Entah ide dari mana yang membuat Dian berpikir melenceng. Jelas saja untuk menjadi prebinor bukanlah ide baik, terlebih lagi cinta bukan untuk keegoisan diri. Bahkan pria itu, tidak tahu apapun tentang pria yang kini menjadi suami sah Naya. Sesi makan siang berlangsung dengan baik tanpa ada ketegangan, sedangkan di sisi lain. Naya yang baru saja masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak setelah melakukan tugas seorang perawat, wanita itu tampak bergegas masuk ke kamar mandi. Seperti hari kemarin, dia membersihkan diri sebelum melaksanakan ibadah. Namun, Naya tidak melihat keberadaan King dimana sang suami tengah berada di balkon. Setelah kembali ke rumah Matthew, King memilih berdiam diri di dalam kamar meski kedua tangan tak diam berselancar di atas keyboard. Pekerjaan bisa dilakukan dimana saja dan itu mempermudah seorang pemimpin untuk tetap mengendalikan arus di perusahaan sendiri. "Akhirnya selesai juga," King meregangkan kedua tangan. Sesaat mengedarkan pan
Kepanikan nyonya Aya dibiarkan saja, apalagi King masih mengabaikan mama tirinya. Hingga ia merasa bosan dengan bujukan yang terkesan berlebihan. Jujur saja, perhatian atau kepedulian yang ditujukan untuknya pasti memiliki motif terselubung dan ia tak mengharapkan kasih sayang ketika hanya sebuah kepalsuan. Alih-alih menenangkan wanita yang hampir merasakan ketegangan setengah mati. King justru melewati nyonya Aya tanpa sepatah kata setelah turun dari pagar balkon. Pria itu benar-benar tidak peduli dengan mama tirinya meski jelas menunjukkan ketakutan akan kehilangan dirinya.Langkah kaki berjalan menjauhkan diri, tapi baru beberapa langkah sudah ada yang mencengkram tangan kanan. "Jangan sentuh aku!" King menepis tangan halus yang berusaha menahan kepergiannya. "King, apa kamu tidak peduli dengan mama?" tatapan mata Nyonya Aya terlihat begitu sedih ketika ia sama sekali tak bisa merebut hati sang putra meski sudah berusaha begitu keras. Peduli?" King tertawa, lebih tepatnya mene
Kotak merah seukuran tempat penyimpanan cincin yang tergeletak di dekat botol wine masih diabaikan tuan Matthew hingga pria itu tak lagi mendengar suara derap langkah kaki King. Itu berarti sang putra asing telah meninggalkan ruangan tanpa ingin menetap di ruang yang sama dengannya. Tidak ada keanehan akan perilaku dari anak buangan."Apa maksudnya dengan mengembalikan hadiah?" gumam Tuan Matthew seraya memikirkan arti di balik pernyataan sang putra asing. Lalu, ia ambil kotak merah meski hanya untuk menimbang beratnya saja.Namun, menurut penilaiannya isi di dalam kotak bukanlah sesuatu yang berharga. Oleh karena itu, ia tidak terlalu penasaran tapi tetap membuka kotak hanya untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang menyapa benak pikiran. Aroma hangus seperti kertas terbakar menyeruak mengusik indra penciumannya begitu kotak mulai terbuka."Abu?" Tuan Matthew mengernyit tak paham akan hadiah dari King. Sejenak ia merenung mencoba menerka akar dari pokok permasalahannya kali
