jangan lupa dukung novel ini dan ikuti aku di Igeh at nasyamahila makasih
Hari pergi sebelum Ayuda dan Aldi sampai. Semua keputusan kini berada di tangan dokter Thomas yang sedang dirundung dilema. Sial baginya berurusan dengan orang-orang yang memiliki hubungan rumit itu. Dokter itu gundah, apa yang harus dia lakukan, dirinya bahkan hanya melakukan perintah sesuai dangan nominal uang yang ditawarkan masing-masing orang. Keserakahan membuat dokter Thomas kena batunya. Dia kini duduk termenung di ruang praktik hingga membuat beberapa orang yang hendak melakukan perbuatan keji mengaborsi janin tak berdosa menunggu dengan cemas."Kenapa pria itu meminta aku menggugurkan kandungan Ayuda jika dia benar hamil, ada masalah apa sebenarnya ini?"Dokter Thomas termenung dan terus berpikir, hingga memutuskan satu hal yang tak Hari sangka. __"Apa?"Ayuda dan Aldi tak percaya mendengar cerita dokter Thomas. Ayuda bahkan tak menyangka sang papa akan sejahat itu kepadanya. Meski dia tahu mungkin niat Affandi baik agar dia tak terjerat ke dalam rasa penyesalan di kemud
Ayuda kini hanya perlu menyembunyikan kehamilannya dari semua orang, lantas berpura-pura terkejut dan marah ke Jiwa saat waktunya tiba. Sayang, dia masih tidak tahu Jiwa sudah mengetahui semua rencananya. Jiwa yang tak mendapatkan balasan dokter Thomas merasa cemas dan pergi ke klinik pria itu. Namun, dia tidak menemukan orang yang dicari. Hanya seorang penjaga yang menjawab bahwa hari ini dokter Thomas memilih mengakhiri pekerjaannya lebih cepat. Jiwa merasa aneh, tapi masih tak ingin berpikir yang macam-macam, meski dokter Thomas tak membalas rentetan pesannya. Ia tidak tahu kalau dokter itu sudah bersiap untuk melarikan diri sementara waktu dari negara ini. Alhasil, Jiwa tidak akan tahu apa proses bayi tabung itu berhasil sebelum Ayuda mengungkapnya sendiri. _PYARBunyi gelas yang pecah membuat penghuni rumah yang hendak makan malam kaget. Ayuda bahkan sampai menghentikan langkah dan menoleh. Ia mendapati Susi berdiri dengan gemetar karena baru saja memecahkan jus jambu yang d
Jiwa yang baru saja mengancam Linda meninggalkan wanita itu begitu saja. Linda jelas tak menyangka kalau putranya bisa berkata seperti itu hanya demi membela Ayuda. "Apa yang dilakukan Wangi? Apa dia tidak sadar kalau suaminya mulai menyukai gadis itu?" gerutu Linda. Ia berkacak pinggang sambil membuang muka. Masih tak menyangka jika putra sulungnya mulai membela Ayuda. Di kamarnya, Raga juga merasakan ada yang janggal, tapi belum tahu pasti apa itu. Kecurigaannya mengarah ke Ayuda, tapi Raga memilih menepis perasaan itu. Lagi lupa dia sudah berjanji tidak akan peduli lagi pada wanita yang secara halus menolak cintanya itu. _"Katakan Bik, apa yang kamu tahu?"Ramahadi mengulang pertanyaan karena bik Nini hanya diam tak menjawab. "Tuan, Anda jelas tahu saya bisa bertahan jauh lebih lama menjadi pembantu di rumah ini karena satu hal, sejak dulu saya tidak pernah mencampuri urusan pribadi majikan."Jawaban bik Nini cukup menampar Ramahadi. Meski dikatakan dengan kalimat yang sangat
Benar apa yang dicemaskan oleh Jiwa, baru saja bik Nini berlalu dari pandangannya, sang istri sudah berdiri tak jauh dan memandang curiga kepadanya. Ayuda perlahan mendekat, dia mencoba membaca ekspresi wajah Jiwa yang dia yakini belum tahu tentang keberhasilan proses bayi tabung yang dilakukan, karena Dokter Thomas lebih dulu kabur sebelum mengatakan apa yang terjadi. "Belum tidur?"Jiwa menunjukkan perhatian, tapi bukan hal ini yang Ayuda harapkan, wanita itu memalingkan wajah melihat punggung bik Nini menjauh sebelum kembali memandang Jiwa. "Apa yang kalian bicarakan?" tanya Ayuda tanpa berniat menjawab pertanyaan Jiwa sebelumnya."Apa soal gelas jus pesananku yang jatuh dan pecah di tangan Susi? Kamu pasti tahu apa yang aku pikirkan sekarang," selidik Ayuda. Ia bertekad tidak akan membiarkan Jiwa pergi sebelum menjawab pertanyaannya. "Terkadang menjadi tak tahu akan jauh lebih baik."Ayuda merasa Jiwa sedang menyindir sekaligus menasihati. Namun, ini malah semakin menguatkan du
