Bulan madu berkesan, membawa aura cinta yang mendalam di wajah kedua anak manusia, yang baru saja menikmatinya. Aluna dan Calvin dihadiahi paket bulan madu ke Labuan Bajo, oleh Anatasya. Seminggu menikmati liburan, kini, mereka berdua, telah kembali ke rutinitas sehari-hari. Calvin dan Aluna sekarang tinggal di rumah Aluna, sementara menunggu rumah mereka selesai di bangun.Hari ini, Rustam mengajak seluruh keluarga, untuk makan malam, sekaligus untuk mendengarkan penyampaian penting. Untuk menghindari terjadinya sesuatu yang tidak mereka inginkan, Calvin sengaja memesan makanan online, untuk dirinya, istri serta kakeknya. "Aduh. Anak ini. Kelakuannya semakin menjadi sejak menikahi dokter itu. Perempuan kok dimanja sampe segitunya. Suruh masak sana. Jangan cuman tau memesan online." berang Sintia. Dia yang sudah kelelahan menyiapkan makanan, pada akhirnya, makanan itu tidak disentuh sama sekali.Semua anggota keluarga sudah datang. Tersisa Tantri yang kata Sunia , sedang siap-siap
Suara jeritan Talita didengar oleh beberapa pria yang baru pulang dari masjid. Keadaan Hilda benar-benar memprihatinkan. Hampir seluruh tubuhnya bersimbah darah. Pelipisnya lecet. Talita mundur, saat beberapa pria tadi, mengangkat tubuh Hilda ke dalam ambulance kompleks, yang disetir Pak RT. Melarikan wanita berambut blonde itu ke rumah sakit terdekat. Talita bingung, dengan kejadian yang baru saja terjadi. Apa yang sudah dia lakukan? Dengan cepat wanita itueraih barang berharganya. Uang, dan beberapa perhiasan, atm, dua pasang baju ganti. Masuk ke ransel kecil. Mengganti pakaiannya dengan gamis dan kerudung. Memakai masker, lalu pergi lewat pintu belakang kontrakkan. Melarikan diri, adalah jalan yang bisa dipikirkan otak Talita yang bersumbu pendek. Bukannya merasa bersalah dan mencoba memperbaiki diri, Talita lebih memilih untuk mencari masalah baru. Pak RT yang kebetulan mengenal keluarga Talita, segera menghubungi nomor ponsel Surya. Beruntung, dia tidak pernah menghapus kon
Calvin memasang wajah serius, saat tau kemana arah pembicaraan Baskoro. "Oh. Jadi, anda datang di saat jam kerja saya yang sedang padat, untuk membahas urusan pribadi yang sebenarnya anda sendiri sudah tau, apa jawabannya Tuan?"Baskoro menatap tajam Calvin, saat pria itu melemparkan pertanyaan kepadanya. "Anda tersinggung dengan pertanyaan saya, Pak Calvin?" tanyanya dengan suara parau. Calvin tersenyum. Tipe pria seperti Baskoro ini, jika punya riwayat hipertensi dan menerima sedikit saja bantahan atas apa yang dia inginkan, sudah dipastikan, hipertensinya akan kambuh. "Kakek saya, atau siapapun di muka bumi ini, tidak punya hak atau otoritas untuk mengatur saya, dalam hal memilih pasangan hidup. Hal itu adalah mutlak urusan Allah dan saya, Tuan. Saya sangat tidak suka, jika ada yang protes dengan pilihan hati saya. Saya tidak menerima cucu anda atau siapapun selain Istri saya, jawabannya sudah pasti. Saya hanya mencintai Istri saya. Jadi, jika anda datang untuk membahas masalah