Meski pertanyaan sederhana tapi bagi King cukup mengusik karena pria itu tidak ingin diganggu. Apapun yang terjadi padanya bukan urusan Naya. Sebab itu, ia hanya menginginkan waktu sendiri tanpa ada gangguan. Akan tetapi, si wanita mengharapkan sebaliknya. "King, aku buatin kamu bubur, ya." kata Naya. Lalu, ia beranjak dari tempatnya setelah puas dengan pengabaian sang suami. Suara derap langkah kaki yang terdengar menjauh, dibiarkan hingga ia mendengar derit pintu terbuka, kemudian tertutup kembali. Keheningan yang menyapa mengalihkan perhatian seraya mengubah posisi tidurnya dimana kini tatapan mata menatap langit-langit kamar. Warna abu-abu dengan garis putih membentuk pola bunga dandelion. "Apa yang terjadi padaku barusan?" gumam King sembari mengelap sisa peluh di kening. Begitu menyadari pakaiannya basah, ia mengerti jika kekhawatiran Naya karena kondisinya juga. Sejak kecil tak sekalipun merasakan yang namanya kepedulian apalagi kasih sayang. Saat ini pun, meski telah dewasa
Sikap Naya yang terbawa perasaan membuat King tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi ia sendiri benar-benar tak memiliki rasa terhadap wanita yang kini berada di dalam pelukannya. Di sisi lain, saat ini kondisinya hanya mengenakan handuk dimana menutupi bagian bawah saja. Situasi mendadak canggung, terlebih lagi perlakuan Naya yang seperti enggan melepaskannya kian menambah rasa kesal didalam hati. Tak ingin membiarkan keadaannya lebih membeku, ia lepaskan kedua tangan Naya dari perutnya. Kemudian berjalan melewati si wanita tanpa menjelaskan apa-apa. "King, aku ... " entah apa yang dikatakan Naya. King mengabaikan dan tidak menggubris perkataan istrinya. Pria itu menyibukkan diri di depan lemari bahkan sampai selesai mengenakan pakaian ganti. Dia tak sekalipun berbalik memperhatikan kepedulian Naya. Sungguh bagi King, setiap kata yang keluar dari bibir istrinya hanya omong kosong belaka. Tangan kanan terangkat bersamaan suara helaan napas nan panjang. "Diamlah! Apa kau tidak lel
"Katakan dulu, apa yang bisa ku lakukan untukmu kali ini, sayang!" Aya melepaskan tangan sang suami, lalu beranjak dari tempatnya. Wanita itu berjalan menghampiri meja dimana terdapat beberapa kaleng minuman sehat yang biasa ia sajikan kepada suaminya saat bangun pagi. Tuan Matthew sendiri membiarkan Aya menjauh darinya. Di dalam hati, ia selalu percaya pada wanita yang kini telah menjadi pasangannya. Selain itu, Aya adalah rumah dimana ia bisa kembali setelah rasa lelah menjalani rutinitas harian di luar sana. "Sebenarnya, aku berniat membawa Davin ke luar negeri buat perawatan lanjutan. Jika kesembuhan di sana lebih menjamin. Kenapa tidak melakukan yang terbaik untuk anak kita? Hanya saja sampai keadaan Davin stabil tetap harus di bawah perawatan Naya. Apa kamu bisa meyakinkan gadis itu?" jelas tuah Matthew yang sesaat terdiam mencoba memberi waktu agar Aya mencerna maksud dari pernyataannya. Keputusannya tak lepas dari tindakan King semalam. Ia tahu, jika kesempatan harus dicipt
Kebersamaan suami istri di pagi hari masih dilanjutkan meski hanya duduk dan saling berpelukan. Tuan Matthew meminta istrinya untuk menemaninya sampai ia merasa lelah dan bisa kembali beristirahat. Rasa kantuk nyatanya tak kunjung datang meski semalaman ia begadang. Sementara Naya, gadis itu terlihat tengah membereskan kamar pasiennya. Pekerjaan yang mulai terbiasa dilakukannya membuat ia tak sibuk memikirkan hal-hal di luar batas kesabaran. Apalagi setelah mendapat perlakuan yang cukup menyita perasaan akibat peduli pada pasangan sendiri. "Non, boleh bibi masuk?" seorang pelayan yang datang tanpa mengetuk pintu tetapi tetap meminta persetujuan Naya sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. "Masuk saja, Bi." sahut Naya tanpa menoleh ke belakang karena suara terdengar familiar. Selain itu, ia sendiri juga sengaja membiarkan pintu tetap terbuka agar udara di dalam kamar berganti. Bibi melangkahkan kaki tetapi suara langkahnya terdengar begitu pelan. Sampai akhirnya meletakkan
Kegiatannya akan selalu sama setiap kali duduk di kursi kebesaran yang mana menyelesaikan pekerjaan tanpa keluar dari ruang kerja. Alih-alih mencari jawaban atas pertanyaan yang datang menyapa benak kepala. Jemari kembali berselancar dengan pandangan mata fokus membaca satu per satu pesan di e-mail perusahaan. Kesibukan nya sampai melupakan waktu hingga tanpa sadar hari sudah petang. Bahkan dentingan jarum jam yang menjadi teman kesunyian tak ia hiraukan. Akan tetapi di saat seseorang mengetuk pintu dan masuk tanpa dipersilahkan sesaat mengalihkan perhatiannya ke arah depan. "Sore menjelang malam, Bos. Aku kesini cuma mau anter laporan," Langkah kaki berjalan menghampiri meja kaca, tetapi melihat penuhnya meja dengan berbagai barang. Ia tak tahu harus meletakkan berkas dimana, "Tuanku, tidak bisakah Anda rapi sedikit saja.""Hmm. Beresin aja kalau kamu memang gak tahan," timpal sang atasan tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. Pekerjaan memang selalu ada dan ia sengaja membere
Di tengah kekaguman akan ciptaan Sang Penguasa Alam tiba-tiba dikejutkan suara keras ketukan pintu kasar. Entah yang mengetuk pintu tak memiliki sopan santun atau memang sedang terburu-buru. Apapun alasannya, satu hal pasti sudah membangkitkan rasa kesal dari dalam hati. "Ck! Ganggu orang seneng aja," gerutunya tetapi tetap melangkah mendekati papan kayu yang setinggi hampir dua meter. Lalu, ia putar knop meski rasa malas menyapa, "Elo, gak bisa sabar dikit gitu jadi human?""Halah, rumah sendiri ini, suka-suka aku donk." timpal si pendatang seraya melemparkan sebuah dokumen bersampul transparan ke penghuni kamar yang berdiri menghalangi pintu. Bukannya tidak paham, apalagi tak mengerti akan situasi apalagi waktu. Baginya pekerjaan lebih penting daripada harus memeluk sikap kalem. Sebab tidak hari tanpa tekanan sang majikan dan seluruh penghuni tempat mereka berpijak tentu sangat hapal peraturan di luar kepala masing-masing. Lalu, untuk apa dia merasa sungkan? "Gue gak peduli. Poko
Penantian yang dinantikan nyatanya hanya memakan waktu kurang dari sepuluh menit hingga seorang pria dengan perut nan buncit datang menghampiri. Nama pria itu ialah Pak Didit yang memiliki peran penting karena bertanggung jawab atas setiap bangunan sebelum pindah ke tangan pemilik sah. Menurut informasi, pria satu itu juga tinggal tak jauh dari perumahan elit tetapi tidak menjadi salah satu pemilik unit sebab perusahaan telah menyediakan rumah berbeda. "Selamat malam, Tuan. Maaf udah buat Anda nungguin saya lama. Mari saya antar ke kediaman Anda sembari membicarakan prosedur terakhirnya!" Pak Didit tanpa basa-basi langsung mengajak King untuk meninggalkan parkiran. Meski mereka berdua terpisah di kendaraan berbeda sepanjang perjalanan menuju kediaman sang pemilik properti. Bangunan berlantai tiga dengan desain modern dimana dari luar tampak deretan dinding kaca tertutup tirai. Akan tetapi dengan pagar setinggi satu meter lebih membuat pandangan dari luar tidak bisa melihat secara me
