Malam itu, suara kendaraan roda empat yang dinaiki Raga menggema memenuhi jalanan sepi di sekitar kawasan kota. Sudah hampir jam sebelas malam membuat jalanan itu hanya dilalui beberapa kendaraan yang melintas. Raga ingin mabuk malam itu, dia ingin melupakan rasa sakit yang disebabkan oleh Ayuda. Setibanya di kelap, seperti biasa, Raga menunjukkan kartu identitas diri agar bisa memasuki kawasan yang sangat terlarang untuk anak-anak dibawah umur itu. Setelah masuk, Raga mencari tempat duduk strategis yang berada di sudut ruangan yang bisa melihat sekitar dengan leluasa. Selangkah demi selangkah kakinya menuju ke sudut ruangan, beberapa wanita sudah siap untuk menggodanya, dengan santai tangan kanan Raga memegang pantat ataupun wajah wanita yang menggodanya dengan senyuman manis yang ditampakkan. Sambil mengatakan jika dia ingin sendirian dulu. Raga menenggak minuman dari gelasnya beberapa kali, Selang beberapa menit dia memanggil dua wanita yang biasa disewa untuk duduk menemani d
Raga masih saja larut dalam kesedihannya. Wanita yang duduk di sebelah kanan pria itu sampai menggelengkan kepala, ia merasa heran dengan para orang kaya yang rela menghabiskan uang untuk membeli minuman keras demi menghilangkan masalah. Padahal masalah tidak akan lari begitu saja tapi harus dihadapi. "Enak ya menjadi konglomerat, kalau lagi ada masalah tinggal lari ke kelap lalu mabuk-mabukan,"kata wanita yang duduk di sebelah kanan Raga itu. "Jangan ngomong sembarangan! Nanti kalau dia tiba-tiba datang dari toilet dan mendengar ucapanmu bisa jadi masalah."Wanita yang membicarakan Raga itu pun seketika mengatupkan bibir karena mendapat teguran dari temannya. Dia baru pertama kali bekerja menemani pria jadi belum begitu tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu di meja lain yang tidak jauh meja Raga, ada sekelompok gadis yang sedang melakukan permainan yang sepertinya menarik. Dari cara mereka tertawa, mereka terlihat senang dengan permainan yang sedang mereka jalankan. Kebetul
“Karena Papa, Linda hampir meracuniku dengan obat pencahar, apa Papa pikir begitu cara membantu dan melindungiku?”Nampak jelas bahwa Ayuda tengah dilingkupi amarah yang besar. Ingin rasanya dia melampiaskan dengan menampar atau mencakar. Ia tahu Affandi sangat menyayanginya, tapi jika harus ikut andil dan melakukan intervensi terhadap keputusannya, jelas Ayuda tidak terima.Malam itu, Ayuda memutuskan menyampaikan perihal kehamilannya ke Affandi, dari pada dipendam dan malah akan menjadi bom waktu.Tentu saja Affandi terkejut dengan fakta yang Ayuda sampaikan, tangan pria paruh baya itu bahkan terlihat mengepal di atas sofa yang dia duduki.“Aku tahu Papa meminta om Hari untuk memata-mataiku dan Aldi. Berhenti atau aku akan membenci Papa selamanya.”“Apa kamu bahagia melakukan ini? atau jangan-jangan kamu sekarang malah menyukai pria yang memperkosamu itu.”Hari dan Aldi saling pandang. Mereka kaget karena Affandi bisa dengan enteng mengatakan hal itu. Keduanya memilih untuk berpura-
Pagi itu saat membuka mata, Raga kaget melihat pakaiannya sudah berceceran di lantai. Menangkup sisi kepala, dia ingat semalam mengajak gadis yang tiba-tiba datang ke mejanya dan berakhir menggoyang ranjang di kamar ini.Berselimut tebal menutupi separuh tubuhnya, Raga membuka selimut itu untuk memastikan dirinya tidak telanjang. Namun, angannya hanya sekedar angan. Ia benar-benar tidak mengenakan sehelai kain pun. Raga berjalan ke kamar mandi menggunakan selimut sebagai pengganti pakaian, dia memunguti bajunya yang tercecer di lantai, kemudian membersihkan diri dan berkemas untuk segera pulang.Raga beberapa kali memukul kemudi mobil saat perjalanan Ia mencoba mengingat wajah gadis itu dan mengingat apa yang telah mereka lakukan semalam. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi. Raga merasa semakin tidak pantas untuk Ayuda dan kalah dari Jiwa.__ Ayuda pulang ke rumah setelah semalam menginap di rumah Affandi. Ia sempat mampir sarapan bersama Aldi
