Kenalan Tuan Hadi yang akan memberi pekerjaan bernama Bu Mentari, seorang rektor di sebuah kampus di kota kecil tempat Rania tinggal sekarang. Atas rekomendasi dari Bu Mentari, Rania berhasil mendapatkan posisi sebagai dosen di kampus kecil itu.Pagi ini Rania bersiap untuk masuk pertama kali sebagai seorang dosen, bukan lagi asisten dosen. Setelah membiasakan diri tinggal di kota kecil selama satu bulan, Rania siap untuk menjalani babak baru kehidupannya.Dia membeli sebuah sepeda listrik sebagai mobilitasnya, karena memang kota kecil itu begitu asri dengan banyak pejalan kaki. Selain itu jarak antara satu tempat ke tempat lain tidak terlalu jauh, membuat Rania begitu bersyukur dengan kehidupan barunya.“Rania Manalli?” sapa seorang pria–yang tampak seumuran Rania.Rania memarkir sepedanya, lantas mengangguk dengan tatapan keheranan. “Benar. Anda siapa?”“Kenalkan saya Bagas,” Dia mengulurkan tangannya dengan senyum secerah matahari pagi ini. “Saya pegawai administrasi jurusan yang d
Bagas menyerahkan segelas kopi dan roti lapis ke hadapan Rania yang tengah sibuk menyusun pembelajaran untuk para mahasiswanya. Rania mendongak, dan tersenyum sebagai ucapan terima kasih. Dia pun melepas kacamatanya dan menghadap Bagas yang duduk di salah satu kursi dosen di samping meja Rania."Tumben baik?" seloroh Rania bercanda.Bagas tertawa lepas. Setelah hampir tiga bulan bekerja sebagai kolega sesama pegawai kampus, Rania dan Bagas memutuskan untuk bicara lebih santai mengingat usia mereka yang hampir sebaya. Bagas hanya selisih lebih tua beberapa tahun dari Rania, membuat obrolan begitu menyenangkan."Aku baru sadar, kenapa kamu lepas cincinmu?" tanya Bagas, yang iseng menatap ke arah jari manis Rania. Rania sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu. Dalam hati dia berseru, tentu saja dia harus melepas cincin pemberian Tama. Setiap kali dia melihat cincin itu, hatinya akan teriris pedih akan kenangan pahit dan indah bersama Tama."Aku tidak ingin mencolok di depan mahasiswa
Beberapa jam sebelumnya …Arif ragu untuk melangkah, karena melihat tuannya tengah memijat kening tanda sedang dalam kondisi frustasi berat. Tama tidak pernah begitu keras memikirkan sesuatu, karena dia selalu punya seribu cara licik saat menghadapi lawan bisnisnya. Tapi semenjak kepergian Rania, Tama berubah sangat berbeda. Dia menjadi lebih kejam, berhati dingin dan sesekali memegangi keningnya sambil mengaduh pelan. Sebagai orang yang tak pernah lepas dari Tama, Arif tentu cemas melihat perubahan itu."Rif? Masuk!" Tama menyadari kehadiran Arif, yang berdiri di ambang pintu ruang kerjanya. "Apa yang kamu temukan?"Arif menggeleng. "Saya belum menemukan jejak Rania, Tuan,""Kalau anak itu? Apa dia sudah menikah?"Sekali lagi Arif menggeleng. "Dia sama sekali tidak keluar rumah, bahkan tidak pergi ke kampus," jawab Arif.Tama mendongak. "Anak itu? Apa dia kira dengan bersikap kekanakan, Rania akan kembali?" Tama mengomel sambil memandang Arif. Padahal omelan itu dia tujukan pada Vink
"Ran? Rania?" Bagas berteriak memanggil Rania dari ambang pintu depan. Dia tidak mungkin menerobos masuk rumah Rania begitu saja, apalagi Rania tinggal sendirian.Di dalam kamar mandi Rania bisa mendengar suara Bagas dengan jelas. Tapi dia masih bergumul dengan perasaannya sendiri, ketakutan akan hamil. Dia terus mengelus perutnya, dengan banyak harapan bahwa tubuhnya hanya masuk angin."Maaf, ya," ucap Rania setelah berhasil keluar dari kamar mandi dan menemui Bagas. Wajahnya tampak sangat pucat."Kamu baik-baik saja? Perlu kubelikan obat?" tawar Bagas dengan wajah cemas.Rania menolak dengan senyuman. "Aku baik-baik saja, Gas. Sepertinya aku hanya butuh istirahat," Tanpa perlu diusir secara terang-terangan, Bagas tahu jika dia harus segera pamit. Meskipun dia begitu mencemaskan Rania, tapi Bagas sangat menjaga privasi Rania. Dia benar-benar mencerminkan seorang pria yang baik."Apa kamu perlu kubelikan sesuatu dulu?" tawar Bagas.Rania sekali lagi menggeleng. Dia berusaha untuk tet