Namun, apa gunanya mengkhawatirkan seseorang yang selalu siap menjalani lika-liku kehidupan. Bukan karena tuannya itu memiliki kekuasaan tetapi ia percaya akan setiap langkah sang atasan selalu berdasarkan perhitungan. Selain itu, tanggung jawab yang harus ia penuhi adalah memastikan keamanan dari pasien. Tentu saja tidak ada tempat untuk dirinya bersantai. Oleh karena itu, kaki melangkah kembali masuk ke dalam rumah sakit tapi bukan ke ruang ICU melainkan ke salah satu lorong dimana ruangan dokter yang menangani Mrs. varsha berada. Ia harus memastikan pengaturan yang diinginkan atasannya terpenuhi tanpa mengalami masalah apapun. Sementara di sisi lain, King sendiri fokus menyetir dimana perjalanan malam akan sangat membosankan karena tak ada teman sepermainan. Bagaimana kesunyian begitu enggan meninggalkan kesendirian di tengah hiruk pikuk kendaraan yang juga berlalu lalang di luar sana. Sesaat fokus teralihkan pada kerlap-kerlip lampu jalan yang menjadi bintang jalanan. "Kenapa o
Kekacauan di jalan raya itu tak bisa dihindari bahkan kemacetan pun kian menjadi. Akan tetapi tidak menghalangi laju kendaraan beberapa ambulans yang meninggalkan lokasi kejadian kecelakaan. Suara sirine terdengar mengaung membelah jalanan yang mana membuat orang-orang pemilik kendaraan lain membiarkan tanpa mengeluh sebab mereka tahu nyawa di dalam kendaraan milik rumah sakit sedang dipertaruhkan. Begitu juga dengan para perawat yang sudah berusaha sekuat tenaga untuk memberikan pertolongan pertama pada pasien. Hingga pada akhirnya mereka hanya bisa menunggu sampai di rumah sakit untuk melanjutkan pengobatan dari pasien yang mengalami kecelakaan. Jarak yang ditempuh memerlukan waktu kurang dari tiga puluh menit dan itu pun tanpa halangan selain berpacu pada waktu. Pihak rumah sakit langsung menyambut para pasien begitu mobil ambulans berhenti di lobi. Kemudian mengeluarkan satu per satu brankar diterima oleh beberapa dokter berbeda. Penanganan telah berpindah tangan tetapi peng
Aya tersenyum meski rasa di dalam dada terasa panas membara. Entah kenapa ia tiba-tiba memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya. Mungkin karena beberapa hari terakhir lebih banyak memiliki waktu senggang atau sebatas terlalu memikirkan banyak hal secara bersamaan. Apapun alasannya, ia merasa kehilangan semangat. "Gak kok, Suamiku. Yuk, kita ke bawah buat sarapan." ajak Aya dengan manja dimana ia menggandeng tangan kanan suaminya. Langkah kaki berjalan bersama menyusuri lantai marmer menuju anak tangga yang ada di depan sana. Terkadang sikap menghadirkan kebenaran tanpa kata-kata. Bahkan tidak setiap pernyataan bisa menjadi fakta yang sebenarnya. Begitu juga dengan perasaan dimana selalu terpancar dari tatapan mata. Bagi mereka yang peka, maka perubahan sekecil apapun bisa terasa. Namun, seringkali manusia melupakan hal paling sederhana yaitu berusaha terbuka pada pasangan sendiri. Raga pemilik jiwa bukan seorang peramal, sebab itu agar pasangannya memahami isi hati dan pikiran, ten
Setelah kepergian sang istri, akhirnya King beranjak dari tempat tidur. Pria itu tidak ingin membuat Naya terbawa perasaan hanya karena keberadaannya. Terlebih lagi hubungan mereka hanya sebatas di atas kertas. Sejak awal adalah orang asing, maka sampai kapanpun akan tetap asing. Begitulah pikirnya yang mana sesuai dengan fakta tanpa melupakan kebenaran. Ia pun tidak berniat untuk mengingkari janji yang telah ia buat secara sadar walau demi kepentingan diri sendiri. Jika belenggu emosi bisa ia hindari, lalu apa gunanya untuk menghadirkan kesempatan mengenal satu sama lain? Langkah kaki menyusuri anak tangga dengan santainya dan tatapan mata fokus ke depan tidak teralihkan oleh hal lain. Sejujurnya, dia enggan untuk tetap tinggal di rumah Matthew. Akan tetapi mengingat situasi lebih baik menjaga jarak untuk memastikan tidak ada kecurangan. Apalagi tindakan di luar batas yang hanya untuk mengancamnya. "Selamat pagi, Tuan Muda. Mau bibi buatin teh atau kopi?" Seorang pelayan langsung