Wanita dengan gamis coklat susu itu, terlihat gelisah, saat dia menaiki bus jurusan Bandung. Sebenarnya dia mau pergi ke Surabaya, tapi salah masuk bus. Jadinya, dia hanya bisa diam dalam gelisah. Matanya liar menatap setiap penumpang yang naik. Takut, jika ada orang yang mengenalinya. Saat bus mulai bergerak, barulah hatinya merasa lega. Dia selamat. Talita, memperbaiki letak duduk, dan menaikan masker yang sedikit melorot. Rasa kantuk mulai menyerangnya. Sebab semalaman dia tidak tidur.Baginya semua tempat terasa tidak aman. Itu karena dia telah salah dalam bertindak. Tidak ada pilihan lain, selain melarikan diri.Kesalahan yang dia buat sudah sangat keterlaluan. Dalam hati Talita selalu bertanya, apakah Hilda selamat atau dia mati? Talita menyesali dirinya yang tidak bisa mengontrol emosinya. Tapi, bukankah Hilda yang mulai duluan. Apa dia bilang? Dia akan menikah dengan Surya? Apa Surya meninggalkan dirinya karena Hilda?Talita membela dirinya sendiri. Ah. Apa yang dia lakuka
Tubuh Renata, diangkat oleh para pelayan. Mereka meletakkannya di atas tikar, di lantai, kamarnya, sesuai dengan permintaan Nyai Soraya. Ada baskom sedang dengan kembang yang banyak. Di sisinya ada dupa dengan asap tipis mengepul. Aroma bunga melati dibakar, tercium menusuk hidung. Nyai Soraya, mengambil centong kecil dari kuningan. Melafalkan sesuatu. Lalu meniup di ubun-ubun Renata. Wajah Renata berubah merah lalu menghitam. Tubuhnya gemetar hebat. Pakaiannya basah karena keringat yang keluar. Namun dia tetap tidak bisa bergerak. Nyai Soraya menyiram air kembang ke seluruh tubuh Renata. Dari kepala turun ke kakinya. Setelah air kembang itu disiram ke tubuhnya, Renata terlihat lebih tenang. Warna wajahnya pun, sudah tidak menghitam. Kulit putih mulusnya, hanya menyisakan sedikit warna kemerah-merahan. Setelah air di gentong habis. Renata membuka matanya. Iris kecoklatan itu, nampak mengerjap dengan cepat. Dengan raut bingung, Renata memandang sekelilingnya. Lalu tubuhnya yang
Siapa yang dapat melawan apa yang sudah ditakdirkan Tuhan? Tidak ada. Selain berpasrah diri dan mengikuti semua yang ditentukan-Nya. Surya dan Melisa kembali ke kampung, setelah menjenguk Virgo. Meski kesannya seperti terlambat, tapi kesadaran diri yang mulai ditunjukkan Virgo, membuat Surya bersyukur. Semoga saja, apa yang dia katakan tadi, akan terjadi. Dia ingin menjadi peternak ikan? Ah. Membayangkannya saja, membuat Surya tersenyum senang. Jika dengan melewati semua hal menjengkelkan tentang Virgo, bisa membuat dia sadar dan berubah, maka, dengan tulus, akan Surya lakukan.Dia berharap, Melisa pun akan mengalami hal demikian. Hingga sikap egois, manja dan mau menang sendiri itu, bisa hilang dari hidupnya.Surya juga menyadari satu hal. Dia adalah anak kampung yang kebetulan bisa berhasil di kota, sekarang takdir mambawa dia kembali ke tempat asalnya. Sebenarnya perubahan sikapnya, karena pengaruh dari Talita yang sangat kuat. Walaupun sebenarnya, tidak seharusnya, pengaruh da
"Bunda." lirih suara Anatasya memanggil Anaya. Anaya yang sedang mengamati kiriman video CCTV di ponselnya, langsung menekan tombol, untuk memanggil perawat.Wanita cantik itu, menggenggam tangan anak gadisnya, dengan wajah sumringah."Bunda di sini Sayang. Bunda sayang Acha. Apa yang sakit Nak?""Bunda. Aku haus." lirih suara Anatasya.Dokter dan perawat tiba di ruangan. Memeriksa Anatasya, lalu, berkata dengan senang "Perkembangannya sangat baik. Tubuhnya merespon obat dengan cepat. Setelah ini, kasih makan dan minum teratur dan bergizi, supaya cepat pulih." "Terima kasih Dokter." ucap Anaya. Anaya memberikan Anatasya minum. "Bunda. Kapan aku bisa pulang?" tanya Anatasya."Eh. Baru juga sadar Sayang. Belom bisa pulang dong." Anaya tau, jika Anatasya sangat tidak suka bau obat- obatan dan bau rumah sakit. Dia paling tidak betah lama-lama di rumah sakit. "Bentar lagi, polisi mau ke sini Nak. Mau nanya tentang kejadian kebakaran itu. Ada yang videoin." kata Anaya, setelah selesai
