"Pesanan Tuan segini kan?" Tanya Cita memastikan. Di kantin tempat biasa mereka bertemu, untuk mengambil pesanan rendang Arga, Cita dan Titi, duduk berhadapan. Di atas meja kantin yang panjang, berderet-deret kemasan rendang yang telah di packing. Kali ini, Arga memesan dalam jumlah yang lumayan banyak. Pun ada bonusan dari Nilam.Itu karena, Arga akan pergi selama dua minggu. Itulah yang membuat Cita jadi tidak seceria hari-hari yang lalu. Entah mengapa. Cita sendiri, tidak mengerti. "Iya. Manisannya udah di bungkus juga kan?" Arga, menghitung kemasan manisan buah kering, pesanannya."Sudah Tuan. Kalau begitu, kami permisi yah. Masih banyak pesanan yang belum dianter," pamit Cita. Gadis itu dengan lincah merapikan kemasan dalam paper bag besar, di atas motornya. Arga memperhatikan setiap gerakan Cita. Mengamati gadis itu melakukan apapun. Dia tidak melepaskan pandangan dari gadis itu. Cita seperti magnet yang terus menerus menarik Arga untuk mendekat. Dan membuat gerakan hati Ar
Acha memberikan laptopnya pada Anaya. Dengan teliti Anaya memperhatikan bagan angka yang berderet-deret. Sambil sesekali mencocokan dengan bagan angka di ipad miliknya. Setelah memperhatikan dengan seksama, dan sekali lagi memastikan, Anaya menarik nafas dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kecolongan sebesar ini, mengapa tidak diperhatikan oleh Guruh? Dia mengulurkan tangan, menekan tombol di telepon. Lalu bicara. "Tolong panggilkan, Pak Guruh ke ruangan saya. Sekarang." Ucap Anaya. Lima menit menunggu, Pak Guruh masuk ke ruangan Abaya dengan langkah tegap. Keningnya mengeryit. Ada Acha, dan teman-temannya? Ada apa?"Nyonya memanggil saya?" Sambil berdiri di depan meja Anaya, Guruh menyapa, sambil membungkukkan badan, menghormati Anaya. Anaya memperhatikan Guruh sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya Pak Guruh. Saya hanya memastikan. Apa materi proposal untuk rapat nanti sore, sudah anda siapkan atau belum. Jika sudah, bawa kesini, saya ingin
"Undangannya jangan banyak-banyak, Mas. Keluarga aja," "Iya. Mas juga gak mau undang banyak orang. Nanti kamu kecapean malah,""Mas Edward sama keluarganya udah di undang kan, Mas?" "Yah ampun. Untung kamu ingetin Sayang. Belom Mas kabarin tuh anak. Apa telepon aja yah?" "Lebih baik langsung disamperin, Mas. Gak enak ah,""Ya udah. Nanti sore, sepulang dari rumah sakit, Mas mampir ke kantor Edward,"Aluna mengangguk, mengiyakan pernyataan suaminya. Calvin dan Aluna akan mengadakan acara tujuh bulanan di rumah mereka. Semua persiapan sudah Aluna serahkan kepada temannya Arumi, yang punya WO. Dia hanya terima beres saja. Rencananya satu minggu sebelum acara, mereka sudah menyebarkan undangan. Yang di undang hanya orang-orang terdekat saja. Keluarga dan teman Aluna juga Calvin. Aluna bersyukur, di usia kandungan yang sudah masuk trimester tiga ini, kesehatannya tetap terjaga. Bayi dalam kandungannya pun sehat dan lincah. Jangan ditanya bagaimana reaksi ketiga paman dan bibi si bay
"Maaf Pak. Apa ada kartu yang lain? Saldo di kartu ini hanya lima puluh ribu rupiah." tanya kasir di dealer mobil, dengan sopan. Hari itu, adalah hari jatuh tempo pembayaran alphard putih milik Wawan. Pria itu mengeryitkan dahi. Tidak ada saldo? Ah. Tidak mungkin. Itu kartu no limit. Saldonya tidak akan habis walaupun dipakai, sampai tujuh turunan sekalipun. Keuntungan perusahaan tambang batu bara milik orang tua Anita, semuanya masuk ke situ. Bagaimana bisa tidak ada saldo lagi? "Coba dicek yang bener, Mbak. Masa saldo milyaran bisa jadi lima puluh ribu dalam hitungan jam?"Kasir di dealer itu menatap malas pada Wawan. Sambil menghembuskan nafas kesal, dia mencobanya lagi. Wawan mengetikkan pin pada mesin EDC, yang disodorkan oleh petugas dealer itu. Lalu, muncul saldo lima puluh ribu di layar kecil mesin itu. Dengan segera, dia membuka tas sampingnya, lalu mengeluarkan beberapa kartu, meletakan di atas meja, dan meminta petugas itu, menggesek kartunya. Keringat sebesar biji
