas di seberang telepon.“Bisakah kamu datang ke rumahku sekarang? Aku butuh ditemani,” Sadar jika dia salah memilih kata, Rania buru-buru meralat. “Maksudmu .. ehm … karena aku merasa ada yang menginta
Mendengar teriakan minta tolong dari Rania, Tama merasa adrenalinnya langsung melonjak. Tanpa ragu-ragu, dia segera menghubungi para anak buahnya yang masih tersisa dan memberi tahu mereka tentang keadaan darurat yang sedang dihadapi oleh Rania. Tama memberikan semua informasi yang dia miliki, termasuk nomor ponsel Rania agar bisa dilacak. Tama mencoba untuk tetap tenang dan fokus, meskipun kecemasannya yang tak terhindarkan. Dia bersumpah untuk melindungi Rania dan membawanya pulang dengan selamat, tidak peduli apapun resikonya.Arif tiba di kantor Tama dengan langkah cepat dan wajah yang tegang setelah mendapatkan informasi tentang kondisi Rania. Dia telah mengutus anak buahnya untuk segera melacak keberadaan taksi yang diduga menculik Rania.Ketika Arif memasuki kantor, dia melihat Tama yang sibuk berbicara dengan petugas polisi dan segera mendekatinya dengan langkah tergesa-gesa.“Tuan, bagaimana kondisi Rania?” tanya Arif cemas.“Apa kamu sudah menghubungi anak buahmu?”Arif meng
Dewi berlari kecil berusaha mencari keberadaan Rania pagi ini di dalam rumah besarnya. Kabar tentang Rania yang akan kembali bersama Tama, sudah tentu terdengar sampai telinganya. Arif sendirilah yang memberitahu Dewi, karena sejak semalam pria itu sibuk mengemasi barang Rania dan Athar–dengan bantuan Laura.“Rania!” Akhirnya Dewi menemukan Rania sedang memasak di dapur.Rania memutar badan, dan tersenyum begitu cerah. Dia mengisyaratkan pelayan rumah untuk pergi memberi ruang bagi Dewi dan Rania. Setelah mereka tinggal berdua, Dewi berjalan mendekat. Dia memang ingin mendengar langsung dari mulut Rania tentang rencana itu.“Apa benar kamu akan kembali ke rumah Tama?” tanya Dewi cemas.Rania hanya mengulaskan senyum. “Semoga ini keputusan tepat untuk saya dan Athar,” timpalnya.Wajah Dewi masih menyiratkan kekhawatiran. Perlahan dia menggenggam tangan Rania. “Jika boleh jujur, aku tentu senang mendengarnya. Tapi … kebahagiaanmu yang terpenting,” tegas Dewi. “Aku sangat senang menerima
Rania memimpin langkah Athar melewati pintu gerbang kantor yang kini telah berubah wajah menjadi sebuah restoran keluarga yang luas dan ramai. Cahaya lampu yang lembut memperlihatkan suasana hangat di dalamnya, di mana aroma makanan yang menggugah selera menguar di udara. Dalam cahaya lembut yang memancar dari lampu-lampu gantung di restoran keluarga itu, Rania memasuki ruangan dengan perasaan antara terkejut dan haru. Di sana, di tempat yang dahulu menjadi kantor Tama sebagai seorang peminjaman ilegal dengan banyak preman berwajah bengis, kini telah berubah menjadi sebuah tempat yang hangat dan penuh cinta, mengundang keluarga untuk berkumpul.“Ayah!” seru Athar, menunjuk ke arah Tama.Rania melihat Tama sibuk di dekat meja kasir, dengan senyuman hangat yang menyapanya begitu dia memasuki restoran. Mata Rania tidak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap perubahan besar yang dilakukan Tama setelah melalui masa lalu yang gelap. Dalam hati, ia merasa tersentuh oleh usaha keras Tama
Dona duduk menyandarkan punggung, dengan kedua tangan dilipat. Tatapannya tajam ke arah Mada yang terus menyeringai seakan tengah menggoda Dona, mengingat kehidupannya di penjara yang membosankan. Mada tiba-tiba maju, mencondongkan tubuhnya hingga membuat Dona jengah dan spontan mundur.“Ayolah, Don. Kita bisa melakukannya di sini, secepat mungkin. Ada ruangan khusus agar kamu merasa nyaman,” goda Mada, berusaha menggapai Dona.Dona menepis tangan Mada yang hampir mengenai tubuhnya. “Menjauh dariku, biadab!” umpatnya kasar.Mada masih menyeringai. Namun dia memilih mundur. “Lalu apa maumu datang ke sini?” tanyanya.“Aku ingin membatalkan kerjasama kita!” sentak Dona. “Jangan pernah lagi mengganggu atau menghubungiku!”“Batal?” ulang Mada. Dia sejenak diam untuk mencerna ucapan Dona. Kemudian menyeringai seperti yang sudah-sudah. “Siapa bilang kamu bisa membatalkannya?”Dona mendengus kesal. Dia merasa bodoh karena hampir saja tertipu oleh tipu daya si gila Mada. Dengan satu kaki dihen