Wawan terus saja tertawa, melihat Renata yang tidak berdaya. Efek dari obat perangsang yang dia berikan sangat kuat. Jika tidak di salurkan, bisa di pastikan, tubuh Renata akan mengalami kejang-kejang. Gadis cantik itu, tidak bisa menghindar lagi. Kewarasannya sudah hampir hilang. Dia memohon pada Wawan, untuk menyelamatkan dirinya. Tentu saja Wawan berjingkrak senang. Video penghinaan Renata dan Niken padanya, yang dia dapatkan dari mata-matanya, membuat Wawan berambisi untuk membuktikan kepada Renata, jika dia adalah pria yang kuat di atas ranjang. Meskipun pergaulan Renata seperti itu, tapi dia masih bersegel. Tidak sembarangan menjajakan tubuhnya kepada laki-laki. Namun, hari ini, dia harus menuai apa yang sudah dia tabur. Jika dia sangat menjaga harga dirinya sebagai seorang gadis, mengapa dia tega, merusak masa depan gadis-gadis lain, dengan menyerahkan mereka kepada manusia jahanam seperti Roy? Dan pada akhirnya, dia harus membayar dengan mahal. Kegadisannya sebentar lagi
"Saya sudah ngomong sama Bunda, Papi, Kak Luna sama minta ijin Kak Acha. Mereka semua udah setuju, Cit. Kapan kamu siap saya lamar?" tanya Arga dengan sungguh-sungguh. Gadis yang ditanya hanya tertunduk dalam, tanpa mampu menatap wajah pria yang diseganinya ini. "Saya tanya Bunda Nilam dulu yah, Tuan. Jika Bunda mengijinkan, insya Allah saya siap," ucap Citra dengan yakin. Arga menarik nafas lega. Taman depan panti asuhan tempat Citra dan kawan-kawannya dibesarkan oleh Nilam, telah menjadi saksi bisu, dua hati yang sedang dipenuhi kebahagiaan. Satu bulan yang lalu, Arga sudah minta ijin Acha, untuk melangkahinya. Dan Acha tidak leberatan sama sekali. "Nikah aja duluan Dek. Mau nunggu Kakak? Gak mungkin. Bayang-bayang jodoh juga belom ada. Kasihan kamunya. Entar Citra diembat orang lain, kamu yang rugi," Arga tersenyum, saat mengingat kembali percakapannya dengan Acha. "Kakak mau apa buat syarat melangkahi Kakak?" "Emang dilangkahi harus pake pemberian syarat yah?
Aluna terkejut melihat kondisi Melisa. Terakhir kali bertemu, tubuh Melisa tidak sekurus sekarang. Dia nampak pucat dengan berat badan yang turun drastis. Wajahnya tidak terpoles make up sama sekali. Rambut hitam panjangnya, hanya tergelung asal. Walaupun keadaannya yang seperti tidak terurus, kecantikan Melisa tetap saja menonjol. Ponsel dipegang oleh Erhan, karena istrinya itu, sudah tidak punya tenaga, meski hanya untuk memegang ponsel. "Baiklah. Ok. Kamu tenang dulu yah, Mel. Tenang dulu," Melisa mengangkat wajahnya menatap layar ponsel, saat mendengar perkataan Aluna. Dengan perlahan, dia bisa mengendalikan diri. "Mbak minta maaf yah. Maafin Mbak yang egois. Maaf," Aluna menjeda perkataannya. Wanita itu menundukkan wajahnya. Dia menunggu bagaimana reaksi Melisa. Melisa nampak terkejut. Suara isakannya pun langsung berhenti seketika, saat mendengar pernyataan Aluna. "Kamu mungkin gak pernah ngalamin apa yang Mbak alami. Tapi, memang sesakit itu kalo gak pernah
