Istri Lusuh 98"Kamu suka yah sama CEO muda itu? Siapa namanya? Arga?" Tanya Kevin. Yang ditanya tidak menanggapi sama sekali. Cita hanya menatap chatnya dengan Arga. Tanpa dia sadari, bibirnya menyungging senyum tipis. Kevin nampak kesal, karena pertanyaannya tidak ditanggapi oleh Cita."Cita. Kamu denger gak, aku ngomong apa?" Sentak Kevin. Cita menatap Kevin dengan bingung."Apa?""Ngapain senyum-senyum sendiri kek gitu? Kamu lagi chat sama siapa?" Kesal Kevin. Tangannya menyambar ponsel di tangan Cita, dengan kasar.Seketika, Cita terkejut mendapatkan perlakuan Kevin yang tidak terduga. Kevin tidak pernah sekasar ini padanya. Dengan sigap, Cita kembali merebut ponselnya dari tangan Kevin. "Kita memang berteman sejak kecil Kev. Tapi, semua itu bukanlah sebuah alasan supaya kamu bisa melakukan apapun sama aku, tanpa memikirkan batasan." Tegas Cita. Gadis itu meraih plastik kresek di sampingnya, lalu berjalan meninggalkan Kevin dengan wajah merah menahan marah. Kevin yang terl
Anaya menatap deretan angka di laptop Acha. Dan mendapati beberapa kejanggalan pengeluaran yang berlebihan. Pak Guruh yang menangani proyek ini, setelah Arga ke pulau seberang. Apakah dia tidak memeriksanya? Tidak mungkin ada kesalahan, karena Pak Guruh ahli keuangan. Tatapan gusar dan tidak sabar, dari kedua netra Anaya, menandakan wanita ini sedang gelisah. Sepuluh milyar memang angka sedikit untuk harga saham. Tapi, itu uang yang cukup banyak untuk pengembangan proyek."Pelajari dulu, Nak. Nanti kalo Acha udah nemu salahnya dimana, kasih tau Bunda, biar Bunda panggil Pak Guruh," Ujar Anaya. Acha mengangguk mantap. Lalu kembali fokus dengan laptopnya. Guruh sudah lama ikut Anaya. Dia adalah pria bertanggung jawab dan jujur. Itu sebabnya, Anaya mempercayakan posisi Manager keuangan, dipegang olehnya. Selama bertahun-tahun kerja, tidak pernah sekalipun, Anaya mendapati kesalahan seperti ini dalam proyek atau apapun urusan perusahaan yang ditangani Guruh. Karena itu, Anaya tidak
Surya berjalan gontai masuk ke dalam rumah. Masuk ke kamarnya, lalu berbaring terlentang, sambil meletakkan tangan menutupi mata. Saat itu juga kepalanya kembali berdenyut nyeri. Dan nyeri itu begitu menyiksanya.Jika sudah begini, Surya hanya ingin sendiri. Menggigit sesuatu, saat nyeri menyerang, supaya tidak ada suara erangan yang terdengar, keluar dari kamarnya. Sari dan Mira tidak boleh tau, jika hampir setiap hari, Surya menahan sakit kepala yang belakangan semakin intens dia rasakan. Kepala sakit itu juga disertai mual yang semakin sering dia terjadi. Lalu, pendengaran dan penglihatannya yang terganggu.Dokter menyarankan Surya untuk mengobati kangkernya di Kuala Lumpur, Malaysia. Ada rumah sakit di sana yang bisa mengobati kangker otak, tanpa operasi terbuka. Kangker otak yang diidap oleh Surya masih stadium dua, masih punya banyak kesempatan untuk sembuh dan hidup lebih lama. Surya akan memikirkannya lagi. Segala persiapannya sudah bisa dia mulai minggu depan. Persiapan
"Pesanan Tuan segini kan?" Tanya Cita memastikan. Di kantin tempat biasa mereka bertemu, untuk mengambil pesanan rendang Arga, Cita dan Titi, duduk berhadapan. Di atas meja kantin yang panjang, berderet-deret kemasan rendang yang telah di packing. Kali ini, Arga memesan dalam jumlah yang lumayan banyak. Pun ada bonusan dari Nilam.Itu karena, Arga akan pergi selama dua minggu. Itulah yang membuat Cita jadi tidak seceria hari-hari yang lalu. Entah mengapa. Cita sendiri, tidak mengerti. "Iya. Manisannya udah di bungkus juga kan?" Arga, menghitung kemasan manisan buah kering, pesanannya."Sudah Tuan. Kalau begitu, kami permisi yah. Masih banyak pesanan yang belum dianter," pamit Cita. Gadis itu dengan lincah merapikan kemasan dalam paper bag besar, di atas motornya. Arga memperhatikan setiap gerakan Cita. Mengamati gadis itu melakukan apapun. Dia tidak melepaskan pandangan dari gadis itu. Cita seperti magnet yang terus menerus menarik Arga untuk mendekat. Dan membuat gerakan hati Ar
