Ayuda menyunggingkan senyuman manis ke Jiwa. Ia lantas meraih tangan pria itu lalu menautkan jemari mereka. Jiwa awalnya terkejut, hingga akhirnya mendekat dan memeluk Ayuda yang masih duduk di depan meja rias. "Ya, melekatlah padaku. Lalu tinggalkan Wangi dan aku akan membuangmu setelah itu." Ayuda memejamkan mata. Rasanya dia setengah hati mengucapkan kalimat itu di dalam otaknya. Mereka berdua keluar kamar bersama dan bahkan saling bergandengan tangan. Susi yang melihat seketika membelalakkan mata. Pembantu itu bahkan menggosok mata untuk memastikan apa yang dia lihat barusan bukanlah fatamorgana. Susi buru-buru kembali ke kamar Linda untuk menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Linda yang sedang banyak pikiran terlihat tak antuasias dengan cerita Susi, apa yang dikatakan pembantu itu malah semakin membuatnya pening. "Aku sudah cukup tertekan minggu-minggu ini, biarkan saja!" ucap Linda. "Lebih baik jangan kamu adukan ke Wangi, rumah ini sudah seperti neraka, kalau kamu m
“Aku tidak peduli padanya.”Ayuda sengaja tak ingin membahas tentang Raga. Hanya perasaan bersalah saja yang ada di hatinya untuk pria itu. Ayuda mencoba mengalihkan topik dengan mengambil berkas di meja dan mulai membacanya. Namun, Aldi melangkah dan memberikan sebuah amplop yang sejak tadi memang berada di tangan.“Surat dari dokter Thomas, dia bahkan tidak berani untuk menghubungi kita via sambungan seluler,” ucap Aldi.Ayuda yang memang menunggu kabar dari dokter itu pun meraih amplop yang disodorkan Aldi dan langsung membukanya. Di sana ada selembar kertas yang berisi informasi dari dokter Thomas. Pria itu menyebutkan bahwa dirinya sudah berada di tempat yang aman, meski begitu Ayuda diminta agar menyelesaikan segala masalah sebelum tiga bulan agar dia bisa kembali.“Pria ini.” Ayuda tersenyum tak percaya, dokter Thomas bahkan memintanya untuk pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya.“Dia bahkan memberiku saran untuk pergi ke dokter kandungan,” ucap Ayuda sambil
“Kenapa pintu kamar tidak kamu tutup?” Jiwa masuk dan seketika mencemaskan Ayuda. Ia mendekat ke arah sang istri yang sibuk mematut diri di depan cermin di dalam kamar. Ayuda memberikan senyuman manis, dia memutuskan memakai gaun selutut yang cukup nyaman untuk dikenakan tidur. “Karena aku takut kamu berdiri lama di depan pintu kalau aku belum selesai mandi.” Ayuda mendekati Jiwa dan berdiri tepat di depan pria itu. “Tapi ternyata mandimu jauh lebih lama dariku.” Jiwa menggerakkan bola mata ke kiri dan ke kanan tak mau menatap Ayuda. Ia berhasil membuat istrinya itu tertawa dan menepuk lengannya. “Jangan sok manis di depanku!” larang Ayuda. “Makan malam sepertinya belum siap, kita pulang terlalu cepat hari ini.” “Kita bisa mengobrol, atau bagaimana kalau membaca buku di ruang kerjamu?” Ayuda menyampaikan ide di kepala, padahal dia hanya ingin mencuri ilmu dari Jiwa agar kepintarannya bisa setara dengan pria itu. Ayuda penasaran jenis buku apa yang dibaca dan menjadi koleksi Jiwa