"Keadaan Papa sudah semakin parah, Mas. Aku gak tau harus gimana lagi. Semua yang udah kita usahakan, seperti gak ada artinya. Ini udah berbulan-bulan lamanya. Kamu sama Mas Edward, udah ngeluarin uang yang banyak," sedu sedan Melisa, disertai dengan kalimat-kalimat putus asa. Bagaimana tidak, Surya sudah mendapatkan perawatan dari dokter yang terbaik di Jerman. Jangankan sembuh, membaik sedikit pun, tidak terlihat sama sekali. Yang ada, keadaan Surya semakin parah. Erangan kesakitannya, sudah berubah menjadi rintihan kecil yang memilukan. Bahkan sejak seminggu yang lalu, Surya sudah koma. "Kami sudah mengusahakan yang terbaik untuk Tuan Surya. Tapi, sepertinya, tubuh beliau menolak semua obat yang masuk. Kesembuhan Tuan Surya, hanya bisa terjadi karena mujizat," Tubuh Melisa luruh ke lantai rumah sakit. Sambil membekap mulut dengan kedua tangannya, Melisa menangis dengan histeris. Harapannya, cintanya, kehidupannya, seperti akan mati dan lenyap. Surya adalah api semangat y
"Kalian gak apa-apa kan?" Tanya Acha, pada kedua anak yang duduk dengan gelisah di sampingnya. "Gak apa-apa Kak. Kami sudah biasa dikasarin Bapak. Kami cuma takut aja, kalo sampe ketemu lagi sama Bapak, kami bisa dihukum lebih berat, karena udah berani melawan." "Gak usah takut. Mulai hari ini, kalian tinggal di rumah Kakak. Gak akan ada orang yang berani nyakitin kalian lagi," jawab Acha pasti. Dengan cekatan Acha membuka tutup botol air mineral, lalu memberikannya kepada kedua anak itu. Dibukanya juga bungkus roti, lalu memberikan dengan senyum. Kedua anak itu terlihat sangat kelaparan. Buktinya, anak yg paling kecil, meneguk ludah melihat roti di tangan Acha. Mereka berdua makan roti itu, dengan lahap. Mengunyah beberapa kali saja, lalu menelan dengan cepat. Acha menatap kedua anak itu dengan perasaan iba. Kasihan mereka. "Nama saya Acha. Kalian siapa?" "Saya Marco Kak. Ini adik saya Mario," jawab anak yang paling besar, dengan mulut penuh makanan. "Bapak-bapa
Bapak-bapak itu kaget, demikian juga dengan Nugi. Pemuda itu memang sudah sangat sering mendengar cerita Rissa tentang betapa beraninya anak-anak Anaya. Namun, untuk melihatnya secara langsung sungguh sangat berbeda rasanya. "Woi ... Anjir Lo. Siapa sih?" Teriak si bapak, sambil meringis kesakitan memegang sikutnya yang terbentur tembok lorong. Wajah bengisnya menatap Acha dengan pandangan membunuh. Refleks kedua anak yang ditindas itu, berlari berlindung di balik tubuh Acha. "Jangan kasar sama anak kecil, Pak. Nanti anda bisa kualat lho," jawab Acha santai. Tangan kanannnya mendorong lembut tubuh gemetar dua anal kecil itu, untuk berlindung dengan baik di balik tubuhnya yang ramping. "Wuahaha ... Gua ini Bapak mereka. Bagaimana bisa Gua kualat? Malah mereka yang gak berbakti dengan bener yang bakalan kualat. Lagian, siapa sih Lo? Ikut campur aja urusan orang. Siniin gak anaknya?" Tariak pria itu sambil menunjuk-nunjuk wajah Acha. Kelakuan Acha yang santai menghadapinya, membuat
"Hah? Kembar?" teriakan Acha juga tidak kalah kencang. Mereka semua saling berpelukan erat. Entah apa yang sedang terjadi? Semua ini di luar prediksi mereka. Namun yang terpenting sekarang, Aluna dan bayinya selamat, dan kebahagiaan memenuhi seantero rumah sakit. Beberapa lama kemudian, Rissa dan Mira tiba di rumah sakit. Mereka turut bergabung dengan Anaya, merasakan sukacita yang luar biasa. "Cha. Kita bertiga mau borong donat kentang yang lagi viral itu. Tempatnya agak jauh dari sini. Kamu gak kemana-mana kan? Kita pake mobil yah?" ijin Mirna. "Borong donat? Buat apaan?" tanya Acha. "Buat traktir semua pegawai rumah sakit ini lah. Tanda sukacita," jawab Mirna dengan gayanya yang lucu. "Wiih. Pegawai di sini banyak Mirna. Ada ribuan malah. Tokonya punya gak stok sebanyak itu? Entar yang laen gak kebagian, trus ngambek, kan kasihan," "Cabangnya banyak Cha. Tak borong semua. Pasti cukuplah. Soal harga, tenang aja, ada gadis sultan rasa emak-emak, yang punya banyak
