Linda tak bisa membalas ucapan Jiwa. Ia menyadari pola asuh yang diterapkannya dan Ramahadi ke dua putranya memang jauh berbeda. Saat Raga lahir, Linda sudah melihat dampak didikan Ramahadi ke Jiwa, sehingga dia tidak mau mengulanginya ke Raga. Namun, tak Linda sangka pola asuh itu membentuk karakter dan kepribadian putra-putranya hingga dewasa. Jiwa ambisius, bermental tak ingin kalah, tapi memiliki rasa tanggungjawab tinggi, meski terkadang bersikap dingin ke orang lain. Sedangkan Raga lebih santai, penuh kebebasan dan tak memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dilihat secara kasat mata Raga lebih bahagia dari Jiwa, akan tetapi nyatanya dua pria itu sama-sama memiliki luka sendiri. "Kenapa Mama tidak susul putra kesayangan Mama itu dan tanya semalam bermalam di mana," sindir Jiwa. "Jangan sampai dia berakhir sama sepertiku, memperkosa anak orang.""Jiwa!"Mendengar bentakan Linda, Jiwa malah tersenyum tipis, dia kembali berucap karena belum merasa puas dengan apa yang d
Ayuda menyunggingkan senyuman manis ke Jiwa. Ia lantas meraih tangan pria itu lalu menautkan jemari mereka. Jiwa awalnya terkejut, hingga akhirnya mendekat dan memeluk Ayuda yang masih duduk di depan meja rias. "Ya, melekatlah padaku. Lalu tinggalkan Wangi dan aku akan membuangmu setelah itu." Ayuda memejamkan mata. Rasanya dia setengah hati mengucapkan kalimat itu di dalam otaknya. Mereka berdua keluar kamar bersama dan bahkan saling bergandengan tangan. Susi yang melihat seketika membelalakkan mata. Pembantu itu bahkan menggosok mata untuk memastikan apa yang dia lihat barusan bukanlah fatamorgana. Susi buru-buru kembali ke kamar Linda untuk menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Linda yang sedang banyak pikiran terlihat tak antuasias dengan cerita Susi, apa yang dikatakan pembantu itu malah semakin membuatnya pening. "Aku sudah cukup tertekan minggu-minggu ini, biarkan saja!" ucap Linda. "Lebih baik jangan kamu adukan ke Wangi, rumah ini sudah seperti neraka, kalau kamu m
“Aku tidak peduli padanya.”Ayuda sengaja tak ingin membahas tentang Raga. Hanya perasaan bersalah saja yang ada di hatinya untuk pria itu. Ayuda mencoba mengalihkan topik dengan mengambil berkas di meja dan mulai membacanya. Namun, Aldi melangkah dan memberikan sebuah amplop yang sejak tadi memang berada di tangan.“Surat dari dokter Thomas, dia bahkan tidak berani untuk menghubungi kita via sambungan seluler,” ucap Aldi.Ayuda yang memang menunggu kabar dari dokter itu pun meraih amplop yang disodorkan Aldi dan langsung membukanya. Di sana ada selembar kertas yang berisi informasi dari dokter Thomas. Pria itu menyebutkan bahwa dirinya sudah berada di tempat yang aman, meski begitu Ayuda diminta agar menyelesaikan segala masalah sebelum tiga bulan agar dia bisa kembali.“Pria ini.” Ayuda tersenyum tak percaya, dokter Thomas bahkan memintanya untuk pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya.“Dia bahkan memberiku saran untuk pergi ke dokter kandungan,” ucap Ayuda sambil
“Kenapa pintu kamar tidak kamu tutup?” Jiwa masuk dan seketika mencemaskan Ayuda. Ia mendekat ke arah sang istri yang sibuk mematut diri di depan cermin di dalam kamar. Ayuda memberikan senyuman manis, dia memutuskan memakai gaun selutut yang cukup nyaman untuk dikenakan tidur. “Karena aku takut kamu berdiri lama di depan pintu kalau aku belum selesai mandi.” Ayuda mendekati Jiwa dan berdiri tepat di depan pria itu. “Tapi ternyata mandimu jauh lebih lama dariku.” Jiwa menggerakkan bola mata ke kiri dan ke kanan tak mau menatap Ayuda. Ia berhasil membuat istrinya itu tertawa dan menepuk lengannya. “Jangan sok manis di depanku!” larang Ayuda. “Makan malam sepertinya belum siap, kita pulang terlalu cepat hari ini.” “Kita bisa mengobrol, atau bagaimana kalau membaca buku di ruang kerjamu?” Ayuda menyampaikan ide di kepala, padahal dia hanya ingin mencuri ilmu dari Jiwa agar kepintarannya bisa setara dengan pria itu. Ayuda penasaran jenis buku apa yang dibaca dan menjadi koleksi Jiwa