Ayuda berdiri di depan wastafel, satu tangan memegang rambut dan tangan lainnya membuka keran air. Ia berpikir mungkin terlalu banyak makan, tapi seketika sadar kalau dirinya tengah hamil.“Apa dia ingin menunjukkan ke papanya kalau sudah berada di sini?” Ayuda menunduk memandangi permukaan perut, hingga buru-buru membersihkan mulut agar Jiwa tak curiga. Malam ini jelas bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal kehamilan.Sama halnya dengan Ayuda, Jiwa juga memilih memendam rasa penasarannya. Ia tidak ingin merusak harinya yang indah sejak pagi dengan bertanya. Ia yakin Ayuda akan memberitahu sendiri nanti, dan di saat istrinya itu jujur, Jiwa juga akan jujur tentang apa yang dia ketahui.Jiwa masih tertegun, hingga pintu kamar mandi terbuka dan Ayuda keluar dari sana. Wanita itu terlihat meletakkan tangan ke pinggang.“Mungkin aku kebanyakan makan.”Alis Jiwa bekerut, tatapannya beralih dari Ayuda ke meja di mana cangkir teh yang masih belum mereka minum berada. Penuh perhatian
Randy malam itu duduk di teras bersama papanya. Dia sudah menceritakan tentang pertemuannya dengan Dira di Jogja tapi melarang papanya itu untuk mengusik sang kakak. Randy berpikir Dira memang ingin pergi dari kehidupan mereka, apa lagi setelah Bowo menceritakan kejadian sesungguhnya. "Kenapa kamu tidak bilang papa sudah punya banyak uang ke Arra, dia pasti mau kembali ke sini," ucap Bowo sambil menghitung uang hasil tagihan hutang orang-orang hari itu. Bowo benar-benar menjadi rentenir. Dia bahkan membeli motor, juga baru saja merenovasi rumah. "Pa, berhenti lah jadi lintah darat. Malu aku!" pinta Randy. Ia sudah mengusulkan ke Bowo untuk membuka usaha lain, semisal warung kopi atau tokoserba, tapi pria itu tak menghiraukan. "Sudahlah Randy, nanti kalau Papa sudah bosan, Papa akan membangun usaha yang kamu bilang itu," kata Bowo sambil masih sibuk menghitung uang. "Oh ... ya kira-kira gimana kabar Ayuda, sudah lama dia tidak ke sini.""Untuk apa dia ke sini? Dia tidak ada urusan
"Dari mana kamu belajar mengikat dasi?" Jiwa terus mengagumi wajah Ayuda yang sibuk membuat simpul dasi. Wanita itu hanya membalas dengan senyuman, sambil sesekali menatap wajahnya. "Otodidak, berawal ingin membantu papa, akhirnya bisa," ucap Ayuda sambil menarik ikatan simpul dasi Jiwa naik sampai ke bagian atas kerah. "Selesai, kamu terlihat sempurna," imbuhnya dengan senyuman manis. Ayuda menepuk bagian dada kemeja Jiwa lalu mengusap lengan pria itu lembut. Ia memalingkan muka ke arah tasnya hendak mengajak suaminya turun untuk makan. Namun, Jiwa mencekal tangannya dan menunduk penuh keraguan. "Kenapa?""Aku tidak tahu harus memberitahumu atau tidak, tapi Wangi semalam pulang.""Apa dia tahu kamu ke sini?" selidik Ayuda. "Hem ... aku bilang ingin memintamu memakaikan dasi," jawab Jiwa apa adanya . "Dia pasti sangat kesal." Ayuda ingin melompat kegirangan, tapi sebisa mungkin menahan diri agar tetap terlihat berwibawa di depan sang suami. Ayuda memandang tangan Jiwa yang mas
Seangkuh dan segalak apapun, wanita tetap saja akan luluh dengan perhatian. Apalagi perhatian yang diberikan oleh pria yang dia harapkan. Ayuda akhirnya mau masuk ke dalam mobil Jiwa, meski sejak tadi hanya diam dan tak sekalipun menoleh ke pria yang baru saja bercumbu dengannya penuh gairah di kamar tadi. Jiwa memilih untuk fokus menyetir, tapi sesekali masih melirik ke arah sang istri dan meraih tangan kanannya saat lampu menyala merah. "Ayuda, jangan marah padaku. Aku benar-benar merasa sedih kalau kamu kembali tak acuh."Jiwa membujuk, tapi Ayuda bergeming. Hingga ponsel di dashboard milik Jiwa berdering, Ayuda mengambil kesempatan untuk menarik tangannya dan membuang muka ke samping. "Angkat! Pasti itu dari Wangi," ucapnya dengan ketus. Jiwa membuang napas kasar, dia mengambil ponsel itu dan ternyata panggilan masuk dari dokter yang ingin dia datangi untuk memeriksakan kondisi Ayuda."Kami akan segera ke sana, ini sudah di jalan. Maaf merepotkan pagi-pagi."Ayuda tahu kalau
