Laila bergeming. Tidak menjawab juga tidak menolak. Perempuan itu berlalu meninggalkan Agam dengan penuh kebingungan.
Ayah Bilal ikut melangkah. Mengikuti Laila yang berjalan di depan. Terbesit sebuah ketakutan pada hatinya, setelah ini, wanita itu akan berubah sikap pada Bilal.
Sampai di ruangan, sikap kaku diantara mereka berdua masih saja berlanjut. Namun, ada yang membuat Agam lega. Laila tidak menampakkan sikap yang berbeda dengan Bilal. Dia masih sama seperti saat Agam belum mengucapkan hal itu.
'Mungkin, Laila tulus menyayangi Bilal tanpa ada rasa ingin menjadi ibunya,' gumam Agam dalam hati.
Sementara, di tempat berbeda, Anti sedang gencar mendekati Feri. Dengan berbagai cara, wanita itu berusaha menjebak, agar pria yang berprofesi sebagai aparat kepolisian itu takluk di hadapannya.
Setiap hari, Anti yang sudah mulai bekerja, sepulang dari kantor selalu menyempatkan diri mampir. Membawa banyak makanan untuk anak Feri yang masih berusia lima
Esok harinya, Bilal sudah diperbolehkan pulang. Laila dan ibunya menemani dan merawat anak Agam. Sejak kedatangan, hingga Bilal diperbolehkan pulang, mereka tidak pulang sama sekali. Bahkan malam harinya, Danang ikut menginap. Hanya bapaknya saja yang tidak ikut karena harus menjaga rumah."Besok diajak pulang ke rumah kita saja, Mak! Daripada sendirian, kasihan Bilal. Rumah kita juga jadi rame," celetuk Danang malam itu. Tidak ada yang menanggapi.Pagi harinya, Tuti sudah datang ikut menjemput. Agam mencari mobil untuk mengantar ke rumah."Yeay, kita pulang!" seru Laila sembari mencubit pipi gembil Bilal."Ta ta ta ta ...," celoteh Bilal riang."Apa? Mau sama Mas Danang, ya? Nanti, ya? Mas Danang ya sedang cekulah," ujar Laila menanggapi celoteh bayi itu.Bilal menjerit-jerit membuat gemas seisi ruangan."Gak boleh sakit lagi, ya?" tanya Tuti."Mas Agam, Bilal saya bawa ke rumah, ya?" pinta ibu Laila. "Dia baru sembuh, kasihan
"Iya, silakan. Dih, jadi deg-degan dan takut ini, Mas Agam." Ibu Laila langsung berubah raut mukanya cemas. Wanita itu membetulkan letak duduknya sedikit tegak. "Maaf, Pak, Bu sebelumnya. Saya mau tanya, apa sekiranya, Laila ada hubungan dengan lelaki lain? Maksud saya, Laila sudahkah memiliki calon suami?" tanya Agam dengan sangat hati-hati. "Belum. Laila itu susah didekati. Lagipula, anak kami itu janda, Mas Agam. Tidak punya kelebihan apapun. Ya, meskipun ada pemuda yang suka, orang tuanya tidak setuju. Maklumlah, di desa ini kan, pikiran orang-orangnya kebanyakan masih bagaimana lah, ya. Dengan status anak saya, kalau yang mendekati masih bujangan, orangtuanya tidak setuju. Apalagi ditambah, kami ini bukan dari kalangan berada." Jawaban dari bapak Laila membuat hati Agam lega. Namun, kembali hatinya bergejolak. 'Ini orang sedang merendah. Bisa jadi, nanti aku juga ditolak dengan alasan tidak sepadan,' bisik hati meragukan. "Lha emang, Mas Agam mau
Setelah lamaran Agam resmi diterima, mereka membahas tentang waktu pernikahan."Kalau bisa, jangan lama-lama, Mas Agam. Bukan kenapa, posisi Mas Agam duda punya anak. Kami tidak mungkin setelah terjadi kesepakatan seperti ini membiarkan Bilal tinggal sama Mas Agam. Tetapi, tidak mungkin juga, Mas Agam akan membiarkan Bilal di sini terus kan? Makanya, kami Lagipula, dalam agama Islam, bila sudah saling mengenal, akan lebih baik dilaksanakan secepatnya. Pokoknya biar Bilal secepatnya mendapatkan kasih sayang yang sempurna lah," ujar bapak Laila memberi solusi."Bagaimana kalau sebulan lagi, Pak?" tanya Agam memberi usul. "Saya perlu menyiapkan banyak hal untuk pernikahan ini," tambahnya lagi."Kami tidak menuntut banyak hal, Mas Agam, yang penting, Laila sudah mendapatkan seorang suami saja, kami bersyukur. Pernikahan dilaksanakan sederhana saja, tidak perlu mewah. Ya, La?" ujar ibu Laila memberi pendapat dan bertanya langsung pada anak perempuannya."Tidak
