Di tengah perjalanan, Agam berpikir, ada sesuatu yang mengganjal selama ia pergi hari ini. Bilal. Dirinya mengapa sama sekali tidak mengkhawatirkan anak bayinya itu. Padahal biasanya bila pergi dalam waktu lama, akan terus kepikiran hal itu.
Agam menepikan kendaraan saat melihat pedagang martabak yang mangkal. Dibelinya lima kardus yang nantinya akan dibagi-bagi.
Sesampainya di rumah, waktu sudah menjelang Maghrib. Segera dirinya menuju rumah Laila untuk menjemput Bilal. Rumah terlihat tertutup rapat namun, suasana jelas terdengar ramai. Gelak tawa suara bayi terdengar di telinga Agam. Pria itu tahu, anaknya tengah dijadikan bahan untuk candaan. Seketika terbit senyum di bibir. Membayangkan seandainya, dirinya memiliki keluarga untuk pulang.
Diketuknya pintu dan mengucapkan salam dari luar.
Seseorang membukakan pintu. Ibu Laila berdiri di sana. Untungnya, Agam membawa oleh-oleh. Bila tidak, tentulah malu.
"Silakan masuk," ucap ibu Laila ramah.
Selesai makan, Agam kembali ke ruang tamu. Kembali, dirinya mendapati Bilal seakan jadi raja di sana. Kini, ibu Laila sudah ikut bergabung mengelilingi bayi yang terus mengeluarkan gelak tawa. Kedua perempuan serta satu anak laki-laki remaja itu begitu heboh mengajak berbicara anaknya. Selama ini, lelaki itu tidak pernah tahu cara mengajak berbicara seorang bayi. Waktu dan pikirannya juga sudah terforsir banyak hal. Maka bila malam menjelang, letih dan kantuk datang lebih awal."Maaf, merepotkan," ucap Agam saat sudah duduk di kursi. Laila sedari tadi tidak pernah memandangnya. Fokus serta perhatian hanya tertuju pada makhluk kecil di hadapannya. Ayah Bilal jadi kebingungan hendak pamit tapi, suasana terlihat sedang bahagia. Merasa tidak enak bila mengganggu kebersamaan itu.Saat tengah asyik bercanda tiba-tiba Bilal mengeluarkan angin dengan suara cukup keras. Bayi itu tiba-tiba terdiam. Menengok ke kanan dan kiri mencari suara berada. Seketika semua orang terpingkal,
Suatu ketika, ibunya datang dengan membawa seorang wanita. Mereka berdua ke kantor Agam dan segera diajak pulang."Ini rumah kamu, Gam?" tanya Bu Nusri saat sudah berada dalam ruang tamu."Iya, Bu!""Gam, perkenalkan, ini Lina. Anak teman Ibu. Dia janda beranak dua." Dari kata-kata yang disampaikan, Agam sudah bisa menebak kalau arah dari pembicaraan itu adalah sebuah perjodohan. Tidak ingin memberi peluang pada ibunya untuk mengatur masa depannya, Agam memilih tidak menjawab."Bapak sehat, Bu?" tanya Agam mengalihkan pembicaraan."Sehat.""Anak kamu dimana?""Di rumah yang mengasuh.""Bawa sini, Gam, Ibu mau lihat.""Aku telpon dulu Mbak Tuti."Tak berapa lama, Tuti datang membawa Bilal dan langsung digendong Bu Nusri. Setelah itu pamit pulang."Walah, sudah besar ya, Nang?"Agam tidak mau berlama-lama dengan ibunya. Karena, wanita bernama Lina terus saja menatap Agam."Gam," panggil Bu Nusri
Agam menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang dingin. Memeluk tubuh Bilal yang panasnya mulai turun.Terbersit sebuah pikir, apakah dirinya harus mencari ibu buat Agam? Siapa? Adakah yang mau?Rasa kantuk yang menjalar membuatnya lupa akan semua hal. Agam menyusul anaknya ke alam mimpi.Pagi hari, Tuti tergopoh mendatangi kamar rawat inap Bilal. Wanita itu tak henti menyalahkan Agam yang tidak memberi kabar."Maaf ya, Mbak Tuti, selalu merepotkan ...," hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Agam."Udah, sekarang Mas Agam pulang! Bilal biar sama aku.""Gak papa, Mbak. Biar saya sendiri yang jaga. Mbak Tuti pulang saja." Agam merasa tidak enak. Entah mengapa rasa itu tiba-tiba hadir.Titi bersikeras, akhirnya, mereka berdua menunggu Bilal bersama-sama."Mas Agam, tidak kepikiran untuk menikah lagi?" tanya Tuti memecah kesunyian."Aku bingung, Mbak. Siapa yang mau sama aku? Siapa yang mau menyayangi Bilal? Ibunya saja
Laila bergeming. Tidak menjawab juga tidak menolak. Perempuan itu berlalu meninggalkan Agam dengan penuh kebingungan.Ayah Bilal ikut melangkah. Mengikuti Laila yang berjalan di depan. Terbesit sebuah ketakutan pada hatinya, setelah ini, wanita itu akan berubah sikap pada Bilal.Sampai di ruangan, sikap kaku diantara mereka berdua masih saja berlanjut. Namun, ada yang membuat Agam lega. Laila tidak menampakkan sikap yang berbeda dengan Bilal. Dia masih sama seperti saat Agam belum mengucapkan hal itu.'Mungkin, Laila tulus menyayangi Bilal tanpa ada rasa ingin menjadi ibunya,' gumam Agam dalam hati.Sementara, di tempat berbeda, Anti sedang gencar mendekati Feri. Dengan berbagai cara, wanita itu berusaha menjebak, agar pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu takluk di hadapannya.Setiap hari, Anti yang sudah mulai bekerja, sepulang dari kantor selalu menyempatkan diri mampir. Membawa banyak makanan untuk anak Feri yang masih berusia lima