Ayuda menoleh dengan tatapan kesal. Ia menyatukan gigi atas dan bawah lalu berkata ke Aldi untuk tidak terlalu banyak bertanya karena dia sedang marah saat ini. "Lihat dia, mungkinkah ini karena hormon kehamilan?" gumam Aldi yang tertinggal di belakang karena langkah kaki Ayuda sangat lebar. Sekretaris tampan itu pun berlari mengejar, hingga menekan tombol lift lebih dulu dari Ayuda. "Lalu jam berapa Nona akan pulang untuk berkemas?""Pulang? Berkemas? untuk apa? Belikan saja aku enam setel baju," sembur Ayuda. "Apa itu termasuk bra dan celana dalam?" Pertanyaan Aldi sangat wajar, tapi tetap saja dia malu setelah menanyakan ini ke Ayuda yang notabene berbeda jenis kelamin dengannya. "Ya, sekalian," jawab Ayuda malu-malu. Ia sedikit menyesal sudah meminta Aldi melakukan hal ini, tapi mau bagaimana lagi, dia memang malas jika harus pulang dan packing.__Raga tertawa miring, dia puas bisa menemukan identitas pemilik kendaraan yang sudah menabrak mobilnya lalu kabur begitu saja. R
Pelukan, kasih sayang dan senyuman tulus kini bisa Jiwa rasakan setiap hari. Hidupnya sudah lengkap dengan kehadiran istri yang sangat dia cintai, juga putri cantik yang semakin hari semakin pintar. Jiwa berdiri sambil memegang cangkir kopi di tangan, dia memandang ke arah Nala yang sudah mulai belajar berjalan bersama bik Nini. Sementara itu, Ayuda bertelanjang kaki menemani dengan perut yang nampak membuncit. Nala, dia pasti terlihat seperti saudara kembar dengan adiknya nanti. “Nala pintarnya!” puji Ayuda, putrinya itu tertawa dan memeluk kakinya. Dia sedikit kesusahan untuk mengusap punggung sang putri karena terganjal perutnya yang sudah besar. Dengan bantuan bik Nini, Ayuda akhirnya bisa menggendong Nala. Namun, tak diduga Jiwa langsung berlari dan meminta Ayuda untuk tidak melakukan itu. “Sayang, kasihan adik Nala nanti,”ucap Jiwa. Bik Nini yang melihat tuannya sangat posesif pun tersenyum. Ia bahkan dibuat malu sendiri dengan tingkah Jiwa yang over protective. “Dari pada
Aura pengantin baru terpancar jelas dari wajah Dira. Kembaran Ayuda itu nampak sedang duduk bersama mertua dan saudara-saudara Aldi di teras sambil bercanda. Ibunda Aldi menceritakan bagaimana masa kecil pria itu, sampai aibnya yang masih suka minum susu menggunakan dot meski sudah kelas 5 SD.“Besok kalau kamu hamil banyak-banyak sugesti calon bayimu, jangan sampai kayak bapaknya.”Dira tertawa, dia tak sadar Aldi sedang memandanginya. Pria yang sudah resmi mempersuntingnya itu sibuk membantu merapikan kursi yang dipinjam dari RT untuk acara pengajian.“Lha … gimana nggak kayak bapaknya, Bu? Kalau aku hamil ‘kan memang anak mas Aldi, kalau nggak mirip nanti bisa-bisa malah menimbulkan fitnah,”kata Dira.“Maksudnya sifatnya yang jelek-jelek itu lho, Ra!”“Mas Aldi nggak punya sifat jelek, Bu. Mas Aldi itu sempurna buatku.”Aldi yang mendengar pujian sang istri seketika malu. Pipinya bahkan merona merah sedangkan Dira terlihat sangat santai meski orang-orang bersorak menggoda.“Ya begi