Begitu lama Ayuda berada di dalam dekapan Jiwa. Ia memang sudah merencanakan ini sejak semalam saat berada di rumah Affandi. Bahkan Ayuda menyampaikan niatannya ini ke Aldi. Ia ingin membuat Jiwa takluk di bawah kakinya dengan cara berpura-pura membuka hatinya untuk pria itu.Jiwa perlahan melepaskan pelukan, dia usap pipi Ayuda dan memintanya untuk tidak bersedih lagi. Meski ini adalah bagian dari rencana, tapi Ayuda tidak ingin dengan mudah membuat Jiwa merasa diterima saat itu juga. Terlalu mencolok, tidak baik untuk tujuan besarnya membuat pria itu terjerat sampai tak bisa lepas. "Jangan pedulikan aku!""Aku tidak bisa, Ayuda!" Jiwa membalas dengan penuh kelembutan. "Aku tidak akan percaya sampai benar-benar melihat ketulusanmu."Ayuda pun menjauh. Ia bergegas memutar tumit dan berlari menuju kamarnya dengan seringai di bibir. _Raga yang baru saja sampai ke rumah, berpapasan dengan Aldi yang menunggu Ayuda di teras. Sadar akan posisinya, Aldi menunduk menyapa dengan hormat. Na
Linda tak bisa membalas ucapan Jiwa. Ia menyadari pola asuh yang diterapkannya dan Ramahadi ke dua putranya memang jauh berbeda. Saat Raga lahir, Linda sudah melihat dampak didikan Ramahadi ke Jiwa, sehingga dia tidak mau mengulanginya ke Raga. Namun, tak Linda sangka pola asuh itu membentuk karakter dan kepribadian putra-putranya hingga dewasa. Jiwa ambisius, bermental tak ingin kalah, tapi memiliki rasa tanggungjawab tinggi, meski terkadang bersikap dingin ke orang lain. Sedangkan Raga lebih santai, penuh kebebasan dan tak memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dilihat secara kasat mata Raga lebih bahagia dari Jiwa, akan tetapi nyatanya dua pria itu sama-sama memiliki luka sendiri. "Kenapa Mama tidak susul putra kesayangan Mama itu dan tanya semalam bermalam di mana," sindir Jiwa. "Jangan sampai dia berakhir sama sepertiku, memperkosa anak orang.""Jiwa!"Mendengar bentakan Linda, Jiwa malah tersenyum tipis, dia kembali berucap karena belum merasa puas dengan apa yang d
Ayuda menyunggingkan senyuman manis ke Jiwa. Ia lantas meraih tangan pria itu lalu menautkan jemari mereka. Jiwa awalnya terkejut, hingga akhirnya mendekat dan memeluk Ayuda yang masih duduk di depan meja rias. "Ya, melekatlah padaku. Lalu tinggalkan Wangi dan aku akan membuangmu setelah itu." Ayuda memejamkan mata. Rasanya dia setengah hati mengucapkan kalimat itu di dalam otaknya. Mereka berdua keluar kamar bersama dan bahkan saling bergandengan tangan. Susi yang melihat seketika membelalakkan mata. Pembantu itu bahkan menggosok mata untuk memastikan apa yang dia lihat barusan bukanlah fatamorgana. Susi buru-buru kembali ke kamar Linda untuk menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Linda yang sedang banyak pikiran terlihat tak antuasias dengan cerita Susi, apa yang dikatakan pembantu itu malah semakin membuatnya pening. "Aku sudah cukup tertekan minggu-minggu ini, biarkan saja!" ucap Linda. "Lebih baik jangan kamu adukan ke Wangi, rumah ini sudah seperti neraka, kalau kamu m
“Aku tidak peduli padanya.”Ayuda sengaja tak ingin membahas tentang Raga. Hanya perasaan bersalah saja yang ada di hatinya untuk pria itu. Ayuda mencoba mengalihkan topik dengan mengambil berkas di meja dan mulai membacanya. Namun, Aldi melangkah dan memberikan sebuah amplop yang sejak tadi memang berada di tangan.“Surat dari dokter Thomas, dia bahkan tidak berani untuk menghubungi kita via sambungan seluler,” ucap Aldi.Ayuda yang memang menunggu kabar dari dokter itu pun meraih amplop yang disodorkan Aldi dan langsung membukanya. Di sana ada selembar kertas yang berisi informasi dari dokter Thomas. Pria itu menyebutkan bahwa dirinya sudah berada di tempat yang aman, meski begitu Ayuda diminta agar menyelesaikan segala masalah sebelum tiga bulan agar dia bisa kembali.“Pria ini.” Ayuda tersenyum tak percaya, dokter Thomas bahkan memintanya untuk pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya.“Dia bahkan memberiku saran untuk pergi ke dokter kandungan,” ucap Ayuda sambil
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng