"Kamu pikir, aku tidak bisa berbuat semacam ini? Kamu pikir, bisa membuatku takluk dengan cara murahan?" gertak Tohir. Dan langsung menyentakkan lengan Anti sehingga wanita itu jatuh di lantai. Dengan cepat, Tohir beranjak ke kursi yang diduduki Anti. Instingnya mengatakan, kunci ada di sana. Dan, benar saja. Setelah mendapatkan benda itu, dirinya segera melangkah cepat menuju pintu. Anti mengejar sambil memohon.
"Mas, dengarkan aku, Mas!" rengek Anti.
Tohir segera membuka pintu. Anti memegang lengan Tohir dan saat pintu berhasil terbuka, Pak Lurah juga Pak RT sudah berada di halaman. Sontak, Anti membelalak. Menahan malu. Berkali-kali menelan salivanya. Tidak tahu lagi harus bagaimana.
"Tolong, Pak, urus warga Bapak. Jangan selalu membuat ulah yang mempermalukan lingkungan terus menerus," ujar Tohir saat sudah berhasil lolos dari cekalan Anti. Ketua RT juga Kepala Desa terlihat bingung hendak mengambil tindakan apa. Mereka menundukkan kepala, melihat Anti yang
Riasan yang natural tapi elegan, gamis yang indah berwarna merah maroon yang dipadukan pasmina warna hitam membuat penampilan Anti semakin terlihat berkelas. Duduk menyilangkan kaki di jok depan. Berkali-kali, dirinya menatap wajah yang terlihat sempurna menurut kaca matanya. "Kita sebenernya mau diajak kemana sih, Mas?" tanya bapak Anti penasaran pada pemuda yang ada di balik kemudi. "Saya tidak tahu, Pak. Saya hanya disuruh membawa keluarga Mbak Anti ke sebuah alamat yang diberikan Mas Tohir," jawab sang Sopir kalem. "Sudah sih, Pak. Kita gak usah banyak tanya. Mas Tohir udah bilang mau kasih kejutan. Kalau dibilangin apa itu, namanya bukan kejutan lagi," sahut Anti kesal. Perlahan, mobil yang mereka kendarai sudah sampai di depan gedung pertemuan yang disewa untuk acara pernikahan Tohir dan Erina. Terlihat suasana yang ramai. Tamu undangan saling berdatangan. Tepat jam sebelas, keluarga Anti sampai di tempat parkir. Erina nampak cantik, ber
Anti diseret paksa oleh dua aparat menuju pintu gedung. Ibu yang sedari tadi memilih duduk di kursi belakang dengan bapaknya langsung mengikuti putrinya begitu dia sampai di pintu keluar. Kali ini, tidak ada perlawanan atau makian dari mereka berdua. Merasa malu dengan apa yang terjadi.Semua tatapan mata pengunjung mengarah pada satu titik. MC langsung mengambil alih acara dengan mencoba mencairakan suasana. Namun tetap saja, acara tersebut sudah terlihat cacat dan mengurangi kesakralan ceremoni resepsi yang megah.Di dekat pintu keluar, Rida dan kawan-kawannya menatap sedih pada sahabat yang hari ini telah berhasil dijatuhkan perasaannya. Sekalipun rasa benci mereka sangat besar tapi, melihat apa yang terjadi hari ini tetap saja, iba hadir dalam sanubari. Apa yang mereka rencanakan ternyata gagal. Sedianya akan membuat Anti menjadi wanita paling malu dan paling sakit di hari itu nyatanya, keempat perempuan itu-pun ikut merasakan sakit. Menyaksikan sahabat yang dulu s
Orang tua Anti terlihat memerah mukanya. Sedangkan Anti sendiri masih menunjukkan wajah penuh amarah."Anti! Perbaiki hidup kamu bila ingin mendapatkan kasih sayang dari teman-teman kamu. Atau selamanya, kamu akan hidup dalam terus menerus dalam kesendirian. Cari Agam, minta maaflah pada dia." Rida berkata dengan penuh penekanan."Jangan ikut campur urusan anak saya!" seru ibu Anti tidak rela."Kalau tidak ingin kami ikut campur maka, bilang sama anak Ibu, jangan hubungi kami dan jangan salahkan kami atas apapun yang menimpanya. Oh, pantas saja, Anti terus menerus berperilaku yang memalukan. Karena ternyata, dia mendapat dukungan dari orang terdekatnya. Kami permisi!" Rida mengajak teman-temannya pergi.Entah kebetulan macam apa, Anti berdiri dekat dengan mobil Fira. Wanita yang datang bersama suaminya terlihat berjalan mendekati kendaraan mereka. Tanpa kata, mereka lewat. Melemparkan senyum sinis penuh ejekan. Anti semakin merasa terhina.Sopir ya
Anti hanya mengurung diri dalam kamar. Bapak juga ibunya merasa sangat bingung dengan kondisi anak perempuan satu-satunya itu."Anti," panggil sang Ibu sembari mengetuk pintu.Tidak ada jawaban dari dalam sana. Bapaknya duduk di sofa depan kamar dengan raut muka bingung.Apa yang Anti alami, mirip dengan Nadia saat ini. Keduanya sama-sama terluka dan mengurung diri dalam kamar. Seperti itulah ikatan seorang ibu dan anak. Terkadang, ada hal-hal yang mereka rasakan sama di saat bersamaan.Anti melihat beberapa stori juga grup yang ia ikuti. Banyak teman-teman yang mengunggah foto Erina dengan berbagai caption. Rata-rata, mendoakan agar langgeng dan menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Namun, tidak begitu dengan Fira. Caption yang ia tuli, seakan sebuah sindiran yang ditujukan pada Anti."Alhamdulillah, teman suamiku menikah dengan wanita yang mudah-mudahan sholehah. Teruntuk yang sakit hati dengan halusinasinya, semoga lekas dikembalikan p