Jarak kian tersingkirkan tetapi nyatanya masih tidak bisa mendengar dengan jelas. Racauan yang keluar dari bibir begitu samar tetapi keringat dingin malah membanjiri wajah Naya. Apakah wanita itu mengalami mimpi buruk? Tangan dengan tenang menyambar tisu dari atas nakas, lalu ia mengelap keringat hingga tanpa sadar memperhatikan wajah Naya lebih seksama. Meski tanpa polesan make up nyatanya wanita yang memejamkan mata tetap memancarkan kecantikan alami. Hanya saja bibir begitu pucat seolah-olah tidak ada darah yang mengalir. Waktu menunjukkan pukul sebelas lebih dua puluh menit. Baginya masih terlalu awal untuk menjemput mimpi, tapi ketika mendapati keadaan Naya yang tak baik membuat hati tergerak untuk memastikan situasi masih terkendali. Sayangnya semakin mencoba memahami keadaan, ia merasa istrinya terjebak di alam bawah sadar. "Hei, bangun!" ucapnya seraya menggoyangkan lengan kanan Naya. Menurutnya tidak ada cara lain untuk menghilangkan rasa cemas di saat raga dalam keadaan
Kegiatannya akan selalu sama setiap kali duduk di kursi kebesaran yang mana menyelesaikan pekerjaan tanpa keluar dari ruang kerja. Alih-alih mencari jawaban atas pertanyaan yang datang menyapa benak kepala. Jemari kembali berselancar dengan pandangan mata fokus membaca satu per satu pesan di e-mail perusahaan. Kesibukan nya sampai melupakan waktu hingga tanpa sadar hari sudah petang. Bahkan dentingan jarum jam yang menjadi teman kesunyian tak ia hiraukan. Akan tetapi di saat seseorang mengetuk pintu dan masuk tanpa dipersilahkan sesaat mengalihkan perhatiannya ke arah depan. "Sore menjelang malam, Bos. Aku kesini cuma mau anter laporan," Langkah kaki berjalan menghampiri meja kaca, tetapi melihat penuhnya meja dengan berbagai barang. Ia tak tahu harus meletakkan berkas dimana, "Tuanku, tidak bisakah Anda rapi sedikit saja.""Hmm. Beresin aja kalau kamu memang gak tahan," timpal sang atasan tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. Pekerjaan memang selalu ada dan ia sengaja membere
Kebersamaan suami istri di pagi hari masih dilanjutkan meski hanya duduk dan saling berpelukan. Tuan Matthew meminta istrinya untuk menemaninya sampai ia merasa lelah dan bisa kembali beristirahat. Rasa kantuk nyatanya tak kunjung datang meski semalaman ia begadang. Sementara Naya, gadis itu terlihat tengah membereskan kamar pasiennya. Pekerjaan yang mulai terbiasa dilakukannya membuat ia tak sibuk memikirkan hal-hal di luar batas kesabaran. Apalagi setelah mendapat perlakuan yang cukup menyita perasaan akibat peduli pada pasangan sendiri. "Non, boleh bibi masuk?" seorang pelayan yang datang tanpa mengetuk pintu tetapi tetap meminta persetujuan Naya sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. "Masuk saja, Bi." sahut Naya tanpa menoleh ke belakang karena suara terdengar familiar. Selain itu, ia sendiri juga sengaja membiarkan pintu tetap terbuka agar udara di dalam kamar berganti. Bibi melangkahkan kaki tetapi suara langkahnya terdengar begitu pelan. Sampai akhirnya meletakkan