Setelah lamaran Agam resmi diterima, mereka membahas tentang waktu pernikahan.
"Kalau bisa, jangan lama-lama, Mas Agam. Bukan kenapa, posisi Mas Agam duda punya anak. Kami tidak mungkin setelah terjadi kesepakatan seperti ini membiarkan Bilal tinggal sama Mas Agam. Tetapi, tidak mungkin juga, Mas Agam akan membiarkan Bilal di sini terus kan? Makanya, kami Lagipula, dalam agama Islam, bila sudah saling mengenal, akan lebih baik dilaksanakan secepatnya. Pokoknya biar Bilal secepatnya mendapatkan kasih sayang yang sempurna lah," ujar bapak Laila memberi solusi.
"Bagaimana kalau sebulan lagi, Pak?" tanya Agam memberi usul. "Saya perlu menyiapkan banyak hal untuk pernikahan ini," tambahnya lagi.
"Kami tidak menuntut banyak hal, Mas Agam, yang penting, Laila sudah mendapatkan seorang suami saja, kami bersyukur. Pernikahan dilaksanakan sederhana saja, tidak perlu mewah. Ya, La?" ujar ibu Laila memberi pendapat dan bertanya langsung pada anak perempuannya.
"Tidak
Dua hari kemudian, Rida dan teman yang lain datang ke rumah Agam. Bilal menjadi fokus para perempuan itu. Mengambil foto dalam berbagai gaya serta mengunggahnya ke stori media sosial. Mereka membincangkan banyak hal, dan topik yang menarik adalah Anti. "Aku yakin, suatu ketika, dia pasti akan menemui kamu, Gam! Kalau udah gak laku, pasti minta balikan," celetuk Risa diiyakan yang lain. "Jangan mau, Gam! Blokir nomernya kalau Bernai menghubungi kamu. Bilal gak butuh ibu seperti Anti," timpal Rida. "Hal tersulit dalam hidupku dan Bilal sudah aku lalui. Dan itu, tanpa Anti. Jadi, tidak ada alasan untuk aku kembali sama dia. Dulu saja, waktu aku masih jadi orang dungu, berani meninggalkan wanita sebaik Nia demi dia yang tidak punya hati, apalagi sekarang, aku sudah sadar sekali, wanita seperti apa dia. Dan, hidup kami sudah bahagia. Bilal tidak punya ibu sejak lahir," tegas Agam disetujui tamu-tamunya. Agam sengaja tidak memberitahu rencana pernika
Dengan pertimbangan yang matang akhirnya, Agam memutuskan untuk mengajak Laila ke rumah orangtuanya. Bagaimanapun, menikah bukanlah sebuah hal yang sembarangan. Jadi, meminta restu pada orang tua tentu bukan hal yang buruk. Sekalipun, seorang laki-laki tifak memerlukan wali saat menikah.Siang itu, mereka berdua sampai di kediaman Pak Hanif. Seperti biasa, rumah sepi. Agam langsung masuk dan mendapati ibunya yang sedang memasak."Ada yang mau aku kenalkan, Bu.""Siapa? " tanya ibunya sambil mencuci tangan."Calon istriku." Bu Nusri berbalik memandang Agam."Gam, Ibu malu sekali pada orang tua Lina.""Bukan saatnya berdebat, Bu. Aku lelah. Aku tidak ingin berselisih pendapat dengan Ibu terus menerus. Jadi tolong, Bu, biarkan aku memilih jalan hidupku. Sampai kapan kita akan seperti ini terus? Tidakkah Ibu kasihan melihat kehidupan aku yang sendiri mengurus anak? Aku ingin punya pendamping hidup, Bu. Untuk tempat berkeluh kesah ...." Agam dudu
"Pak, bisakah sesekali Bapak menempatkan yang salah di posisi yang salah, dan yang benar tidak selalu harus mengakui salah?" tanya Agam. "Aku tidak pernah membuat masalah dengan Iyan. Dulu saja, aku mengalah banyak hal untuk dia. Aku akan membina kembali hubungan seperti duku bila, yang benar-benar salah mengakui kalau dia salah. Agar tidak terus menerus terdidik menjadi seorang yang egois. Dan, kedatangan kami ke sini ingin memberi kabar. Hal-hal yang sekiranya bisa menimbulkan perdebatan kita hindari saja, Pak. Sekaligus aku mau minta ijin, memindah domisili ke desa Laila." Pak Hanif terdiam. Cukup lama. Hingga hanya hanya detak jarum jam yang terdengar. "Bila Bapak dan Ibu berkenan, datanglah ke pernikahan kami, Pak, Bu. Bila tidak, aku tidak memaksa. Aku sudah terbiasa menjalani semua hal seorang diri." Pak Hanif masih terdiam. Begitu juga dengan Bu Nusri. "Aku pamit, Pak, Bu. Doakan, pernikahan kami langgeng dan bisa menjadi keluarga yang selalu mendapat ridho A