"Lha ya terserah Agam sih, Yan. Kan itu yang beli dia. Mungkin butuh apa di sana. Jangan seperti itu! Kamu kalau marah-marah, justru kelihatan egoisnya. Kamu pikir, Agam tidak perlu banyak hal di sana? Mungkin saja, mau buat beli apa gitu. Tidak selamanya dia akan tinggal di kantor terus. Dia harus melanjutkan hidup sendiri dengan anaknya yang masih bayi. Kamu sih enak, apa-apa masih ada orang tua.""Agam sempat bilang mau beli rumah," jawab Bu Nusri menimpali. Sedang Pak Hanif hanya duduk terpekur seolah sedang memikirkan sesuatu hal."Lha, bener, kan? Masa kamu mau menyalahkan Agam?""Ya kan sayang, Lik. Udah dikelola sekian lama tiba-tiba terjual. Jadi milik orang lain," sahut Iyan ketus."Ya, kalau kamu merasa sayang, belilah pakai uang kamu. Kalau kamu ada. Biar tidak jatuh ke tangan orang lain. Kan adil. Kamu masih bisa mengelola itu tanah, sedangkan Agam, mendapatkan hak dan keinginannya." Lik Udin berusaha memberi solusi dan pengertian."Ma
Agam segera meluncur ke kota. Tempat rumah Kang Juri berada. Matahari telah condong sedikit ke arah barat saat dirinya sampai.Hunian sederhana dengan banyak bunga tertata rapi di halaman. Motor bebek terparkir di bawah pohon jambu. Menandakan si pemilik masih ada di dalam rumah.Agam melangkah pasti, melepas sandalnya pada batas teras, menapaki lantai keramik berwarna merah dan segera mengucap salam di ambang pintu yang terbuka."Oalah, kok Agam? Masuk sini, bapaknya baru saja selesai makan. Tadi habis muter-muter." Istri Kang Juri mempersilakan masuk.Agam menurut saja.Tidak berapa lama, wanita itu keluar lagi membawa secangkir teh dan juga sepiring pisang goreng. Setelah berbasa-basi sebentar menemani tamunya sebelum suaminya selesai makan, wanita itu masuk kembali."Gam!" sapa Kang Juri yang baru saja keluar dari ruang dalam."Orangnya sudah dihubungi, Kang?""Sudah, tadi kamu telpon, aku langsung ngabari orangnya buat ke
Di tengah perjalanan, Agam berpikir, ada sesuatu yang mengganjal selama ia pergi hari ini. Bilal. Dirinya mengapa sama sekali tidak mengkhawatirkan anak bayinya itu. Padahal biasanya bila pergi dalam waktu lama, akan terus kepikiran hal itu.Agam menepikan kendaraan saat melihat pedagang martabak yang mangkal. Dibelinya lima kardus yang nantinya akan dibagi-bagi.Sesampainya di rumah, waktu sudah menjelang Maghrib. Segera dirinya menuju rumah Laila untuk menjemput Bilal. Rumah terlihat tertutup rapat namun, suasana jelas terdengar ramai. Gelak tawa suara bayi terdengar di telinga Agam. Pria itu tahu, anaknya tengah dijadikan bahan untuk candaan. Seketika terbit senyum di bibir. Membayangkan seandainya, dirinya memiliki keluarga untuk pulang.Diketuknya pintu dan mengucapkan salam dari luar.Seseorang membukakan pintu. Ibu Laila berdiri di sana. Untungnya, Agam membawa oleh-oleh. Bila tidak, tentulah malu."Silakan masuk," ucap ibu Laila ramah.
Selesai makan, Agam kembali ke ruang tamu. Kembali, dirinya mendapati Bilal seakan jadi raja di sana. Kini, ibu Laila sudah ikut bergabung mengelilingi bayi yang terus mengeluarkan gelak tawa. Kedua perempuan serta satu anak laki-laki remaja itu begitu heboh mengajak berbicara anaknya. Selama ini, lelaki itu tidak pernah tahu cara mengajak berbicara seorang bayi. Waktu dan pikirannya juga sudah terforsir banyak hal. Maka bila malam menjelang, letih dan kantuk datang lebih awal."Maaf, merepotkan," ucap Agam saat sudah duduk di kursi. Laila sedari tadi tidak pernah memandangnya. Fokus serta perhatian hanya tertuju pada makhluk kecil di hadapannya. Ayah Bilal jadi kebingungan hendak pamit tapi, suasana terlihat sedang bahagia. Merasa tidak enak bila mengganggu kebersamaan itu.Saat tengah asyik bercanda tiba-tiba Bilal mengeluarkan angin dengan suara cukup keras. Bayi itu tiba-tiba terdiam. Menengok ke kanan dan kiri mencari suara berada. Seketika semua orang terpingkal,
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”