Acha memberikan laptopnya pada Anaya. Dengan teliti Anaya memperhatikan bagan angka yang berderet-deret. Sambil sesekali mencocokan dengan bagan angka di ipad miliknya. Setelah memperhatikan dengan seksama, dan sekali lagi memastikan, Anaya menarik nafas dalam. Lalu mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Kecolongan sebesar ini, mengapa tidak diperhatikan oleh Guruh? Dia mengulurkan tangan, menekan tombol di telepon. Lalu bicara. "Tolong panggilkan, Pak Guruh ke ruangan saya. Sekarang." Ucap Anaya. Lima menit menunggu, Pak Guruh masuk ke ruangan Abaya dengan langkah tegap. Keningnya mengeryit. Ada Acha, dan teman-temannya? Ada apa?"Nyonya memanggil saya?" Sambil berdiri di depan meja Anaya, Guruh menyapa, sambil membungkukkan badan, menghormati Anaya. Anaya memperhatikan Guruh sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya Pak Guruh. Saya hanya memastikan. Apa materi proposal untuk rapat nanti sore, sudah anda siapkan atau belum. Jika sudah, bawa kesini, saya ingin
"Undangannya jangan banyak-banyak, Mas. Keluarga aja," "Iya. Mas juga gak mau undang banyak orang. Nanti kamu kecapean malah,""Mas Edward sama keluarganya udah di undang kan, Mas?" "Yah ampun. Untung kamu ingetin Sayang. Belom Mas kabarin tuh anak. Apa telepon aja yah?" "Lebih baik langsung disamperin, Mas. Gak enak ah,""Ya udah. Nanti sore, sepulang dari rumah sakit, Mas mampir ke kantor Edward,"Aluna mengangguk, mengiyakan pernyataan suaminya. Calvin dan Aluna akan mengadakan acara tujuh bulanan di rumah mereka. Semua persiapan sudah Aluna serahkan kepada temannya Arumi, yang punya WO. Dia hanya terima beres saja. Rencananya satu minggu sebelum acara, mereka sudah menyebarkan undangan. Yang di undang hanya orang-orang terdekat saja. Keluarga dan teman Aluna juga Calvin. Aluna bersyukur, di usia kandungan yang sudah masuk trimester tiga ini, kesehatannya tetap terjaga. Bayi dalam kandungannya pun sehat dan lincah. Jangan ditanya bagaimana reaksi ketiga paman dan bibi si bay
"Maaf Pak. Apa ada kartu yang lain? Saldo di kartu ini hanya lima puluh ribu rupiah." tanya kasir di dealer mobil, dengan sopan. Hari itu, adalah hari jatuh tempo pembayaran alphard putih milik Wawan. Pria itu mengeryitkan dahi. Tidak ada saldo? Ah. Tidak mungkin. Itu kartu no limit. Saldonya tidak akan habis walaupun dipakai, sampai tujuh turunan sekalipun. Keuntungan perusahaan tambang batu bara milik orang tua Anita, semuanya masuk ke situ. Bagaimana bisa tidak ada saldo lagi? "Coba dicek yang bener, Mbak. Masa saldo milyaran bisa jadi lima puluh ribu dalam hitungan jam?"Kasir di dealer itu menatap malas pada Wawan. Sambil menghembuskan nafas kesal, dia mencobanya lagi. Wawan mengetikkan pin pada mesin EDC, yang disodorkan oleh petugas dealer itu. Lalu, muncul saldo lima puluh ribu di layar kecil mesin itu. Dengan segera, dia membuka tas sampingnya, lalu mengeluarkan beberapa kartu, meletakan di atas meja, dan meminta petugas itu, menggesek kartunya. Keringat sebesar biji
"Wah. Suami Mbak memang limited edition yah. Masih mau balik ke rumah buat nyariin Mbak," Oceh Mirna. "Padahal Mbak udah menangkap basah dia sama tuh cewek. Perasannya emang terbuat dari plastik sampah. Gak ada malu-malunya sama sekali," Bulan menimpali ocehan Mirna.Sedangkan Acha dan Anita, terus menatap rekaman CCTV di laptop Bulan. Acha meminta Karno dan teman-temannya, untuk menjaga rumah Anita. Benar saja tebakan Anita, Wawan pasti akan datang dengan rayuan dan gombalannya, supaya bisa mendapatkan uang Anita. Dari mana lagi dia mendapatkan modal untuk gaya selangitnya itu? Wawan dikenal sebagai sutradara tajir. Karena publik mengira, dialah yang punya segalanya, padahal ketenarannya selama ini pun, tidak luput dari campur tangan kuasa hukum keluarga Anita. Ada beberapa produser yang memakai dia, karena rekomendasi dari kuasa hukum Anita. Dia bisa hidup dengan bergelimang harta, menikmati enaknya kedudukan, dan ketenaran, tidak lain karena dukungan dari istri yang dia tipu ha