Dua hari kemudian, Rida dan teman yang lain datang ke rumah Agam. Bilal menjadi fokus para perempuan itu. Mengambil foto dalam berbagai gaya serta mengunggahnya ke stori media sosial. Mereka membincangkan banyak hal, dan topik yang menarik adalah Anti. "Aku yakin, suatu ketika, dia pasti akan menemui kamu, Gam! Kalau udah gak laku, pasti minta balikan," celetuk Risa diiyakan yang lain. "Jangan mau, Gam! Blokir nomernya kalau Bernai menghubungi kamu. Bilal gak butuh ibu seperti Anti," timpal Rida. "Hal tersulit dalam hidupku dan Bilal sudah aku lalui. Dan itu, tanpa Anti. Jadi, tidak ada alasan untuk aku kembali sama dia. Dulu saja, waktu aku masih jadi orang dungu, berani meninggalkan wanita sebaik Nia demi dia yang tidak punya hati, apalagi sekarang, aku sudah sadar sekali, wanita seperti apa dia. Dan, hidup kami sudah bahagia. Bilal tidak punya ibu sejak lahir," tegas Agam disetujui tamu-tamunya. Agam sengaja tidak memberitahu rencana pernika
Dengan pertimbangan yang matang akhirnya, Agam memutuskan untuk mengajak Laila ke rumah orangtuanya. Bagaimanapun, menikah bukanlah sebuah hal yang sembarangan. Jadi, meminta restu pada orang tua tentu bukan hal yang buruk. Sekalipun, seorang laki-laki tifak memerlukan wali saat menikah.Siang itu, mereka berdua sampai di kediaman Pak Hanif. Seperti biasa, rumah sepi. Agam langsung masuk dan mendapati ibunya yang sedang memasak."Ada yang mau aku kenalkan, Bu.""Siapa? " tanya ibunya sambil mencuci tangan."Calon istriku." Bu Nusri berbalik memandang Agam."Gam, Ibu malu sekali pada orang tua Lina.""Bukan saatnya berdebat, Bu. Aku lelah. Aku tidak ingin berselisih pendapat dengan Ibu terus menerus. Jadi tolong, Bu, biarkan aku memilih jalan hidupku. Sampai kapan kita akan seperti ini terus? Tidakkah Ibu kasihan melihat kehidupan aku yang sendiri mengurus anak? Aku ingin punya pendamping hidup, Bu. Untuk tempat berkeluh kesah ...." Agam dudu
"Pak, bisakah sesekali Bapak menempatkan yang salah di posisi yang salah, dan yang benar tidak selalu harus mengakui salah?" tanya Agam. "Aku tidak pernah membuat masalah dengan Iyan. Dulu saja, aku mengalah banyak hal untuk dia. Aku akan membina kembali hubungan seperti duku bila, yang benar-benar salah mengakui kalau dia salah. Agar tidak terus menerus terdidik menjadi seorang yang egois. Dan, kedatangan kami ke sini ingin memberi kabar. Hal-hal yang sekiranya bisa menimbulkan perdebatan kita hindari saja, Pak. Sekaligus aku mau minta ijin, memindah domisili ke desa Laila." Pak Hanif terdiam. Cukup lama. Hingga hanya hanya detak jarum jam yang terdengar. "Bila Bapak dan Ibu berkenan, datanglah ke pernikahan kami, Pak, Bu. Bila tidak, aku tidak memaksa. Aku sudah terbiasa menjalani semua hal seorang diri." Pak Hanif masih terdiam. Begitu juga dengan Bu Nusri. "Aku pamit, Pak, Bu. Doakan, pernikahan kami langgeng dan bisa menjadi keluarga yang selalu mendapat ridho A
Sejak melihat foto yang diunggah Rida, hati Anti selalu diliputi rasa gelisah. Mencoba menepis rasa yang hadir namun, justru semakin terasa menyakitkan. Bayang-bayang wajah bayi dalam foto tidak bisa hilang dari ingatannya.'Apa aku memang telah berdosa pada bayi yang aku lahirkan karena meninggalkannya?' hati Anti selalu bergejolak atas pertanyaan itu.'Apa semua hal yang aku alami adalah buah dari perbuatanku dahulu?' bertanya sisi hati yang lain.Berhari-hari ada sebuah keinginan yang terus mendorong hatinya untuk berangkat menemui Agam."Anti, uang sisa yang akan Ibu gunakan untuk setoran bank tiap bulan, sudah habis." Saat pikirannya kacau karena memikirkan bayi yang ada dalam foto Rida, ibu Anti malah memberikan tambahan beban."Lhoh, uangnya ke mana, Bu?" tanya Anti meradang."Ibu kirim buat adikmu. Istrinya melahirkan. Masa Ibu tidak kirim uang?""Terus, mulai bulan depan, siapa yang nyetori?""Ya, kamu, An!" jawa
Umbul-umbul terpasang di halaman rumah Laila. Suara soundsystem menggema memperdengarkan lantunan ayat suci. Dekorasi pelaminan minimalis terpasang di halaman. Di depannya deretan kursi berjajar untuk duduk tamu undangan.Di kamarnya yang tidak terlalu luas, Laila tengah dirias oleh seorang perias kampungnya. Terlihat cukup cantik karena memang, gadis sederhana itu jarang bersolek.Sementara di rumah kontrakannya, Agam juga sudah bersiap dengan memakai jas. Nampak beberapa rekan kerjanya yang akan mengiring Agam sebagai mempelai pria. Mereka saling melempar canda.Sedari tadi malam, Agam sudah mempersiapkan hati, untuk dapat menerima kalau di hari pernikahan yang ketiga, akan sama dengan saat dirinya menikah dengan Anti. Tanpa keluarga. Mencoba ikhlas dengan keadaan. Namun dalam hati, ada sebuah harap akan luluhnya hati kedua orangtuanya.Sebuah mobil berhenti di jalan depan. Agam mengira itu Nia karena memang, mantan istrinya sudah berjanji akan hadir da