Entah penebusan seperti apa yang dimaksud oleh King. Pria itu mungkin saja berniat menyelamatkan pernikahannya, tapi pemikiran yang terlalu sederhana tentu tidak akan menjadi milik seorang pria pemegang janji. Saat ini, apa yang ia lakukan hanya berdasarkan kesepakatan sebagai jembatan pembebasan masa depan.Lalu, bagaimana dengan Naya sendiri? Wanita itu tak lebih dari bagian pertukaran yang seimbang, meski dengan merenggut masa depan milik orang asing. King tidak bisa mundur, belum lagi masalah akan terus berdatangan selama ikatan darah menjadi perhitungan antara ia dan tuan Matthew.Di sisi lain, seorang pria yang masih dalam keadaan tidak baik justru memaksakan diri berkunjung ke rumah dimana ia mengalami kemunduran dalam hidup dan kehilangan kekasih hati. Pahit, satu kata itu sangat tepat mewakili pengalaman hidupnya."Dian, kamu ngapain di luar, nak? Ayo, masuk!" ajak seorang wanita yang tak lain adalah bunda dari Naya."Assalamualaikum, Bunda. Maaf, Dian kesini tanpa ngasih ka
Entah ide dari mana yang membuat Dian berpikir melenceng. Jelas saja untuk menjadi prebinor bukanlah ide baik, terlebih lagi cinta bukan untuk keegoisan diri. Bahkan pria itu, tidak tahu apapun tentang pria yang kini menjadi suami sah Naya. Sesi makan siang berlangsung dengan baik tanpa ada ketegangan, sedangkan di sisi lain. Naya yang baru saja masuk ke dalam kamar untuk beristirahat sejenak setelah melakukan tugas seorang perawat, wanita itu tampak bergegas masuk ke kamar mandi. Seperti hari kemarin, dia membersihkan diri sebelum melaksanakan ibadah. Namun, Naya tidak melihat keberadaan King dimana sang suami tengah berada di balkon. Setelah kembali ke rumah Matthew, King memilih berdiam diri di dalam kamar meski kedua tangan tak diam berselancar di atas keyboard. Pekerjaan bisa dilakukan dimana saja dan itu mempermudah seorang pemimpin untuk tetap mengendalikan arus di perusahaan sendiri. "Akhirnya selesai juga," King meregangkan kedua tangan. Sesaat mengedarkan pan
Kepanikan nyonya Aya dibiarkan saja, apalagi King masih mengabaikan mama tirinya. Hingga ia merasa bosan dengan bujukan yang terkesan berlebihan. Jujur saja, perhatian atau kepedulian yang ditujukan untuknya pasti memiliki motif terselubung dan ia tak mengharapkan kasih sayang ketika hanya sebuah kepalsuan. Alih-alih menenangkan wanita yang hampir merasakan ketegangan setengah mati. King justru melewati nyonya Aya tanpa sepatah kata setelah turun dari pagar balkon. Pria itu benar-benar tidak peduli dengan mama tirinya meski jelas menunjukkan ketakutan akan kehilangan dirinya.Langkah kaki berjalan menjauhkan diri, tapi baru beberapa langkah sudah ada yang mencengkram tangan kanan. "Jangan sentuh aku!" King menepis tangan halus yang berusaha menahan kepergiannya. "King, apa kamu tidak peduli dengan mama?" tatapan mata Nyonya Aya terlihat begitu sedih ketika ia sama sekali tak bisa merebut hati sang putra meski sudah berusaha begitu keras. Peduli?" King tertawa, lebih tepatnya mene
Kotak merah seukuran tempat penyimpanan cincin yang tergeletak di dekat botol wine masih diabaikan tuan Matthew hingga pria itu tak lagi mendengar suara derap langkah kaki King. Itu berarti sang putra asing telah meninggalkan ruangan tanpa ingin menetap di ruang yang sama dengannya. Tidak ada keanehan akan perilaku dari anak buangan."Apa maksudnya dengan mengembalikan hadiah?" gumam Tuan Matthew seraya memikirkan arti di balik pernyataan sang putra asing. Lalu, ia ambil kotak merah meski hanya untuk menimbang beratnya saja.Namun, menurut penilaiannya isi di dalam kotak bukanlah sesuatu yang berharga. Oleh karena itu, ia tidak terlalu penasaran tapi tetap membuka kotak hanya untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang menyapa benak pikiran. Aroma hangus seperti kertas terbakar menyeruak mengusik indra penciumannya begitu kotak mulai terbuka."Abu?" Tuan Matthew mengernyit tak paham akan hadiah dari King. Sejenak ia merenung mencoba menerka akar dari pokok permasalahannya kali