Rania terbangun dengan perasaan lebih baik daripada kemarin. Ketika dia membuka mata, seorang perawat masuk dan izin untuk memeriksa tekanan darahnya. Tak lama, sarapan datang untuknya. Rania memandangi sarapan di depannya dengan pandangan nanar. Lalu matanya menatap sekeliling ruangan, dimana ruangan luas itu begitu dingin dan sepi. Hanya ada Rania seorang diri.Bagas tidak menemaninya semalam, karena Rania pun juga lebih nyaman jika Bagas tidak ada didekatnya di saat-saat seperti ini. Apalagi penyebab dia ada di rumah sakit adalah karena kehamilannya. Rania tidak punya banyak nyali untuk menghadapi Bagas.Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Rania yang tak punya firasat apapun mempersilahkan orang dibalik pintu untuk masuk. Dan terkejutlah dia, ketika sosok Tuan Hadi melangkah maju, mendekatinya yang tengah duduk menikmati sarapan di atas ranjang."T-Tuan?" Tangan Rania hingga gemetar tak percaya. Dia tidak menyangka mantan mertuanya itu akan datang.Tuan Hadi memandang Rania dari ujun
"Vin, tersenyumlah!" tukas Nita, tampak cemas ketika melihat wajah Vinko yang terus muram meski kini dia tengah memakai setelan jas terbaik yang pernah ada.Tapi Vinko tidak peduli. Dia terus saja diam dengan pandangan nanar, membiarkan para perias itu mulai melakukan pekerjaan mereka untuk memperindah sang mempelai pria. Vinko hanya terus memikirkan segala keputusannya. Keputusan menikahi Regina yang tiba-tiba menyerang otaknya. Dia tahu, jika dia ingin segera menemukan Rania, dia harus menjadi orang yang berkuasa. Dan cara yang mudah adalah dengan menikahi Regina.Vinko sadar, dia sudah kelewatan pada Regina. Tapi dia sudah tidak bisa mundur. Wanita itu sudah terlanjur senang karena mereka berdua bisa menikah. Regina pasti tidak akan mau mendengarkan apapun alasan Vinko.Ketika Nita sibuk mempersiapkan segalanya akan berjalan lancar, tampak Dewi masuk perlahan ke dalam ruang ganti mengamati para perias yang berlalu lalang. Nita yang sadar akan kehadiran Dewi, segera membaur mendekat
"Ran … " panggil Laura pelan dengan wajah khawatir. Kini dia menggenggam erat ponselnya.Rania yang tidak mengerti, hanya mengerutkan kening bingung. Dia tidak paham dengan lemparan isyarat dari Laura. "Kenapa tidak diangkat?" tanya Rania heran. Dia tetap tidak paham jika Tamalah yang tengah membuat ponsel Laura berdering.Di sisi lain Laura juga tidak bisa berucap. Ada Bagas di depannya, dan dia tidak ingin pria baik itu tahu bahwa Rania pernah memiliki suami. Seorang suami yang menjadi bos gembong rentenir terbesar di seluruh negeri."Aku harus ke depan untuk mengangkat telepon ini," pamit Laura. Dia tidak punya banyak waktu karena Tama pasti akan murka jika dia tidak mengangkat telepon itu."Halo," jawab Laura dengan suara sepelan mungkin."Dimana kamu?" sambar Tama. "Apa kamu lupa ini pernikahan adikmu?"Laura menutupi ponselnya dengan tangan agar tidak banyak suara bising orang-orang terekam di telinga Tama. "Aku sibuk. Sampaikan salamku untuk Vinko, semoga dia bahagia,""Aku je
"Argh!" pekik Tama, memegangi kepalanya yang kesakitan.Dia membenci dirinya sendiri. Karena tidak berdaya hanya karena kehilangan satu sosok wanita, yang seharusnya bisa dia ganti dengan mudah. Kehilangan Rania benar-benar menyesakkan dadanya, membuat Tama kesulitan untuk sekedar menghirup udara."Tama!" Dewi berhamburan menolong Tama yang kini bersimpuh terus kesakitan.Seluruh hadirin mulai berkasak-kusuk, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tentu mengenali sosok Tama Hadi yang menawan dan disegani, tapi mereka tidak menyangka Tama bisa begitu terpuruk yang mereka tahu tanpa sebab."Apa yang terjadi?" gumam Regina dengan pandangan prihatin ke arah Tama.Sementara Vinko, kini dipenuhi dengan pemikirannya sendiri. Dia tahu Tama frustasi karena kehilangan Rania, tapi tidak pernah menyangka jika kehilangan itu amat mendalam bagi Tama. Pandangan Vinko tampak serius, dengan tubuh tegak menegang. Dia tidak prihatin pada Tama, tapi justru iri. Dia kira, dialah yang paling ke