"Sayang. Mas tau kamu kuatir sama Acha. Ngenalin anak temen itu juga gak salah. Tapi, kalo Acha udah bilang gak mau dijodohin, berarti, emang dia gak suka. Hargai keputusan dia yah," Anaya menarik nafas panjang, sambil mengangguk dalam dekapan tangan Hendrawan. "Aku janji, Mas. Acha emang sekeras itu yah? Aku kuatir, saat liat Arga jatuh cinta sama Cita. Aku bisa liat dari sorot matanya saat menatap gadis itu. Kalo Arga udah jatuh cinta, lalu Acha kapan? Mas tau kan. Arga itu. gerakannya sat, set, gak mau lama-lama. Bentar lagi, pasti minta ijin buat melamar," Hendrawan cekikan, lalu mencium kening istrinya dengan sayang. Wanitanya ini, sangat teliti, saat memperhatikan anak-anaknya. "Gak apa-apa sayang. Acha pasti akan segera bertemu dengan pujaan hatinya. Tapi, mari kita doain, supaya, laki-laki itu punya mental yang kuat. Tau kan gimana anak kita yang satu itu?" Hendrawan melepaskan pelukannya, saat dering ponsel Anaya memekik dari atas nakas. "Angkat dulu Sayang," Ta
Panti asuhan Cinta Bunda sedang mengadakan syukuran. Tenda berjejer di pekarangan bangunan yang luas dan rapi. Setelah pembacaan doa dan pengajian, hampir sebagian besar warga yang diundang, terlihat sedang mencicipi hidangan, sambil bercengkrama dengan gembira. Mereka bersukacita merayakan kepulangan Rustam, suami dari pemilik panti yakni Bunda Nilam. Kabar yang sedikit mengejutkan dan membuat beberapa orang usil bertanya. "Emang, hilang ke mana si Kakek?" Namun, tidak ada satupun yang berprasangka buruk. Semuanya gembira dan bahagia. Karena Panti asuhan yang luar biasa ini, akan memiliki penopang yang luar biasa. Rustam dan Nilam juga bahagia. Di masa tua mereka, Allah memberikan ijin untuk bersatu kembali. Sungguh kisah cinta mereka adalah kisah cinta yang penuh kesedihan, perjuangan, pengorbanan darah dan air mata. Kesetiaan yang diberikan Nilam pada berlian dalam perhiasan cinta mereka. Wanita itu mampu bertahan, karena percaya pada kekuatan cinta yang mengikat dirinya d
Seolah tau diri, Mirna dan Bulan beranjak meninggalkan Gilang dan Acha, yang masih tetap bergeming, dengan kaku dan sunyi. Situasi macam apa ini? Mereka seperti sepasang kekasih yang terpisah lama, tanpa ada kejelasan hubungan di antara mereka. Tidak ada kata putus, atau berlanjut. Semuanya mengambang. Gerakan langkah Bulan dan Mirna, seketika menyadarkan Acha dengan situasinya sekarang. Dengan cepat dia menguasai dirinya. Jemari putih dan lentik itu, mengusap bulir beling yang masih betah berjatuhan, tanpa ada yang bisa melarang. Memang benar. Jika hati memerintah, maka seluruh anggota tubuh yang lain akan ikut perintah itu. "Maaf. Saya terbawa suasana. Selamat datang. Bagaimana kabar kamu?" suara serak Acha, terpaksa keluar dari mulutnya, karena situasi yang memaksa. Jika ingin mengikuti keinginannya, lebih baik, dia tidak bersuara sama sekali. Pun, jika dia diminta memilih, dia akan pergi dari hadapan pria ini, masuk ke dalam kamar, lalu menangis hingga puas. Lho? Seorang A