Pernikahan adalah impian setiap wanita, apalagi menikah dengan pria yang sangat dicintai. Begitu juga dengan Sienna, dia tidak pernah menyangka hatinya akan tertambat pada pria casanova seperti Raga. Meski tahu bagaimana sepak terjang pria itu, tapi Sienna yakin, suaminya itu kini sudah berubah. Ibarat panci bertemu tutupnya, mereka saling melengkapi. Membangun pernikahan yang sebenarnya mereka sendiri masih belum begitu yakin.Namun, Raga dan Sienna yakin mimpi-mimpi dan rencana akan mereka temukan seiring berjalannya waktu. Seperti saat ini. Mereka harus menunda bulan madu karena Sienna harus menghadapi ujian semester."Boleh aku bicara serius?" tanya Raga saat mereka berada di dalam salah satu kamar villa milik Ramahadi.Raga teringat akan Ayuda yang mual-mual tadi, setelah ditanya kakak iparnya itu menjawab dia memang belum datang bulan sejak melahirkan Nala. Kata Linda, kemungkinan besar Ayuda pasti hamil lagi."Bicara serius? Apa?"Sienna yang memakai paha Raga sebagai bantalan
Tiga bulan kemudianHari yang membahagiakan untuk semua orang akhirnya tiba. Ramahadi mengajak seluruh keluarganya pergi ke villanya yang dulu digunakan Ayuda untuk bersembunyi.Raga baru seminggu menikah dengan Sienna. Bulan madu mereka pun tertunda karena Sienna harus menghadapi ujian semester minggu ini. Raga tidak mau kalau sampai kuliah istrinya itu terganggu hanya karena bulan madu - yang sejatinya sudah sering mereka lakukan sebelum menikah.Affandi juga hadir, dia menerima undangan dari Ramahadi dengan penuh suka cita. Awalnya Affandi ingin mengajak Dira ke sana, tapi putrinya itu lebih dulu menerima ajakan dari sang mertua untuk berkumpul di rumah keluarga besar Aldi.Ayuda nampak memangku Nala, dia menyusui putrinya sambil menatap keluar jendela di mana papanya tengah sibuk mengobrol dengan sang mertua. Ayuda menepuk pantat Nala lembut, dia menoleh kaget kala Jiwa keluar dengan membawa buku - yang dulu selalu menjadi teman saat dirinya merasa kesepian tinggal sendiri di sana
Di saat putra putri mereka sedang berdua dan kembali meleburkan asa, Affandi dan Ramahadi duduk bersama. Ramahadi tak menyangka pria yang seumur hidup terus menganggapnya musuh kini mengajaknya bicara. Affandi bahkan mengeluarkan satu kata yang dia rasa mustahil untuk didengar. “Maaf!” Ramahadi tentu tak bisa percaya begitu saja, setelah hampir berpuluh-puluh tahun menganggapnya musuh, kini Affandi mengucap kata maaf dan terdengar begitu sangat tulus. “Aku tahu perbuatanku salah, dan selama ini aku terlalu malu untuk mengakuinya. Mungkin, pertemuan Ayuda dan Jiwa adalah takdir yang memang sudah ditetapkan, hingga akhirnya aku bisa sadar,”ungkap Affandi panjang lebar. Hening, Ramahadi tak langsung membalas permintaan maaf Affandi. Ia mencoba mencerna dulu, menimbang apakah pria itu tulus atau hanya sekadar meminta maaf agar dirinya tak lagi menaruh prasangka. “Aku sudah lelah bekerja, aku ingin menyerahkan perusahaan ke anak-anakku, dan aku ingin hidup tenang bermain bersama cucu,”
Terkesan nakal, tapi begitulah naluri manusia dewasa. Mereka memiliki birahi yang butuh disalurkan. Ayuda tahu perbuatannya membuat Jiwa semakin ingin menerkamnya. Namun, bukankah itu yang mereka inginkan? Ayuda memindai manik mata Jiwa, di sana terlihat penuh cinta, berbeda dengan tatapan mata pria itu saat pertama kali menyentuhnya. Tak ada perasaan hangat seperti ini, Jiwa bahkan mencekoki dirinya obat perangsang agar nafsunya tersalurkan tanpa perlu ikatan seperti saat ini. Jiwa membelai pipi Ayuda, mencium setiap bagian wajahnya seolah setiap incinya tak ingin terlewatkan untuk dia cicipi. Pria itu menghentikan sapuan bibir di hidung bangir sang istri, sorot matanya seolah meminta izin. “Bisakah aku bisa melakukannya jauh lebih dari ini.” Ayuda tersenyum tipis, tangannya menarik tengkuk Jiwa hingga bibir mereka kembali bertaut. Mereka sama-sama memejamkan mata, menyelami setiap perasaan cinta yang membara. Perlahan tangan Ayuda melonggar dan beralih membuka kancing kemeja Jiw
