“Karena Papa, Linda hampir meracuniku dengan obat pencahar, apa Papa pikir begitu cara membantu dan melindungiku?”Nampak jelas bahwa Ayuda tengah dilingkupi amarah yang besar. Ingin rasanya dia melampiaskan dengan menampar atau mencakar. Ia tahu Affandi sangat menyayanginya, tapi jika harus ikut andil dan melakukan intervensi terhadap keputusannya, jelas Ayuda tidak terima.Malam itu, Ayuda memutuskan menyampaikan perihal kehamilannya ke Affandi, dari pada dipendam dan malah akan menjadi bom waktu.Tentu saja Affandi terkejut dengan fakta yang Ayuda sampaikan, tangan pria paruh baya itu bahkan terlihat mengepal di atas sofa yang dia duduki.“Aku tahu Papa meminta om Hari untuk memata-mataiku dan Aldi. Berhenti atau aku akan membenci Papa selamanya.”“Apa kamu bahagia melakukan ini? atau jangan-jangan kamu sekarang malah menyukai pria yang memperkosamu itu.”Hari dan Aldi saling pandang. Mereka kaget karena Affandi bisa dengan enteng mengatakan hal itu. Keduanya memilih untuk berpura-
Pagi itu saat membuka mata, Raga kaget melihat pakaiannya sudah berceceran di lantai. Menangkup sisi kepala, dia ingat semalam mengajak gadis yang tiba-tiba datang ke mejanya dan berakhir menggoyang ranjang di kamar ini.Berselimut tebal menutupi separuh tubuhnya, Raga membuka selimut itu untuk memastikan dirinya tidak telanjang. Namun, angannya hanya sekedar angan. Ia benar-benar tidak mengenakan sehelai kain pun. Raga berjalan ke kamar mandi menggunakan selimut sebagai pengganti pakaian, dia memunguti bajunya yang tercecer di lantai, kemudian membersihkan diri dan berkemas untuk segera pulang.Raga beberapa kali memukul kemudi mobil saat perjalanan Ia mencoba mengingat wajah gadis itu dan mengingat apa yang telah mereka lakukan semalam. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak melakukan perbuatan seperti itu lagi. Raga merasa semakin tidak pantas untuk Ayuda dan kalah dari Jiwa.__ Ayuda pulang ke rumah setelah semalam menginap di rumah Affandi. Ia sempat mampir sarapan bersama Aldi
Begitu lama Ayuda berada di dalam dekapan Jiwa. Ia memang sudah merencanakan ini sejak semalam saat berada di rumah Affandi. Bahkan Ayuda menyampaikan niatannya ini ke Aldi. Ia ingin membuat Jiwa takluk di bawah kakinya dengan cara berpura-pura membuka hatinya untuk pria itu.Jiwa perlahan melepaskan pelukan, dia usap pipi Ayuda dan memintanya untuk tidak bersedih lagi. Meski ini adalah bagian dari rencana, tapi Ayuda tidak ingin dengan mudah membuat Jiwa merasa diterima saat itu juga. Terlalu mencolok, tidak baik untuk tujuan besarnya membuat pria itu terjerat sampai tak bisa lepas. "Jangan pedulikan aku!""Aku tidak bisa, Ayuda!" Jiwa membalas dengan penuh kelembutan. "Aku tidak akan percaya sampai benar-benar melihat ketulusanmu."Ayuda pun menjauh. Ia bergegas memutar tumit dan berlari menuju kamarnya dengan seringai di bibir. _Raga yang baru saja sampai ke rumah, berpapasan dengan Aldi yang menunggu Ayuda di teras. Sadar akan posisinya, Aldi menunduk menyapa dengan hormat. Na
Linda tak bisa membalas ucapan Jiwa. Ia menyadari pola asuh yang diterapkannya dan Ramahadi ke dua putranya memang jauh berbeda. Saat Raga lahir, Linda sudah melihat dampak didikan Ramahadi ke Jiwa, sehingga dia tidak mau mengulanginya ke Raga. Namun, tak Linda sangka pola asuh itu membentuk karakter dan kepribadian putra-putranya hingga dewasa. Jiwa ambisius, bermental tak ingin kalah, tapi memiliki rasa tanggungjawab tinggi, meski terkadang bersikap dingin ke orang lain. Sedangkan Raga lebih santai, penuh kebebasan dan tak memikirkan apa yang akan terjadi esok hari. Jika dilihat secara kasat mata Raga lebih bahagia dari Jiwa, akan tetapi nyatanya dua pria itu sama-sama memiliki luka sendiri. "Kenapa Mama tidak susul putra kesayangan Mama itu dan tanya semalam bermalam di mana," sindir Jiwa. "Jangan sampai dia berakhir sama sepertiku, memperkosa anak orang.""Jiwa!"Mendengar bentakan Linda, Jiwa malah tersenyum tipis, dia kembali berucap karena belum merasa puas dengan apa yang d