Acha memberikan laptopnya pada Anaya. Dengan teliti Anaya memperhatikan bagan angka yang berderet-deret. Sambil sesekali mencocokan dengan bagan angka di ipad miliknya. Setelah memperhatikan dengan seksama, dan sekali lagi memastikan, Anaya menarik nafas dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kecolongan sebesar ini, mengapa tidak diperhatikan oleh Guruh? Dia mengulurkan tangan, menekan tombol di telepon. Lalu bicara. "Tolong panggilkan, Pak Guruh ke ruangan saya. Sekarang." Ucap Anaya. Lima menit menunggu, Pak Guruh masuk ke ruangan Abaya dengan langkah tegap. Keningnya mengeryit. Ada Acha, dan teman-temannya? Ada apa?"Nyonya memanggil saya?" Sambil berdiri di depan meja Anaya, Guruh menyapa, sambil membungkukkan badan, menghormati Anaya. Anaya memperhatikan Guruh sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya Pak Guruh. Saya hanya memastikan. Apa materi proposal untuk rapat nanti sore, sudah anda siapkan atau belum. Jika sudah, bawa kesini, saya ingin
"Undangannya jangan banyak-banyak, Mas. Keluarga aja," "Iya. Mas juga gak mau undang banyak orang. Nanti kamu kecapean malah,""Mas Edward sama keluarganya udah di undang kan, Mas?" "Yah ampun. Untung kamu ingetin Sayang. Belom Mas kabarin tuh anak. Apa telepon aja yah?" "Lebih baik langsung disamperin, Mas. Gak enak ah,""Ya udah. Nanti sore, sepulang dari rumah sakit, Mas mampir ke kantor Edward,"Aluna mengangguk, mengiyakan pernyataan suaminya. Calvin dan Aluna akan mengadakan acara tujuh bulanan di rumah mereka. Semua persiapan sudah Aluna serahkan kepada temannya Arumi, yang punya WO. Dia hanya terima beres saja. Rencananya satu minggu sebelum acara, mereka sudah menyebarkan undangan. Yang di undang hanya orang-orang terdekat saja. Keluarga dan teman Aluna juga Calvin. Aluna bersyukur, di usia kandungan yang sudah masuk trimester tiga ini, kesehatannya tetap terjaga. Bayi dalam kandungannya pun sehat dan lincah. Jangan ditanya bagaimana reaksi ketiga paman dan bibi si bay
"Maaf Pak. Apa ada kartu yang lain? Saldo di kartu ini hanya lima puluh ribu rupiah." tanya kasir di dealer mobil, dengan sopan. Hari itu, adalah hari jatuh tempo pembayaran alphard putih milik Wawan. Pria itu mengeryitkan dahi. Tidak ada saldo? Ah. Tidak mungkin. Itu kartu no limit. Saldonya tidak akan habis walaupun dipakai, sampai tujuh turunan sekalipun. Keuntungan perusahaan tambang batu bara milik orang tua Anita, semuanya masuk ke situ. Bagaimana bisa tidak ada saldo lagi? "Coba dicek yang bener, Mbak. Masa saldo milyaran bisa jadi lima puluh ribu dalam hitungan jam?"Kasir di dealer itu menatap malas pada Wawan. Sambil menghembuskan nafas kesal, dia mencobanya lagi. Wawan mengetikkan pin pada mesin EDC, yang disodorkan oleh petugas dealer itu. Lalu, muncul saldo lima puluh ribu di layar kecil mesin itu. Dengan segera, dia membuka tas sampingnya, lalu mengeluarkan beberapa kartu, meletakan di atas meja, dan meminta petugas itu, menggesek kartunya. Keringat sebesar biji
"Wah. Suami Mbak memang limited edition yah. Masih mau balik ke rumah buat nyariin Mbak," Oceh Mirna. "Padahal Mbak udah menangkap basah dia sama tuh cewek. Perasannya emang terbuat dari plastik sampah. Gak ada malu-malunya sama sekali," Bulan menimpali ocehan Mirna.Sedangkan Acha dan Anita, terus menatap rekaman CCTV di laptop Bulan. Acha meminta Karno dan teman-temannya, untuk menjaga rumah Anita. Benar saja tebakan Anita, Wawan pasti akan datang dengan rayuan dan gombalannya, supaya bisa mendapatkan uang Anita. Dari mana lagi dia mendapatkan modal untuk gaya selangitnya itu? Wawan dikenal sebagai sutradara tajir. Karena publik mengira, dialah yang punya segalanya, padahal ketenarannya selama ini pun, tidak luput dari campur tangan kuasa hukum keluarga Anita. Ada beberapa produser yang memakai dia, karena rekomendasi dari kuasa hukum Anita. Dia bisa hidup dengan bergelimang harta, menikmati enaknya kedudukan, dan ketenaran, tidak lain karena dukungan dari istri yang dia tipu ha