Dira masih berada di pelukan Ayuda, meski tak mau membalas pelukan saudaranya, tapi Dira menyandarkan kepala ke pundak ibunda Nala itu. Ia masih tergugu, tak menyangka satu orang datang lagi ke rumahnya dan masuk dengan wajah kebingungan. Aldi menjadi pusat perhatian semua orang, sampai Ayuda melonggarkan pelukan dan Dira memanggil dengan manja nama pria itu.“Mas Al!”“Ra, kenapa kamu menangis?” tanya Aldi bingung, dia hanya diberitahu Affandi akan datang, tapi jika tahu akan membuat calon istrinya menangis, tentu saja Aldi akan melarang. Alih-alih berada di sana tepat waktu, Aldi terjebak lampu merah beberapa kali.“Pak, ini bukan seperti yang Anda janjikan, bukankah ….”Aldi menjeda kata, Dira yang masih sesenggukan mendekat dan memberitahu Aldi kalau Affandi baru saja berkata akan menikahkannya.“Benarkah?” Aldi nampak bahagia. Ia raih tangan Affandi dan menggoyang-goyangkannya beberapa kali.Meski awalnya kesal, tapi Dira tertawa melihat kelakuan Aldi. Ayuda lega karena yakin Dir
Setelah Jiwa berangkat ke kantor, Ayuda tak langsung pergi ke rumah Dira. Ia malah berdiri di depan lemari baju, bingung memilih pakaian mana yang cocok dia kenakan untuk malam spesial yang Jiwa katakan tadi. Ayuda menekuk bibir ke dalam lalu memajukannya lagi, bunyi decapan lidahnya membuat bik Nini yang baru saja masuk untuk menata baju Nala keheranan.“Non, cari apa?”Ayuda menggeleng, wanita itu sedang berpikir mana mungkin memakai gaun yang sama di depan Jiwa. Apalagi dia sama sekali tidak memiliki satu pun baju tempur selain piyama satin yang sering dia pakai karena praktis saat menyusui Nala.“Seharusnya aku pergi shopping kemarin,”ucap Ayuda.Bik Nini tentu saja semakin heran, dia sejajari Nonanya itu dan kembali bertanya,”Non cari apa?”“Linger … “ Ayuda keceplosan, matanya melotot menoleh bik Nini dan melempar senyuman canggung.Pembantunya itu pun menarik sudut bibir, tersenyum aneh sambil menaikturunkan alis mata. Bik Nini berhasil membuat Ayuda merasa malu, dia pasti tahu
Sejak pagi, Jiwa terus saja menampakkan wajah riang. Ia memandangi sang istri yang sibuk melakukan tugas merawat putrinya seperti biasa. Jiwa membuat Ayuda salah tingkah setelah semalam wanita itu menjawab pertanyaannya dengan kata ‘ya’.“Apa sudah?”“Berhenti bertanya apa sudah – apa sudah,”amuk Ayuda. Pipinya merona merah karena Jiwa bersikap sangat agresif. “Aku mau bertemu papa dan Dira dulu, kamu cepat bersiap sana untuk pergi bekerja!”Jiwa tak menggubris ucapan Ayuda, dia malah melingkarkan tangan di pinggang wanita itu yang sedang menggendong putrinya.“Jiwa!” bentak Ayuda.“Malam ini aku akan memberi bonus ke Bik Nini untuk menjaga Nala, kita bisa pakai apartemenku untuk melakukan itu.”“Melakukan apa?” Ayuda dengan sengaja menggoyangkan pinggang untuk membuat Jiwa melepaskan tangan. Namun, pria itu terlalu kuat dan membuatnya berakhir pasrah karena Nala ada di pelukannya.“Jangan berpura-pura! aku tahu kamu tidak sepolos itu, bahkan saat tidur kamu sesekali nakal dengan meng