Esok harinya, Bilal sudah diperbolehkan pulang. Laila dan ibunya menemani dan merawat anak Agam. Sejak kedatangan, hingga Bilal diperbolehkan pulang, mereka tidak pulang sama sekali. Bahkan malam harinya, Danang ikut menginap. Hanya bapaknya saja yang tidak ikut karena harus menjaga rumah."Besok diajak pulang ke rumah kita saja, Mak! Daripada sendirian, kasihan Bilal. Rumah kita juga jadi rame," celetuk Danang malam itu. Tidak ada yang menanggapi.Pagi harinya, Tuti sudah datang ikut menjemput. Agam mencari mobil untuk mengantar ke rumah."Yeay, kita pulang!" seru Laila sembari mencubit pipi gembil Bilal."Ta ta ta ta ...," celoteh Bilal riang."Apa? Mau sama Mas Danang, ya? Nanti, ya? Mas Danang ya sedang cekulah," ujar Laila menanggapi celoteh bayi itu.Bilal menjerit-jerit membuat gemas seisi ruangan."Gak boleh sakit lagi, ya?" tanya Tuti."Mas Agam, Bilal saya bawa ke rumah, ya?" pinta ibu Laila. "Dia baru sembuh, kasihan
"Iya, silakan. Dih, jadi deg-degan dan takut ini, Mas Agam." Ibu Laila langsung berubah raut mukanya cemas. Wanita itu membetulkan letak duduknya sedikit tegak. "Maaf, Pak, Bu sebelumnya. Saya mau tanya, apa sekiranya, Laila ada hubungan dengan lelaki lain? Maksud saya, Laila sudahkah memiliki calon suami?" tanya Agam dengan sangat hati-hati. "Belum. Laila itu susah didekati. Lagipula, anak kami itu janda, Mas Agam. Tidak punya kelebihan apapun. Ya, meskipun ada pemuda yang suka, orang tuanya tidak setuju. Maklumlah, di desa ini kan, pikiran orang-orangnya kebanyakan masih bagaimana lah, ya. Dengan status anak saya, kalau yang mendekati masih bujangan, orangtuanya tidak setuju. Apalagi ditambah, kami ini bukan dari kalangan berada." Jawaban dari bapak Laila membuat hati Agam lega. Namun, kembali hatinya bergejolak. 'Ini orang sedang merendah. Bisa jadi, nanti aku juga ditolak dengan alasan tidak sepadan,' bisik hati meragukan. "Lha emang, Mas Agam mau
Setelah lamaran Agam resmi diterima, mereka membahas tentang waktu pernikahan."Kalau bisa, jangan lama-lama, Mas Agam. Bukan kenapa, posisi Mas Agam duda punya anak. Kami tidak mungkin setelah terjadi kesepakatan seperti ini membiarkan Bilal tinggal sama Mas Agam. Tetapi, tidak mungkin juga, Mas Agam akan membiarkan Bilal di sini terus kan? Makanya, kami Lagipula, dalam agama Islam, bila sudah saling mengenal, akan lebih baik dilaksanakan secepatnya. Pokoknya biar Bilal secepatnya mendapatkan kasih sayang yang sempurna lah," ujar bapak Laila memberi solusi."Bagaimana kalau sebulan lagi, Pak?" tanya Agam memberi usul. "Saya perlu menyiapkan banyak hal untuk pernikahan ini," tambahnya lagi."Kami tidak menuntut banyak hal, Mas Agam, yang penting, Laila sudah mendapatkan seorang suami saja, kami bersyukur. Pernikahan dilaksanakan sederhana saja, tidak perlu mewah. Ya, La?" ujar ibu Laila memberi pendapat dan bertanya langsung pada anak perempuannya."Tidak
Dua hari kemudian, Rida dan teman yang lain datang ke rumah Agam. Bilal menjadi fokus para perempuan itu. Mengambil foto dalam berbagai gaya serta mengunggahnya ke stori media sosial. Mereka membincangkan banyak hal, dan topik yang menarik adalah Anti. "Aku yakin, suatu ketika, dia pasti akan menemui kamu, Gam! Kalau udah gak laku, pasti minta balikan," celetuk Risa diiyakan yang lain. "Jangan mau, Gam! Blokir nomernya kalau Bernai menghubungi kamu. Bilal gak butuh ibu seperti Anti," timpal Rida. "Hal tersulit dalam hidupku dan Bilal sudah aku lalui. Dan itu, tanpa Anti. Jadi, tidak ada alasan untuk aku kembali sama dia. Dulu saja, waktu aku masih jadi orang dungu, berani meninggalkan wanita sebaik Nia demi dia yang tidak punya hati, apalagi sekarang, aku sudah sadar sekali, wanita seperti apa dia. Dan, hidup kami sudah bahagia. Bilal tidak punya ibu sejak lahir," tegas Agam disetujui tamu-tamunya. Agam sengaja tidak memberitahu rencana pernika
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”