Orang tua Anti terlihat memerah mukanya. Sedangkan Anti sendiri masih menunjukkan wajah penuh amarah.
"Anti! Perbaiki hidup kamu bila ingin mendapatkan kasih sayang dari teman-teman kamu. Atau selamanya, kamu akan hidup dalam terus menerus dalam kesendirian. Cari Agam, minta maaflah pada dia." Rida berkata dengan penuh penekanan.
"Jangan ikut campur urusan anak saya!" seru ibu Anti tidak rela.
"Kalau tidak ingin kami ikut campur maka, bilang sama anak Ibu, jangan hubungi kami dan jangan salahkan kami atas apapun yang menimpanya. Oh, pantas saja, Anti terus menerus berperilaku yang memalukan. Karena ternyata, dia mendapat dukungan dari orang terdekatnya. Kami permisi!" Rida mengajak teman-temannya pergi.
Entah kebetulan macam apa, Anti berdiri dekat dengan mobil Fira. Wanita yang datang bersama suaminya terlihat berjalan mendekati kendaraan mereka. Tanpa kata, mereka lewat. Melemparkan senyum sinis penuh ejekan. Anti semakin merasa terhina.
Sopir ya
Anti hanya mengurung diri dalam kamar. Bapak juga ibunya merasa sangat bingung dengan kondisi anak perempuan satu-satunya itu."Anti," panggil sang Ibu sembari mengetuk pintu.Tidak ada jawaban dari dalam sana. Bapaknya duduk di sofa depan kamar dengan raut muka bingung.Apa yang Anti alami, mirip dengan Nadia saat ini. Keduanya sama-sama terluka dan mengurung diri dalam kamar. Seperti itulah ikatan seorang ibu dan anak. Terkadang, ada hal-hal yang mereka rasakan sama di saat bersamaan.Anti melihat beberapa stori juga grup yang ia ikuti. Banyak teman-teman yang mengunggah foto Erina dengan berbagai caption. Rata-rata, mendoakan agar langgeng dan menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Namun, tidak begitu dengan Fira. Caption yang ia tuli, seakan sebuah sindiran yang ditujukan pada Anti."Alhamdulillah, teman suamiku menikah dengan wanita yang mudah-mudahan sholehah. Teruntuk yang sakit hati dengan halusinasinya, semoga lekas dikembalikan p
"Lha ya terserah Agam sih, Yan. Kan itu yang beli dia. Mungkin butuh apa di sana. Jangan seperti itu! Kamu kalau marah-marah, justru kelihatan egoisnya. Kamu pikir, Agam tidak perlu banyak hal di sana? Mungkin saja, mau buat beli apa gitu. Tidak selamanya dia akan tinggal di kantor terus. Dia harus melanjutkan hidup sendiri dengan anaknya yang masih bayi. Kamu sih enak, apa-apa masih ada orang tua.""Agam sempat bilang mau beli rumah," jawab Bu Nusri menimpali. Sedang Pak Hanif hanya duduk terpekur seolah sedang memikirkan sesuatu hal."Lha, bener, kan? Masa kamu mau menyalahkan Agam?""Ya kan sayang, Lik. Udah dikelola sekian lama tiba-tiba terjual. Jadi milik orang lain," sahut Iyan ketus."Ya, kalau kamu merasa sayang, belilah pakai uang kamu. Kalau kamu ada. Biar tidak jatuh ke tangan orang lain. Kan adil. Kamu masih bisa mengelola itu tanah, sedangkan Agam, mendapatkan hak dan keinginannya." Lik Udin berusaha memberi solusi dan pengertian."Ma
Agam segera meluncur ke kota. Tempat rumah Kang Juri berada. Matahari telah condong sedikit ke arah barat saat dirinya sampai.Hunian sederhana dengan banyak bunga tertata rapi di halaman. Motor bebek terparkir di bawah pohon jambu. Menandakan si pemilik masih ada di dalam rumah.Agam melangkah pasti, melepas sandalnya pada batas teras, menapaki lantai keramik berwarna merah dan segera mengucap salam di ambang pintu yang terbuka."Oalah, kok Agam? Masuk sini, bapaknya baru saja selesai makan. Tadi habis muter-muter." Istri Kang Juri mempersilakan masuk.Agam menurut saja.Tidak berapa lama, wanita itu keluar lagi membawa secangkir teh dan juga sepiring pisang goreng. Setelah berbasa-basi sebentar menemani tamunya sebelum suaminya selesai makan, wanita itu masuk kembali."Gam!" sapa Kang Juri yang baru saja keluar dari ruang dalam."Orangnya sudah dihubungi, Kang?""Sudah, tadi kamu telpon, aku langsung ngabari orangnya buat ke
Di tengah perjalanan, Agam berpikir, ada sesuatu yang mengganjal selama ia pergi hari ini. Bilal. Dirinya mengapa sama sekali tidak mengkhawatirkan anak bayinya itu. Padahal biasanya bila pergi dalam waktu lama, akan terus kepikiran hal itu.Agam menepikan kendaraan saat melihat pedagang martabak yang mangkal. Dibelinya lima kardus yang nantinya akan dibagi-bagi.Sesampainya di rumah, waktu sudah menjelang Maghrib. Segera dirinya menuju rumah Laila untuk menjemput Bilal. Rumah terlihat tertutup rapat namun, suasana jelas terdengar ramai. Gelak tawa suara bayi terdengar di telinga Agam. Pria itu tahu, anaknya tengah dijadikan bahan untuk candaan. Seketika terbit senyum di bibir. Membayangkan seandainya, dirinya memiliki keluarga untuk pulang.Diketuknya pintu dan mengucapkan salam dari luar.Seseorang membukakan pintu. Ibu Laila berdiri di sana. Untungnya, Agam membawa oleh-oleh. Bila tidak, tentulah malu."Silakan masuk," ucap ibu Laila ramah.