Meski pertanyaan sederhana tapi bagi King cukup mengusik karena pria itu tidak ingin diganggu. Apapun yang terjadi padanya bukan urusan Naya. Sebab itu, ia hanya menginginkan waktu sendiri tanpa ada gangguan. Akan tetapi, si wanita mengharapkan sebaliknya. "King, aku buatin kamu bubur, ya." kata Naya. Lalu, ia beranjak dari tempatnya setelah puas dengan pengabaian sang suami. Suara derap langkah kaki yang terdengar menjauh, dibiarkan hingga ia mendengar derit pintu terbuka, kemudian tertutup kembali. Keheningan yang menyapa mengalihkan perhatian seraya mengubah posisi tidurnya dimana kini tatapan mata menatap langit-langit kamar. Warna abu-abu dengan garis putih membentuk pola bunga dandelion. "Apa yang terjadi padaku barusan?" gumam King sembari mengelap sisa peluh di kening. Begitu menyadari pakaiannya basah, ia mengerti jika kekhawatiran Naya karena kondisinya juga. Sejak kecil tak sekalipun merasakan yang namanya kepedulian apalagi kasih sayang. Saat ini pun, meski telah dewasa
Sikap Naya yang terbawa perasaan membuat King tidak bisa berbuat apa-apa. Akan tetapi ia sendiri benar-benar tak memiliki rasa terhadap wanita yang kini berada di dalam pelukannya. Di sisi lain, saat ini kondisinya hanya mengenakan handuk dimana menutupi bagian bawah saja. Situasi mendadak canggung, terlebih lagi perlakuan Naya yang seperti enggan melepaskannya kian menambah rasa kesal didalam hati. Tak ingin membiarkan keadaannya lebih membeku, ia lepaskan kedua tangan Naya dari perutnya. Kemudian berjalan melewati si wanita tanpa menjelaskan apa-apa. "King, aku ... " entah apa yang dikatakan Naya. King mengabaikan dan tidak menggubris perkataan istrinya. Pria itu menyibukkan diri di depan lemari bahkan sampai selesai mengenakan pakaian ganti. Dia tak sekalipun berbalik memperhatikan kepedulian Naya. Sungguh bagi King, setiap kata yang keluar dari bibir istrinya hanya omong kosong belaka. Tangan kanan terangkat bersamaan suara helaan napas nan panjang. "Diamlah! Apa kau tidak lel
"Katakan dulu, apa yang bisa ku lakukan untukmu kali ini, sayang!" Aya melepaskan tangan sang suami, lalu beranjak dari tempatnya. Wanita itu berjalan menghampiri meja dimana terdapat beberapa kaleng minuman sehat yang biasa ia sajikan kepada suaminya saat bangun pagi. Tuan Matthew sendiri membiarkan Aya menjauh darinya. Di dalam hati, ia selalu percaya pada wanita yang kini telah menjadi pasangannya. Selain itu, Aya adalah rumah dimana ia bisa kembali setelah rasa lelah menjalani rutinitas harian di luar sana. "Sebenarnya, aku berniat membawa Davin ke luar negeri buat perawatan lanjutan. Jika kesembuhan di sana lebih menjamin. Kenapa tidak melakukan yang terbaik untuk anak kita? Hanya saja sampai keadaan Davin stabil tetap harus di bawah perawatan Naya. Apa kamu bisa meyakinkan gadis itu?" jelas tuah Matthew yang sesaat terdiam mencoba memberi waktu agar Aya mencerna maksud dari pernyataannya. Keputusannya tak lepas dari tindakan King semalam. Ia tahu, jika kesempatan harus dicipt
Kebersamaan suami istri di pagi hari masih dilanjutkan meski hanya duduk dan saling berpelukan. Tuan Matthew meminta istrinya untuk menemaninya sampai ia merasa lelah dan bisa kembali beristirahat. Rasa kantuk nyatanya tak kunjung datang meski semalaman ia begadang. Sementara Naya, gadis itu terlihat tengah membereskan kamar pasiennya. Pekerjaan yang mulai terbiasa dilakukannya membuat ia tak sibuk memikirkan hal-hal di luar batas kesabaran. Apalagi setelah mendapat perlakuan yang cukup menyita perasaan akibat peduli pada pasangan sendiri. "Non, boleh bibi masuk?" seorang pelayan yang datang tanpa mengetuk pintu tetapi tetap meminta persetujuan Naya sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam kamar. "Masuk saja, Bi." sahut Naya tanpa menoleh ke belakang karena suara terdengar familiar. Selain itu, ia sendiri juga sengaja membiarkan pintu tetap terbuka agar udara di dalam kamar berganti. Bibi melangkahkan kaki tetapi suara langkahnya terdengar begitu pelan. Sampai akhirnya meletakkan