Ayuda masuk terakhir ke ruang ICU setelah Wangi. Wajah lelahnya terlihat sangat jelas karena dia bahkan tak tidur dengan layak semalam. Ayuda melupakan semua rasa lelah karena kepedihan yang menguasai hatinya. “Kamu sudah tidur lebih dari dua belas jam, apa kamu tidak ingin bangun?” Ayuda berbicara dengan nada lembut seolah memarahi Jiwa. Ia memindai tubuh suaminya dari kepala sampai ujung kaki yang tertutup selimut. Ayuda duduk di kursi samping Jiwa dan meraih telapak tangan pria itu. Dadanya terasa nyeri, dia bahkan sudah tak memiliki rasa benci ke Jiwa. ‘Silahkan rawat mas Jiwa, hanya sampai di sembuh seperti apa yang kamu minta, tapi kita harus membuat batasan yang jelas, sembuh yang kamu maksud dan yang aku maksud tidak boleh abu-abu.’ Ayuda mengingat ucapan Wangi di luar tadi. Ia terus menunduk, mengusap memar di punggung tangan Jiwa setelah itu menyentuhkan pipinya. ‘Hanya sampai dia keluar dari rumah sakit, bukankah orang yang sudah diperbolehkan pulang artinya sudah sembu
Ayuda baru saja selesai mandi, dia meminta perawat melepas selang infus di tangannya dan berkata tidak perlu mendapatkan cairan itu lagi. Bik Nini yang datang hanya bisa diam melihat apa yang dilakukan Ayuda. Baru kali ini dia melihat pasien membantah perawat dan malah bersikap galak.“Nona makan dulu,” bujuk bik Nini. Ia sengaja membawa masakan dari rumah karena sudah menduga Ayuda tidak akan mau makan masakan rumah sakit.“Kenapa bibi ke sini?”“Saya diperintah tuan Ramahadi.”Ayuda tak bisa lagi banyak bicara, dia malah heran karena mertuanya susah-susah meminta bantuan pembantu senior di rumah untuk menjaganya.“Terima kasih sudah membawakan aku baju ganti.”Ayuda hendak pergi keluar. Namun, Aldi lebih dulu menghadang. Kondisi Ayuda masih lemah, wania itu tidak boleh sampai mengesampingkan kesehatan hanya untuk menunggui sang suami.“Dokter meminta Anda istirahat, jadi lebih baik Nona berada di sini. Tuan Jiwa belum sadarkan diri, jika sudah saya pasti akan mengabari,” ucap Aldi y
Dira berjalan menyeret koper keluar dari terminal kedatangan bandara. Ia melihat sekeliling dan merasa lega bisa kembali ke kota yang hampir setengah tahun dia tinggalkan. Sudah jelas jika bukan demi Ayuda, gadis itu masih akan kembali dua minggu lagi.Dira berjalan ke arah parkiran karena Aldi berjanji akan menjemputnya. Ia pun merogoh tas untuk mengambil ponsel berniat menghubungi pria itu. Namun, belum juga dia mengaktifkan kembali gawainya, sebuah tangan lebih dulu menyambar koper yang berada di dekatnya.“Ayo!”Aldi berjalan tanpa memandang Dira. Gadis itu pun dibuat mencebikkan bibir dan berlari kecil mengejarnya.“Mas Al tadi di mana? kok aku nggak lihat?”“Aku sejak tadi melihatmu, dasar kamu saja memang yang tidak tahu.”Suara Aldi terdengar menggerutu, tapi Dira malah tertawa. Ini karena dia sudah sedikit tahu bagaimana sifat Aldi.“Apa kita langsung pergi ke rumah sakit?”“Kalau tidak langsung ke sana mau ke mana?” tanya Aldi sambil memasukkan koper Dira ke dalam bagasi. Ia
“Nona Ayuda sepertinya masih berada di kamar perawatan tuan Jiwa, tunggu saja di sini!”Bik Nini mempersilahkan Dira duduk. Namun, gadis itu menolak dengan alasan jika Ayuda masih sibuk maka dia tidak akan mengganggu. Dira bahkan meminta izin keluar sebentar menemui kekasihnya.“Ah … jadi kamu sudah punya pacar?” tanya bik Nini.Dira mengangguk dengan senyuman malu-malu dan pipi merona. Hal ini membuat hati Aldi sedikit ngilu. Pria itu diam mematung, tak bisa mencegah saat Dira melewatinya untuk pergi dengan tatapan sinis.“Aku mau pergi sama Mas Hanung, aku akan kembali malam,”ucap Dira dengan wajah kesal.Aldi tak membalas ucapan gadis itu. Ia bahkan tak menoleh saat Dira berlalu pergi. Ekspresi wajahnya yang berubah disadari oleh bik Nini, dan pembantu Ramahadi itu pun menggoda.“Apa mungkin kamu menyukai saudara kembar Non Ayuda? Dia bilang menemui pacarnya ‘kan? Kesempatanmu sepertinya kecil.”“Bibi bicara apa? jangan ngaco!” sewot Aldi. Ia kesal dan pergi meninggalkan bik Nini s