Selesai makan, Agam kembali ke ruang tamu. Kembali, dirinya mendapati Bilal seakan jadi raja di sana. Kini, ibu Laila sudah ikut bergabung mengelilingi bayi yang terus mengeluarkan gelak tawa. Kedua perempuan serta satu anak laki-laki remaja itu begitu heboh mengajak berbicara anaknya. Selama ini, lelaki itu tidak pernah tahu cara mengajak berbicara seorang bayi. Waktu dan pikirannya juga sudah terforsir banyak hal. Maka bila malam menjelang, letih dan kantuk datang lebih awal."Maaf, merepotkan," ucap Agam saat sudah duduk di kursi. Laila sedari tadi tidak pernah memandangnya. Fokus serta perhatian hanya tertuju pada makhluk kecil di hadapannya. Ayah Bilal jadi kebingungan hendak pamit tapi, suasana terlihat sedang bahagia. Merasa tidak enak bila mengganggu kebersamaan itu.Saat tengah asyik bercanda tiba-tiba Bilal mengeluarkan angin dengan suara cukup keras. Bayi itu tiba-tiba terdiam. Menengok ke kanan dan kiri mencari suara berada. Seketika semua orang terpingkal,
Suatu ketika, ibunya datang dengan membawa seorang wanita. Mereka berdua ke kantor Agam dan segera diajak pulang."Ini rumah kamu, Gam?" tanya Bu Nusri saat sudah berada dalam ruang tamu."Iya, Bu!""Gam, perkenalkan, ini Lina. Anak teman Ibu. Dia janda beranak dua." Dari kata-kata yang disampaikan, Agam sudah bisa menebak kalau arah dari pembicaraan itu adalah sebuah perjodohan. Tidak ingin memberi peluang pada ibunya untuk mengatur masa depannya, Agam memilih tidak menjawab."Bapak sehat, Bu?" tanya Agam mengalihkan pembicaraan."Sehat.""Anak kamu dimana?""Di rumah yang mengasuh.""Bawa sini, Gam, Ibu mau lihat.""Aku telpon dulu Mbak Tuti."Tak berapa lama, Tuti datang membawa Bilal dan langsung digendong Bu Nusri. Setelah itu pamit pulang."Walah, sudah besar ya, Nang?"Agam tidak mau berlama-lama dengan ibunya. Karena, wanita bernama Lina terus saja menatap Agam."Gam," panggil Bu Nusri
Agam menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang dingin. Memeluk tubuh Bilal yang panasnya mulai turun.Terbersit sebuah pikir, apakah dirinya harus mencari ibu buat Agam? Siapa? Adakah yang mau?Rasa kantuk yang menjalar membuatnya lupa akan semua hal. Agam menyusul anaknya ke alam mimpi.Pagi hari, Tuti tergopoh mendatangi kamar rawat inap Bilal. Wanita itu tak henti menyalahkan Agam yang tidak memberi kabar."Maaf ya, Mbak Tuti, selalu merepotkan ...," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Agam."Udah, sekarang Mas Agam pulang! Bilal biar sama aku.""Gak papa, Mbak. Biar saya sendiri yang jaga. Mbak Tuti pulang saja." Agam merasa tidak enak. Entah mengapa rasa itu tiba-tiba hadir.Titi bersikeras, akhirnya, mereka berdua menunggu Bilal bersama-sama."Mas Agam, tidak kepikiran untuk menikah lagi?" tanya Tuti memecah kesunyian."Aku bingung, Mbak. Siapa yang mau sama aku? Siapa yang mau menyayangi Bilal? Ibunya saja
Laila bergeming. Tidak menjawab juga tidak menolak. Perempuan itu berlalu meninggalkan Agam dengan penuh kebingungan.Ayah Bilal ikut melangkah. Mengikuti Laila yang berjalan di depan. Terbesit sebuah ketakutan pada hatinya, setelah ini, wanita itu akan berubah sikap pada Bilal.Sampai di ruangan, sikap kaku diantara mereka berdua masih saja berlanjut. Namun, ada yang membuat Agam lega. Laila tidak menampakkan sikap yang berbeda dengan Bilal. Dia masih sama seperti saat Agam belum mengucapkan hal itu.'Mungkin, Laila tulus menyayangi Bilal tanpa ada rasa ingin menjadi ibunya,' gumam Agam dalam hati.Sementara, di tempat berbeda, Anti sedang gencar mendekati Feri. Dengan berbagai cara, wanita itu berusaha menjebak, agar pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu takluk di hadapannya.Setiap hari, Anti yang sudah mulai bekerja, sepulang dari kantor selalu menyempatkan diri mampir. Membawa banyak makanan untuk anak Feri yang masih berusia lima