"Wah. Suami Mbak memang limited edition yah. Masih mau balik ke rumah buat nyariin Mbak," Oceh Mirna. "Padahal Mbak udah menangkap basah dia sama tuh cewek. Perasannya emang terbuat dari plastik sampah. Gak ada malu-malunya sama sekali," Bulan menimpali ocehan Mirna.Sedangkan Acha dan Anita, terus menatap rekaman CCTV di laptop Bulan. Acha meminta Karno dan teman-temannya, untuk menjaga rumah Anita. Benar saja tebakan Anita, Wawan pasti akan datang dengan rayuan dan gombalannya, supaya bisa mendapatkan uang Anita. Dari mana lagi dia mendapatkan modal untuk gaya selangitnya itu? Wawan dikenal sebagai sutradara tajir. Karena publik mengira, dialah yang punya segalanya, padahal ketenarannya selama ini pun, tidak luput dari campur tangan kuasa hukum keluarga Anita. Ada beberapa produser yang memakai dia, karena rekomendasi dari kuasa hukum Anita. Dia bisa hidup dengan bergelimang harta, menikmati enaknya kedudukan, dan ketenaran, tidak lain karena dukungan dari istri yang dia tipu ha
"Saya minta Maaf Nyonya. Perusahaan kecolongan karena ulah saya, yang tidak teliti. Ini karena saya terlalu senang, proyek awal bulan kita hampir rampung. Jadi, saya tidak memperhatikan email yang masuk. Saya acc saja, tanpa memeriksanya lagi. Maafkan saya, Nyonya. Saya bersedia mengembalikan uang perusahaan. Dan berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi. Tolong maafkan saya, Nyonya," Guruh memohon, dengan lesu. Matanya berkaca-kaca, kepalanya menunduk, sedangkan pandangannya hanya tertuju pada ujung sepatunya. Pria paruh baya itu, sudah tidak punya keberanian untuk mengangkat kepalanya. Hanya untuk melirik Anaya saja, dia tidak berani. "Tebakan saya memang tepat Pak Guruh. Saya sangat mengenal etos kerja anda selama bersama saya. Anda adalah karyawan panutan. Semua rahasia keuangan perusahaan ini, anda ketahui. Jika ingin mengambil, anda mungkin tidak akan menggelapkan dalam jumlah yang sedikit seperti ini," Tutur Anaya. "Sepuluh milyar adalah uang sedikit, untuk perusa
Melisa dan Talita sama-sama terpaku di tempat, saat melihat siapa yang berdiri di samping Erhan. Ekspresi Melisa datar tanpa irama. Sedangkan Talita, wanita itu terlihat gusar dan gelisah. Tentu saja. Marvel, adalah satu-satunya pria yang menjadi pemicu utama, perceraiannya dengan Surya. "Kamu apa kabar Ta?" tanya Marvel, tanpa rasa bersalah. Pria itu cengengesan di hadapan Talita.Kedua tangannya ada dalam saku celana. Gayanya dibuat semacho mungkin. Entah apa tujuannya. Dasar tua bangka mesum. "Wah. Mama kenal sama Pak Marvel? Beliau ini kolega bisnis aku, Ma. Kamu juga kenal Sayang?" tanya Erhan pada Melisa. Tangannya dengan lembut, meraih pinggang Melisa, membawa tubuh ramping Melisa ke sampingnya. Dan merangkul dengan mesra. Melisa hanya mengangguk kecil, sembari merapatkan tubuhnya pada suaminya, Melisa membuang pandangan, dari pria yang ada di hadapannya ini.Jika bukan karena kolega bisnis suaminya, Melisa pasti sudah mengusir pria itu dari hadapan mereka. Belum sempat
"Adek, hari ini jadi pulang kan? Bunda udah kangen banget ini," Ucap Anaya, sesaat setelah mendengar salam dari Arga di ujung telepon. "Jadi Bunda. Ini udah mau otw. Lagi masukin barang-barang ke mobil," Jawab Arga, sambil terus memasukan barang-barangnya ke bagasi mobil. Kapal ferry yang dia tumpangi, akan berangkat satu jam lagi. Jarak pelabuhan ferry dengan mes proyek, lumayan jauh.Karena itu, Arga memilih berangkat lebih awal. Supaya jangan terlalu lama mengantri. "Sampai jumpa yah Bunda. Aku sayang sama Bunda," Ucap Arga, dengan senyum manis menampilkan giginya yang tersusun rapi."Hati-hati, Nak. Pulangnya langsung ke sini yah. Jangan ke apartemen dulu," "Ok Bunda," Anaya menutup teleponnya, mengetik pesan pada Acha. Mengabari, jika Arga pulang hari ini. Dia tidak boleh pulang terlalu malam. Hari ini, Anaya akan memasak untuk suami dan anak-anaknya. Sebenarnya, Anaya ingin ke kantor, dan menanyakan kemajuan dari permasalahan yang sementara dia hadapi sekarang, namun wanit
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A