"Saya minta Maaf Nyonya. Perusahaan kecolongan karena ulah saya, yang tidak teliti. Ini karena saya terlalu senang, proyek awal bulan kita hampir rampung. Jadi, saya tidak memperhatikan email yang masuk. Saya acc saja, tanpa memeriksanya lagi. Maafkan saya, Nyonya. Saya bersedia mengembalikan uang perusahaan. Dan berjanji, tidak akan mengulangi kesalahan saya lagi. Tolong maafkan saya, Nyonya," Guruh memohon, dengan lesu. Matanya berkaca-kaca, kepalanya menunduk, sedangkan pandangannya hanya tertuju pada ujung sepatunya. Pria paruh baya itu, sudah tidak punya keberanian untuk mengangkat kepalanya. Hanya untuk melirik Anaya saja, dia tidak berani. "Tebakan saya memang tepat Pak Guruh. Saya sangat mengenal etos kerja anda selama bersama saya. Anda adalah karyawan panutan. Semua rahasia keuangan perusahaan ini, anda ketahui. Jika ingin mengambil, anda mungkin tidak akan menggelapkan dalam jumlah yang sedikit seperti ini," Tutur Anaya. "Sepuluh milyar adalah uang sedikit, untuk perusa
Melisa dan Talita sama-sama terpaku di tempat, saat melihat siapa yang berdiri di samping Erhan. Ekspresi Melisa datar tanpa irama. Sedangkan Talita, wanita itu terlihat gusar dan gelisah. Tentu saja. Marvel, adalah satu-satunya pria yang menjadi pemicu utama, perceraiannya dengan Surya. "Kamu apa kabar Ta?" tanya Marvel, tanpa rasa bersalah. Pria itu cengengesan di hadapan Talita.Kedua tangannya ada dalam saku celana. Gayanya dibuat semacho mungkin. Entah apa tujuannya. Dasar tua bangka mesum. "Wah. Mama kenal sama Pak Marvel? Beliau ini kolega bisnis aku, Ma. Kamu juga kenal Sayang?" tanya Erhan pada Melisa. Tangannya dengan lembut, meraih pinggang Melisa, membawa tubuh ramping Melisa ke sampingnya. Dan merangkul dengan mesra. Melisa hanya mengangguk kecil, sembari merapatkan tubuhnya pada suaminya, Melisa membuang pandangan, dari pria yang ada di hadapannya ini.Jika bukan karena kolega bisnis suaminya, Melisa pasti sudah mengusir pria itu dari hadapan mereka. Belum sempat
"Adek, hari ini jadi pulang kan? Bunda udah kangen banget ini," Ucap Anaya, sesaat setelah mendengar salam dari Arga di ujung telepon. "Jadi Bunda. Ini udah mau otw. Lagi masukin barang-barang ke mobil," Jawab Arga, sambil terus memasukan barang-barangnya ke bagasi mobil. Kapal ferry yang dia tumpangi, akan berangkat satu jam lagi. Jarak pelabuhan ferry dengan mes proyek, lumayan jauh.Karena itu, Arga memilih berangkat lebih awal. Supaya jangan terlalu lama mengantri. "Sampai jumpa yah Bunda. Aku sayang sama Bunda," Ucap Arga, dengan senyum manis menampilkan giginya yang tersusun rapi."Hati-hati, Nak. Pulangnya langsung ke sini yah. Jangan ke apartemen dulu," "Ok Bunda," Anaya menutup teleponnya, mengetik pesan pada Acha. Mengabari, jika Arga pulang hari ini. Dia tidak boleh pulang terlalu malam. Hari ini, Anaya akan memasak untuk suami dan anak-anaknya. Sebenarnya, Anaya ingin ke kantor, dan menanyakan kemajuan dari permasalahan yang sementara dia hadapi sekarang, namun wanit
Ceklek. Lampu ruang tamu yang semula padam, seketika menyala. Ruangan besar itu, terang benderang. Kinan yang berjalan berjingkrak, hendak masuk ke kamarnya, akhirnya ketahuan. Dia pun berhenti sambil menarik nafas pasrah.Guruh duduk di ruang tamu, sambil bersandar di sofa. Wajahnya kusut dan tampak sangat sedih. Guruh membesarkan Kinan, dengan segala daya yang dia punya. Dulu, dia hanya seorang pedagang yang kebetulan menjadi langganan Anaya, membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Anaya belajar banyak dari kelihaian Guruh mengatur keuangan. Sebelum istrinya meninggal, Kinan sangat disiplin dan teratur. Dia juga anak yang penyayang. Sikapnya berubah setelah mamanya meninggal. Dia jadi pendiam, dan tidak banyak bicara. Setelah Guruh menikah, sikapnya berubah lagi, dia menjadi susah diatur, kasar dan keras kepala. "Dari mana kamu?" tanya Guruh."Apa peduli Papa?" Kinan balik bertanya. Dengan berani, anak itu melipat tangan di dada, lalu membuang pandangan ke sembarang arah. Sama