“Boleh Saya duduk?”“Ya … tentu saja.”Ayuda mendengar percakapan dan melihat dari jarak yang sedikit jauh saat Jiwa diperiksa oleh dokter. Pria itu meminta duduk. Dengan tangan yang masih berpenyangga, Jiwa dibantu perawat menegakkan badan.Dokter yang baru saja memeriksa pun mendekat ke Ayuda, memberi penjelasan tentang kondisi Jiwa dan beberapa saran dalam menjaga.Ayuda terlihat mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia lalu mengantar dokter itu sampai keluar kamar, setelahnya menutup pintu dan kembali duduk di kursi sebelah ranjang Jiwa.“Apa kamu sudah makan? sepertinya kamu sudah lama berada di kamar ini.”Jiwa sengaja bertanya untuk mengorek isi hati sang istri, dia bahkan dengan sengaja mengangsurkan tangan dan merapikan helaian rambut Ayuda yang sedikit berantakan.“Siapa yang kamu cemaskan jika sampai kelaparan? Aku atau bayi kita?” goda Ayuda. Ia sengaja memasang mimik curiga agar Jiwa tertawa.“Tentu saja kalian.”Jiwa tertawa lebar dan membuat Ayuda senang, untuk saat
"Tolong jangan kamu masukkan hati omongan mamaku, Ra."Hanung merasa tak enak hati, dia sudah berharap pertemuan Dira dan sang mama - Rina berjalan dengan lancar. Namun, kesan pertama yang diberikan Rina ke Dira malah membuat kekasihnya itu diam sepanjang perjalanan kembali ke rumah sakit."Tidak dimasukkan ke hati? mana mungkin, Mas? Tatapan mama mas Hanung saja seperti mencemooh aku."Dira berusaha untuk tidak menangis, meski hatinya terasa sangat perih, terlihat jelas bahwa Rina tidak menyukainya. Ia cukup pandai untuk bisa membaca gesture dan cara bicara orang. Rina bahkan tak menatap ke arahnya saat bicara, jadi sudah sangat jelas wanita itu merendahkannya."Bukan, Ra. Pasti ada sesuatu yang terjadi hari ini sampai mama bersikap seperti itu, aku akan bertanya ke beliau nanti. Aku mohon kamu jangan berpikir yang tidak-tidak dulu ya," bujuk Hanung.Namun, Dira terlanjur sakit hati. Gadis itu hanya diam sepanjang perjalanan sang pacar mengantarnya kembali. Ia bahkan tanpa pamit kelu
“Kenapa lama?”“Aku makan banyak, anakmu kelaparan,” jawab Ayuda dengan tawa lebar. Ia dekati Jiwa dan menyambut uluran tangan pria itu.“Aku pikir kamu akan pergi.”“Pergi ke mana? aku berjanji akan menjagamu sampai sembuh.”Ayuda duduk di tepian ranjang, menyelami wajah Jiwa dalam-dalam dan mencoba untuk memasukkannya ke amigdala otaknya agar nanti saat dia pergi, masih bisa mengingat wajah pria itu.Jiwa mengangguk menerima alasan sang istri, hingga tiba-tiba menunjuk nakas dengan dagu.Awalnya Ayuda tak mengerti, hingga menoleh melihat nampan berisi makanan masih belum tersentuh sama sekali.“Aku pikir kamu sudah makan, bukannya mamamu tadi ke sini?” tanya Ayuda seolah tidak peka. Ia berdiri dan membuka plastik pembungkus jatah makan itu dan melihat ternyata suaminya hanya baru boleh menyantap bubur.“Sudah dingin, apa kamu masih mau memakannya? Atau aku pesankan makanan dari luar yang sejenis?” tanya Ayuda sambil membaui bubur itu, dia bahkan mengambil sedikit dengan ujung sendok
“Ibu tadi kenapa masuk lagi? kebelet pipis ya?”Tiara yang membonceng bik Nini nampak tertawa, dia menggoda ibu yang sejak bayi merawatnya. Sementara itu, bik Nini hanya tertawa kecil dan meminta putrinya itu untuk memerhatikan jalan.Bik Nini pun akhirnya teringat akan masa lalu yang tidak seharusnya dia pikirkan sekarang, karena semua itu tidak akan merubah keadaan dan hubungannya dengan Tiara.***Tujuh belas tahun lalu, saat Bik Nini sedang memasak. Linda masuk ke dapur untuk melihat apa yang sedang dia kerjakan. Penampilan ibunda Jiwa dan Raga itu sedikit berbeda. Awalnya Bik Nini berpikir mungkin ini hanya perasaannya saja, tetapi semakin ke sini semakin terlihat jika perut Linda sedikit membesar dan tubuhnya sedikit berisi.Bik Nini tak peduli, tapi dia sempat mendengar Linda berbicara ditelepon. Orang yang berbicara dengan Linda itu sepertinya juga menanyakan pasal bentuk tubuh Linda yang berubah, hingga dijawab dengan enteng oleh majikannya itu jika dia memang sedikit lebih g