Rania terbangun dengan perasaan lebih baik daripada kemarin. Ketika dia membuka mata, seorang perawat masuk dan izin untuk memeriksa tekanan darahnya. Tak lama, sarapan datang untuknya. Rania memandangi sarapan di depannya dengan pandangan nanar. Lalu matanya menatap sekeliling ruangan, dimana ruangan luas itu begitu dingin dan sepi. Hanya ada Rania seorang diri.Bagas tidak menemaninya semalam, karena Rania pun juga lebih nyaman jika Bagas tidak ada didekatnya di saat-saat seperti ini. Apalagi penyebab dia ada di rumah sakit adalah karena kehamilannya. Rania tidak punya banyak nyali untuk menghadapi Bagas.Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk. Rania yang tak punya firasat apapun mempersilahkan orang dibalik pintu untuk masuk. Dan terkejutlah dia, ketika sosok Tuan Hadi melangkah maju, mendekatinya yang tengah duduk menikmati sarapan di atas ranjang."T-Tuan?" Tangan Rania hingga gemetar tak percaya. Dia tidak menyangka mantan mertuanya itu akan datang.Tuan Hadi memandang Rania dari ujun
"Vin, tersenyumlah!" tukas Nita, tampak cemas ketika melihat wajah Vinko yang terus muram meski kini dia tengah memakai setelan jas terbaik yang pernah ada.Tapi Vinko tidak peduli. Dia terus saja diam dengan pandangan nanar, membiarkan para perias itu mulai melakukan pekerjaan mereka untuk memperindah sang mempelai pria. Vinko hanya terus memikirkan segala keputusannya. Keputusan menikahi Regina yang tiba-tiba menyerang otaknya. Dia tahu, jika dia ingin segera menemukan Rania, dia harus menjadi orang yang berkuasa. Dan cara yang mudah adalah dengan menikahi Regina.Vinko sadar, dia sudah kelewatan pada Regina. Tapi dia sudah tidak bisa mundur. Wanita itu sudah terlanjur senang karena mereka berdua bisa menikah. Regina pasti tidak akan mau mendengarkan apapun alasan Vinko.Ketika Nita sibuk mempersiapkan segalanya akan berjalan lancar, tampak Dewi masuk perlahan ke dalam ruang ganti mengamati para perias yang berlalu lalang. Nita yang sadar akan kehadiran Dewi, segera membaur mendekat
"Ran … " panggil Laura pelan dengan wajah khawatir. Kini dia menggenggam erat ponselnya.Rania yang tidak mengerti, hanya mengerutkan kening bingung. Dia tidak paham dengan lemparan isyarat dari Laura. "Kenapa tidak diangkat?" tanya Rania heran. Dia tetap tidak paham jika Tamalah yang tengah membuat ponsel Laura berdering.Di sisi lain Laura juga tidak bisa berucap. Ada Bagas di depannya, dan dia tidak ingin pria baik itu tahu bahwa Rania pernah memiliki suami. Seorang suami yang menjadi bos gembong rentenir terbesar di seluruh negeri."Aku harus ke depan untuk mengangkat telepon ini," pamit Laura. Dia tidak punya banyak waktu karena Tama pasti akan murka jika dia tidak mengangkat telepon itu."Halo," jawab Laura dengan suara sepelan mungkin."Dimana kamu?" sambar Tama. "Apa kamu lupa ini pernikahan adikmu?"Laura menutupi ponselnya dengan tangan agar tidak banyak suara bising orang-orang terekam di telinga Tama. "Aku sibuk. Sampaikan salamku untuk Vinko, semoga dia bahagia,""Aku je
"Argh!" pekik Tama, memegangi kepalanya yang kesakitan.Dia membenci dirinya sendiri. Karena tidak berdaya hanya karena kehilangan satu sosok wanita, yang seharusnya bisa dia ganti dengan mudah. Kehilangan Rania benar-benar menyesakkan dadanya, membuat Tama kesulitan untuk sekedar menghirup udara."Tama!" Dewi berhamburan menolong Tama yang kini bersimpuh terus kesakitan.Seluruh hadirin mulai berkasak-kusuk, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tentu mengenali sosok Tama Hadi yang menawan dan disegani, tapi mereka tidak menyangka Tama bisa begitu terpuruk yang mereka tahu tanpa sebab."Apa yang terjadi?" gumam Regina dengan pandangan prihatin ke arah Tama.Sementara Vinko, kini dipenuhi dengan pemikirannya sendiri. Dia tahu Tama frustasi karena kehilangan Rania, tapi tidak pernah menyangka jika kehilangan itu amat mendalam bagi Tama. Pandangan Vinko tampak serius, dengan tubuh tegak menegang. Dia tidak prihatin pada Tama, tapi justru iri. Dia kira, dialah yang paling ke