Sejak melihat foto yang diunggah Rida, hati Anti selalu diliputi rasa gelisah. Mencoba menepis rasa yang hadir namun, justru semakin terasa menyakitkan. Bayang-bayang wajah bayi dalam foto tidak bisa hilang dari ingatannya.'Apa aku memang telah berdosa pada bayi yang aku lahirkan karena meninggalkannya?' hati Anti selalu bergejolak atas pertanyaan itu.'Apa semua hal yang aku alami adalah buah dari perbuatanku dahulu?' bertanya sisi hati yang lain.Berhari-hari ada sebuah keinginan yang terus mendorong hatinya untuk berangkat menemui Agam."Anti, uang sisa yang akan Ibu gunakan untuk setoran bank tiap bulan, sudah habis." Saat pikirannya kacau karena memikirkan bayi yang ada dalam foto Rida, ibu Anti malah memberikan tambahan beban."Lhoh, uangnya ke mana, Bu?" tanya Anti meradang."Ibu kirim buat adikmu. Istrinya melahirkan. Masa Ibu tidak kirim uang?""Terus, mulai bulan depan, siapa yang nyetori?""Ya, kamu, An!" jawa
Umbul-umbul terpasang di halaman rumah Laila. Suara soundsystem menggema memperdengarkan lantunan ayat suci. Dekorasi pelaminan minimalis terpasang di halaman. Di depannya deretan kursi berjajar untuk duduk tamu undangan.Di kamarnya yang tidak terlalu luas, Laila tengah dirias oleh seorang perias kampungnya. Terlihat cukup cantik karena memang, gadis sederhana itu jarang bersolek.Sementara di rumah kontrakannya, Agam juga sudah bersiap dengan memakai jas. Nampak beberapa rekan kerjanya yang akan mengiring Agam sebagai mempelai pria. Mereka saling melempar canda.Sedari tadi malam, Agam sudah mempersiapkan hati, untuk dapat menerima kalau di hari pernikahan yang ketiga, akan sama dengan saat dirinya menikah dengan Anti. Tanpa keluarga. Mencoba ikhlas dengan keadaan. Namun dalam hati, ada sebuah harap akan luluhnya hati kedua orangtuanya.Sebuah mobil berhenti di jalan depan. Agam mengira itu Nia karena memang, mantan istrinya sudah berjanji akan hadir da
Nia berpamitan sebelum acara selesai. Enggan bertemu mantan mertua yang menjadikan alasan dirinya ingin segera meninggalkan tempat pernikahan.Kedua anaknya tentu saja protes. Karena masih kangen dengan Bilal. Apalagi, adik dari ibu yang berbeda itu kini terlihat semakin lincah. Tingkahnya membuat Danis dan Dinta tertawa gemas."Kapan-kapan, kita ke sini lagi, ya? Papah mau rapat." Pak Irsya berusaha membujuk. Namun, mereka menunjukkan wajah ngambek. Nia tahu bagaimana cara membuat mereka mau pulang."Ada Aira. Kalian mau, nanti Aira main bareng?" tanya Nia berbisik. Wanita itu tahu, hal yang ia sampaikan bukanlah didikan yang baik. Akan tetapi, untuk sementara, tidak alasan agar anak-anaknya akur dengan saudara sepupu mereka."Gak mau ...," jawab Danis menunjukkan wajah sedih."Ayo, kita pamit sama Ayah," ajak Nia pada kedua anaknya. Mereka berempat berjalan menuju pelaminan. Tempat kedua mempelai tengah berfoto."Terimakasih sudah datang,
Sampai di rumah, hingga malam hari, Nia masih terdiam. Menjelang tidur, dirinya berdiri di depan jendela. Menatap bulan sabit yang muncul di langit yang cerah. Sebuah lengan melingkar di perut, disertai cubitan kecil."Kamu mikir apa?" tanya Pak Irsya sembari meletakkan dagu pada pundak istrinya. Nia hanya mendongakkan kepala dan tersenyum. Jarak wajah mereka hanya beberapa senti saja. Diusapnya lembut dagu lelaki yang selalu melindungi dan memberikan segala hal yang ia pinta."Bulan itu, sangat indah," jawab Nia asal.'kamu, bohong!' batin Pak Irsya berucap."Kamu mau apa? Beli perhiasan lagi? Ganti mobil, atau motor? Atau, kita honeymoon lagi ke Lombok?" tanya pria itu kemudian. Hatinya tidak bisa dibohongi. Dia tahu kalau, istrinya tengah memikirkan tangisan Agam saat di pelaminan tadi. Namun, berusaha untuk pura-pura. Tekad dalam hati akan melindungi apa yang ia miliki dengan cara memberikan kasih sayang. Sadar bahwa, sikap protektif bisa memunculkan
Acara resepsi sederhana berakhir habis dhuhur. Keluarga Agam pamit. Namun, Bu Nusri dan suaminya serta Aira ditambah Sarah memilih tetap tinggal. Akhirnya, mobil yang satu terpaksa menunggu.Setelah semua tamu undangan pergi, Agam mengajak orangtuanya ke rumah dengan membawa Bilal. Tidak lupa, dirinya berpamitan pada Laila."Setelah Bapak dan Ibu pulang, aku ke sini," pamit Agam. Laila mengangguk saja dan menyunggingkan senyum manis. Baru kali ini, Agam merasa, wanita yang telah dinikahinya itu bersikap ramah.Dengan menaiki mobil, mereka menuju kontrakan. Sepanjang jalan yang hanya sebentar, tidak ada perbincangan apapun terjadi diantara keluarga itu. Pun ketika sampai di rumah. Agam hanya mempersilakan sekadarnya. Masih ada rasa canggung untuk memulai keakraban seperti dulu kala.Agam juga tidak ramah pada Aira. Gadis kecil yang dahulu menjadi kesayangan itu terus memandang Agam kemanapun pria itu melangkah. Sementara ,Bu Nusri menimang-nimang Bilal den