Ayuda berdiri di depan wastafel, satu tangan memegang rambut dan tangan lainnya membuka keran air. Ia berpikir mungkin terlalu banyak makan, tapi seketika sadar kalau dirinya tengah hamil.“Apa dia ingin menunjukkan ke papanya kalau sudah berada di sini?” Ayuda menunduk memandangi permukaan perut, hingga buru-buru membersihkan mulut agar Jiwa tak curiga. Malam ini jelas bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal kehamilan.Sama halnya dengan Ayuda, Jiwa juga memilih memendam rasa penasarannya. Ia tidak ingin merusak harinya yang indah sejak pagi dengan bertanya. Ia yakin Ayuda akan memberitahu sendiri nanti, dan di saat istrinya itu jujur, Jiwa juga akan jujur tentang apa yang dia ketahui.Jiwa masih tertegun, hingga pintu kamar mandi terbuka dan Ayuda keluar dari sana. Wanita itu terlihat meletakkan tangan ke pinggang.“Mungkin aku kebanyakan makan.”Alis Jiwa bekerut, tatapannya beralih dari Ayuda ke meja di mana cangkir teh yang masih belum mereka minum berada. Penuh perhatian
Randy malam itu duduk di teras bersama papanya. Dia sudah menceritakan tentang pertemuannya dengan Dira di Jogja tapi melarang papanya itu untuk mengusik sang kakak. Randy berpikir Dira memang ingin pergi dari kehidupan mereka, apa lagi setelah Bowo menceritakan kejadian sesungguhnya. "Kenapa kamu tidak bilang papa sudah punya banyak uang ke Arra, dia pasti mau kembali ke sini," ucap Bowo sambil menghitung uang hasil tagihan hutang orang-orang hari itu. Bowo benar-benar menjadi rentenir. Dia bahkan membeli motor, juga baru saja merenovasi rumah. "Pa, berhenti lah jadi lintah darat. Malu aku!" pinta Randy. Ia sudah mengusulkan ke Bowo untuk membuka usaha lain, semisal warung kopi atau tokoserba, tapi pria itu tak menghiraukan. "Sudahlah Randy, nanti kalau Papa sudah bosan, Papa akan membangun usaha yang kamu bilang itu," kata Bowo sambil masih sibuk menghitung uang. "Oh ... ya kira-kira gimana kabar Ayuda, sudah lama dia tidak ke sini.""Untuk apa dia ke sini? Dia tidak ada urusan
"Dari mana kamu belajar mengikat dasi?" Jiwa terus mengagumi wajah Ayuda yang sibuk membuat simpul dasi. Wanita itu hanya membalas dengan senyuman, sambil sesekali menatap wajahnya. "Otodidak, berawal ingin membantu papa, akhirnya bisa," ucap Ayuda sambil menarik ikatan simpul dasi Jiwa naik sampai ke bagian atas kerah. "Selesai, kamu terlihat sempurna," imbuhnya dengan senyuman manis. Ayuda menepuk bagian dada kemeja Jiwa lalu mengusap lengan pria itu lembut. Ia memalingkan muka ke arah tasnya hendak mengajak suaminya turun untuk makan. Namun, Jiwa mencekal tangannya dan menunduk penuh keraguan. "Kenapa?""Aku tidak tahu harus memberitahumu atau tidak, tapi Wangi semalam pulang.""Apa dia tahu kamu ke sini?" selidik Ayuda. "Hem ... aku bilang ingin memintamu memakaikan dasi," jawab Jiwa apa adanya . "Dia pasti sangat kesal." Ayuda ingin melompat kegirangan, tapi sebisa mungkin menahan diri agar tetap terlihat berwibawa di depan sang suami. Ayuda memandang tangan Jiwa yang mas
Seangkuh dan segalak apapun, wanita tetap saja akan luluh dengan perhatian. Apalagi perhatian yang diberikan oleh pria yang dia harapkan. Ayuda akhirnya mau masuk ke dalam mobil Jiwa, meski sejak tadi hanya diam dan tak sekalipun menoleh ke pria yang baru saja bercumbu dengannya penuh gairah di kamar tadi. Jiwa memilih untuk fokus menyetir, tapi sesekali masih melirik ke arah sang istri dan meraih tangan kanannya saat lampu menyala merah. "Ayuda, jangan marah padaku. Aku benar-benar merasa sedih kalau kamu kembali tak acuh."Jiwa membujuk, tapi Ayuda bergeming. Hingga ponsel di dashboard milik Jiwa berdering, Ayuda mengambil kesempatan untuk menarik tangannya dan membuang muka ke samping. "Angkat! Pasti itu dari Wangi," ucapnya dengan ketus. Jiwa membuang napas kasar, dia mengambil ponsel itu dan ternyata panggilan masuk dari dokter yang ingin dia datangi untuk memeriksakan kondisi Ayuda."Kami akan segera ke sana, ini sudah di jalan. Maaf merepotkan pagi-pagi."Ayuda tahu kalau