4 tahun kemudian …Vinko menatap pias puluhan pekerja yang tengah fokus mengamplas kayu-kayu jati itu untuk dijadikan furnitur bernilai tinggi yang siap didistribusikan kepada para konglomerat di seluruh negeri. Dia merasa sangat bangga. Di usianya yang menginjak 23 tahun, dia sudah berhasil mengembangkan bisnis raksasa furnitur berbahan dasar kayu jati yang kualitasnya sudah dikenal oleh banyak orang kaya.Vinko memang cerdas. Setelah menikah dengan Regina, dia enggan mengembangkan bisnis kotor keluarga Hadi dan malah menyulapnya menjadi sebuah bisnis furnitur berdasarkan dukungan dari mertuanya, Atmaja. Tentu saja Atmaja senang bukan main, sebagai pemilik bisnis mebel yang hanya memiliki seorang putri sebagai pewaris. Ketika Vinko menunjukkan minatnya di dunia mebel, dengan senang hati Atmaja membantu semampunya.Dan kini Vinko menikmati jerih payahnya itu di usia yang masih sangat muda. Dia memilih untuk berhenti kuliah dan fokus berbisnis, sementara Regina tetap melanjutkan kuliah
Seperti setiap Sabtu pagi yang cerah, Rania selalu menyambut hari dengan penuh semangat. Hari Sabtu adalah hari dimana dia tidak harus pergi ke kampus dan hanya menghabiskan waktu seharian bermalas-malasan di rumah. Rania juga menerapkan peraturan untuk tidak memasak di hari Sabtu dan Minggu karena dua hari inilah dia bisa bersantai sejenak. Tentu saja tidak seorang diri, tapi berdua bersama sang buah hati yang kini sudah menginjak usia 3 tahun.Anak kecil yang lucu dan pintar itu diberi nama Abiathar Hadi, yang biasa dipanggil Athar. Anak yang menyayangi Rania sepenuh jiwanya meski usianya masih terlalu kecil untuk mengerti semua hal."Athar hari ini mau sarapan apa?" tanya Rania ketika Athar baru saja bangun dan menghampirinya yang tengah membaca di teras depan."Hmm … nggak tahu," jawab Athar sungguh fasih.Rania terkikik. Dia meletakkan bukunya dan mulai menaikkan Athar ke dalam pangkuannya. "Mama mau makan bubur ayam. Gimana?"Tapi bukannya mendengarkan Rania, Athar justru sibuk
Rania tampak sangat jengah. Dia mundur perlahan agar tidak makin dekat dengan Vinko, karena tidak ingin Athar kebingungan. Vinko yang semula sudah dikuasai emosinya sendiri, mulai tersadarkan jika sikapnya cukup mengganggu Rania. Dia pun mengalah dan memilih untuk duduk tegak, bersikap normal."Bagaimana kabar Regina?" ulang Rania sekali lagi. "Aku harap dia selalu sehat,""Dia baik-baik saja," Vinko tidak ingin menyentuh buburnya. Meski lelah, nafsu makannya hilang entah kemana. "Tapi dia tidak tahu aku datang kemari," aku Vinko, sengaja ingin mengetahui reaksi Rania.Rania terdiam, sesekali memainkan buburnya dengan sendok plastik di tangan. "Apa kalian sudah punya anak?"Vinko tiba-tiba menggeleng keras dengan mata menajam. "Bukan ini yang kuinginkan, Ran. Aku rela berjalan sejauh ini, tapi bukan pembicaraan ini yang kuinginkan!" serunya.Rania terkejut mendengar suara Vinko yang meninggi. Dia buru-buru menoleh ke arah Athar untuk memastikan anaknya itu tidak kaget. Tapi untungnya
"Apa maksud semua ini, Ran?" seru Vinko, masih tidak terima. Dia bahkan tidak sudi membalas uluran tangan Bagas.Rania seharusnya tahu jika Vinko memang tetaplah Vinko yang temperamen. Dia berjalan cepat menghampiri Vinko, hendak menenangkan sekaligus memberi penjelasan."Gas, hentikan … " pinta Rania sambil mengangguk beberapa kali.Bagas yang tidak paham hanya bisa sedikit memiringkan kepala sambil berpikir. "Maksudmu?""Dia bukan mantan suamiku … " aku Rania sambil memejamkan mata. Akhirnya dia punya keberanian untuk mengungkap identitas asli Vinko."Lalu dia siapa?" Bagas masih tidak paham."Dia … ""Aku Vinko Hadi," sambar Vinko, tak memberi kesempatan Rania untuk melanjutkan ucapannya. "Aku–" Suara Vinko tercekat saat menyadari dia tidak mengerti siapakah dia bagi Rania.Bagas masih menunggu jawaban Vinko dengan penuh kesabaran. Menunggu pria itu bersuara meski tetap saja diam sambil beberapa kali mengedipkan mata. Akhirnya agar suasana tidak canggung, Rania pun maju."Dia Vinko