Seolah sengaja mempersiapkan diri untuk menghabisi Linda. Pagi itu Ayuda menggunakan setelan berwarna merah. Ia tiba terakhir di ruang makan lalu duduk tanpa menyapa Raga seperti biasa. Ayuda bersikap masa bodoh, dia berpikir bahwa waktunya terlalu berarti hanya untuk memikirkan Raga yang merajuk seperti anak kecil. Meskipun sebenarnya ada alasan lain, dia memang tidak bisa memberikan hatinya ke Raga. Ayuda harus fokus ke tujuannya untuk segera membuat keluarga Ramahadi berantakan. Karena memikirkan proses bayi tabung, dia sampai mengesampingkan Linda yang berniat membuatnya celaka. "Aku ingin bicara ke Mama," kata Ayuda tanpa memberi kalimat pengantar atau sekadar basa-basi. Linda yang tak menyangka Ayuda akan buka suara terlihat kaget, dia mengambil air minum dulu setelah itu membalas ucapan sang menantu. "Apa yang mau dibicarakan? kamu bisa bicara nanti, haruskah merusak suasana sarapan keluarga?" "Aku tidak berniat merusak sarapan kalian pagi ini, tapi aku butuh saksi, karen
"Haruskah aku melaporkan ini ke polisi?"Ayuda menyeringai, dia puas membuat Linda mati kutu di depan anak dan suaminya.Ramahadi yang sudah kehilangan selera makan memilih untuk meninggalkan meja, dia bahkan berucap ke Ayuda untuk melakukan apapun yang dia inginkan. "Kalau kamu memang ingin melaporkan dia ke polisi, laporkan saja!""Papa!" Linda kalang kabut, dia menyusul suaminya ke luar untuk meminta maaf. Ayuda yang merasa belum puas dengan pembalasannya ke Linda, tak lama juga pergi dari ruang makan. Ia berjalan disusul Aldi yang selalu menjadi orang pertama yang bisa diandalkan. Ayuda kembali menarik sudut bibir melihat Linda sampai harus mengejar mobil Ramahadi yang hampir melewati gerbang. Linda terlihat sangat kacau, wanita itu berjalan cepat seolah ingin menerkam Ayuda, tapi Aldi dengan sigap meminta sang nona masuk ke dalam mobil. Linda semakin kesal, dia bahkan memukul bagian depan mobil yang dikendarai Aldi sambil memaki. "Awas kamu! Dasar Wanita jalang!"Bersamaan
Malam itu, suara kendaraan roda empat yang dinaiki Raga menggema memenuhi jalanan sepi di sekitar kawasan kota. Sudah hampir jam sebelas malam membuat jalanan itu hanya dilalui beberapa kendaraan yang melintas. Raga ingin mabuk malam itu, dia ingin melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh Ayuda. Setibanya di kelap, seperti biasa, Raga menunjukkan kartu identitas diri agar bisa memasuki kawasan yang sangat terlarang untuk anak-anak dibawah umur itu. Setelah masuk, Raga mencari tempat duduk strategis yang berada di sudut ruangan yang bisa melihat sekitar dengan leluasa. Selangkah demi selangkah kakinya menuju ke sudut ruangan, beberapa wanita sudah siap untuk menggodanya, dengan santai tangan kanan Raga memegang pantat ataupun wajah wanita yang menggodanya dengan senyuman manis yang ditampakkan. Sambil mengatakan jika dia ingin sendirian dulu. Raga menenggak minuman dari gelasnya beberapa kali, Selang beberapa menit dia memanggil dua wanita yang biasa disewa untuk duduk menemani d
Raga masih saja larut dalam kesedihannya. Wanita yang duduk di sebelah kanan pria itu sampai menggelengkan kepala, ia merasa heran dengan para orang kaya yang rela menghabiskan uang untuk membeli minuman keras demi menghilangkan masalah. Padahal masalah tidak akan lari begitu saja tapi harus dihadapi. "Enak ya menjadi konglomerat, kalau lagi ada masalah tinggal lari ke kelap lalu mabuk-mabukan,"kata wanita yang duduk di sebelah kanan Raga itu. "Jangan ngomong sembarangan! Nanti kalau dia tiba-tiba datang dari toilet dan mendengar ucapanmu bisa jadi masalah."Wanita yang membicarakan Raga itu pun seketika mengatupkan bibir karena mendapat teguran dari temannya. Dia baru pertama kali bekerja menemani pria jadi belum begitu tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu di meja lain yang tidak jauh meja Raga, ada sekelompok gadis yang sedang melakukan permainan yang sepertinya menarik. Dari cara mereka tertawa, mereka terlihat senang dengan permainan yang sedang mereka jalankan. Kebetul
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng