“Mas Jiwa, mas di mana?”Wangi menghubungi sang suami di sela jeda waktu pemotretannya. Beruntung, Jiwa mengangkat panggilannya, dan langsung menjawab bahwa dia sedang dalam perjalanan ke lokasi demo warga.“Mas, apa tidak apa-apa Mas ke sana? bagaimana kalau ….”“Jangan khawatir, aku bersama beberapa orang dari perusahaan. Aku juga sudah meminta bantuan pihak kepolisian,” jawab Jiwa.Wangi membuang napas kasar, dia tak bisa melakukan apa-apa dan hanya bisa meminta Jiwa untuk berhati-hati, meski perasaannya tiba-tiba saja menjadi tidak enak.Di waktu yang sama, Ayuda yang mendengar demo itu berjalan sesuai keinginannya merasa sangat senang. Ia berdiri dari kursi kerjanya dan meminta Aldi mengantar ke kantor Affandi. Ayuda ingin bertemu dengan sang papa, sebelum pria itu kembali lagi ke Singapura lusa.Ayuda ingin menyampaikan bahwa Dira akan kembali dan mereka mungkin akan tinggal bersama dalam waktu dekat.Namun, saat sampai di depan ruangan Affandi, Ayuda tak menemukan keberadaan Ha
Ayuda duduk sendirian di depan UGD dengan tangan berlumuran darah. Aldi yang menyusul terlihat ikut sedih melihat nonanya itu, dia melepas jas lalu menutup bagian depan tubuh Ayuda. Meski menundukkan pandangan tapi Ayuda tahu pria di depannya adalah Aldi dari bau parfum yang dia cium. Aldi memilih diam dan tak banyak bicara, dia duduk di sebelah Ayuda menunggu dokter yang sedang menangani Jiwa dan Raga. Rumah sakit itu bahkan terlihat sangat sibuk, bunyi ambulans yang silih berganti datang dan pergi, membuat orang yang melihat tahu bahwa ada hal yang buruk sedang terjadi. “Nona, pergilah ke kamar mandi untuk mencuci tangan.” Aldi bicara dengan nada suara lembut dan penuh perhatian, dia takut Ayuda merasa terganggu dan malah emosi. Namun, tak Aldi duga Ayuda berdiri dan menyerahkan jasnya kembali. Tanpa banyak bicara Ayuda berjalan mencari letak kamar mandi. Dia berdiri di depan wastafel dan membuka keran air, warna merah di tangannya perlahan pudar. Pundak Ayuda bergetar, dia kemba
Sienna pulang dengan kondisi kacau, dia bahkan membawa mobil Raga karena mobilnya masih berada di perusahaan pria itu. Sienna bingung, dia sejak tadi mondar-mandir di depan teras setelah mandi, hingga Bisma datang dan heran dengan tingkah sang putri. “Mobil siapa itu?” Bisma bertanya karena asing dengan mobil yang terparkir di halaman. Sienna yang ditanya seperti itu lantas mendekat dan meraih tangan papanya. Ia yakin Bisma pasti sudah tahu kejadian robohnya rangka apartemen milik perusahaan Ramahadi. “Itu mobil Raga Ramahadi, Pa!” “Sienna, apa kamu nyolong? Bukankah dia menjadi korban lalu bagaimana bisa mobilnya kamu bawa?” bentak Bisma dengan suara lantang. Sienna tentu saja geram, fitnah keji apa ini. Mana mungkin seorang Sienna melakukan tindak kriminal pencurian. “Bukan, Pa. Aku bersamanya saat kejadian itu. Aku bahkan melihatnya saat dievakuasi petugas,” ujar Sienna. Ia menceritakan kejadian ini dengan raut muka cemas karena sampai sekarang belum mendengar bagaimana kondi
Ayuda masuk terakhir ke ruang ICU setelah Wangi. Wajah lelahnya terlihat sangat jelas karena dia bahkan tak tidur dengan layak semalam. Ayuda melupakan semua rasa lelah karena kepedihan yang menguasai hatinya. “Kamu sudah tidur lebih dari dua belas jam, apa kamu tidak ingin bangun?” Ayuda berbicara dengan nada lembut seolah memarahi Jiwa. Ia memindai tubuh suaminya dari kepala sampai ujung kaki yang tertutup selimut. Ayuda duduk di kursi samping Jiwa dan meraih telapak tangan pria itu. Dadanya terasa nyeri, dia bahkan sudah tak memiliki rasa benci ke Jiwa. ‘Silahkan rawat mas Jiwa, hanya sampai di sembuh seperti apa yang kamu minta, tapi kita harus membuat batasan yang jelas, sembuh yang kamu maksud dan yang aku maksud tidak boleh abu-abu.’ Ayuda mengingat ucapan Wangi di luar tadi. Ia terus menunduk, mengusap memar di punggung tangan Jiwa setelah itu menyentuhkan pipinya. ‘Hanya sampai dia keluar dari rumah sakit, bukankah orang yang sudah diperbolehkan pulang artinya sudah sembu
Ayuda baru saja selesai mandi, dia meminta perawat melepas selang infus di tangannya dan berkata tidak perlu mendapatkan cairan itu lagi. Bik Nini yang datang hanya bisa diam melihat apa yang dilakukan Ayuda. Baru kali ini dia melihat pasien membantah perawat dan malah bersikap galak.“Nona makan dulu,” bujuk bik Nini. Ia sengaja membawa masakan dari rumah karena sudah menduga Ayuda tidak akan mau makan masakan rumah sakit.“Kenapa bibi ke sini?”“Saya diperintah tuan Ramahadi.”Ayuda tak bisa lagi banyak bicara, dia malah heran karena mertuanya susah-susah meminta bantuan pembantu senior di rumah untuk menjaganya.“Terima kasih sudah membawakan aku baju ganti.”Ayuda hendak pergi keluar. Namun, Aldi lebih dulu menghadang. Kondisi Ayuda masih lemah, wania itu tidak boleh sampai mengesampingkan kesehatan hanya untuk menunggui sang suami.“Dokter meminta Anda istirahat, jadi lebih baik Nona berada di sini. Tuan Jiwa belum sadarkan diri, jika sudah saya pasti akan mengabari,” ucap Aldi y
Dira berjalan menyeret koper keluar dari terminal kedatangan bandara. Ia melihat sekeliling dan merasa lega bisa kembali ke kota yang hampir setengah tahun dia tinggalkan. Sudah jelas jika bukan demi Ayuda, gadis itu masih akan kembali dua minggu lagi.Dira berjalan ke arah parkiran karena Aldi berjanji akan menjemputnya. Ia pun merogoh tas untuk mengambil ponsel berniat menghubungi pria itu. Namun, belum juga dia mengaktifkan kembali gawainya, sebuah tangan lebih dulu menyambar koper yang berada di dekatnya.“Ayo!”Aldi berjalan tanpa memandang Dira. Gadis itu pun dibuat mencebikkan bibir dan berlari kecil mengejarnya.“Mas Al tadi di mana? kok aku nggak lihat?”“Aku sejak tadi melihatmu, dasar kamu saja memang yang tidak tahu.”Suara Aldi terdengar menggerutu, tapi Dira malah tertawa. Ini karena dia sudah sedikit tahu bagaimana sifat Aldi.“Apa kita langsung pergi ke rumah sakit?”“Kalau tidak langsung ke sana mau ke mana?” tanya Aldi sambil memasukkan koper Dira ke dalam bagasi. Ia
“Nona Ayuda sepertinya masih berada di kamar perawatan tuan Jiwa, tunggu saja di sini!”Bik Nini mempersilahkan Dira duduk. Namun, gadis itu menolak dengan alasan jika Ayuda masih sibuk maka dia tidak akan mengganggu. Dira bahkan meminta izin keluar sebentar menemui kekasihnya.“Ah … jadi kamu sudah punya pacar?” tanya bik Nini.Dira mengangguk dengan senyuman malu-malu dan pipi merona. Hal ini membuat hati Aldi sedikit ngilu. Pria itu diam mematung, tak bisa mencegah saat Dira melewatinya untuk pergi dengan tatapan sinis.“Aku mau pergi sama Mas Hanung, aku akan kembali malam,”ucap Dira dengan wajah kesal.Aldi tak membalas ucapan gadis itu. Ia bahkan tak menoleh saat Dira berlalu pergi. Ekspresi wajahnya yang berubah disadari oleh bik Nini, dan pembantu Ramahadi itu pun menggoda.“Apa mungkin kamu menyukai saudara kembar Non Ayuda? Dia bilang menemui pacarnya ‘kan? Kesempatanmu sepertinya kecil.”“Bibi bicara apa? jangan ngaco!” sewot Aldi. Ia kesal dan pergi meninggalkan bik Nini s
“Boleh Saya duduk?”“Ya … tentu saja.”Ayuda mendengar percakapan dan melihat dari jarak yang sedikit jauh saat Jiwa diperiksa oleh dokter. Pria itu meminta duduk. Dengan tangan yang masih berpenyangga, Jiwa dibantu perawat menegakkan badan.Dokter yang baru saja memeriksa pun mendekat ke Ayuda, memberi penjelasan tentang kondisi Jiwa dan beberapa saran dalam menjaga.Ayuda terlihat mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia lalu mengantar dokter itu sampai keluar kamar, setelahnya menutup pintu dan kembali duduk di kursi sebelah ranjang Jiwa.“Apa kamu sudah makan? sepertinya kamu sudah lama berada di kamar ini.”Jiwa sengaja bertanya untuk mengorek isi hati sang istri, dia bahkan dengan sengaja mengangsurkan tangan dan merapikan helaian rambut Ayuda yang sedikit berantakan.“Siapa yang kamu cemaskan jika sampai kelaparan? Aku atau bayi kita?” goda Ayuda. Ia sengaja memasang mimik curiga agar Jiwa tertawa.“Tentu saja kalian.”Jiwa tertawa lebar dan membuat Ayuda senang, untuk saat