Ayuda menyunggingkan senyuman manis ke Jiwa. Ia lantas meraih tangan pria itu lalu menautkan jemari mereka. Jiwa awalnya terkejut, hingga akhirnya mendekat dan memeluk Ayuda yang masih duduk di depan meja rias. "Ya, melekatlah padaku. Lalu tinggalkan Wangi dan aku akan membuangmu setelah itu." Ayuda memejamkan mata. Rasanya dia setengah hati mengucapkan kalimat itu di dalam otaknya. Mereka berdua keluar kamar bersama dan bahkan saling bergandengan tangan. Susi yang melihat seketika membelalakkan mata. Pembantu itu bahkan menggosok mata untuk memastikan apa yang dia lihat barusan bukanlah fatamorgana. Susi buru-buru kembali ke kamar Linda untuk menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Linda yang sedang banyak pikiran terlihat tak antuasias dengan cerita Susi, apa yang dikatakan pembantu itu malah semakin membuatnya pening. "Aku sudah cukup tertekan minggu-minggu ini, biarkan saja!" ucap Linda. "Lebih baik jangan kamu adukan ke Wangi, rumah ini sudah seperti neraka, kalau kamu m
“Aku tidak peduli padanya.”Ayuda sengaja tak ingin membahas tentang Raga. Hanya perasaan bersalah saja yang ada di hatinya untuk pria itu. Ayuda mencoba mengalihkan topik dengan mengambil berkas di meja dan mulai membacanya. Namun, Aldi melangkah dan memberikan sebuah amplop yang sejak tadi memang berada di tangan.“Surat dari dokter Thomas, dia bahkan tidak berani untuk menghubungi kita via sambungan seluler,” ucap Aldi.Ayuda yang memang menunggu kabar dari dokter itu pun meraih amplop yang disodorkan Aldi dan langsung membukanya. Di sana ada selembar kertas yang berisi informasi dari dokter Thomas. Pria itu menyebutkan bahwa dirinya sudah berada di tempat yang aman, meski begitu Ayuda diminta agar menyelesaikan segala masalah sebelum tiga bulan agar dia bisa kembali.“Pria ini.” Ayuda tersenyum tak percaya, dokter Thomas bahkan memintanya untuk pergi ke dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilannya.“Dia bahkan memberiku saran untuk pergi ke dokter kandungan,” ucap Ayuda sambil
“Kenapa pintu kamar tidak kamu tutup?” Jiwa masuk dan seketika mencemaskan Ayuda. Ia mendekat ke arah sang istri yang sibuk mematut diri di depan cermin di dalam kamar. Ayuda memberikan senyuman manis, dia memutuskan memakai gaun selutut yang cukup nyaman untuk dikenakan tidur. “Karena aku takut kamu berdiri lama di depan pintu kalau aku belum selesai mandi.” Ayuda mendekati Jiwa dan berdiri tepat di depan pria itu. “Tapi ternyata mandimu jauh lebih lama dariku.” Jiwa menggerakkan bola mata ke kiri dan ke kanan tak mau menatap Ayuda. Ia berhasil membuat istrinya itu tertawa dan menepuk lengannya. “Jangan sok manis di depanku!” larang Ayuda. “Makan malam sepertinya belum siap, kita pulang terlalu cepat hari ini.” “Kita bisa mengobrol, atau bagaimana kalau membaca buku di ruang kerjamu?” Ayuda menyampaikan ide di kepala, padahal dia hanya ingin mencuri ilmu dari Jiwa agar kepintarannya bisa setara dengan pria itu. Ayuda penasaran jenis buku apa yang dibaca dan menjadi koleksi Jiwa
Ayuda berdiri di depan wastafel, satu tangan memegang rambut dan tangan lainnya membuka keran air. Ia berpikir mungkin terlalu banyak makan, tapi seketika sadar kalau dirinya tengah hamil.“Apa dia ingin menunjukkan ke papanya kalau sudah berada di sini?” Ayuda menunduk memandangi permukaan perut, hingga buru-buru membersihkan mulut agar Jiwa tak curiga. Malam ini jelas bukan saat yang tepat untuk membicarakan soal kehamilan.Sama halnya dengan Ayuda, Jiwa juga memilih memendam rasa penasarannya. Ia tidak ingin merusak harinya yang indah sejak pagi dengan bertanya. Ia yakin Ayuda akan memberitahu sendiri nanti, dan di saat istrinya itu jujur, Jiwa juga akan jujur tentang apa yang dia ketahui.Jiwa masih tertegun, hingga pintu kamar mandi terbuka dan Ayuda keluar dari sana. Wanita itu terlihat meletakkan tangan ke pinggang.“Mungkin aku kebanyakan makan.”Alis Jiwa bekerut, tatapannya beralih dari Ayuda ke meja di mana cangkir teh yang masih belum mereka minum berada. Penuh perhatian