Dona melepas kacamata hitamnya, kemudian pandangannya melihat sekeliling bangunan restoran itu. Senyumnya terus terulas, namun bagi Arif tidak ada aura cerah di wajah Dona. Yang ada justru maksud licik tersembunyi yang bisa saja merugikan restoran dan Tama. Arif masih teringat akan peringatan Vinko mengenak rencana Mada, yang bisa saja kali ini menggunakan Dona sebagai alat.“Apa maumu?” ulang Arif, karena Dona tidak menjawab.“Restoran ini sudah buka, kan? Tentu saja aku datang sebagai pelanggan,” jawab Dona angkuh. Lantas berjalan dengan tubuhnya yang semampai, memasuki pelataran restoran itu.Arif tidak bisa berkutik karena restoran itu memang terbuka untuk umum, dan jika Dona datang sebagai pelanggan itu artinya Arif tidak bisa menolak. Namun bukan berarti Arif bisa mengendorkan kewaspadaannya, karena dari balik dapur restoran, matanya terus awas ke arah Dona.“Bos, kenapa dia ada di sini?” tanya salah seorang karyawan yang matanya mengikuti arah tatapan Arif. Dia tentu saja menge
Tuan Hadi sempat membeku setelah mendengar ucapan Vinko. Jika bisa, dia pasti mencegah Vinko untuk sekali lagi membuat kegaduhan, namun Tuan Hadi bukanlah tipe orang yang bisa berterus-terang dengan perasaannya. Dia memilih diam dan canggung, tidak menimpali ucapan Vinko. Namun Vinko tetaplah pria pintar, salah satu anak kandung Tuan Hadi yang berharga. Dia sadar jika sang ayah tidak menyukai tema pembicaraan mereka.“Ayah tahu kenapa aku dan Regina bercerai?” ujar Vinko, mengganti topik.Tuan Hadi menyesap rokoknya dalam-dalam. “Yang kutahu, Regina bukanlah wanita bodoh,”“Benar. Benar sekali,” Tatapan Vinko lurus memperhatikan Athar yang fokus bermain. “Dia sangatlah pintar. Satu-satunya wanita terpintar yang pernah kukenal,” Dia lalu menoleh ke arah Tuan Hadi. “Kenapa ini semua harus terjadi?” Dia justru bertanya.“Kuharap dugaanku salah, Vin,” timpal Tuan Hadi singkat.“Dia yang menggugat cerai pertama kali,” lanjut Vinko. Dia sempat tersendat saat bicara, tampak sangat menahan ra
Rania semakin bahagia saat dia terbangun di pagi yang terik, Tama masih tertidur di sebelahnya. Pria itu memejamkan mata, namun bibirnya tersenyum tipis seakan tengah mengalami mimpi indah. Tanpa sadar Rania juga ikut tersenyum. Dia pandangi Tama dengan jemarinya yang memainkan anak rambut Tama. Kemudian Rania mengecup kening Tama tipis, berusaha agar Tama tidak terbangun.Sambil mengendap-endap Rania keluar dari kamar, mulai menuruni tangga menuju dapur besar yang ada di lantai bawah. Di sana Rania sudah disambut oleh salah satu pelayannya yang tampak bahagia karena akhirnya Rania kembali. Keduanya melepas rindu, lantas Rania mengajak pelayannya itu untuk membantunya menyiapkan sarapan untuk Tama.“Kamu sedang apa?” tegur Tama, dengan wajah bangun tidur menghampiri Rania yang sibuk menata meja makan.“Aku menyiapkan sarapan kesukaanmu. Nasi goreng,” jawabnya.Tama mengulaskan senyum tipis. Kemudian dia menarik kursi dan duduk sembari menunggu Rania selesai menyiapkan hidangan.“Aku b
Tama mendorong kepala Rania untuk bersandar di atas lengannya, sambil pria itu mengelus lembut kepala Rania demi menenangkan tangisan istrinya itu. Sesekali Tama mengecup kening Rania yang masih terus menangis. Udara yang semua terasa begitu dingin, perlahan sedikit hangat bersamaan dengan dua tubuh mereka yang perlahan mulai menyatu.“Malam ini kamu tinggal di sini bersamaku,” tandas Tama. “Biar Arif yang menjaga Athar,”Mata Rania yang sembab sempat berkedip dua kali untuk berpikir. Namun Tama buru-buru membungkam bibir Rania dengan telunjuknya, seakan mengerti bahwa wanita itu sebentar lagi akan mengelak.“Turuti aku untuk kali ini,” pinta Tama lembut.Tama mulai bangkit berdiri untuk mengambil ponsel. Namun gerakannya harus berhenti ketika Rania menarik ujung kemejanya.“Apakah aku bisa mempercayaimu lagi?” tanya Rania bimbang.Tama berkedip pelan satu kali. “Aku tidak memintamu mempercayaiku. Hukumlah aku, Ran,” jawab Tama.“Bukankah empat tahun berpisah itu sudah cukup menghukum
Tama terus mendorong dan mengulum bibir Rania seakan tidak memberi kesempatan wanita itu untuk sedikit mengambil nafas. Seperti sebuah hasrat yang telah dipendam bertahun-tahun, dan kini Tama bisa mengeluarkannya dengan begitu dahsyat hingga sulit dibendung. Rania hampir saja kewalahan dan tidak menyadari tangannya mendorong kencang sebuah vas yang tergeletak di sisi ruangan. Suara vas yang pecah berkeping-keping membuyarkan suasana diantara keduanya, membuat Tama menjauh dari tubuh Rania untuk mengecek keadaan. Nafas keduanya tersengal, gugup luar biasa hingga wajah mereka memerah. Sesekali Tama melirik ke arah Rania yang juga begitu gugup dan mencoba untuk menguasai diri.“Bukankah ini vas langka favoritmu?” Rania mencoba membersihkan sisa vas yang ada. Dia membungkuk, mengambil pecahan yang paling besar. “Argh!” Tanpa sadar tangan Rania tergores ujung runcing pecahan vas itu.Tama seketika melonjak dan menarik tangan Rania yang terluka. Dia kecup tangan itu, dengan niat ingin meng